Selasa, 28 Desember 2010

Nasionalisme, Kapitalisasi dan Politisasi Sepak Bola

1inabahrain 1007 1 Nasionalisme, Kapitalisasi dan Politisasi Sepak Bola (Kajian Kritis Euforia Timnas dan Kemunculan LPI)
Antusiasme Calon Penonton Timnas di Piala AFF 2010 

Beberapa saat terakhir perhatian kita semua Bangsa Indonesia seolah-olah terpusatkan pada kiprah dan polah sebelas lelaki perkasa diatas lapangan hijau. Di bawah asuhan pelatih kawakan asal Austria, sebelas lelaki tersebut telah menyihir puluhan ribu pasang mata di stadion dan jutaan pasang mata lainnya melalui layar kaca. Hadirnya beberapa bintang naturalisasi dan rancaknya permainan team menjadi campuran resep yang mampu memikat siapapun yang menikmatinya.

 Nasionalisme, Kapitalisasi dan Politisasi Sepak Bola (Kajian Kritis Euforia Timnas dan Kemunculan LPI)
Timnas Indonesia menjelang laga pada penyisihan AFF 2010 

Kegagahan mereka diatas lapangan menarik antusiasme dan minat yang luar biasa dari anak bangsa ini. Berbondong-bondong merekapun berebut tiket pertandingan yang semula, bahkan hingga pertandingan penyisihan terakhir piala AFF 2010 88.000 kapasitas Stadion Utama Gelora Bung Karno hanya mampu terisi setengah lebih sedikit. Sedikit lebih banyak dari pertandingan Timnas sebelum euforia terjadi. Entah apa yang masyarakat tunggu, sehingga baru pada saat semifinal Stadion terbesar di Nusantara dan pernah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara ini baru penuh sesak dengan atribut dan yel-yel mendukung Laskar Garuda.

Sejenak, setiap kali menjelang pertandingan dan saat penjualan tiket berlangsung, Sekitar SU GBK pun seolah-olah menjadi pusat keramaian baru di Jakarta. Lalu lalang crew Media, harapan menyaksikan pertandingan, dan kecemasan jika tidak mendapatkan tiket pertandingan menjadi pemandangan yang lumrah kita saksikan. Hal inipun dimanfaatkan dengan baik dan ahli oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri. Disamping itu, ulasan di berbagai media tentang Team Merah Putih dan berbagai hal disekitarnya seolah membangunkan kembali rasa Nasionalisme kita yang seolah-olah telah tidur panjang.

Hadirnya Laskar Perkasa yang seolah-olah baru keluar dari kawah Chandradimuka seolah-olah menjadi harapan baru rakyat negeri ini yang tengah berada di tengah kondisi yang carut marut. Kondisi carut marut yang belum dapat diatasi oleh pemerintah mengakibatkan rakyat negeri ini mendambakan sosok pahlawan. Dan kemunculan Laskar Garuda yang gagah perkasa seolah-olah menjadi jawaban akan apa yang didambakan rakyat Zamrud Khatulistiwa ini.

Membuncahnya antusiasme masyarakat yang terjadi menjadi ketertarikan tersendiri bagi mereka yang memiliki hasrat, ambisi dan kepentingan. Dengan didukung oleh kekuasaan, akses, dan kekayaan yang dimiliki mencoba berbagai daya dan upaya untuk memanfaatkan situasi yang terjadi. Sepak Bola seolah-olah menjadi alat kampanye baru sekaligus alat untuk mencapai kepentingan tertentu yang efektif. Terlebih lagi dengan dukungan media nasional yang akan mendongkrak popularitas menjadi lebih efektif. Dengan sedikit tambahan bumbu, popularitas tersebut akan menjadi simpati dan pada saatnya nanti, akan dapat menjadi sebuah pilihan politik.

Hal tersebut diatas, mau tidak mau membagi energi dan konsetrasi para punggawa Laskar Garuda yang seharusnya memusatkan konsentrasi dan do’anya untuk menghadapi pertandingan selanjutnya menjadi terpecah-pecah dengan keterpaksaan untuk mengikuti dan menghadiri berbagai program dan acara yang disusun oleh rezim penguasa Perserikatan Sepakbola.

Sejatinya, Team Nasional adalah produk dari sebuah system yang kompleks dan panjang. Sebagaimana Sepak Bola sendiri, merupakan sebuah system yang melibatkan banyak hal dan banyak pihak. Di mulai dari pembinaan yang baik dan tersistem terhadap bibit-bibit berbakat anak negeri, kemudian diterjunkan dalam kompetisi berjenjang yang berkualitas, akan menghasilkan sebuah team berkualitas yang diisi oleh bakat-bakat yang terdidik dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.

Di negeri ini, Sepak Bola sendiri seolah-olah sudah melampaui lebih dari sekedar batasan olah raga. Namun, sudah menjadi sebuah sub kultur tersendiri. Jika kita menengok kedalam, dalam kompetisi yang berlangsung, Team peserta kompetisi yang didalamnya memiliki sebuah system yang sudah berjalan bertahun-tahun termasuk diantaranya adalah pembinaan pemain usia dini, dan kompetisi internal, masing-masing team tersebut kemudian membentuk sebuah system yang lumrah kita kenal dengan “Liga”. Masing-masing peserta kompetisi tersebut yang dipisahkan oleh wilayah geografis juga memiliki dukungan dari masyarakat lokal dengan berbagai ciri khas dan keunikannya. Dukungan yang besar dan luar biasa, kerap kita menyebut dengan loyalitas dan fanatisme. Pada beberapa team peserta Liga, dukungan yang besar ini menjadi modal team untuk berpartisipasi dalam kompetisi. Sebut saja Arema Indonesia yang mengandalkan sebagian besar dana operasionalnya dalam mengikuti kompetisi dari pemasukan tiket suporter.

Pendek kata, sebuah kompetisi yang terbangun merupakan sebuah proses panjang bertahun-tahun dan dengan keterlibatan banyak pihak, serta bersifat bottom up. Agar kompetisi berjalan semakin baik maka perlu untuk ditangani secara lebih profesional, sehingga akan terjadi multiplayer effect yang baik. Misalkan, terbukanya ruang-ruang bisnis yang melibatkan dan menguntungkan banyak pihak termasuk team itu sendiri.

Ketika muncul sebuah wacana hadirnya sebuah kompetisi baru yang menggelontorkan dana hingga milyaran rupiah kepada masing-masing team peserta kompetisi, menimbulkan minat tersendiri bagi beberapa orang individu di beberapa daerah. Di tengah kondisi perekonomian negeri yang belum tertata dengan baik, kucuran dana milyaran rupiah tentunya akan menyebabkan air liur para pegiat proyek di daerah menetes deras.

Dengan serta merta, Itikad baik untuk menciptakan liga yang sehat dengan mekanisme bisnis terkandung didalamnya disambut oleh para pegiat proyek didaerah dengan berlomba-lomba membuat team baru yang belum memiliki basis massa pendukung dan sistem pembinaan yang sistemik.

Dalam sekejap, puluhan klub baru bermunculan di berbagai daerah. Dan kucuran dana milyaran rupiahpun segera tersebar pula ke berbagai daerah. Mereka seolah-olah lupa bahwa system Kompetisi yang diciptakan mengkolaborasikan olah raga dan mekanisme bisnis yang berkelanjutan. Sehingga di dalamnya dibutuhkan pembinaan yang tersystem, antusiasme dan dukungan masyarakat yang memenuhi stadion sebagai pasar dari bisnis tersebut. Karena, sebuah Bisnis atau Usaha tanpa pasar hanya akan menjadi investasi merugi jangka pendek yang sia-sia dan dimanfaatkan dengan rakus oleh pegiat proyek untuk memperkaya diri sendiri.

Dengan demikian Liga yang seharusnya menjadi Liga Primer hanya akan menjadi tak lebih dari Liga Proyek.
Kita semua tidak menutup mata, bahwa kompetisi yang sedang berjalan dibawah pengelolaan rezim yang menutup mata dan telinga terhadap kondisi dan tuntutan sekitar adalah kompetisi yang amat sangat tidak sehat. Namun, kompetisi ini telah berjalan bertahun-tahun dan telah berakulturasi dengan masyarakat, bahkan membentuk sub kultur tersendiri. Oleh karena itu, solusi untuk memperbaikinya bukanlah dengan membentuk system kompetisi baru yang diisi oleh klub-klub baru pula. Akan tetapi dengan mengurai secara perlahan dan satu persatu untuk mencari benang yang kusut. Ketika bagian yang kusut/rusak sudah ditemukan, tinggal kita lakukan upaya perbaikan atau jika tidak memungkinkan dilakukan pula pergantian spare part di beberapa bagian.

Sumber: aremasenayan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar