Rabu, 01 September 2010

Ironi, 65 Tahun Indonesia Merdeka, Tapi Urusan IT Masih Dijajah Asing



Tanggal 17 Agustus 1945 65 tahun silam pendiri negeri ini memplokamasikan kemerdekaan Indonesia, para penderi negeri berkomitmen membangun negara ini bukan hanya untuk mereka namun untuk generasi penerus bangsa, untuk apa perlu diploklamasikan, agar negara ini bisa bebas dari belenggu bangsa lain yang selama kurun waktu sebelumnya memperdaya Nusantara dan dengan sewenang-wenang. Memperkosa rakyat dan kekayaan negeri yang memiliki predikat jamrud katulistiwa ini.

Kini 65 tahun sudah Indonesia merdeka, apakah kita sudah merdeka? sudah bebas dari belenggu penjajahan. Kini penjajahan hadir bukan berbentuk seperti penjajahan yang hadir 65 tahun silam, namun penjajahan yang hadir kini lebih karena kebodohan kita sebagai bangsa Indonesia yang terpedaya dengan sistem ekonomi kapitalis yang membuat kita terbelenggu lagi dengan neo kolonialisme dan liberalisasi.

Lihat saja bagaimana rakyat negeri ini harus membeli gas alam dengan harga tinggi karena harus mendapatkannya dari luar negeri, sementara kekayaan yang kita miliki gas alam kita digadaikan dengan harga super murah ke tanah air, kita masih lihat dan saksikan hingga kini bagaimana kekayaan mineral negeri ini dikuras oleh tangan-tangan kapitalis untuk asing, seperti Emas, Tembaga, Nickel dan lainnya.

Ada lagi hal lain yang tak kalah memprihatinkan terjadi di negeri ini yaitu ketidak berdayaan kita dalah hal IT (Teknologi Informasi). Coba Anda simak kutipan ruanghati.com dari kantor berita kita Antara yang menyoal masalah ini:

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Fayakhun Andriadi, menyatakan, Republik Indonesia sebagai Negara Berdaulat, ternyata harus tunduk kepada Singapura dalam kedaulatan di bidang `cyber` atau teknologi informasi (TI).

“Saya sependepat, bahwa saat ini RI sebagai Negara Berdaulat, ternyata tidak berdaulat di ranah `cyber` yang digunakan oleh anak bangsa sendiri,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan itu, merespons pernyataan seorang pakar IT alumni sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia pada sebuah diskusi terbatas di Jakarta, akhir pekan lalu, yang mengungkapkan, RI benar-benar semakin didikte Singapura dan Malaysia dalam hal telekomunikasi di samping perbankan.

Sebagaimana berkembang dalam diskusi terbatas itu, khusus dalam soal IT, kita hanya jadi ladang empuk mengais dolar dan ringgit oleh dua negeri `jiran` tersebut.

Ini karena semua operator seluler dan internet berbasis di dua negeri jiran ini.

Akibatnya, tiap `voucher` pulsa apa saja, juga setiap kali satu WNI buka internet (`browse`), langsung kena `charge` yang terhisap otomatis ke sana.

“Artinya, mereka gemuk oleh kebodohan kita. Satu hal lagi, dengan keadaan seperti sekarang, maka informasi apa pun termasuk RAHASIA NEGARA (RHN) jadi telanjang di mata negeri `peanut` Singapura,” ujar Benni TBN, pakar IT yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.

Golkar Desak Menkominfo

Dalam kaitan itulah, demikian Fayakhun Andriadi, Fraksi Partai Golkar (FPG) mendesak Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), agar mampu berdaya upaya menegakkan kedaulatan bangsa Indonesia di ranah `cyber` milik bangsa sendiri.

“Ranah `cyber` yang dimaksud, tidak hanya meliputi `voice`, namun juga data dan data khusus. Jika tidak, tidak ada Rahasia Negara (RHN) yang tidak `telanjang` keluar,” ujarnya.

Sebelumnya, rekannya sesama anggota FPG, Paskalis Kossay secara terpisah mengkhawatirkan adanya dugaan RHN itu bocor ke luar via Singapura.

“Kita memang sudah ketinggalan dalam hal kemajuan dan penguasaan teknologi untuk berbagai aspek, utamanya di sektor teknologi informasi (TI). Kekhawatiran ini terus memuncak, apalagi banyak operator seluler dan internet kita memang dikendalikan dari dua negara itu,” ujar anggota Komisi I DPR RI (bidang Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Intelijen, Komunikasi dan Informatika) ini.

Berbicara melalui hubungan telefon dari Jayapura (sedang menjalankan masa reses dengan mengunjungi konstituen di daerah pemilihan), mantan Wakil Ketua DPRD Papua ini juga mengakui, banyak pihak yang sepertinya belum menyadari urgennya menguasai TI, terutama terkait dengan urusan RHN, maupun bisnis bernilai miliaran dolar.

“Saya kaget juga dengan info dari sebuah diskusi di Jakarta, bahwa seorang pakar IT yang alumni sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia mengungkapkan, bahwa RI benar-benar semakin didikte Singapura dan Malaysia dalam hal telekomunikasi di samping perbankan,” ungkapnya.

Singapura Kendalikan Jaringan

Sementara itu, dalam diskusi terbatas akhir pekan lalu, Benny TBN juga mengungkapkan, saat ini nyatanya lalulintas jaring optik kita dikendalikan oleh `traffic administrator` di Singapura.

“Karenanya semua jaringan internet dan seluler harus ditarik atau `dipaksa` melewati `persimpulan utama` di kota itu. Makanya, apalagi `RHN` yang tak mereka tahu. Sialnya lagi, satelit Indosat (dulu Palapa) jadi mayoritas milik Temasek (sebuah BUMN Singapura),” ungkapnya lagi.

operator seluler

Hampir sebagian besar basis telekomunikasi yang ada bukan berada di tanah air

Akibatnya, lanjutnya, selain kita jadi seperti `telanjang` dalam informasi apa pun, juga RI cuma berfungsi sebagai pelanggan seluler.

“Posisi ini jauh di bawah fungsi distributor seluler. Jadi, kita cuma `outlet`, tukang jual produk IT mereka. Dan yang jelas, banyak perusahaan `provider` kita cuma nama `doang perusahaannya itu milik RI dengan mayoritas saham dikuasai mereka,” ujarnya.

Merespons situasi serius ini, Paskalis Kossay mendesak para pihak berkompeten untuk segera melakukan tindakan konkret.

“Kita jangan cuma sibuk urus video porno dan konten TI, lalu tidak berjuang agar semua operator berbasis di sini. Mohon ini digumuli dan jadi atensi serius,” tegasnya.

Ia mengatakan, argumentasi para pakar TI itu terkesan bukan main-main, dan tidak berangkat dari argumentasi emosional, tetapi sangat rasional.

“Demi martabat dan kedaulatan NKRI, perlu segera tindakan konkret dan perbaikan ke depan secara bersama. Kami di Komisi I DPR RI tentu akan melaksanakan fungsi kewenangan kami sesuai aturan konstitusi,” tandasnya.

Salah satunya, menurut Paskalis Kossay, akan mengagendakan rapat dengan menghadirkan para pakar TI untuk mendapatkan info teranyar serta `akademis`, sekaligus merumuskan langkah-langkah konkret terbaik bagi kepentingan Negara.

Sangat pahit kenyataan ini, lalu sudahkan pemerintah kita mengambil langkah kongkret untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan neo kolonialisme dan liberalisme modern ini. Berapa banyak sektor vital negara kita yang dikendalikan oleh asing, mulai penerbangan, perbankan hingga telekomunikasi dan informasi. Kapan makna kemerdekaan Indonesia bisa terwujud sesuai amanah yang telah diembankan para pendiri bangsa ini saat memproklamasikan diri 65 tahun silam.

Diambil dari: Ruanghati.com


Siapa Bilang Indonesia Miskin!



Oleh Imam Cahyono

Peneliti, Tinggal di Jakarta
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/10/opini/3225479.htm


Kemiskinan seolah menjadi fakta tak terbantah. Indonesia dikenal
sebagai salah satu negara berpenduduk termiskin di dunia, sekitar
39,05 juta jiwa versi Badan Pusat Statistik atau lebih dari 100 juta
jiwa versi Bank Dunia. Jika ambang batas kemiskinan (poverty
threshold) diukur dari kegagalan pemenuhan hak-hak dasar (basic
rights) atau dengan skala pendapatan di bawah 1-2 dollar AS per hari,
kita sulit mengelak.

Kegagalan menangani bencana, rentetan wabah penyakit, dan tragedi
busung lapar melengkapi potret buram itu. Kemasyhuran zamrud
khatulistiwa dan lautan kolam susu kian diragukan. Bagaimana mungkin
negeri yang kaya sumber alam dan bertanah subur justru menjadi ladang
persemaian tragedi kemiskinan?

Sebuah paradoks

Namun, mari kita gunakan logika terbalik. Selama ini, diagnosis
problem kemiskinan cenderung mengabaikan kekayaan bangsa —yang
kasatmata— dan orang-orang kaya di republik sebagai faktor
determinan. Di tengah kemiskinan yang menjerat, ada manusia-manusia
superkaya kelas dunia. Majalah Forbes Asia (18/9/2006) merilis daftar
40 orang superkaya Indonesia, dengan total kekayaan 22,27 miliar
dollar AS atau lebih dari Rp 200 triliun. Celakanya, di antara daftar
taipan superkaya itu bercokol pemain lama, termasuk pembobol uang
negara yang mengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).

Hasil survei Merrill Lynch dan Capgemini tahun lalu juga tidak kalah
heboh. Menurut kedua perusahaan jasa keuangan internasional itu,
sepertiga jumlah miliarder di Singapura adalah warga Indonesia.
Sepertiga dari total aset 55.000 orang terkaya di Singapura, sebesar
260 miliar dollar AS, adalah milik warga Indonesia (WNI) yang punya
izin tinggal tetap di sana. Dari 55.000 orang terkaya itu, 18.000
orang adalah WNI yang berdomisili di Singapura dengan kekayaan 87
miliar dollar AS (sekitar Rp 800 triliun). Belum lagi jika ditambah
kekayaan WNI yang disimpan dan diinvestasikan di negara lain.
Padahal, RAPBN 2007 saja hanya berkisar Rp 713,44 triliun.

Pada masa kolonial, darah dan keringat rakyat serta kekayaan alam
Nusantara dikuras Belanda. Kini, kekayaan Indonesia menjadi tulang
punggung negara lain. Bukan rahasia lagi, Singapura merupakan negara
yang tergantung uang gelap dari Indonesia dan China. Ironisnya, para
miliarder yang bermukim di sana tetap memiliki perusahaan yang
beroperasi di Indonesia dengan mengandalkan pasar Indonesia. Kendati
para miliarder tinggal di Singapura, mereka masih mencari untung
dengan mengeruk kekayaan Indonesia.

Dominasi pemodal asing

Lantas, seberapa besar kekayaan bangsa yang dapat dinikmati
rakyatnya? Globalisasi ditandai pergerakan modal secara bebas,
melampaui batas-batas negara- bangsa. Indonesia ternyata menjadi
surga bagi pemodal asing yang bergiat menguasai sumber daya yang
vital. Investor asing melihat Indonesia sebagai penyedia bahan baku
yang murah dan melimpah serta penduduknya sebagai pangsa pasar yang
potensial. Kita pun cenderung salah kaprah memaknai investasi asing
sebagai suntikan dana segar dari pemodal. Padahal, aliran modal asing
itu sejatinya menjadi parasit yang mengisap. Mereka beternak uang
dengan menumpang mencari makan di republik ini.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah selalu menjadi incaran.
Nama-nama besar Freeport, ExxonMobile, Newmon, dan Inco yang
menguasai sumber-sumber kekayaan alam potensial seperti emas, nikel,
gas, dan minyak bumi jelas bukan hal baru. Untuk air minum berlabel
Aqua, berasal dari mata air dan dikemas di republik ini, harus kita
beli dari Danone dengan harga yang tidak murah. Yang diuntungkan pun
para pemodal.

Sektor finansial, terutama perbankan, juga tak lepas dari cengkeraman
pemodal asing. Jangankan bank-bank papan atas seperti Bank Central
Asia (BCA), Bank Niaga, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia
(BII), Bank Lippo, Bank Bumiputera, NISP, Permatabank, bank-bank
kecil pun dilirik investor asing. Belakangan, penjualan bank swasta
kepada investor asing kian gencar. Celakanya, kebanyakan bank swasta
yang dimiliki asing itu lebih menggantungkan perolehan keuntungan
dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang tak lain adalah uang
negara. Laba triliunan rupiah yang didapat dari uang rakyat itu
kembali ke kantong para investornya.

Dominasi pemodal asing di bidang perbankan tak lepas dari aturan yang
membolehkan batas kepemilikan saham asing hingga 99 persen. Batas
kepemilikan bank oleh pihak asing di Indonesia jauh lebih liberal
dibanding negara lain. Amerika Serikat, negara dedengkot kapitalisme,
hanya memberi kepemilikan asing 30 persen. Filipina membatasi
kepemilikan asing 51 persen. Thailand dan India sebesar 49 persen.
Malaysia, China, dan Vietnam membatasi hingga 30 persen.

Sektor-sektor vital lain pun tak lepas dari serbuan investor asing.
Industri telekomunikasi pelan tapi pasti juga dikuasai modal asing.
Sektor ritel dan sektor lainnya pun terus digempur pemain asing,
sementara para pemain lokal kelabakan. Kibaran bendera modal asing
menggerogoti ruang gerak sektor usaha putra-putra bangsa. Ironis,
saat kekayaan republik ini bisa menghidupi orang asing, anak-anak
negeri sendiri justru telantar.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar sejatinya merupakan sumber
tenaga kerja yang berlimpah. China dan India menjadi raksasa ekonomi
dengan memanfaatkan penduduknya sebagai tenaga kerja yang produktif.
Jika republik ini dikelola dengan tegas dan saksama, dikawal
penegakan hukum, penciptaan lapangan kerja, redistribusi keadilan
sosial dengan mengutamakan kepentingan rakyat, Indonesia tidak pantas
menjadi negara miskin.

Sebaliknya, Indonesia bak raksasa yang sedang tidur. Jika bangun, ia
bisa menggegerkan dunia!