Senin, 27 Desember 2010

Kisruh Penjualan Tiket, Euforia dan Provokasi

http://static.inilah.com/data/berita/foto/1087542.jpg
TERENYUH. Dapat dipastikan perasaan ini menghinggapi kita, bangsa Indonesia yang benar-benar merindukan Tim Nasional (Timnas) PSSI kali ini menjuarai Piala Federasi Sepak bola ASEAN (AFF). Kita sedih karena Firman Utina dkk harus menyerah kalah 0-3 pada pertemuan (leg) pertama putaran final di Stasion Bukit Jalin, Kuala Lumpur, tadi malam. Harapan memang belum pupus karena Timnas masih akan bertindak sebagai tuan rumah, Rabu (29/12), di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, tapi kekalahan semalam harus membuat Tim Nasional dan kita semua mawas diri.

Kita terpukul, sulit menerima kenyataan, karena sebelum tampil di Kuala Lumpur, prestasi pemain Timnas begitu perkasa. Dengan bintang baru Cristian Gonzales, Irfan Bachdim, dan para pemain murni produk dalam negeri, tim Nasional membabat habis lawan-lawannya di babak penyisihan termasuk Malaysia dan tim favorit Thailand, kemudian membungkam Filipina di semifinal. Kita pantas terhenyak, karena untuk menjadi juara, tim nasional harus berjuang ekstra, minimum menang 4-0 saat menjamu Malaysia.

Seharusnya kekalahan semalam membuat kita semua, terlebih para petinggi bangsa, sadar dari euforia berkepanjangan. Berhentilah dari pesta pora, terlebih merasa diri paling berjasa dalam mengantar Timnas ke final Piala AFF. Apalagi jika ada di antara pemimpin-eksekutif, legislatif, dan lainnya-justru mengeksploitasi euforia masyarakat yang merindukan kebanggaan yang akhir-akhir ini tak pernah ada lagi di Nusantara ini.

Kisruh penjualan tiket untuk pertandingan kandang di Stadion Gelora Bung Karno tak terlepas dari euforia dan provokasi. Masyarakat begitu bersemangat untuk memiliki tiket guna menyaksikan langsung perjuangan Timnas. Semangat menggebu-gebutu makin tersulut-bak api disiram bensin-akibat ulah beberapa elite negeri ini yang melakukan kritik atas cara PSSI menjual tiket yang bernada memanas-manasi. Ucapan seorang pemimpin yang tidak pada tempatnya, tentang keputusan PSSI menaikkan harga tiket, ikut memicu kebencian masyarakat terhadap PSSI.

Seharusnya atas nama bangsa dan negara, peluang yang terbuka bagi Timnas untuk menjuarai Piala AFF (dulu Piala Tiger) menjadikan semua lapisan bangsa bersatu. Pemimpin mengayomi, memanfaatkan semangat rakyat yang menggebu ke arah positif. Kapasitas Stadion Gelora Bung Karno yang hanya 80 ribu penonton seharusnya disadari oleh semua pihak bahwa sejumlah itulah karcis yang dapat disediakan panitia. 

Belajar kepada Malaysia yang bertindak sebagai tuan rumah pertemuan pertama tadi malam, seharusnya pemimpin di negeri ini malu mengapa mereka tidak bisa menyadarkan rakyat bahwa tak semua orang bisa menonton langsung di stadion karena memang tempatnya terbatas. 

Pemerintah melalui pemimpin-presiden, Menpora, pimpinan partai politik, anggota DPR, dan tokoh bangsa lainnya-seharusnya memberi contoh. Setidaknya mereka mengeluarkan komentar untuk menyadarkan semua pihak, bukannya justru mengeluarkan komentar yang memanaskan suasana. Soal keputusan PSSI menaikkan harga tiket, seharusnya seorang pemimpin bicara langsung kepada Ketua Umum PSSI, atau lewat Menpora, bukannya berkomentar lewat media massa yang justru dapat memanaskan suasana.

PSSI sebagai penyelenggara seharusnya juga belajar dari pengalaman bagaimana mendistribusikan tiket, bagaimana mengelola penonton, keamanan, dan hal-hal lainnya. Peringatan keras dari otoritas sepak bola tertinggi Asean (AFF) suatu pukulan dan PSSI harus belajar banyak. PSSI harus lebih serius menanggapi penjualan tiket dan mengatur penonton jika tidak ingin pertandingan kandang, 29 Desember nanti, dialihkan AFF ke negara netral.


Sumber: suarakarya-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar