Senin, 20 Desember 2010

Nasionalisme Lewat Sepak Bola

http://sgstb.msn.com/i/E8/95E5B6BD6518B484446EA1E0E39FE5.jpg
Garuda didadaku….. garuda kebangganku….. kuyakin hari ini pasti menang….”

Begitulah potongan lagu Band Netral ini membahana di sepanjang pertandingan Indonesia vs Philipina pada laga semifinal piala AFF. Pertandingan ini dimenangkan oleh Indonesia dengan skor 1-0 lewat melalui gol semata wayang seorang pemain naturalisasi, Christian Gonzales.

Selama 90 menit kita mendapat suguhan permainan aktraktif dari timnas. Media massa pun bersuara sama mengenai prestasi timnas ini: kebangkitan sepak bola Indonesia. Sepintas lalu, kita sepertinya melihat secercah harapan.

Bagi rakyat Indonesia, kemenangan timnas telah menjadi obat pelipur lara setelah selama bertahun-tahun menjadi korban: kemiskinan, bencana alam, korupsi, dan lain sebagainya.

Di tengah keterpurukan dan kemunduran bangsa ini, sepak bola telah menjadi tempat persemaian baru bagi nasionalisme Indonesia. Gelora Bung Karno berubah menjadi lautan warna merah dan putih.




Prestasi dan prestise

Sepak bola merupakan olahraga paling favorit rakyat Indonesia, bahkan bisa dikatakan menjadi olahraga rakyat. Olahraga ini dapat dimainkan oleh semua kalangan, dari orang muda sampai tua, pria maupun wanita, dilapangan, dikampung-kampung, dikompleks bahkan disudut-sudut gang. Wajar saja jika rakyat Indonesia sangat menginginkan timnasnya punya prestasi yang lebih baik.

Iya, sepakbola memang tak bisa dilepaskan dari persoalan prestasi dan prestise. Demi prestise misalnya, diktator-fasis Mussolini rela menggunakan kekuasannya untuk menghentikan langkah Rumania pada final piala dunia 1934, dimana ia mengancam tidak akan membiarkan seorang pemain Rumania pun bisa keluar lapangan jika mereka sampai mengalahkan Italia.

Sementara Adolf Hitler, pemimpin Fasis Jerman, memerintahkan agennya untuk mencuri trofi piala dunia, dan katanya, trofi itu harus disembunyikan dibawah kolong tempat tidur Presiden FIFA.
Begitu pula dengan Presiden SBY, karena sepak bola telah menjadi “pertunjukan” paling akbar dan paling banyak menyita perhatian rakyat, maka ia pun berusaha mencari “populer” dengan ikut menonton langsung pertandingan.

SBY membawa serta tiga panser untuk menemaninya nonton bola, sesuatu yang malah menciptakan “situasi tidak nyaman” bagi penonton lainnya.
Untuk mengejar prestasi dan prestise, PSSI mencoba jalan pintas untuk mengangkat prestasi timnas, yaitu dengan melakukan naturalisasi pemain. Beberapa pengamat menganggap jalan ini sebagai jalan pintas. Namun, bagi rakyat banyak, persoalan naturalisasi atau bukan, yang penting adalah timnas bisa memenangkan pertandingan dan membawa pulang piala.


Riuh rendah Nasionalisme

Eforia kemenangan timnas ini melanda semua negeri, seakan memberikan suntikan moral kepada bangsa Indonesia untuk bangkit.
Namun, ketika Firman Utina, dkk bisa bermain tangguh dalam menghadapi lawan-lawannya, maka Presiden SBY justru terlihat punya kebiasaan menunduk ketika bertemu bangsa asing.

Kita menginginkan keperkasaan pemain-pemain Indonesia di lapangan hijau bisa pula ditonton dan diikuti oleh pemimpin negeri, agar mereka tidak mudah menjadi subordinat di hadapan bangsa-bangsa lain, terutama di hadapan negeri-negeri imperialis.

Dan, kita juga sangat berharap, bahwa sentiment nasionalisme bukan saja terbakar saat timnas bertempur dengan tim negara lain di stadion gelora Bung Karno, tetapi bisa berkobar-kobar membakar setiap dada rakyat dan pemuda Indonesia saat berhadapan dengan penjajahan baru: Neoliberalisme.

Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, sepak bola pernah menjadi kendaraan penting dalam perjuangan anti-kolonial. Soeratin berhasil mendirikan organisasi bernama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI), yang tujuannya disebut untuk melawan kolonialisme Belanda.Tidak salah pula kalau kita berharap bahwa sepak bola akan menjadi sarana penting untuk memicu kembali kebangkitan nasionalisme Indonesia.

Oleh : Babra Kamal

Sumber: berdikarionline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar