Senin, 13 Desember 2010

Memahami Keistimewaan Jogjakarta

Quantcast



Sejarah Keistimewaan Yogyakarta

Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta mengerucut pada satu tema, Gubernur dipilih langsung oleh rakyat atau ditetapkan. Perbedaan pendapat antara Istana dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X semakin kentara saat wacana referendum mengemuka.
Berita Terbaru menyebutkan bahwa Sultan meminta keputusan penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih secara langsung harus disepakati melalui referendum. Pemerintah dan DPR, kata Raja Yogyakarta itu, tak bisa menentukan itu sendiri.

Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan? Pada Jumat 26 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet terbatas di kantornya mengatakan tidak pernah melupakan sejarah dan keistimewaan DIY.
 
Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Maka itu harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi.
 
Pernyataan ini yang mungkin menuai kontroversi. “Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi,” kata SBY.

Sejak sebelum Indonesia merdeka, baru kali ini Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. Status sebagai Daerah Istimewa itu merujuk pada runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.
 
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah:
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
 
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, DPRD DIY menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
 
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa”.
 
Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, DIY dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.



Setelah terjadi perjanjian Giyanti, Kerajaan Mataram Islam terbagi-bagi, salah satunya yaaa kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kerajaan Mataram Islam muncul pasca Kerajaan Demak dan Pajang, namun semuanya bermuara kepada Kerajaan Majapahit, karena semua Raja-Raja merupakan keturunan Prabu Brawijaya V.
Pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan amanat pada tanggal 5 September 1945:
AMANAT
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
  1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945



Kemudian Pemerintah pusat memberikan piagam pada tanggal 6 September 1945, yang diberikan oleh Menteri Negara Mr.  Sartono kepada Sultan Hamengku Buwono  IX.  Piagam ini telah dibuat setelah 1 hari setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kanjeng Sultan mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta dan Dr. Rajiman Wediodiningrat.
Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan :
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat,pada kedudukannya dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran,tenaga,jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.
Jakarta 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Jogja berdiri dibelakang Negara Indonesia, bahkan ketika Belanda masuk lagi ke Indonesia dan terpaksa Republik ini harus memindahkan Ibukotanya dari Jakarta ke Jogjakarta. Sultan Hamengku Buwono IX tidak segan-segan membantu. Segala gaji pemerintahan, penyiapan gedung untuk menjalankan roda pemerintahan dikeluarkan dari ‘kocek pribadi’ Kanjeng Sultan. Peti-peti duit emas dan gulden dikeluarkan oleh Kanjeng Sultan dan Bung Hatta mengetahui sekitar 5 Juta Gulden telah dikeluarkan Kanjeng Sultan. Dan ia pernah menanyakan apakah perlu diganti. Sampai akhir hayatnya Kanjeng Sultan HB IX tidak pernah menjawab. Seolah mengerti betul akan “sepi ing pamrih rame ing gawe”.



Ada kisah menarik tentang Kanjeng Sultan HB IX setelah pasca Indonesia merdeka. Seorang wanita tua pedagang beras sudah biasa ‘nebeng’ jika ada kendaraan yang lewat. Ketika asyik menunggu, kemudian ada Jeep Willys yang lewat, si wanita tua itu menyuruh sang sopir untuk menaikkan karung-karung berasnya. Setelah itu, wanita tua itu nebeng dan sampai ditempat yang dituju meminta lagi sang supir untuk menurunkan karung berasnya. Sang sopir kembali menurunkan karung-karung beras permintaan wanita tua itu. Setelah seluruh karung beras diturunkan, wanita tua itu memberikan duit Rp1,- namun sang sopir itu menolak dan langsung melanjutkan perjalanan. Wanita tua itu marah-marah, karena seolah-olah sang sopir ingin uang yang lebih. Seorang polisi kemudian menghampiri wanita tua itu dan memberitahu bahwa tadi adalah Kanjeng Sultan HB IX. Langsung sang wanita tua itu pingsaaaan.




Peranan Kanjeng Sultan HB IX juga tampak pada serangan umum 1 Maret 1949.



Oleh karena peran Kanjeng Sultan HB IX, maka sangat wajar jika Jogjakarta dijadikan wilayah yang berbentuk Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan pada UUD 1945 (perubahan II) pada pasal 18B jelas sekali Negara mengakui dan menghormati daerah yang bersifat khusus atau istimewa:

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 Sumber: tamanbacaan.blogspot.com & triatmono.wordpres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar