Senin, 13 Desember 2010

Otonomi Daerah dan Politik Biaya Tinggi

 

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, 

Hari telah senja ketika saya mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Rekan saya Fachry Ali, punya hajatan menyelenggarakan lokakarya penguatan DPRD di kota itu. Walaupun akhir-akhir ini saya sibuk bukan kepalang, namun demi menghormati sahabat lama, saya bersedia juga untuk hadir ke Palembang walau hanya semalam. Besoknya pagi-pagi sekali saya kembali ke Jakarta. Lokakarya itu diikuti oleh para anggota DPRD Kabupaten dan Kota se Sumatera Selatan dan diselenggarakan di Hotel Novotel, Palembang. Sudah hampir setahun belakangan ini, saya tak pernah memberikan ceramah di hadapan para politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Faktor ini, juga menjadi pertimbangan saya untuk hadir. Saya berharap, akan terjadi pertukar-pikiran yang menarik untuk membahas berbagai isyu politik yang berkembang di daerah.

Dalam ceramah yang saya sampaikan, saya mengemukakan berbagai aspek amandemen konsitusi kita, beserta implikasi-implikasinya kedalam kehidupan politik, baik nasional maupun daerah. Konstitusi kita kini memberikan penguatan kepada posisi pemerintahan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif daerah. Kepala Daerah dan Wakilnya, harus dipilih dengan cara-cara yang demokratis. Otonomi daerah mendapat penegasan dalam konstitusi. Tentu semua ini memerlukan pengaturan lebih lanjut pada tingkat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Mengenai otonomi daerah, saya menggambarkan kilas balik perdebatan antara negara kesatuan dengan negara federal di awal reformasi.

Waktu itu saya memberikan jalan tengah, yakni Indonesia tetap menjadi negara kesatuan, sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan, namun memberikan penguatan tugas, kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintahan di daerah. Waktu itu, saya juga menggagas tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – suatu lembaga yang pada umumnya hanya ada di negara federal – untuk diterapkan di negara kita yang menganut susunan negara kesatuan. DPD memang terbentuk, walau masih banyak hal yang harus disempurnakan.


Soal otonomi daerah, saya mengatakan bahwa di awal reformasi, saya beda pendapat dengan Prof. Ryas Rasyid yang menekankan otonomi daerah ke tingkat kabupaten dan kota. Konsep Prof. Ryas waktu itu, ialah menciptakan kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang telah ada. Saya berpendapat sebaliknya, otonomi diberikan kepada propinsi, dengan jumlah propinsi yang lebih banyak, yang dalam perhitungan saya, akan ada sekitar 42 provinsi di seluruh tanah air. Dengan otonomi kepada provinsi, maka kompetisi antar daerah akan menjadi lebih nyata. Pemerintah Pusat juga akan lebih mudah mengawasi Gubernur, dibandingkan dengan mengawasi Bupati/Walikota yang waktu itu lebih dari 400 jumlahnya. Pemberian otonomi kepada provinsi memang akan mendorong Indonesia menjadi negara yang mendekati negara federal – atau biasa disebut dengan istilah quasi federal – namun hakikatnya tetap sebuah negara kesatuan.

Kalau otonomi diberikan kepada provinsi, maka gubernur dapat saja dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana halnya pemilihan Presiden. Konstitusi kita tidak mengharuskan adanya pemilihan langsung, namun hanya menyebutkan dipilih secara demokratis. Bupati dan Walikota cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian, tidak terlalu banyak pemilu (termasuk Pilkada) seperti sekarang ini. Banyaknya Pemilu, mulai dari Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden – yang nampaknya akan selalu terjadi dalam dua putaran – dan pemilu kepala daerah untuk gubernur, dan bupati/walikota. Biaya penyelenggaraan Pemilu ini sangat besar. Demokrasi memang mahal. Tidak sedikit uang negara dihabiskan untuk membiayai pemilu ini dalam lima tahun. Belum lagi dampak sosial dan politiknya, terutama di daerah-daerah. Ketegangan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, pasca pemilihan gubernur, membuat saya sangat prihatin.

Para anggota DPRD Kabupatan/Kota di Sumatera Selatan itu, mempunyai keprihatinan yang sama dengan apa yang saya rasakan. Di provinsi ini, tak lama lagi akan ada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur. KPUD Provinsi konon telah mengajukan anggaran Rp 350 milyar untuk hajatan itu. Namun yang disetujui adalah Rp. 150 milyar. Biaya ini belum terhitung biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan calon, baik dalam persiapan, maupun dalam kampanye, pengawasan dan penghitungan suara. Entah berapa biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para simpatisan dan pendukungnya, kita tidak tahu. Ada dugaan, biaya yang dikeluarkan adalah jauh lebih besar dari biaya yang dilaporkan secara resmi. Kalau biaya yang dikelurkan oleh masing-masing pasangan itu cukup besar, bagaimanakah mereka mengembalikannya?

Pertanyaan seperti di atas juga menghantui benak saya. Tidak semua orang benar-benar mempunyai idealisme tingggi, sehingga memandang jabatan adalah tugas dan amanah, tanpa perhitungan materi. Tak semua pula para pendukung bersedia mengeluarkan dana sponsor karena idealisme pula, seperti ingin melihat bangsa dan negara – atau daerah – menjadi maju. Mereka mungkin saja seperti udang dibalik batu. Kompensasi bantuan dana sponsor itu bukan mustahil pula harus “dibayar” dengan “pemberian” proyek-proyek Pemerintah atau kemudahan lain yang bersifat menguntungkan. Bukankah semua ini akan membuka peluang tumbuh-suburnya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme? Hati saya sukar untuk mengatakan tidak atas segala prasangka ini.

Namun di sisi lain, saya juga tak dapat menafikan, idealisme tetap tinggi. Ada faktor ideologi, ada faktor subyektif misalnya rasa senang dan suka, yang mungkin saja mendorong seseorang untuk membantu. Mereka ingin melihat bangsa ini menjadi maju dan berkembang, tanpa memikirkan imbalan bagi dirinya sendiri.
Di akhir ceramah malam itu, ada beberapa anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Sumatra Selatan itu, yang bertanya apakah saya serius mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden 2009? Menurut mereka telah tiga kali berita itu menjadi headline Koran Sriwijaya Pos, yang menyebut dirinya sebagai “Korannya Wong Kito” itu. Berbagai tabloid di kota Palembang juga memberitakan hal yang sama. Terhadap pertanyaan itu saya menjawab, ibarat sembahyang, nawaitunya memang sudah dilafadzkan, tetapi takbirnya belum. Takbirnya itu baru dikumandangkan nanti setelah Pemilu DPR selesai, dan kita melihat apakah Partai Bulan Bintang berada dalam posisi yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Kini kami sedang berjuang ke arah itu.

Kalau modal pengalaman, ilmu, kesehatan jasmaniah dan rohaniah dan keanggupan kerja keras, saya katakan, Insya Allah, telah ada. Penyusunan program memang sedang dalam proses penggodokan. Sudah banyak pula kawan-kawan yang menawarkan diri menjadi tim sukses. Namun kalau ditanya persiapan dana, saya katakan, saya mungkin adalah bakal calon yang paling kedodoran. Saya menyadari bahwa biaya kampanye dan sebagainya sangatlah besar. Untuk hal yang satu ini, saya posisi saya seperti orang sudah kalah sebelum bertanding. Saya kembali kepada salah satu pokok persoalan yang dibahas dalam diskusi. Demokrasi sangat mahal. Biaya politik menjadi sangat tinggi. Meskipun begitu, saya tetap memiliki optimisme bahwa idealisme yang tinggi tetap ada. Rakyat juga sudah belajar banyak tentang demokrasi dari berbagai pengalaman yang mereka peroleh selama era Reformasi ini.

Hari sudah larut malam. Acara ceramah dan diskusi yang dimulai pukul delapan itu, berakhir pukul sebelas malam. Tak terasa kami telah melewati waktu selama tiga jam untuk bertukar-pikiran dengan jernih. Pagi-pagi sekali saya meninggalkan hotel menuju bandara untuk kembali ke Jakarta.

Wallahu’alam bissawwab

Yusril Ihza Mahendar
Sumber:  yusril.ihzamahendra.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar