Selasa, 21 Desember 2010

Sebuah Ironi: Pejabat Berfasilitas Mewah, Sementara Rakyat Dalam Kemiskinan

Harga Mobil Menteri Rp 1,325 Miliar



Peningkatan fasilitas pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II sudah seharusnya diimbangi dengan kinerja yang meningkat pula. Bayangkan untuk sebuah mobil dinasnya saja, harus merogoh kocek Rp 1,325 miliar.

Harga selangit tersebut untuk menebus satu unit Toyota Crown Royal Saloon, sebuah luxury sedan yang sekelas dengan BMW seri 530, serta Mercedes-Benz E-Class, dan Audi A6.

"Harganya Rp 1,325 miliar, itu sudah termasuk pajaknya," ujar Direktur Marketing
PT Toyota-Astra Motor Joko Trisanyoto, kepada detikOto, Senin (28/12/2009).

Kisaran harga tersebut tentunya naik karena nilai pajaknya yang lebih dari 50 persen, sehingga tambah Joko, kalau harga bersihnya, bisa kurang dari setengah harga saat ini.

"Tadinya sempat berencana dijual bebas bea, namun peraturan tidak memungkinkan," tambahnya.

Mobil dengan kapasitas mesin 3.000 cc bertransmisi otomatis ini dilengkapi dengan sistem navigasi satelit 3D yang dikendalikan oleh G-BOOK. Dengan fitur tersebut, peredaman suspensi bekerja secara otomatis sesuai dengan kondisi permukaan jalan.

Bahkan, perpindahan gigi bisa diatur sendiri. Komputer mobil akan mengaktifkan efek pengereman mesin ketika mendekati gerbang tol. Radar yang digunakannya sangat presisi dan bisa mengukur sampai ke tingkat milimeter.

Inilah kehebatan teknologi yang disebut Toyota dengan VDIM atau Vehicle Dynamics Integrated Management. Toyota seperti dikutip situs Departemen Perindustrian mengirim sekitar 150 Toyota Crown Royal Saloon.

Setidaknya sudah ada beberapa menteri yang menggunakan mobil anyar ini yakni menteri dengan plat mobil RI 12 (plat mobil dinas Menko Perekonomian), RI 37 (Menteri Negara Koperasi dan UKM), RI 21 (Menteri ESDM) dan RI 33 (Menteri Agama).

Namun ada juga menteri yang masih menggunakan mobil Toyota Camry lama yakni antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani.

detik..com


 Wow... Mobil Mewah Menteri Pajaknya Saja Rp 62,805 Miliar

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Harry Azhar Azis mengatakan, anggaran pajak pengadaan mobil baru bagi para pejabat negara senilai Rp 62,805 miliar.

"Itu diajukan Menteri Keuangan dalam rapat November 2009. Itu hanya pajak untuk pembelian mobil pejabat negara. Belum harga mobilnya," kata Harry kepada Persda Network, Senin (28/12/2009).

Rapat anggota Banggar DPR dengan Menteri Sri Mulyani berlangsung pada 3 November 2009. Selain mengajukan anggaran pajak pengadaan mobil dinas pejabat negara setingkat menteri, pemerintah dalam rapat itu juga mengajukan anggaran pengadaan pesawat VVIP Presiden Rp 200 miliar dan anggaran untuk renovasi pagar istana negara Rp 22,581 miliar.

Hari ini, beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II telah menggunakan mobil dinas baru, Toyota Crown Royal Saloon, untuk menggantikan mobil dinas sebelumnya, Toyota Camry. Belum diketahui berapa total anggaran yang diperlukan untuk pembelian mobil dinas baru ini. Namun, kabarnya, per unitnya mobil ini dilego sekitar Rp 1,3 miliar.

"Rinciannya anggaran pembelian bisa ditanyakan ke Komisi II (Komisi Pemerintahan) DPR," kata Harry. "Namun, kalau mobil lebih murah, pajak mobilnya akan lebih murah. Sebenarnya soal keabsahaan (pembelian mobil) tidak ada masalah. Namun, ini soal kepatutan," Harry.

 kompas.com





Inilah fragmen dari sebuah kejadian di Jakarta, sebuah kota yang penuh ironi. Seorang kakek tua penjual pisang keliling tersungkur tepat di seberang Pasar Swalayan Carefour Lebak Bulus. Banyak orang berseliweran di sana dengan dengkul ataupun berkendara mobil seharga ratusan juta hingga miliar rupiah. Tetapi, tak banyak yang peduli. Menoleh pun tidak.

Tangan kanan lelaki ringkih itu sempat menahan tubuhnya, menyelamatkan mukanya tidak terjerembab. Tangan kirinya erat memegang pikulan di pundaknya agar keranjangnya tak terguling. Dia sepertinya kelelahan. Mukanya pucat pasi. Napasnya memburu, Senin-Kamis. Matanya mengernyit seperti menahan rasa pusing.

Setelah beberapa saat beristirahat, dia pun berdiri dan berjalan lagi. Dua keranjang rotan terisi penuh pisang pun bergayut turun naik mengikuti napas dan langkah kaki kakek tua itu.

Namun, tidak sampai 500 meter, saat melintas di Jalan Metro Pondok Indah, di depan rumah megah bergaya mediteranian seharga miliaran rupiah, dia pun kembali tersungkur. Dia kembali beristirahat sejenak. Tidak sampai lima menit, dia sudah bangkit lagi. Tertatih, dia kembali memikul dua keranjang pisang jualannya.

Dengan langkah gontai, ia menyeberangi jalan dan masuk ke kompleks perumahan mewah. Sesudah melewati sekitar lima blok, barulah dia bertemu pembeli. Setelah itu, dia kembali lagi berkeliling.

Kakek tua itu bernama Ujang. Usianya 50 tahun. Tetapi, beban berat membuat raut wajahnya lebih tua dari usianya. Bicaranya pun sudah pelo seperti pernah terserang stroke.

Ujang memang pekerja ulet. Dia tinggal di Parung, sekitar 25 kilometer pinggiran selatan Jakarta. Demi menyambung hidup, Ujang mengukur jalan berjualan pisang sampai Jakarta. Panas terik tak mengalahkan semangatnya untuk bekerja. Ibadah puasa pun tetap dijalaninya.

”Saya mah gak mau minta-minta. Saya lebih seneng jualan,” ucap Ujang.

Merenungi apa yang terjadi pada Ujang, terasa ironis bila dibandingkan dengan kejatuhan Bank Century. Ketika Ujang terjatuh, meski rumah di sana besar dan megah tak ada yang menawarkan berteduh. Meski ratusan bahkan ribuan kendaraan berlalu-lalang di sana, mulai dari metromini butut sampai mobil-mobil mewah seri terbaru, tidak ada juga yang memberikan tumpangan membantu.

Sementara itu, uang negara yang dikucurkan untuk menyehatkan Bank Century besarnya mencapai Rp 6,7 triliun dan kemudian hilang dimakan para bankir jahat.

Negara yang seharusnya memberikan perlindungan juga belum bisa diharapkan. Padahal, yang dibutuhkan Ujang sederhana. Bukan hanya BLT, bantuan langsung tunai, tapi juga BLG, bantuan langsung gerobak.

Keuletan Ujang bisa mengingatkan semua, terutama para pejabat di negeri ini, mulai dari Presiden, Gubernur BI, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pertanian, hingga Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, untuk tidak terus terbuai dengan angka-angka makro dan kemudian rajin beriklan tentang kesuksesan yang menghabiskan dana miliaran rupiah.

Semua pejabat juga berlomba-lomba memberikan fasilitas kepada ”bos-bos” besar dengan harapan mendapat bonus keuntungan. Sebaliknya, mereka menutup mata, telinga, dan hati atas realitas bahwa masih banyak orang kecil di negeri ini, mereka tak kunjung mendapat perlindungan.

 

Supriyadi (1,6 tahun) balita asal Desa Kalasan RT13/14, Kecamatan Kasemen Kota Serang pada awal Maret lalu akhirnya meninggal dunia di rumahnya setelah sempat selama tiga pekan dirawat di RSUD Serang karena menderita gizi buruk.

Berat balita tersebut hanya empat kilogram dari berat ideal pada bayi seusianya yaitu enam kilogram. Tiga pekan sebelum meninggal dunia, Supriyadi mengalami berbagai penyakit yang disebabkan oleh kondisi gizi buruk yang dialaminya. Ia pun sempat berjuang melawan demam tinggi, jantung, liver, dan muntah-muntah (Kompas, April 2009). Di Serang, tercatat 664 balita mengalami gizi buruk dan 4.610 anak saat ini mengalami gizi kurang yang tidak tertutup kemungkinan beberapa waktu ke depan akan masuk dalam daftar catatan anak gizi buruk jika tidak segera ditanggulangi (Kompas, 4 Februari 2009). Di Jabar, balita yang masuk dalam kategori gizi kurang mencapai 380.673 orang dari 3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui kegiatan posyandu. Sementara itu di NTB, selama tahun 2008 kasus gizi bermasalah yang ditemukan tercatat 1.207 kasus 23 diantaranya merupakan kasus klinis atau "Marasmus Kwashiorkor" atau busung lapar (Kompas 24 Maret 2009). Di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sampai akhir tahun 2008 tercatat sebanyak 1.399 anak atau 0,8 persen dari jumlah anak balita yang ada di daerah ini dan di Kabupaten Malang jumlah balita penderita gizi buruk kronis tahun 2008 mencapai 14 balita dan empat di antaranya meninggal dunia. Sedangkan penderita gizi kurang pada tahun 2008 mencapai 300 balita dan tahun 2007 sebanyak 113 balita. Data-data tersebut belum termasuk data anak gizi buruk yang ada di kota-kota lainnya.

Ironis bukan? Bayangkan jika hampir sebagian besar anak Indonesia mengalami hal serupa seperti Supriyadi. Tentunya akan berdampak kepada masa depan bangsa karena mereka adalah generasi penerus kita. Tapi mengapa kasus ini selalu muncul di semua daerah di Indonesia? Apa tindakan konkrit dari pemerintah khususnya Dinas Kesehatan untuk menangani hal itu? Sudahkah ada tindakan preventif dan promotif? Sudahkah ada tindakan kuratif? Memang benar beberapa intervensi sudah di lakukan oleh Dinas Kesehatan, lembaga-lembaga penelitian nasional dan internasional, LSM, maupun organisasi-organisasi lainnya. Tetapi apakah tindakan tersebut sudah bersifat mendasar? Atau justru memperburuk keadaan? Tentu banyak pertanyaan yang dapat muncul dari kasus ini. Lalu apa yang sebenarnya menjadi akar masalah kasus gizi buruk di negara kita?

Sebagian orang akan berpikir bahwa kemiskinanlah penyebabnya. Secara logika memang hal itu benar. Jika mampu membeli makanan pasti mampu memenuhi kecukupan gizi sehari-hari. Ada juga yang mengatakan malnutrisi merupakan dampak negatif dari mekanisme ketahanan pangan pada masa lalu. Di sisi lain ada yang dengan lantang mengatakan itu akibat ketidakberpihakan pengambil kebijakan yang tidak mengutamakan kesejahteraan rakyat kecil. Akan tetapi sebagian orang lagi mengklaim bahwa faktor utamanya adalah masalah yang berkaitan dengan asupan makanan, kondisi kesehatan anak, imunitas anak, dan sebagainya. Artinya jika mudah terserang penyakit maka selera makan si anak akan berkurang dan sistem penyerapan makanan dalam tubuhnya juga tidak akan sempurna.

Bagi kebanyakan orang, kemiskinan sering kali dianggap sebagai biang kerok kekurangan gizi. Maka secara logika, jalan keluarnya mutlak pemberantasan kemiskinan. Untuk selanjutnya dilakukanlah upaya-upaya pemberantasan kemiskinan itu, seperti memberikan bantuan, membuka lapangan pekerjaan, memberikan modal kerja untuk usaha, dan sebagainya. Faktanya masih banyak masyarakat yang tetap hidup dibawah garis kemiskinan. Dan itu berarti kita tidak bisa menyelamatkan anak tersebut dari malnutrisi. Tapi sebaliknya juga “kok ada anak dari keluarga miskin lainnya tidak mengalami hal ini?”

Cerita lainnya adalah, ketahanan pangan (akses dan ketersediaan pangan). Sebagai contoh, di provisnsi NTT sejak 100-an tahun yang lalu sudah mengalami kelaparan. Tidak ada lahan untuk digarap karena tandus dan masyarakatnya kesulitan mendapatkan air. Kemudian pemerintah kita yang pada saat itu bekerjasama dengan negara-negara maju melakukan ekspansi bahan pangan serta isu-isu pembangunan lainnya. Wah, tentunya sebuah kemajuan besar bakal terjadi untuk NTT dan semua pihak juga menyambut program tersebut dengan sangat antusias. Tapi secara fenomena, bantuan pangan dan pembangunan di NTT 50-an tahun yang lalu malah mengindikasikan pengulangan sejarah “masa tanam paksa Kolonial Portugis” ketika tahun 1911. Semenjak era itu pembangunan di NTT diibaratkan sebagai sebuah “jalan mundur” dengan salah satu impactnya adalah malnutrisi yang tetap tinggi.

Bagaimana dengan asupan makanan dan kondisi kesehatan anak? Berbicara tentang asupan makanan akan bersinggungan erat dengan perilaku. Secara teori pengetahuan, sikap dan tindakan (KAP) ibu/orang tua tentang makanan sehat dan bergizi untuk sang anak menjadi sasaran empuk untuk dikomentari. Tetapi salah satu kegagalan perubahan prilaku itu adalah intervensi yang berorientasi pada tujuan bukan pembelajaran. Sering kali masyarakat dijadikan sebagai objek intervensi bukan subjek. Sehingga tidak ada pengalaman yang diambil untuk menjadi pembelajaran yang berharga. Pembelajaran yang dimaksud adalah proses penyadaran yang berbasis pada evaluasi atas “lesson learnt” dalam upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Disamping itu, daya tahan tubuh anak juga akan memperngaruhi secara signifikan metabolisme dalam tubuh. Sehingga secara medis, anak yang sakit harus segera ditangani agar tidak menyebabkan komplikasi yang nantinya dapat memperburuk kondisi kesehatan anak, seperti yang dialami Supriyadi di serang. Oleh karena itu, edukasi kepada orang tua khususnya ibu akan menjadi strategi yang tepat guna memerangi kasus gizi buruk.

kaskus.us

Tidak ada komentar:

Posting Komentar