Selasa, 21 Desember 2010

Sepucuk "Syalom Aleykhem" di Kota Buaya


















Syalom Aleykhem, itu salam orang Yahudi….dan dengan syalom itu juga mereka ada di Indonesia…Sebenarnya tulisan ini sudah lama saya buat tepatnya setahun lalu, namun bagi yang belum baca…ini saya persembahkan untuk anda semuanya dengan beberapa keterangan tambahan.
Saya awalnya termasuk yang tidak percaya dengan adanya komunitas Yahudi di tanah air tercinta ini, sampai akhirnya Almarhum Eyang Kakung suatu hari menceritakan masa mudanya. Beliau dulu sewaktu dagang sering berinteraksi dengan orang-orang Yahudi yang membuka toko di sekitar Pasar Besar, Surabaya. Kebanyakan mereka adalah Yahudi-Yahudi asal Irak yang datang ke Indonesia sejak abad ke-19. (Alm)Eyang saya bilang, mereka terkenal pelit-pelit dan kadang suka pamer, seperti misalnya suka menggerincingkan kantungnya yang berisi uang logam supaya terlihat kaya. Di Surabaya katanya mereka membuka toko jam yang ada di Jalan Pasar Besar pada masa itu.
Saya sempat bertanya begini :

Kung (dari Eyang Kakung), wajah orang Yahudi itu seperti apa sih?”
 
”Oh, mereka mirip sekali dengan orang Arab, hanya saja hidungnya kadang kepanjangan.”

Kemudian sekitar tahun 1993-1994 saya membaca majalah Panji Masyarakat yang salah satu artikelnya mengulas tentang sebuah Sinagoga yang beralamat di Jalan Kayoon, Surabaya. Dimana pernah pada saat kasus Palestina, sinagoga itu pernah disatroni oleh para aktivis Muslim. Sehingga pemilik Sinagoga sempat meminta perlindungan Pemda pada masa itu. Saya penasaran sekali dengan keberadaannya sehingga berharap suatu saat bias melihatnya secara langsung.

Eh, ternyata 9 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2003 saya malah berkenalan dengan pemilik sinagoga itu. Karena kantor saya dekat (waktu itu saya masih bekerja di SCOMPTEC Surabaya), maka setiap hari pasti lewat sinagoga itu, sebuah bangunan tua khas Belanda, dengan ciri khas pintunya yang bertuliskan lambang bintang Daud diatas dan dibawahnya ada tulisan Ibrani yang berbunyi Lekhu ve Nalekhu Beor Adonay  (Mari kita berada dibawah Cahaya Tuhan).

Pemilik Sinagoga itu bernama Rifka Sayers (kalo di Barat jadi Rebecca), bertemunyapun secara tidak sengaja pada saat saya pesan hamburger dekat sinagoganya..dia yang lebih dulu menyapa saya,

Dia bertanya : Kamu dari mana?

Saya menjawab : Oh, saya kerja di SCOMPTEC sana (sembari menghabiskan Hamburger pedas yang saya pesan)

Lanjut dia lagi : Jadi kamu sedang istirahat?

Saya sahuti : Iya Tante….(Karena nggak tahu harus menjawab apa lagi)

Dan singkat cerita kita berkenalan. Dia seorang wanita tua berusia sekitar 60 tahun, dengan wajah yang saya bilang sangat Yahudi, putih, hidung mancung sekali dan saya katakan pasti masa mudanya dia cantik sekali. Kami bertukar cerita setelah sekian lama berkenalan, dia bercerita kalau sebenarnya dia berasal dari India, Yahudi kelahiran Bombay, namun sejak kecil hingga remaja dihabiskan di Palestina pasca terlahirnya Negara Israel. Kemudian dipersunting oleh Josef Sayers, yang merupakan Yahudi Irak generasi ketiga di Indonesia. Dia sendiri bermenantukan seorang Muslim asal Sulawesi Selatan, dan tinggal bersamanya di Sinagoga itu. Lucunya, cucunya disekolahkan di sekolah Katolik. 

Lucunya dia juga sampai cerita tentang kisah cinta anaknya yang bernama Ana dengan pria Muslim tadi. Karena backstreet dan si Anna hamil, akhirnya dinikahkan, entah dengan cara apa saya kurang jelas. Intinya sampai jerohan-jerohannya diulas oleh dia. Padahal yang saya tahu orang Yahudi itu agak pelit dalam memberi informasi. Dia juga bercerita, kalau suatu saat nanti dia  pengen pulang ke Israel untuk memulai hidup baru, namun tidak ada dana. 

Setelah saya cross-check dengan teman saya yang seorang dosen di UNAIR, ternyata dia kenal juga dengan Rifka -saya menjulukinya Tante Yahudi- dan bahkan sudah bisa belajar bahasa Ibrani dari wanita tua tadi. Di KTP-nya Tante Rifka ditulis Kristen, namun dalam prakteknya dia masih tetap menjalankan praktek Yahudinya. Biasanya setiap tahun komunitas ini mengundang rabbi dari Amerika untuk peribadatan, khususnya Hanukkah atau Yom Kippur. Saya pernah menyaksikan sendiri ritual mereka pada saat pulang dari kantor. Ada sekitar dua belas orang mengitari sebuah meja panjang dan memanjatkan doa-doa dengan bahasa yang asing buat saya (tentunya bahasa Ibrani) dan ada seorang Rabbi disana. Saya hanya mengamati sebentar ritual itu sebelum pulang ke kos-kosan. 

Menurut Tante Rifka, dulunya Sinagoga ini berada di Jalan Peneleh, namun setelah perang dialihkan ke Jalan Kayoon hingga sekarang ini. Sedangkan gulungan Torah yang merupakan jujugan suci kaum Yahudi sekarang ini disimpan di Singapura. Disamping itu, saya mendapat info jika jumlah kelompok Yahudi di seluruh Indonesia pernah mencapai 1000 orang pada masa sebelum perang, dan sesudah perang kini hanya 26 orang. 5 keluarga di Surabaya sedang sisanya terpencar-pencar, bahkan ada yang sudah berganti agama. Kelompok yang di Surabaya ini generasi tuanya masih bisa berbahasa Arab, karena nenek moyangnya berasal dari Baghdad. Namun, bahasa Arab yang dipakai amat berbeda dengan bahasa Arab yang dipakai kaum Muslim kebanyakan, yang disebut sebagai Judeo-Arab. Tante Rifka sendiri hanya bias sedikit-sedikit bahasa Hindi, itupun kata achha-achha .

Selain itu, terdapat pula beberapa makam Yahudi yang berlokasi di pemakaman Kristen kembang Kuning, Surabaya. Ditandai dengan adanya lambang Bintang Daud di batu nisannya. Ini membuktikan bahwa Yahudi itu ada dimana-mana, meski jumlahnya seberapa pun. 

Ada beberapa frasa bahasa Ibrani yang sedikit saya pelajari dari teman saya ini :
At ke ayil  = kamu kayak kijang (orang Yahudi paling suka dipuji dengan kalimat ini).
At ke kalev = Anjing kau! (jangan coba-coba memaki dengan cara ini!) hehehe..

Itu sedikit cerita saya tentang adanya komunitas Yahudi di Indonesia. Mereka memang ada, dan kita tak bisa memungkirinya sedikitpun. Tante Rifka pernah bilang, sangat sulit menjadi Yahudi di Indonesia, karena sentimen yang sangat tinggi akibat konflik Palestina ini, hingga dia terpaksa menulis KTPnya menjadi Kristen, meskipun ke gerejapun tidak pernah sama sekali, awalnya sih dia agak pelit memberi cerita soal Yahudi, namun akhirnya saya mendapat bocoran yang lumayan banyak, dimana kaum bukan dia dan Arab disebut sebagai goyim (maaf artinya kelas tiga). Jumlah mereka berkisar 26 orang, dengan status kewarganegaraan yang kurang jelas. Namun jumlah ini tidak termasuk yang berdarah campuran Yahudi maupun ekspatriat yang berdarah Yahudi.

Saya sudah tidak lagi bertemu dengan Tante Rifka, karena dia sering sakit-sakitan. Namun setidaknya, ada satu pengalaman berharga yang saya petik dari perkawanan dengan orang Yahudi tadi, meski kadang ada rasa tak suka. Alhamdulillahi Robbil Alamin, perasaan saya makin kaya karenanya, kaya warna kehidupan….

Bambang Priantono
16 Mei 2006 
Sumber: bambangpriantono.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar