Kamis, 16 Desember 2010
Sultan Hamenku Bowono IX, Penjaga Demokrasi Indonesia
Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta. Dengan wawasan barunya ia menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana. Ia memiliki paham kebangsaan yang tinggi.
Dilahirkan di nDalem Pakuningratan kampung Sompilan Ngasem pada hari Sabtu Paing tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam pada tanggal Rabingulakir tahun Jimakir 1842 dengan nama Dorodjatun. Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, yang kemudian hari ketika Dorodjatun berusia 3 tahun Beliau diangkat menjadi putera mahkota (calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putera Narendra ing Mataram.
Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom.
Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya, dititipkan pada keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di Gondokusuman untuk mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana sekalipun ia putra seorang raja.
Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun Dorodjatun masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian Dorodjatun melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan kemudian di Bandung. Pada tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939.
Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940 atau tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun dinobatkan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX.
Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia yang fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian atau peperangan dan bahwa dia pulalah panglima tertinggi angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Sultan juga Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru HB IX menghapusnya.
Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta. Bila dalam masa kejayaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana.
Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dalam pidato penobatannya sebagai Sri Sultan HB IX ada dua hal penting yang menunjukkan sikap tersebut. Pertama, adalah kalimat yang berbunyi: "Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa." Kedua, adalah ucapannya yang berisi janji perjuangan: "Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya."
Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI yang menyataak keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan RI. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada serangan oemoem 1 Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional.
Penggagas Serangan Oemoem
Berdasarkan dokumen-dokumen asli yang kini dimiliki Arsip Nasional RI semakin jelas, penggagas Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebuah dokumen hasil wawancara mendiang Raja Yogyakarta itu dengan Radio BBC London tahun 1980-an secara jelas mengatakan hal itu. Dari wawancara itu juga terungkap, peran mantan Presiden Soeharto yang ketika itu masih berpangkat Letnan Kolonel hanya sebatas sebagai pelaksana saja.
"Yang pasti, penggagas Serangan Oemoem itu adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bukan Pak Harto seperti selama ini diyakini pemerintah Orde Baru," kata Kepala Arsip Nasional RI Dr Muhklis Paeni, dalam konferensi pers di gedung Arsip Nasional RI Jakarta, Jumat (10/3) petang.
Menurut Muhklis, gagasan mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX mau mengadakan SO 1 Maret 1949 itu karena dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional yakni menunjukkan kepada dunia internasional bahwa "denyut nadi" Republik Indonesia masih hidup. Ide itu, jelas Muhklis, lalu didiskusikan dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan akhirnya disetujui. Atas saran Jenderal Sudirman, Sri Sultan lalu menghubungi Letkol Soeharto soal ide itu dan membicarakan pengoperasiannya.
Sejarah Mudah Berbaur Dongeng
Penulisan sejarah cenderung memilih kejadian yang dramatis dengan menampilkan pelaku sejarah yang serba heroik. Maka, sejarah seringkali mudah berbaur dengan dongeng, di mana seorang tokoh dimitoskan layaknya wong agung. Hal tersebut diungkapkan oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) X dalam sambutannya pada peresmian Tetenger (tanda) Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 di kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis (29/6/02).
Sultan HB X menyatakan, seorang pelaku sejarah atau tokoh sejarah yang memberikan keterangan dengan mendistorsikan peristiwanya tidak hanya merusak nama baiknya sendiri, tetapi hakikatnya juga merusak bangsa. Sebab, apa yang ditulis berdasarkan keterangannya itu akan memberikan nuansa tertentu dalam proses pemahaman terhadap jati diri bangsa.
Sumbangan masyarakat
Tetenger Pelurusan Sejarah SO 1 Maret itu terbuat dari batu besar seberat 8,4 ton diambil dari lereng Merapi, yang disangga oleh bangunan patma dari cor beton. Di batu itu terdapat tulisan Tetenger Pelurusan Sejarah Serangan Oemum 1 Maret 1949. Di kaki penyangga juga terdapat tulisan Pertemuan Sultan HB IX dengan Komandan Werkhreise (WK) III, dengan penunjuk arah panah ke selatan. Artinya, di sebuah ruangan kompleks Keraton Yogyakarta yang terletak di sebelah selatan tetenger itu menjadi tempat pertemuan HB IX dengan Komandan WK III. Komandan WK III yang dimaksudkan itu adalah Letkol Soeharto (mantan Presiden).
Letak tetenger ini di sebuah taman luar keraton yang disebut Keben, atau berjarak sekitar 200 meter dari Monumen SO 1 Maret yang terletak di depan Istana Presiden Gedung Agung yang dibangun pada masa pemerintahan Orde Baru. Dana tetenger yang digarap oleh seniman patung kenamaan Yogyakarta Edhi Sunarso ini didanai dari masyarakat lewat dompet yang dibuka oleh Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas dan Radar Yogya.
Makna tetenger pelurusan sejarah SO 1 Maret ini, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panitia Marsoedi (pelaku sejarah), bahwa penggagas ide SO 1 Maret 1949 bukan Letkol Soeharto sebagaimana tertulis dalam sejarah yang ada saat ini, tetapi HB IX. Sedang pelaksanaan operasi lapangan adalah pasukan WK III yang dikomandani oleh Letkol Soeharto.
Penting
Dalam sambutannya HB X menyatakan, iklim reformasi ditandai suasana keterbukaan sikap kritis terhadap penulisan berbagai peristiwa dalam sejarah modern Indonesia. Dalam hubungan itu, keterangan saksi sejarah untuk pelurusan suatu peristiwa sejarah mendapatkan momentum yang tepat, karena sesungguhnya penulisan sejarah bukanlah persoalan kecil.
"Historiografi harus bisa menempatkan visi yang didukung oleh verifikasi, untuk mendudukkan secara proporsional peran pelaku sejarah dalam kaitan peristiwa sejarah," tegas HB X.
Menyinggung sejarah SO 1 Maret 1949, HB X menyatakan, pada tanggal itu sekitar pukul 06.00 pasukan TNI menyerang Yogyakarta yang diduduki Belanda sejak 19 Maret 1948. Pasukan TNI mampu bertahan selama enam jam di Yogyakarta. Berdasarkan peristiwa sejarah ini, di tahun 1950-an Usmar Ismail memproduksi film semidokumenter yang diberi judul Enam Jam di Yogya. Sementara setelah itu diproduksi peristiwa yang sama dengan nuansa yang berbeda dengan judul Janur Kuning.
Meskipun situasi telah berubah dengan munculnya Tetenger SO 1 Maret 1949, bagaimanapun tak bisa dipungkiri peranan Letnan Kolonel Soeharto waktu itu tetap penting dan patut dicatat dalam sejarah. Tidak mudah dalam kondisi yang serba terbatas, dengan alat komunikasi yang primitif, merencanakan dan melancarkan suatu serangan terkoordinasi dengan melibatkan paling sedikit 2.000 prajurit.
Namun, lanjut HB X, SO 1 Maret 1949 yang dimaksudkan sebagai persitiwa politik-militer dengan dampak internasional -meskipun pimpinan negara ditawan di Pulau Bangka- pasti telah melibatkan tokoh-tokoh lain, bukan seorang Soeharto sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar