Senin, 13 Desember 2010

Strategi Amerika Menguasai Ekonomi Dunia


oleh: Sayyid Abu Ghazi Muhammad Salim

Setelah perang dingin berakhir, komunis runtuh, Uni Soviet pudar dan blok komunisme hancur, AS akhirnya menghadapi musuh barunya; negara-negara Eropa. Kelompok politik dan kesatuan ekonomi ini telah menjadi musuh baru AS, sebab di satu sisi mereka memang mempunyai kemampuan untuk menyaingi AS dalam perda­gangan dunia[1]. Di sisi lain, negara-negara Eropa itu telah mulai bergerak untuk menggabungkan negara-negara Eropa Timur ke dalam Uni Eropa, setelah negara-negara itu melepaskan diri dari sosia­lisme, mengadopsi ide ekonomi Barat, dan menjalankan sistem kapitalisme[2]. 

Pergeseran dan perubahan konstelasi politik internasional itu, telah mendorong AS untuk mengumumkan kelahiran Tata Dunia Baru. Prinsip utama Tata Dunia Baru di bidang ekonomi, tak lain adalah perdagangan bebas dan pasar bebas. Prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan penda­patan AS.

Untuk mewujudkan strategi ekonominya ini, AS berupaya mem­perlemah dan memperlambat gerak pasar bersama Eropa dengan mem­bentuk blok-blok perdagangan baru, menghidupkan kesepakatan-kesepakatan lama dan mengaktifkannya kembali, mendirikan NAFTA –beranggota Kanada, AS, dan Meksiko– dan juga, membentuk APEC.

Pada bulan Nopember 1992, atas seruan Presiden Clinton, telah diadakan pertemuan puncak untuk membentuk organisasi kerja­sama ekonomi bagi negara-negara Asia Pasifik itu (APEC). Pendirian organisasi ini –jelas AS berdiri di belakangnya– bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas, membuka pasar-pasar, dan menekan bea masuk. Pendiriannya tentu tidak dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan ekonomi dan mata uang sebagaimana pasar bersama Eropa, mengingat terdapat perbedaan kondisi dan situasi politik di antara negara-negara anggotanya. Pendirian APEC mem­punyai makna lain. Jika dengan pendirian NAFTA –yang khusus untuk kawasan Amerika Utara itu– AS dapat memantapkan hegemoni-nya, maka pendirian APEC tersebut maknanya tak lain ialah untuk tetap mengamankan pasar Asia Pasifik bagi AS dari persaingannya dengan pasar bersama Eropa[3]

Dari segi politik, untuk mewujudkan kepentingannya itu AS telah merekayasa krisis Balkan dan mengobarkan perang-perang di sana. AS mengupayakan langkah tersebut tidak melalui PBB, tetapi AS ingin tetap mengendalikan krisis itu sendiri secara politis, dan memaksakan suatu solusi politik serta berupaya merealisasi­kannya, melalui NATO. Dengan demikian, kawasan Balkan –termasuk Yunani, Makedonia, Cyprus, Turki– terus dapat dipertahankannya sebagai bara api yang siap berkobar dan bergolak setiap saat. Ini akan merepotkan dan menyibukkan Eropa.

AS melakukan itu untuk mengacaukan stabilitas Eropa, sebab sudah menjadi aksioma politik yang tak bisa dibantah lagi, bahwa suatu orientasi ekonomi tak akan dapat berjalan stabil dan man­tap, kecuali bila didukung oleh stabilitas politik yang mantap pula. AS mempunyai beberapa alasan untuk itu; AS melihat bahwa Uni Eropa merupakan saingan kuat untuk menantang dan menyaingi AS di bidang ekonomi. Alasan-alasan AS itu adalah :
Pertama, Kesatuan Eropa secara politik dan ekonomi hampir terwujud.
Kedua, Eropa memiliki kemampuan bersaing di bidang perdagangan, sebab Eropa mempunyai kemampuan tinggi dalam produksi barang dan jasa.
Ketiga, Setelah berakhirnya perang dingin dan hancurnya Uni Soviet, lenyaplah momok komunisme yang sebelumnya digunakan AS untuk mengancam Eropa. Eropa seluruhnya lalu berkonsentrasi dan bersiap-siap dengan serius untuk terjun ke dalam kancah ekonomi internasional. Di antara persiapan Eropa nampak dari fakta bahwa seluruh Eropa –yang merupakan negara-negara industri yang pro­duktif– telah menghilangkan hambatan bea masuk di antara mereka, membuka tapal batas negara masing-masing untuk memudahkan perpin­dahan tenaga kerja, dan berusaha mewujudkan kesatuan mata uang. Hal ini yang kemudian mendorong Eropa untuk memasuki pasar-pasar di Asia dan Afrika, di samping faktor utama bahwa Eropa memang mempunyai kapabilitas untuk bersaing dalam pasar bebas.

Ketiga alasan itulah yang kemudian mendorong AS untuk mengacaukan stabilitas politik Eropa dengan menyulut krisis Balkan. Di samping itu AS terdorong pula untuk memperkokoh pasarnya di Asia dan Eropa dengan membentuk kelompok-kelompok ekonomi seperti APEC. Dan patut dicatat, AS pun dalam hal ini telah sukses pula membentuk WTO (World Trade Organization) untuk semakin melicinkan jalannya menguasai ekonomi dunia[4].

Kalau kita membicarakan organisasi-organisasi perdagangan internasional tersebut, perlu kiranya terlebih dulu disinggung sekilas mengenai ASEAN dan APEC.

ASEAN didirikan pada tahun 1967 sebagai persatuan negara-negara di Asia Tenggara, dengan tujuan membendung ekspansi pengaruh komunisme saat itu. Sejak itu, keanggotaan ASEAN telah meliputi enam negara; Malaysia, Indonesia, Brunei, Philipina, Thailand, dan Singapura. ASEAN merupakan kelompok ekonomi terba­tas namun dengan pengaruh luar yang luas. Dapat kita katakan, ASEAN merupakan kelompok yang tidak berhasil merealisasikan tujuan-tujuannya semenjak ia berdiri.

Sedang APEC, mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1989 atas prakarsa Australia. APEC menghimpun 17 negara yang berasal dari tiga benua; AS, Kanada, Meksiko, Australia, Selandia Baru, RRC, Jepang, Hongkong, Papua Nugini, Taiwan, Brunei, Malaysia, Indone­sia, Singapura, Philipina, Korea Selatan, dan Thailand. Organisa­si ekonomi internasional ini menggabungkan keanggotaan dua kelom­pok ekonomi besar; yaitu NAFTA yang beranggotakan negara-negara Amerika Utara, dan ASEAN yang beranggotakan negara-negara Asia Tenggara.

Negara-negara anggota APEC tersebut menguasai 40 % dari keseluruhan volume perdagangan dunia, sekaligus merupakan pasar yang jumlah konsumennya mencapai lebih dari 1 milyar jiwa. GATT sebelumnya telah melakukan pembahasan khusus seputar hal ini[5].

Dari seluruh penjelasan tersebut, nampak bahwa AS telah berhasil mencapai target-targetnya untuk merealisasikan prinsip-prinsip yang menjadi landasan ekonominya. AS nampak terus mengem­bangkan dan membangunnya hingga stabil dan mantap, bahkan menja­dikan prinsip-prinsipnya itu sebagai realitas global yang tak bisa dihindari lagi.

Akan tetapi, terwujud dan terbukanya pasar bebas secara internasional itu, niscaya akan menambah semangat untuk bersaing secara internasional pula. Di samping itu, produksi melimpah dari banyak negara dan blok ekonomi akan terus melestarikan sikap saling bersaing, mendominasi, dan menguasai, yang didukung oleh kekuatan militer dan perluasan pengaruh untuk melindungi penimbu­nan-penimbunan produk yang melimpah.
Kondisi ini merupakan benih bencana dan bahaya besar. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Eropa sepanjang abad XIX adalah biang segala kerusuhan dan peperangan. Dari Eropalah terlahir ide imperialisme yang kejahatannya menjangkau kawasan yang amat luas di segenap sudut dunia dan menyeret umat manusia ke jurang pen­deritaan dan malapetaka[6]. Hingga akhir abad XX ini, penderitaan dan melapetaka ini terus dijajakan kepada berbagai bangsa di dunia dengan kedok “pembangunan”, “kemanusiaan”, “kemajuan”, “kerja sama”, dan kedok palsu lainnya. Perlu dicatat pula, AS pun telah mengubah wajah imperialisme lamanya. AS telah menutup-nutupi watak asli imperialisnya dengan kedok kemanusiaan serta diberi label dan sifat internasional, dalam arti tindakan-tindakan kriminalnya senantiasa dilegitimasi atas nama Undang-undang Internasional, dan para pelakunya dilindungi dengan kekua­tan militer internasional atas nama bantuan internasional[7].

Semua fenomena ini tak lain bertolak dan berakar dari pan­dangan hidup Barat –yakni standar manfaat dan kebebasan– yang menjadi landasan ideologi kapitalisme Barat. Ide kapitalisme ini telah mendominasi dunia setelah sosialisme rontok dan negara-negara pendukungnya bubar kiri kanan, karena sosialisme memang tidak mampu memecahkan problem-problem manusia dan gagal mengatur urusan-urusan mereka.

Sesungguhnya, dalam ide-ide kapitalisme itu sendiri terdapat unsur-unsur yang saling memusnahkan satu sama lain. Benih kehan­curannya pun secara inheren terdapat dalam asas dan landasan peradabannya. Hal itu karena telah menjadikan imperialisme seba­gai thariqah (metode) penyebaran peradaban Barat ini. Sedang cara-cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan adalah saling bersaing, saling mendominasi, dan saling menguasai.
Di samping itu, mereka pun senantiasa menilai perbuatan manusia dengan tolok ukur manfaat, yang mereka anggap sebagai tolok ukur hakiki. Atas dasar tolok ukur ini, penganut peradaban ini harus terus menjadi penindas bagi pihak lain serta harus saling mendominasi dan bersaing satu sama lain. Pada gilirannya, kapitalisme ini suatu saat nantinya juga akan runtuh dari dalam secara tragis, sebagaimana sosialisme sebelumnya juga telah runtuh dengan cara yang seperti itu.

Mengingat akar terdalam krisis ini bertumpu pada pandangan hidup Barat, oleh karenanya problem dunia saat ini harus dipecah­kan dengan tepat dan fundamental pula dengan cara memusnahkan pandangan hidup Barat tersebut, menjelaskan penyimpangan dan kekeliruannya, menghancurkan standar-standar dan nilai-nilai yang digunakan untuk mengukur segala solusi masalah dan tindakan mereka –seperti pembentukan blok-blok perdagangan yang ada saat ini– yang akhirnya akan dapat menyeret umat manusia ke jurang kehancuran.
Pemusnahan dan pencerabutan pandangan hidup Barat itu harus dilakukan dengan menerapkan pandangan hidup Islam secara nyata, dengan menjadikan Aqidah Islamiyah –termasuk seluruh hukum-hukum yang terpancar darinya dan ide-ide yang dibangun di atasnya– sebagai metode pemecahan terhadap seluruh problem manusia dan pengatur segala urusan mereka.

Secara lebih rinci, pemecahan problem tersebut harus melipu­ti pula hal-hal berikut:
1. Kembali kepada sistem mata uang emas secara internasional.
2. Memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan ekonomi dan kebebasan pemilikan, serta menjelaskan kekejaman dan keharaman penipuan, penimbunan, dan riba.
3. Menjelaskan bahaya kelompok-kelompok internasional, baik yang berbentuk pakta-pakta militer maupun yang berbentuk blok-blok perdagangan.
4. Mengundurkan diri dari PBB dan seluruh organisasi-organisa­sinya, serta menjelaskan bahwa PBB adalah alat AS untuk memaksa­kan legalitas adanya dominasi yang kuat atas yang lemah, dan penindasan yang kaya atas yang miskin.

Perlu dicamkan, bahwa hanya dengan berdirinya negara Khila­fah Islamiyah, kita akan dapat –dengan sempurna– memusnahkan pandangan hidup Barat yang sudah usang dan rusak itu serta menghancurkan standar-standar dan nilai-nilai Barat yang mendomi­nasi dan –pada hakekatnya– menjajah di dunia kini. Dengan penerapan Islam oleh Khilafah, keadilan di tengah-tengah manusia akan terasa nyata, bukan utopia lagi seperti saat ini. Dan bila negara Khilafah telah mengumumkan jihad fi sabilillah dan menye­barluaskan risalah Islam ke seluruh dunia, maka ide-ide dan hukum-hukum Islam serta dalil-dalilnya akan dapat tersebar luas di segala penjuru dunia. Sehingga, ide-ide Islam pun akan memenu­hi benak para pemikir dan intelektual. Mereka akan ramai membi­carakannya, misalnya, pada seminar-seminar dan ceramah-ceramah. 

Kemudian, bila negara Khilafah telah menjalankan kewajiban ji­hadnya itu, maka tak ayal lagi seluruh jenis mass media dunia akan meliput dan menyiarkannya secara luas dan menyedot perhatian umat manusia.
Maka, terbitlah fajar Islam. Cahaya fajar itu akan menjadi terang bagi siapa saja yang mempunyai kedua mata. Panji Islam akan berkibar tinggi dan manusia akan berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Allah pun akan menyempurnakan agama ini hingga menjangkau segala tempat yang dijangkau siang dan malam. Pada saat itu, orang-orang beriman akan bergembira dengan pertolongan Allah. Dan Allah akan menolong siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Berkuasa dan Maha Penyayang.

(Sumber : Majalah Al Wa’ie, Wina (Austria), nomor 103, tahun IX (Jumadil Akhir 1416 H/Nopember 1995 M), hal. 35-37. Diterjemahkan secara ekstensif dan diberi catatan kaki oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi)
——————————————————————————–
[1] Sebanyak 37.000 perusahaan berbagai jenis termasuk 170.000 cabangnya di luar negeri, telah mendominasi ekonomi dunia. Ini sekaligus menunjukkan pula persaingan di antara mereka. Perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh 5 (lima) negara : AS, Jepang, Perancis, Jerman, dan Inggris. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut, terdapat 172 perusahaan terbesar di dunia, yang nilai penjualan barangnya antara tahun 1982-1992 mencapai 3000 milyar dolar AS hingga 5900 milyar dolar AS.
[2] Polandia, Hongaria, Chekoslavakia, Rumania, negara-negara Balkan, dan Slovenia telah diupayakan untuk bergabung dengan Uni Eropa.
[3] Patut dicatat bahwa negara-negara APEC menyerap 60 % dari total ekspor AS. Persaingan AS dengan Eropa di Asia Pasifik itu nampak, misalnya, dalam kasus perebutan pasar pesawat terbang di Vietnam. Dua perusahaan industri pesawat AS –Boeing dan McDonnal Douglas– telah memasuki pasar Vietnam untuk menyaingi Airbus, perusahaan industri pesawat Eropa.
[4] WTO terbentuk pada tanggal 15 April 1994 di Maroko, beranggota 124 negara, sembilan di antaranya adalah negeri muslim; Maroko, Mesir, Tunisia, Aljazair, Kuwait, Bahrain, Republik Emirat arab, Qatar, Mauritania. Sebelum akhir 1994, negara-negara yang tergabung dalam WTO harus meyakinkan parlemennya untuk menerima seluruh isi teks. Pada awal 1995, segala kesepakatan sudah harus dijalankan. Organisasi ini, ditambah Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menguasai secara sempurna perdagangan, moneter, perburuhan, pertanian, jasa, keimigrasian, dan undang-undang yang berkaitan dengan itu semua di seluruh dunia ini.
[5].GATT (General Agreement on Tariff and Trade), dibentuk setelah berakhirnya Perang Dunia II oleh negara-negara yang menang perang. Tetapi perang dingin telah membekukan kesepakatan itu. Sejak sekitar tahun 1987 dimulai perundin­gan-perundingan yang disebut Putaran Uruguay, yang dihadiri oleh AS, negara-negara Eropa Barat, dan beberapa negara lain, dengan tujuan untuk memasarkan produk-produk dan memperoleh bahan baku murah. Selama tujuh tahun perundingan, telah dihasilkan teks sebanyak 22.000 lembar, beratnya kurang lebih 145 kg. Kini putaran perjanjian itu telah berakhir, dan pada tanggal 15 April 1994, terbentuklah WTO (World Trade Organization ) sebagai kelanjutannya.
[6] Contoh : Perancis menjajah Aljazair (1830), Tunisia (1881), Maroko (1912), dan Syam (1920). Inggris menjajah India (1857), Mesir (1882), Irak (1914), dan Palestina (1918). Perang Dunia I (1914-1918) telah menelan korban jiwa tak kurang dari 21.000.000 orang. Perang Dunia II (1939-1945) menelan korban 35.513.877, di antaranya yang mati terbunuh sebanyak 8.543.515 orang. Pada hari keenam setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, korban yang tewas antara 210.000-240.000, belum terhitung yang luka atau cacat seumur hidup. Dan jangan lupa, kapitalisme di abad XIX, telah “berjasa” melahirkan ideologi Sosialisme yang dirintis oleh Karl Marx (1818-1883), sebagai reaksi dari kedzaliman kapitalisme atas rakyat kecil.
[7] Undang-Undang Internasional saat ini berasal (hanya) dari kesepakatan dan konvensi antara perkumpulan negara-negara Nashrani Eropa sejak abad XVI M. Peraturan inilah yang lalu ditetapkan sebagai peraturan bagi LBB (Liga Bangsa-bangsa) dan selanjutnya, juga bagi PBB. Undang-undang ini inilah yang lalu digunakan PBB –sebagai alat AS dan Barat– untuk menghakimi berbagai krisis dunia. Semenjak berdirinya pada tahun 1945 hingga kini, PBB dengan Undang-Undangnya itu telah berperan dalam “penyelesaian” sekitar 150 pertikaian regional dan internasional. Dan untuk itu, sebanyak 20 juta nyawa telah mel­ayang. Inilah antara lain hasil karya PBB selama ini.

Sumber: www.jurnal-ekonomi.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar