Mantan Ketua Litbang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kwik Kian Gie menyatakan tidak merasa heran atas keterlibatan 19 anggota Fraksi PDIP periode 2004-2009 yang disebut-sebut menerima travel cek mencapai Rp 9,8 miliar dalam pemilihan Dewan Gubernur BI Miranda Gultom. Alasannya, PDIP adalah partai paling korupsi yang banyak koruptornya.
“Kalau saya ditanya, apakah heran atau tidak. Saya jawab tidak heran karena banyak koruptor di PDIP,” kata Kwik di Jakarta, Senin (15/3/2010).
Diungkapkan, indikatornya sangat mudah, yaitu mobil para anggota DPR dari PDIP sangat mewah. “Saya kenal mereka. Waktu tahun 1998, betapa miskin mereka. Sekarang kok mobil mereka mewah-mewah,” kata Kwik.
...Kalau saya ditanya, apakah heran atau tidak. Saya jawab tidak heran karena banyak koruptor di PDIP, kata Kwik ...
Dijelaskan, saat dirinya menjabat Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) diminta untuk memberikan paparan tentang korupsi. Lalu peserta bertanya, apakah partai politik tidak korupsi.
"Saya menjawab, partai yang paling korupsi adalah partai saya, PDIP," kata Kwik.
Terkait soal pilihan Anggota DPR dari fraksi PDIP terhadap Miranda Gultom sebagai calon Gubernur BI tersebut, Kwik mengungkapkan bahwa pemilihan tersebut atas perintah dari Ketua Umum PDIP, Megawari Soekarnoputri.
“Perintah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memang mesti menggolkan Miranda saat berhadapan dengan Burhanuddin Abdullah saat pemilihan calon Gubernur BI,” kata Kwik.
Oleh karena sudah ada sinyal dari Megawati, maka anggota DPR dari PDIP memberikan suaranya untuk memilih Miranda Gultom.
“Tapi tentunya tidak gratis begitu saja,” tandas mantan Menteri Koordinator Perekonomian ini.
...Saya menjawab, partai yang paling korupsi adalah partai saya, PDIP," kata Kwik...
Dijelaskan, sewaktu pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang waktu itu tiga nama bersaing yakni Burnahunddin Abdullah, Miranda Gultom dan Cyrilus Harinowo.
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 19 politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) disebut menerima suap dalam proses pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom.
Total uang suap yang diterima 19 politisi PDIP itu mencapai Rp 9,8 miliar. Informasi ini terungkap dalam sidang dengan terdakwa anggota Komisi VI DPR dari FPDIP, Dudhie Makmun Murod di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/3/2010). Dalam surat dakwaan jaksa disebutkan, uang suap itu diberikan agar para politisi menjatuhkan pilihan kepada Miranda.
Atas perbuatan itu, terdakwa Dudhie Makmun Murod diancam pidana sesuai Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) butir b Undang-Undang No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
...Total uang suap yang diterima 19 politisi PDIP itu mencapai Rp 9,8 miliar. Informasi ini terungkap di Pengadilan Tipikor, Jakarta...
Nama-nama politisi PDIP yang masuk daftar jaksa, beserta uang suap yang diterimanya:
Panda Nababan menerima uang terbesar (Rp1,45 miliar)
Williem M Tutuarima (Rp500 juta)
Sutanto Pranoto (Rp600 juta)
Agus Chondro Prayitno (Rp500 juta)
M Iqbal (Rp500 juta)
Budhiningsih (Rp500 juta)
Poltak Sitorus (Rp500 juta)
Aberson M Sihaloho (Rp500 juta)
Rusman Lumban Toruan (Rp500 juta)
Max Moein (Rp500 juta)
JeffeyTongas Lumban Batu (Rp500 juta)
Matheos Pormes (Rp350 juta)
Engelina A Pattiasina (Rp500 juta)
Suratal HW (Rp500 juta)
Ni Luh Mariani Tirtasari (Rp500 juta)
Soewarno (Rp500 juta)
Emir Moeis (Rp200 juta)
Sukarjo (Rp200 juta).
Anehnya, Ketua Umum DPP PDIPMegawati Soekarnoputri, menyatakan tidak akan ikut campur dengan kasus hukum yang menimpa politisinya, karena korupsi itu tanggung jawab masing-masing, bukan partai.
sumber: voa-islam.com
Senin, 29 November 2010
Benarkah Hitler Meninggal di Indonesia?
Sesaat ketika membaca judul postingan ini, saya yakin banyak diantara kita yang akan bertanya atau paling tidak meragukannya, “Adolf Hitler, si pemimpin NAZI yang sangat kejam, bengis dan penyebab utama Perang Dunia II itu ?”. Ketika saya membaca pertama kali artikel ini, saya juga melakukan hal yang sama seperti Anda : tersenyum sinis sambil berpikir artikel fiktif apalagi ini.. Tapi ketika saya teruskan membacanya, saya menemukan suatu pola pikir yang berubah yang memberikan suatu jawaban tersendiri untuk pertanyaan di atas. Semoga tulisan ini juga dapat membantu merubah pola pikir kita semua. Selamat membaca.
jika saja ada yang rajin menyimpan klipingan artikel harian “Pikiran Rakyat” sekitar tahun 1983, tentu akan menemukan tulisan dokter Sosrohusodo mengenai pengalamannya bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman bernama Poch di pulau Sumbawa Besar pada tahun 1960. Dokter tua itu kebetulan memimpin sebuah rumah sakit besar di pulau tersebut.
Tapi bukan karena mengupas kerja dokter Poch, jika kemudian artikel itu menarik perhatian banyak orang, bahkan komentar sinis dan cacian! Namun kesimpulan akhir artikel itulah yang membuat banyak orang mengerutkan kening. Sebab dengan beraninya Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal Jerman yang pernah berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf Hitler, mantan diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa dunia pada Perang Dunia II!
Beberapa “bukti” diajukannya, antara lain dokter Jerman tersebut cara berjalannya sudah tidak normal lagi, kaki kirinya diseret. Tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong persis seperti gaya aktor Charlie Chaplin, dengan kepala plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri khas Hitler pada masa tuanya, seperti dapat dilihat sendiri pada buku-buku yang menceritakan tentang biografi Adolf Hitler (terutama saat-saat terakhir kejayaannya), atau pengakuan Sturmbannführer Heinz Linge, bekas salah seorang pembantu dekat sang Führer. Dan masih banyak “bukti” lain yang dikemukakan oleh dokter Sosro untuk mendukung dugaannya.
Keyakinan Sosro yang dibangunnya dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap tidak berubah. Bahkan ia merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti lain yang mendukung ‘penemuannya’. “Semakin saya ditentang, akan semakin keras saya bekerja untuk menemukan bukti-bukti lain,” kata lelaki yang lahir pada tahun 1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di kediamannya di Bandung.
Andai saja benar dr. Poch dan istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan pelarian bersama Eva Braun, maka ketika Sosro berbincang dengannya, pemimpin Nazi itu sudah berusia 71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa Adolf Hitler dilahirkan tanggal 20 April 1889. “Dokter Poch itu amat misterius. Ia tidak memiliki ijazah kedokteran secuilpun, dan sepertinya tidak menguasai masalah medis,” kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar ketika masih menjadi petugas kapal rumah sakit Hope.
Sebenarnya, tumbuhnya keyakinan pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa Besar bersama istrinya Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika bertugas di pulau tersebut dan bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman, yang ada pada benak Sosro baru tahap kecurigaan saja.
Meskipun begitu, ia menyimpan beberapa catatan mengenai sejumlah “kunci” yang ternyata banyak membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler pun menjadi kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut, semakin yakin Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang bertemu dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!
Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.
Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul “Kisah Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.
Pada halaman 59, Linge mula-mula menceritakan mengenai bunuh diri Hitler dan Eva Braun, serta cara-cara membakar diri yang kurang masuk di akal. Kemudian Linge membeberkan keadaan Hitler pada waktu itu.
“Beberapa alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi ‘Hitler’. Semuanya ada kesamaan,” ungkap ayah empat anak ini.
Heinz Linge menulis, “beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh… kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler menderita kejang urat.”
Linge melanjutkan, “di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad (1942-1943) yang tidak membawa keberuntungan bagi bangsa Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu.” Pada akhir artikel, Linge menulis, “tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan.”
Lalu Sosro mengenang kembali beberapa dialog dia dengan “Hitler”, saat Sosro berkunjung ke rumah dr. Poch. Saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, kata Sosro, dokter tua itu memujinya. Demikian pula dia menganggap bahwa tidak ada apa-apa di kamp Auschwitz, tempat ‘pembantaian’ orang-orang Yahudi yang terkenal karena banyak film propaganda Amerika yang menyebutkannya.
“Ketika saya tanya tentang kematian Hitler, dia menjawab bahwa dia tidak tahu sebab pada waktu itu seluruh kota Berlin dalam keadaan kacau balau, dan setiap orang berusaha untuk lari menyelamatkan diri masing-masing,” tutur Sosrohusodo.
Di sela-sela obrolan, dr. Poch mengeluh tentang tangannya yang gemetar. Kemudian Sosro memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan, demikian pula tenggorokannya. Ketika itu, ia berkesimpulan bahwa kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkisonisme saja, melihat usianya yang sudah lanjut.
Yang membuat Sosro terkejut, dugaannya bahwa sang dokter mungkin terkena trauma psikis ternyata diiyakan oleh dr. Poch! Ketika disusul dengan pertanyaan sejak kapan penyakit itu bersarang, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman.
“Itu kan terjadi sewaktu tentara Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu Goebbels memberi tahu kamu, dan kamu memukul-mukul meja,” ucap istrinya seperti ditirukan oleh Sosro. Apakah yang dimaksud dengan Goebbels adalah Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman yang terkenal setia dan dekat dengan Hitler? Istrinya juga beberapa kali memanggil dr. Poch dengan sebutan “Dolf”, yang mungkin merupakan kependekan dari Adolf!
Setelah memperoleh cemoohan sana-sini sehubungan dengan artikelnya, tekad Sosrohusodo untuk menuntaskan masalah ini semakin menggebu. Ia mengaku bahwa kemudian memperoleh informasi dari pulau Sumbawa Besar bahwa Poch sudah meninggal di Surabaya. Beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke Jerman. Poch sendiri konon menikah lagi dengan nyonya S, wanita Sunda asal Bandung, karyawan di kantor pemerintahan di pulau Sumbawa Besar!
Untuk menemukan alamat nyonya S yang sudah kembali lagi ke Bandung, Sosro mengakui bukanlah hal yang mudah. Namun akhirnya ada juga orang yang memberitahu. Ternyata, ia tinggal di kawasan Babakan Ciamis! Semula nyonya S tidak begitu terbuka tentang persoalan ini. Namun karena terus dibujuk, sedikit demi sedikit mau juga nyonya S berterus terang.
Begitu juga dengan dokumen-dokumen tertulis peninggalan suaminya kemudian diserahkan kepada Sosrohusodo, termasuk foto saat pernikahan mereka, plus rebewes (SIM) milik dr. Poch yang ada cap jempolnya. Dari nyonya S diketahui bahwa dr. Poch meninggal tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung. Keesokan harinya dia dimakamkan di desa Ngagel.
Dalam salah satu dokumen tertulis, diakuinya bahwa ada yang amat menarik dan mendukung keyakinannya selama ini. Pada buku catatan ukuran saku yang sudah lusuh itu, terdapat alamat ratusan orang-orang asing yang tinggal di berbagai negara di dunia, juga coretan-coretan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya, terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman. Meskipun tidak ada nama yang menunjukkan kepemilikan, tapi diyakini kalau buku itu milik suami nyonya S.
Di sampul dalam terdapat kode J.R. KepaD no.35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor itu ditandai dengan lambang biologis laki-laki dan wanita. “Jadi kemungkinan besar, buku itu milik kedua orang tersebut, yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun,” tegasnya dengan suara yang agak parau.
Negara yang tertulis pada alamat ratusan orang itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Salah satu halamannya ada tulisan yang kalau diterjemahkan berarti : Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti nyonya Krüger. Roma, Jl. Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina).
Lalu, ada pula satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38. secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.
Majalah Intisari terbitan bulan Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie alias Klaus Altmann bekas polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan alamat tentang Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983 Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada tahun 1947.
“Masih banyak alamat dalam buku ini, yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian Nazi!” tandasnya.
Mengenai tulisan steno, diakuinya kalau ia menghadapi kesulitan dalam menterjemahkannya ke dalam bahasa atau tulisan biasa. Ketika meminta bantuan ke penerbit buku steno di Jerman, diperoleh jawaban bahwa steno yang dilampirkan dalam surat itu adalah steno Jerman “kuno” sistem Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak digunakan lagi sehingga sulit untuk diterjemahkan.
Tetapi penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli pada steno Gabelsberger. Beberapa waktu lamanya, datang jawaban dari Jerman dengan terjemahan steno ke dalam bahasa Jerman. Sosrohusodo menterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Indonesia. Judul catatan dalam bentuk steno itu, kurang lebih berarti “keterangan singkat tentang pengejaran perorangan oleh Sekutu dan penguasa setempat pada tahun 1946 di Salzburg”. Kota ini terdapat di Austria.
Di dalamnya berkisah tentang “kami berdua, istri saya dan saya pada tahun 1945 di Salzburg”. Tidak disebutkan siapakah ‘kami berdua’ di situ. Dua insan tersebut, kata catatan itu, dikejar-kejar antara lain oleh CIC (dinas rahasia Amerika Serikat). Pada pokoknya, menggambarkan penderitaan sepasang manusia yang dikejar-kejar oleh pihak keamanan.
Di dalamnya juga terdapat singkatan-singkatan yang ditulis oleh huruf besar, yang kalau diurut akan menunjukkan rute pelarian keduanya, yaitu B, S, G, J, B, S, R. “Cara menyingkat seperti ini merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan, seperti yang pernah saya baca dalam literatur yang lainnya,” Sosrohusodo memberikan alasan.
Dari singkatan-singkatan itu, lalu Sosro mencoba untuk mengartikannya, yang kemudian dikaitkan dengan rute pelarian. Pelarian dimulai dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo) dan R (Roma). Tentang Roma, Sosro menjelaskan bahwa itu adalah kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelariannya. Setelah itu mereka keluar dari benua tersebut menuju ke suatu tempat, yang tidak lain tidak bukan adalah pulau Sumbawa Besar di Nusantara tercinta!
Ia mengutip salah satu tulisan dalam steno tadi : “Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima suatu surat paspor, dan kemudian kami berhasil meninggalkan Eropa”. Ini, kata Sosro, sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan bahwa paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir A)”. Di buku catatan berisi ratusan alamat itu, nama Dragonic dikaitkan dengan Roma, begitulah Sosro memberikan alasan lainnya.
Lalu mengenai Berlin dan Salzburg, diterangkannya dengan mengutip majalah Zaman edisi 14 Mei 1984. Dikatakan bahwa sejarah telah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler yang jatuh di sekitar Jerman Timur pada tahun 1945. “Ini juga menunjukkan rute pelarian mereka,” katanya lagi.
Lalu bagaimana komentar nyonya S yang disebut-sebut Sosro sebagai istri kedua dr. Poch? Konon ia pernah berterus terang kepada Sosro. Suatu hari suaminya mencukur kumis mirip kumis Hitler, kemudian nyonya S mempertanyakannya, yang kemudian diiyakan bahwa dirinya adalah Hitler. “Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan nyonya S.
Membaca dan menyimak ulasan dr. Sosrohusodo, sekilas seperti ada saling kait mengkait antara satu dengan yang lainnya. Namun masih banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada Sosro, dengan tidak bermaksud meremehkan pendapat pribadinya berkaitan dengan Hitler, sebab mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga negara.
Bahkan Sosrohusodo sudah membuat semacam diktat yang memaparkan pendapatnya tentang Hitler, dilengkapi dengan sejumlah foto yang didapatnya dari nyonya S. Selain itu, isinya juga mengisahkan tentang pengalaman sejak dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga bertugas di Bima, Kupang, dan Sumbawa Besar. Ia juga telah mengajukan hasil karyanya ke berbagai pihak, namun belum ada tanggapan. “Padahal tidak ada maksud apa-apa di balik kerja saya ini, hanya ingin menunjukkan bahwa Hitler mati di Indonesia,” katanya mantap.
Bukan hanya Sosro yang mempunyai teori tentang pelarian Hitler dari Jerman ke tempat lain, tapi beberapa orang di dunia ini pernah mengungkapkannya dalam media massa. Peluang untuk berteori seperti itu memang ada, sebab ketika pemimpin Nazi tersebut diduga mati bersama Eva Braun tahun 1945, tidak ditemukan bukti utama berupa jenazah!
Adalah tugas para pakar dalam bidang ini untuk mencoba mengungkap segala sesuatunya, termasuk keabsahan dokumen yang dimiliki oleh Sosrohusodo, nyonya S, atau makam di Ngagel yang disebut sebagai tempat bersemayamnya dr. Poch.
Mungkin para ahli forensik dapat menjelaskannya lewat penelitian terhadap tulang-tulang jenazahnya. Semua itu tentu berpulang pada kemauan baik semua pihak…
Oleh : Alif Rafik Khan
indonesiaindonesia.com
Republik Mafia?
Susno Duaji, seorang mantan Kabareskrim yang belakangan getol menjadi ”peniup peluit” (whistleblower) membongkar mafia di kepolisian, akhirnya ditahan oleh kepolisian. Dia diduga menerima suap dalam sebuah kasus.
Sejauh mana itu benar tentu pengadilan yang akan mengujinya, tetapi penahanan ini mengindikasikan bahwa nyanyian soal mafia ini bukanlah nyanyian yang sumbang. Penyelidikan dan penyidikan harus secara tuntas dilakukan karena soal mafia yang selama lebih dari satu dasawarsa dibantah, nyatanya sekarang diakui ada oleh pemerintah.
Persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh penegak hukum memang sangat serius dan bisa menghancurkan lembaga penegak hukum kalau tidak diberantas. Korupsi adalah persoalan global di mana tak sebuah negara pun yang tak terserang korupsi. Di banyak negara lain, gerakan pemberantasan korupsi menjadi gerakan nasional yang bergandeng tangan dengan gerakan global. Maka, muncul banyak terminologi yang dipakai untuk melawan korupsi, seperti perlunya good governance dan good corporate governance.
Sejalan dengan itu, berbagai survei dilakukan oleh beberapa lembaga internasional yang nyatanya menyedot perhatian dunia dan dijadikan rujukan di banyak negara termasuk Indonesia. Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh Transparency International selalu dipublikasikan luas dan dirujuk oleh Presiden di rapat kabinet. Tahun 2009, misalnya, IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada tahun 2008 yang 2,6. Indonesia termasuk negara yang tingkat korupsinya sangat parah dan di kawasan Asean masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Semua upaya pemerintah dalam memberantas korupsi tak mampu mengubah persepsi yang negatif tentang korupsi.
Kuartal terakhir 2009, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengarai terlibat kasus pembunuhan yang seperti sebuah cinta segitiga walau dikaitkan pula dengan adanya kasus yang ditangani. Kemudian dua komisioner KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditengarai menerima suap dan berseteru dengan kepolisian. Tuduhan ini ternyata tidak berdasar fakta, melainkan sebuah pelemahan terhadap institusi KPK sudah dimulai.
Publik mulai melihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia hampir seperti sesuatu yang muskil. Ketidaktegasan pemerintah yang membiarkan pelemahan KPK ini berlangsung disimpulkan sebagai suatu indikasi melemahnya komitmen pemberantasan korupsi. Popularitas pemerintah segera merosot drastis, dan ini membuat iklim pemberantasan korupsi semakin melemah.
Barangkali Presiden sadar bahwa dia mesti melakukan sesuatu untuk merebut kembali kepercayaan rakyat. Sebuah tim, tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dibentuk sebagai ujung tombak pelaksanaan komitmen pemerintah memberantas korupsi. KPK mesti didukung, apalagi KPK mulai terserang semacam demoralisasi. Dalam keadaan seperti ini, sebuah survei dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) yang celakanya menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling korup di antara 16 negara yang disurvei. Skor Indonesia adalah 9,27. Indonesia lebih buruk ketimbang Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), Malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). Survei dengan rentang 0-10, 0 untuk negara paling bersih korupsi dan 10 untuk negara paling korup, menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai pada situasi terburuk di mana korupsi hampir sempurna. Sama sekali saya tak terkejut. Siapa pun tak seharusnya terkejut karena survei ini diadakan pascapelemahan KPK yang terjadi pada kuartal keempat 2009. Pesimisme memang sesuatu yang tak terhindarkan.
Apakah antisipasi terhadap persepsi yang semakin negatif ini yang membuat Presiden membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum saya tidak tahu. Namun, Satgas telah membuka kotak pandora mafia hukum yang selama ini dibantah secara keras. Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan telah berekor panjang: menyebar ke mana-mana sehingga sekarang masyarakat melihat bahwa ada tali-temali mafia hukum yang menyebar di kantor pajak, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, profesi advokat, dan lembaga pemasyarakatan.
Mereka disebut sebagai markus, dan markus ini menjadi semacam ”unwilling whistle blower” yang mengumbar nama-nama sehingga gurita mafia hukum ini terkuak. Proses hukum terhadap mereka ini tengah berjalan dan sejauh mana perkembangannya akan segera kita saksikan.
Yang pasti sekarang kata mafia hukum tak bisa terbantahkan lagi. Presiden menggunakan terminologi ini, dan ini merupakan pengakuan resmi bahwa negara ini dirusak oleh mafia. Mafia hukum tentu tak akan hilang seketika. Dalam negara yang korupsinya sistemik, endemik, dan merajalela, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memerangi korupsi. Yang penting adalah jangan pemberantasan korupsi ini hanya untuk politik pencitraan, hangat-hangat tahi ayam.
Pemberantasan mafia hukum ini harus semakin agresif walau saya lebih cenderung operasi pemberantasan mafia hukum ini difokuskan pada satu dua institusi saja. Menetapkan target sembilan mafia adalah target yang terlalu besar yang bisa jadi mengaburkan tujuan pemberantasan mafia hukum itu sendiri. Mengapa tak memberantas tuntas mafia hukum di kantor pajak atau kepolisian, dan menjadikan kedua institusi itu kelak sebagai ”island of integrity’” pulau integritas yang akan dijadikan model bagi pengembangan pulau-pulau lainnya.
Mengejar sembilan mafia akan membuat fokus pemberantasan mafia menjadi lemah. Di sini, pengalaman Hongkong yang berkonsentrasi pada kepolisian menjadi pelajaran menarik. Karena yang kita bangun di sini adalah sistem, reformasi sistem birokrasi. Bukan sekadar menjebloskan orang ke penjara. Kalau sistem itu tak dibangun dalam bangunan sistem birokrasi yang bersih, mafia akan tumbuh kembali, dan pelan atau lambat negeri ini akan jadi apa yang secara sinis dikatakan sebagai ”republik mafia”. Sekaranglah saatnya untuk mengatakan bahwa bukan mafia yang memerintah negara, melainkan negaralah yang berkuasa dan memerintah.
Todung Mulya Lubis
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
selokertojaya.blogspot.com
Sejauh mana itu benar tentu pengadilan yang akan mengujinya, tetapi penahanan ini mengindikasikan bahwa nyanyian soal mafia ini bukanlah nyanyian yang sumbang. Penyelidikan dan penyidikan harus secara tuntas dilakukan karena soal mafia yang selama lebih dari satu dasawarsa dibantah, nyatanya sekarang diakui ada oleh pemerintah.
Persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh penegak hukum memang sangat serius dan bisa menghancurkan lembaga penegak hukum kalau tidak diberantas. Korupsi adalah persoalan global di mana tak sebuah negara pun yang tak terserang korupsi. Di banyak negara lain, gerakan pemberantasan korupsi menjadi gerakan nasional yang bergandeng tangan dengan gerakan global. Maka, muncul banyak terminologi yang dipakai untuk melawan korupsi, seperti perlunya good governance dan good corporate governance.
Sejalan dengan itu, berbagai survei dilakukan oleh beberapa lembaga internasional yang nyatanya menyedot perhatian dunia dan dijadikan rujukan di banyak negara termasuk Indonesia. Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh Transparency International selalu dipublikasikan luas dan dirujuk oleh Presiden di rapat kabinet. Tahun 2009, misalnya, IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada tahun 2008 yang 2,6. Indonesia termasuk negara yang tingkat korupsinya sangat parah dan di kawasan Asean masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Semua upaya pemerintah dalam memberantas korupsi tak mampu mengubah persepsi yang negatif tentang korupsi.
Kuartal terakhir 2009, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengarai terlibat kasus pembunuhan yang seperti sebuah cinta segitiga walau dikaitkan pula dengan adanya kasus yang ditangani. Kemudian dua komisioner KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditengarai menerima suap dan berseteru dengan kepolisian. Tuduhan ini ternyata tidak berdasar fakta, melainkan sebuah pelemahan terhadap institusi KPK sudah dimulai.
Publik mulai melihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia hampir seperti sesuatu yang muskil. Ketidaktegasan pemerintah yang membiarkan pelemahan KPK ini berlangsung disimpulkan sebagai suatu indikasi melemahnya komitmen pemberantasan korupsi. Popularitas pemerintah segera merosot drastis, dan ini membuat iklim pemberantasan korupsi semakin melemah.
Barangkali Presiden sadar bahwa dia mesti melakukan sesuatu untuk merebut kembali kepercayaan rakyat. Sebuah tim, tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dibentuk sebagai ujung tombak pelaksanaan komitmen pemerintah memberantas korupsi. KPK mesti didukung, apalagi KPK mulai terserang semacam demoralisasi. Dalam keadaan seperti ini, sebuah survei dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) yang celakanya menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling korup di antara 16 negara yang disurvei. Skor Indonesia adalah 9,27. Indonesia lebih buruk ketimbang Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), Malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). Survei dengan rentang 0-10, 0 untuk negara paling bersih korupsi dan 10 untuk negara paling korup, menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai pada situasi terburuk di mana korupsi hampir sempurna. Sama sekali saya tak terkejut. Siapa pun tak seharusnya terkejut karena survei ini diadakan pascapelemahan KPK yang terjadi pada kuartal keempat 2009. Pesimisme memang sesuatu yang tak terhindarkan.
Apakah antisipasi terhadap persepsi yang semakin negatif ini yang membuat Presiden membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum saya tidak tahu. Namun, Satgas telah membuka kotak pandora mafia hukum yang selama ini dibantah secara keras. Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan telah berekor panjang: menyebar ke mana-mana sehingga sekarang masyarakat melihat bahwa ada tali-temali mafia hukum yang menyebar di kantor pajak, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, profesi advokat, dan lembaga pemasyarakatan.
Mereka disebut sebagai markus, dan markus ini menjadi semacam ”unwilling whistle blower” yang mengumbar nama-nama sehingga gurita mafia hukum ini terkuak. Proses hukum terhadap mereka ini tengah berjalan dan sejauh mana perkembangannya akan segera kita saksikan.
Yang pasti sekarang kata mafia hukum tak bisa terbantahkan lagi. Presiden menggunakan terminologi ini, dan ini merupakan pengakuan resmi bahwa negara ini dirusak oleh mafia. Mafia hukum tentu tak akan hilang seketika. Dalam negara yang korupsinya sistemik, endemik, dan merajalela, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memerangi korupsi. Yang penting adalah jangan pemberantasan korupsi ini hanya untuk politik pencitraan, hangat-hangat tahi ayam.
Pemberantasan mafia hukum ini harus semakin agresif walau saya lebih cenderung operasi pemberantasan mafia hukum ini difokuskan pada satu dua institusi saja. Menetapkan target sembilan mafia adalah target yang terlalu besar yang bisa jadi mengaburkan tujuan pemberantasan mafia hukum itu sendiri. Mengapa tak memberantas tuntas mafia hukum di kantor pajak atau kepolisian, dan menjadikan kedua institusi itu kelak sebagai ”island of integrity’” pulau integritas yang akan dijadikan model bagi pengembangan pulau-pulau lainnya.
Mengejar sembilan mafia akan membuat fokus pemberantasan mafia menjadi lemah. Di sini, pengalaman Hongkong yang berkonsentrasi pada kepolisian menjadi pelajaran menarik. Karena yang kita bangun di sini adalah sistem, reformasi sistem birokrasi. Bukan sekadar menjebloskan orang ke penjara. Kalau sistem itu tak dibangun dalam bangunan sistem birokrasi yang bersih, mafia akan tumbuh kembali, dan pelan atau lambat negeri ini akan jadi apa yang secara sinis dikatakan sebagai ”republik mafia”. Sekaranglah saatnya untuk mengatakan bahwa bukan mafia yang memerintah negara, melainkan negaralah yang berkuasa dan memerintah.
Todung Mulya Lubis
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
selokertojaya.blogspot.com
Emha: Rakyat Tak Punya Jalan Keluar
Di dalam lubang berdiameter 1 m dengan dalam 1,2 m ada Salmah, Paidi, Dadang Sukanta, Dyatmo Suminto, Firzen Saleh, dan Suherman.
Menanggapi peristiwa tersebut, budayawan Emha Ainun Nadjib menyoroti bahwa rakyat kini sudah tidak mempunyai jalan keluar karena sistem yang resmi tidak mengakomodasi dan tidak pernah bertanya kepada rakyat. "Sistem pemerintahan sudah ada, sistem negara sudah ada, perwakilan rakyat juga sudah ada, tapi itu semua tidak mengakomodasi, maka akhirnya mereka mencari pola-pola solusi lain," ungkap Emha saat dihubungi melalui telepon, Senin (2/8/2010) siang.
Maklumlah, lanjut Emha, kalaupun rakyat menempuh jalur hukum toh di jalur ini ada dismanajemen dan kelemahan-kelemahan konstitusi, bahkan pada beberapa kasus mengisyaratkan hukum kita belum jadi. Kalaupun sudah nampak jadi, masih ada gangguan dari aparat yang curang. "Kalau jatuhnya vonis A, ternyata praktiknya B. Kalau kita kehilangan kambing, menempuh jalur hukum malah bisa kehilangan sapi," ujar Emha.
Menurut Emha, negara ini belum layak disebut negara atau belum berperilaku normal laiknya sebuah negara. "Ini untuk mengatakan negara ini batal untuk disebut negara."
Emha menambahkan, para petugas yang bekerja di pemerintahan dan para penegak hukum yang dibayar oleh rakyat belum berperilaku sebagaimana seharusnya. Maka tidak heran apabila muncul kasus-kasus seperti yang terjadi, termasuk yang sekarang dialami oleh enam warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat itu. "Itu semua mencerminkan bahwa sekian lama kita membangun demokrasi, ternyata tidak sanggup meletakkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sebagai pemilik negara, dan Tanah Air.
Bahkan, sudah menjadi gejala umum ada pemahaman pemikiran yang terbalik antara hubungan rakyat dengan negara, rakyat dengan pemerintah, dan pemerintah dengan negara.
"Banyak aparat yang tidak mengerti bahwa negara ini adalah milik rakyat. Contohnya, KTP itu bukan tanda pengenal yang harus diminta oleh rakyat dalam rangka mengabsahkan mereka sebagai warga negara. Rakyat Indonesia itu begitu lahir kan secara otomatis sudah menjadi warga negara. Nah, pemerintah itu dibayar untuk menandai tanpa diminta oleh rakyatnya."
Emha memberi contoh lain. Jika polisi menilang, maka mereka meminta kartu identitas, SIM, STNK. "Kalau kita tanya balik, mohon Bapak menunjukkan tanda pengenal. Pada beberapa kesempatan, polisi biasanya menjawab bahwa yang ditilang tidak punya hak untuk meminta kartu identitas. Lah ini bagaimana, bukankah yang jadi bos itu rakyat? Tidak ada tilang pun masyarakat boleh sewaktu-waktu mengecek keabsahan para petugas penegak hukum, apa mereka beneran atau gadungan?"
Emha menyimpulkan, banyak aparat pemerintah yang tidak mengerti bahwa mereka adalah buruhnya negara, dan yang mempunyai negara adalah rakyat. Nah, sekarang ini rakyat tidak ada, yang ada adalah penduduk.
"Bedanya rakyat dan penduduk, dari terminologinya saja "rakyat" yang berasal dari bahasa Arab yakni ro'yah artinya kepemimpinan, kumpulan manusia yang mempunyai kedaulatan. Sementara itu, penduduk adalah orang-orang yang tinggal di suatu tempat yang tidak memiliki kedaulatan apa-apa, sama dengan zaman kerajaan. Statusnya cuma menumpang. Jadi kesimpulannya, ini bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi negara kerajaan Indonesia."
sumber: kompas
Belanda Impor Budak Indonesia ke Afsel
Pengunjung Museum Nelson Mandela bisa menyaksikan tayangan audio visual mengenai sejarah Afrika Selatan (Afsel) beberapa abad yang lalu. Dalam tayangan tersebut disebut-sebut nama Madagaskar dan Indonesia sebagai “pengimpor” budak ke Afrika Selatan yang dibawa para penjajah Belanda (Belanda). Ketika itu, orang-orang Belanda menjadi penguasa di Afrika Selatan, sebelum akhirnya dikalahkan Inggris pada perang Boer.
Anehnya, sebagian besar orang asli Afrika Selatan tidak mengenal Indonesia. Ketika ditanya, apakah Anda tahu Indonesia? Jawaban mereka beragam, “Malaysia?” atau “Cina”, bahkan ada yang mengatakan “Bali”. “Indonesia memang harus bekerja keras untuk memperkenalkan diri. Malaysia lebih dikenal di sana dibandingkan dengan Indonesia. Bahkan, Cape Malay sudah ‘diklaim’ oleh Malaysia. Padahal, tempat tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah Indonesia di Afrika Selatan,” kata Ali Hasan, Wakil Direktur Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC).
Cape of Good Hope adalah tempat pertama kalinya para budak asal Jawa dan Madagaskar mendarat di Afrika Selatan pada sekitar tahun 1652. Para budak tersebut kemudian dinamai etnis Cape Malay. Namun, karena namanya Malay, maka orang-orang Afrika Selatan lebih mengenal Malaysia dibandingkan dengan Indonesia.
Datangnya para budak dari Indonesia disusul dengan pengasingan Syech Yusuf dari Makassar di Cape Town pada 1694 oleh Belanda semakin meneguhkan posisi Indonesia dalam sejarah Afrika Selatan. Bahkan, Syeh Yusuf, ulama muda dan juga pemimpin tentara Kesultanan Banten, juga merupakan penyebar agama Islam pertama di bagian selatan benua hitam ini. Selain Syeh Yusuf, sebenarnya ada nama lain seperti Abdullah Ibn Qadi Abdussalam asal Tidore.
Belanda sangat khawatir dengan perkembangan Islam di Cape Town, kemudian memindahkan dan mengisolasi Syeh Yusuf ke Zandvliet, di luar Cape Town. Namun, upaya Belanda tersebut gagal dan Islam tetap berkembang pesat di Cape Town.
Kesadaran sebagai orang asal Indonesia sudah dirasakan oleh beberapa orang Afrika Selatan terutama para Muslim. Bahkan, mereka langsung menyatakan mereka juga keturunan Indonesia khususnya Banten. Salah seorangnya adalah Ibrahim Salleh, Kepala Sekolah Muslim Bosmont.
Ibrahim mengakui, memang sebelumnya ada “kesalahpahaman” tentang Malay. Menurut Ibrahim, asumsi orang selama ini Malay sama dengan Malaysia, dan mereka juga diidentikan dengan keturunan Malaysia. “Namun, kami sudah tahu anggapan itu salah,” ujarnya.
Ibrahim sendiri tidak mengetahui bagaimana nama tempat tersebut kemudian disebut Cape Malay. “Mungkin karena berasal dari daerah atau kawasan orang-orang Melayu kemudian dinamakan Malay. Sebenarnya pula, para budak tersebut bukan berasal dari etnis Melayu. Para budak disebutkan didatangkan dari Jawa, sedangkan Syeh Yusuf orang Makassar,” ujarnya.
Cape Malay yang sekarang ini juga disebut Cape Muslim, sudah menjadi etnis tersendiri di Afrika Selatan. Pada masa apartheid, etnis Cape Malay masuk dalam golongan kulit berwarna (colored), kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan kulit hitam, tetapi di bawah kulit putih.
Populasi etnis Cape Malay sekarang ini sekitar 166 ribu di Cape Town dan sekitar 10.000 di Johannesburg. Orang-orang Cape Malay juga penentang apartheid, salah seorang pimpinannya adalah Farid Esack.
Karena “kesalahpahaman” kemudian “klaim” Malaysia, Indonesia harus berjuang untuk memperkenalkan diri. “Mengubah persepsi orang sangat sulit, tetapi kami akan terus memperkenalkan Indonesia di Afrika Selatan. Indonesia merupakan bagian dari sejarah Afrika Selatan,” ujar Ali Hasan.
Sumber: www.dapunta.com
Madagaskar, Borobudur dan Persaudaraan
Madagaskar Mencari Akar
PEREMPUAN setengah baya itu tak kunjung melepaskan jabat tangan Prof Dr Timbul Haryono yang menemuinya di Pasar Andravohangy, pinggir Kota Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Mata ibu itu menatap lurus ke muka arkeolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut dan tak henti-hentinya menggelengkan kepala keheranan. Ia merasa bertemu dengan kakaknya yang telah tiada. "Anda persis seperti kakak saya, sorot mata, dagu, dan senyum itu milik kakak saya!" katanya dalam bahasa Malagasi.
PEREMPUAN setengah baya itu tak kunjung melepaskan jabat tangan Prof Dr Timbul Haryono yang menemuinya di Pasar Andravohangy, pinggir Kota Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Mata ibu itu menatap lurus ke muka arkeolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut dan tak henti-hentinya menggelengkan kepala keheranan. Ia merasa bertemu dengan kakaknya yang telah tiada. "Anda persis seperti kakak saya, sorot mata, dagu, dan senyum itu milik kakak saya!" katanya dalam bahasa Malagasi.
Peristiwa semacam itu sering terjadi dan menimpa semua warga Indonesia yang berada di Madagaskar. Menilik bentuk wajah, sorot mata, warna kulit, rambut, bentuk tubuh, dan bahasa mereka, sebagian besar bangsa Madagaskar mirip bangsa Indonesia. Sebagian lainnya berkulit hitam bak bangsa Afrika daratan, lengkap dengan rambut keritingnya, sebagian lagi mengambil wajah India dan Komoro.
Itu baru dari bentuk tubuh. Dari makanan dan cara memasaknya juga tak banyak beda. Singkong, ubi jalar, talas, semua jenis sayuran, bahkan cara memasaknya tak jauh beda dengan di Indonesia. Hanya saja mereka tak mengenal santan. Buah mangga, lengkeng, jeruk, nangka, jambu mete, bahkan kemiri pun ada. Pohon-pohon itu seolah tumbuh begitu saja, menyebar nyaris di seluruh Madagaskar.
Di pasar-pasar tradisional, baik di Antananarivo maupun sepanjang jalan menuju kota pelabuhan Mahajanga, sekitar 600 kilometer barat laut ibu kota Madagaskar itu, tak ubahnya seperti di Indonesia tahun 1960-an. Mereka belum sepenuhnya menggunakan satuan kilogram tapi tumpukan. Misalnya tomat atau kentang ditumpuk masing-masing berisi lima buah, persis sebagaimana dilakukan pedagang di kota-kota kecil di Tanah Air. Satu hal lagi, jual beli selalu didahului dengan tawar-menawar. Dan, harga penawaran untuk orang asing, bisa lima kali lipat.
Pasar-pasar di Antananarivo, misalnya, di dalam gedung kosong atau hanya berisi kotak-kotak kayu mirip gudang, tetapi di luar pasar tenda-tenda didirikan memenuhi seluruh halamannya. Menurut Marbun, rohaniawan Indonesia yang sudah enam tahun bertugas di negeri itu, pasar itu muncul secara alami karena pertemuan kepentingan penjual dan pembeli. Ketika pemerintah membangun gedungnya, awalnya mereka masuk, namun akhirnya kembali membangun tenda-tenda di luar pasar. Tak ubahnya pasar di Palmerah, Jakarta, atau pasar-pasar lain di Jakarta.
Bentuk tubuh, keadaan alam, dan perilaku manusianya, membuat rata-rata bangsa Malagasi yakin bahwa mereka satu nenek moyang dengan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya berbagai upaya untuk mempertegas pendapat tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti antropologi, sejarah, dan realita terus dikumpulkan. Bangsa Madagaskar benar-benar mencari akar siapa diri mereka.
BERKUNJUNG ke Antananarivo, ibu kota Madagaskar, pusat kotanya bak Semarang di Jawa Tengah, hanya saja perbukitannya lebih banyak. Sedangkan jika ke pinggir sedikit mirip Kota Cianjur di Jawa Barat. Bedanya, di ibu kota negara itu terdapat bangunan-bangunan peninggalan Prancis yang cukup kokoh dan megah. Toko-toko pada siang hari tutup untuk istirahat, sore buka kembali. Pada hari Sabtu kebanyakan tutup dan hari Minggu semua kantor dan toko tutup. Hanya pasar tradisional tetap buka dan pasar semacam ini banyak bertebaran di seluruh kota dalam skala kecil maupun besar. Kaki lima berderet sepanjang jalan besar.
Kota Antananarivo yang berpenduduk sekitar tiga juta orang itu, hingga luar kota dipenuhi pejalan kaki. Rata-rata penduduk Madagaskar pejalan kaki yang kuat. Mereka berjalan dengan cepat dan lincah kemungkinan karena tuntutan alam dan adanya musim dingin. Itulah sebabnya rata-rata postur bangsa Madagaskar, wanita khususnya, langsing dan indah. Bisa dikatakan, susah mendapatkan orang berbadan gemuk terkecuali keturunan Perancis atau India.
Kendaraan umum mayoritas produk Eropa, dua tahun terakhir masuk merek Toyota dan KIA dalam jumlah yang sangat sedikit. Bus kota rata-rata merek Mercedes keluaran tahun 1980-an, konon diimpor dalam keadaan bekas pakai, namun masih sangat bagus untuk ukuran Indonesia. Mobil merek Peugeot dan Renault mendominasi jalanan, namun hanya sedikit yang keluaran di atas tahun 2000.
Walau tarif bus kota sekali naik hanya 1000 franc Madagaskar atau sekitar Rp 1.250, namun rata-rata penumpangnya naik untuk jarak yang cukup jauh. Biasanya untuk jarak kurang dua kilometer mereka memilih jalan kaki. Maklum taraf hidup mereka masih rendah, rata-rata di bawah 500 dolar AS. Itulah sebabnya pejalan kaki begitu banyak terlihat di Antananarivo maupun kota-kota lain. Penduduk luar kota berjalan kaki berduyun-duyun, lelaki-perempuan, seolah tiada habisnya hingga malam hari.
Ibu kota negara itu terletak di sebuah lembah subur, dikelilingi bukit-bukit dari beberapa gunung. Jika kita pergi ke salah satu bukit, pemandangan Kota Antananarivo sungguh indah. Selain rumah-rumah dan bangunan Perancis tertata rapi, hamparan sawah masih tampak menghijau. Namun, jika kita mendekat akan segera menemui rumah-rumah penduduk miskin di antara gedung-gedung tersebut. Rumah terbuat dari tanah merah berlantai tanah bertebaran di segala penjuru kota.
Penduduk kota itu padat, namun keadaannya jauh dari jorok. Sampah tidak ada yang berserakan, apalagi di sungai. Penduduk sangat disiplin, tak ada yang membuang sampah ke dalam got atau sungai. Tak terlihat WC umum di pinggir-pinggir sungai atau got sebagaimana di Kota Jakarta atau kota lain di Indonesia. Tampaknya peninggalan disiplin dari Perancis ini tetap diterapkan walau penjajahannya sudah berakhir puluhan tahun lalu.
Di pinggir Kota Antananarivo, di beberapa area sawah yang belum diolah, penduduk membuat batu bata merah. Sistem pembuatannya tak beda dengan di Pulau Jawa, pembakaran dilakukan di tempat itu juga, hanya ukuran batu batanya lebih besar, mirip batu bata zaman dulu. Bulan Oktober merupakan bulan sibuk bagi pembuat batu bata karena mereka mengejar waktu agar sebelum musim dingin bulan Desember sudah selesai dibakar. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp 2.000 setiap buah.
MEMASUKI kampung-kampung di Madagaskar dan mengikuti upacara di sebuah gereja Katolik, agama terbesar di Madagaskar, mendapatkan fakta bahwa kepercayaan tradisional justru mendominasi kehidupan masyarakatnya. Akulturasi yang kental dalam upacara gereja merupakan salah satu petunjuknya. Musik pujian yang dilantunkan ditambah tari-tarian tradisional yang mengiringi upacara, semua berbau tradisional.
Hal itu memperkuat dugaan bahwa bangsa Malagasi merupakan percampuran berbagai suku di Indonesia, bahkan dengan bangsa-bangsa lain yang datang terlebih dahulu maupun kemudian. Percampuran itulah yang memudahkan mereka untuk berakulturasi hingga kini. Menurut Romo Marbun, perkawinan antarsuku, antarbangsa, dan juga antaragama tidak pernah menjadi masalah di Madagaskar. Meskipun demikian tradisi tetap menyatukan mereka, misalnya dalam hal poligami, upacara kelahiran anak, dan kematian. Mereka mengikuti acara-acara gereja, namun hanya sedikit yang bersedia melakukan upacara perkawinan gereja. Aturan tentang perkawinan gereja tak sejalan dengan tradisi mereka yang memperkenankan kawin-cerai dan poligami.
Di sebuah taman makam di Antananarivo, bangunan makam tak beda dengan di Tapanuli. Di sini juga ada upacara pemindahan tulang, bangunan makam dibuat sekokoh mungkin bahkan dikunci kuat-kuat. Juga ada kepercayaan bahwa kematian merupakan sisi gelap sehingga begitu salah satu anggota keluarga meninggal, seluruh barang di rumah itu harus dibersihkan, minimal dicuci. Ini menjadi kepercayaan rata-rata suku Merina, bahkan mereka yang sudah modern pun melakukannya.
Lain lagi dengan suku Simiheti, mereka selalu mengenakan pakaian paling buruk ketika melayat orang meninggal. Tujuannya, begitu selesai melayat pakaian itu dibuang, tidak boleh masuk rumah lagi. Di beberapa suku, minimal suku Jawa, sehabis melayat orang harus membersihkan diri sebelum masuk rumah agar tidak membawa sial ke semua penghuni rumah itu.
Mengenal lebih banyak lagi masyarakat Malagasi, menurut Romo Marbun, kita akan menemukan budaya daerah Tapanuli, Aceh, Jawa, Bajo, Melayu, Flores, Dayak, dan lain-lain. Semula setiap daerah memiliki ciri budaya khas dan gampang ditengarai dengan nama kotanya. Misalnya, ada kota bernama Ramli Marantsetra yang dihuni penduduk yang kemungkinan berasal dari keluarga Ramli, tokoh Suny dari Aceh; Ambu Malasa yang berpenduduk asal Malaya; dan beberapa kota lain yang jika dirunut melalui kebiasaan penduduknya bisa menandakan dari mana kemungkinan mereka berasal.
Semua suku dari Indonesia tersebut akhirnya bercampur dengan budaya bangsa Komoro yang sekaligus membawa agama Islam dan India. Kini semua itu diyakini telah melahirkan satu bangsa: Malagasi yang bernaung dalam negara Madagaskar.
REPUBLIK Madagaskar yang nama resminya Repoblika Demokratika Malagasy terletak di sebuah pulau keempat terbesar di dunia setelah Greenland, Irian Jaya, dan Kalimantan. Menurut perkiraan, sekitar abad 8-9, penduduk Indonesia berimigrasi ke Madagaskar dan hidup bersama pendatang dari Afro-Arab sehingga melahirkan kelompok etnis Malagasi. Ketika orang Eropa mulai masuk ke sana dan mencari rempah-rempah, Madagaskar pun menjadi tempat perdagangan sekaligus daerah operasi perompak.
Di Madagaskar ketika itu terdapat beberapa kerajaan, antara lain Antemoro, Antesaka, Betsileo, dan Merina. Kerajaan Merina akhirnya mendominasi kerajaan lain, terutama dalam pemerintahan Raja Andrianaminimerina (1787-1810). Dan, ketika anaknya, Radama I, memerintah, ia mendapat bantuan dari Inggris untuk menguasai seluruh Madagaskar. Hubungan dagang juga dilakukan dengan Perancis, namun hubungan inilah yang menyebabkan Madagaskar menjadi wilayah jajahan Perancis pada tahun 1868.
Ketika akhirnya Madagaskar merdeka (1960), sepuluh tahun kemudian pertikaian politik di dalam negeri pun meledak. Pertikaian ini menyebabkan perekonomian Madagaskar terpuruk karena pengusiran orang asing, penindasan terhadap organisasi buruh, dan penahanan orang-orang sipil. Tahun 1975 Komodor Didier Ratsiraka menjadi presiden dan akhirnya membawa negara ini masuk dalam kelompok sosialis dan merasionalisasi semua perusahaan.
Setelah berkuasa 18 tahun, pada tahun 1993 Ratsiraka dikalahkan Albert Zafy dalam pemilu, namun di pemilu berikutnya ia berhasil merebut kembali jabatan presiden. Dan, terakhir dalam pemilu tahun 2002 ia dikalahkan oleh Marc Ravalomanana, politikus yang juga pengusaha.
Begitu pemilu usai terjadi pertikaian karena Didier Ratsiraka tidak mau mengakui kekalahannya. Keadaan ini memperburuk perekonomian Madagaskar, namun kini mulai bangkit setelah Didier Ratsiraka melarikan diri ke Perancis dan Marc Ravalomanana menggantikannya. Presiden baru yang berlatar belakang pengusaha itu mulai memprivatisasi perusahaan-perusahaan negara, dan itu juga tidak mudah. Terakhir beberapa kali terjadi pemogokan buruh stasiun pompa bensin karena begitu diswastakan, buruhnya merasa terancam PHK dengan kedatangan para ahli dari Eropa.
Sisa-sisa sifat sosialis masih terasa hingga kini. Para pejabatnya berpakaian sederhana, bahkan sangat sederhana bagi ukuran protokoler yang umumnya berlaku. Wali Kota Mahajanga, misalnya, berkantor dengan mengenakan sandal, bertopi, dan menyapa siapa saja yang ditemuinya. Sekjen Kementerian Luar Negeri Madagaskar bahkan hanya berkaos oblong warna oranye ketika mendampingi menterinya merundingkan kerja sama dengan delegasi Indonesia.
Pemerintahan Ravalomanana ini tampaknya membawa angin baru bagi hubungan dengan Indonesia. Seorang sejarawan Madagaskar menginformasikan, pada zaman Didier Ratsiraka pencarian jati diri bangsa Madagaskar seolah dinadirkan. Dari awal, Perancis seolah memang menghindari pimpinan dari suku Merina berkuasa karena suku tersebut merupakan mayoritas bangsa Madagaskar dan kerajaannya pernah menguasai seluruh negara itu. Suku ini sangat dekat dengan budaya Melanesia. Perancis lebih dekat dengan suku-suku di luar Merina, dan Ravalomanana merupakan orang pertama dari suku Merina yang memerintah Madagaskar setelah merdeka.
Akibatnya, menurut Dr Christian, di Madagaskar terdapat dua kelompok sejarawan, kelompok kampus yang propemerintah (didukung Perancis) dan kelompok nonkampus yang masih merindukan jati diri nenek moyangnya.
Diduga Perancis takut jika sejarah asal muasal bangsa ini diungkit, akan membangkitkan fanatisme kelompok etnis kerajaan Merina. Itulah sebabnya hubungan Madagaskar-Indonesia tidak kunjung ditingkatkan karena Pemerintah Madagaskar tidak membuka perwakilan di Indonesia.
Perubahan sikap Pemerintah Madagaskar ini jelas tercermin dari pernyataan para pejabatnya. Presiden Ravalomanana sendiri ketika menerima awak perahu bersama Kepala Perwakilan RI Richard Simbolon tegas menyebutkan bahwa kita bersaudara. Sebelumnya, dalam upacara menyambut kedatangan awak kapal Borobudur di Pelabuhan Mahajanga tanggal 15 Oktober lalu. Gubernur Mahajanga, Kolonel Toto Vincent menegaskan bahwa ekspedisi Indonesia untuk meyakinkan siapa mereka sudah dilakukan tiga kali: Saremanuk (1985), Ammana Gappa (1991), dan terakhir Samudraraksa Borobudur bulan Oktober ini. Bukti sudah nyata, sebaiknya ditindaklanjuti.
Pernyataan Menteri Kebudayaan Madagaskar lebih tegas lagi: bangsa Indonesia memang nenek moyang bangsa Madagaskar dan itu tak perlu diperdebatkan lagi. Begitu usai upacara ia mengajak delegasi Indonesia berunding mengenai langkah apa setelah ekspedisi ini. Dan, sore itu juga lahirlah beberapa kesepakatan yang akan segera disusun dalam kesepakatan bersama (MOU), antara lain menyangkut pertukaran misi kebudayaan, pengisian museum dengan benda-benda yang berkait dengan kedua bangsa, pertemuan para ahli sejarah dari kedua negara untuk rekonstruksi asal-usul penduduk Madagaskar, dan kunjungan menteri itu ke Indonesia bulan Januari mendatang.
Ekspedisi sudah cukup, Madagaskar sudah mengaku Indonesia-lah nenek moyangnya, sesudah itu mau apa? Jawaban itu yang diharapkan Madagaskar. (mamak sutamat)
Itu baru dari bentuk tubuh. Dari makanan dan cara memasaknya juga tak banyak beda. Singkong, ubi jalar, talas, semua jenis sayuran, bahkan cara memasaknya tak jauh beda dengan di Indonesia. Hanya saja mereka tak mengenal santan. Buah mangga, lengkeng, jeruk, nangka, jambu mete, bahkan kemiri pun ada. Pohon-pohon itu seolah tumbuh begitu saja, menyebar nyaris di seluruh Madagaskar.
Di pasar-pasar tradisional, baik di Antananarivo maupun sepanjang jalan menuju kota pelabuhan Mahajanga, sekitar 600 kilometer barat laut ibu kota Madagaskar itu, tak ubahnya seperti di Indonesia tahun 1960-an. Mereka belum sepenuhnya menggunakan satuan kilogram tapi tumpukan. Misalnya tomat atau kentang ditumpuk masing-masing berisi lima buah, persis sebagaimana dilakukan pedagang di kota-kota kecil di Tanah Air. Satu hal lagi, jual beli selalu didahului dengan tawar-menawar. Dan, harga penawaran untuk orang asing, bisa lima kali lipat.
Pasar-pasar di Antananarivo, misalnya, di dalam gedung kosong atau hanya berisi kotak-kotak kayu mirip gudang, tetapi di luar pasar tenda-tenda didirikan memenuhi seluruh halamannya. Menurut Marbun, rohaniawan Indonesia yang sudah enam tahun bertugas di negeri itu, pasar itu muncul secara alami karena pertemuan kepentingan penjual dan pembeli. Ketika pemerintah membangun gedungnya, awalnya mereka masuk, namun akhirnya kembali membangun tenda-tenda di luar pasar. Tak ubahnya pasar di Palmerah, Jakarta, atau pasar-pasar lain di Jakarta.
Bentuk tubuh, keadaan alam, dan perilaku manusianya, membuat rata-rata bangsa Malagasi yakin bahwa mereka satu nenek moyang dengan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya berbagai upaya untuk mempertegas pendapat tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti antropologi, sejarah, dan realita terus dikumpulkan. Bangsa Madagaskar benar-benar mencari akar siapa diri mereka.
BERKUNJUNG ke Antananarivo, ibu kota Madagaskar, pusat kotanya bak Semarang di Jawa Tengah, hanya saja perbukitannya lebih banyak. Sedangkan jika ke pinggir sedikit mirip Kota Cianjur di Jawa Barat. Bedanya, di ibu kota negara itu terdapat bangunan-bangunan peninggalan Prancis yang cukup kokoh dan megah. Toko-toko pada siang hari tutup untuk istirahat, sore buka kembali. Pada hari Sabtu kebanyakan tutup dan hari Minggu semua kantor dan toko tutup. Hanya pasar tradisional tetap buka dan pasar semacam ini banyak bertebaran di seluruh kota dalam skala kecil maupun besar. Kaki lima berderet sepanjang jalan besar.
Kota Antananarivo yang berpenduduk sekitar tiga juta orang itu, hingga luar kota dipenuhi pejalan kaki. Rata-rata penduduk Madagaskar pejalan kaki yang kuat. Mereka berjalan dengan cepat dan lincah kemungkinan karena tuntutan alam dan adanya musim dingin. Itulah sebabnya rata-rata postur bangsa Madagaskar, wanita khususnya, langsing dan indah. Bisa dikatakan, susah mendapatkan orang berbadan gemuk terkecuali keturunan Perancis atau India.
Kendaraan umum mayoritas produk Eropa, dua tahun terakhir masuk merek Toyota dan KIA dalam jumlah yang sangat sedikit. Bus kota rata-rata merek Mercedes keluaran tahun 1980-an, konon diimpor dalam keadaan bekas pakai, namun masih sangat bagus untuk ukuran Indonesia. Mobil merek Peugeot dan Renault mendominasi jalanan, namun hanya sedikit yang keluaran di atas tahun 2000.
Walau tarif bus kota sekali naik hanya 1000 franc Madagaskar atau sekitar Rp 1.250, namun rata-rata penumpangnya naik untuk jarak yang cukup jauh. Biasanya untuk jarak kurang dua kilometer mereka memilih jalan kaki. Maklum taraf hidup mereka masih rendah, rata-rata di bawah 500 dolar AS. Itulah sebabnya pejalan kaki begitu banyak terlihat di Antananarivo maupun kota-kota lain. Penduduk luar kota berjalan kaki berduyun-duyun, lelaki-perempuan, seolah tiada habisnya hingga malam hari.
Ibu kota negara itu terletak di sebuah lembah subur, dikelilingi bukit-bukit dari beberapa gunung. Jika kita pergi ke salah satu bukit, pemandangan Kota Antananarivo sungguh indah. Selain rumah-rumah dan bangunan Perancis tertata rapi, hamparan sawah masih tampak menghijau. Namun, jika kita mendekat akan segera menemui rumah-rumah penduduk miskin di antara gedung-gedung tersebut. Rumah terbuat dari tanah merah berlantai tanah bertebaran di segala penjuru kota.
Penduduk kota itu padat, namun keadaannya jauh dari jorok. Sampah tidak ada yang berserakan, apalagi di sungai. Penduduk sangat disiplin, tak ada yang membuang sampah ke dalam got atau sungai. Tak terlihat WC umum di pinggir-pinggir sungai atau got sebagaimana di Kota Jakarta atau kota lain di Indonesia. Tampaknya peninggalan disiplin dari Perancis ini tetap diterapkan walau penjajahannya sudah berakhir puluhan tahun lalu.
Di pinggir Kota Antananarivo, di beberapa area sawah yang belum diolah, penduduk membuat batu bata merah. Sistem pembuatannya tak beda dengan di Pulau Jawa, pembakaran dilakukan di tempat itu juga, hanya ukuran batu batanya lebih besar, mirip batu bata zaman dulu. Bulan Oktober merupakan bulan sibuk bagi pembuat batu bata karena mereka mengejar waktu agar sebelum musim dingin bulan Desember sudah selesai dibakar. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp 2.000 setiap buah.
MEMASUKI kampung-kampung di Madagaskar dan mengikuti upacara di sebuah gereja Katolik, agama terbesar di Madagaskar, mendapatkan fakta bahwa kepercayaan tradisional justru mendominasi kehidupan masyarakatnya. Akulturasi yang kental dalam upacara gereja merupakan salah satu petunjuknya. Musik pujian yang dilantunkan ditambah tari-tarian tradisional yang mengiringi upacara, semua berbau tradisional.
Hal itu memperkuat dugaan bahwa bangsa Malagasi merupakan percampuran berbagai suku di Indonesia, bahkan dengan bangsa-bangsa lain yang datang terlebih dahulu maupun kemudian. Percampuran itulah yang memudahkan mereka untuk berakulturasi hingga kini. Menurut Romo Marbun, perkawinan antarsuku, antarbangsa, dan juga antaragama tidak pernah menjadi masalah di Madagaskar. Meskipun demikian tradisi tetap menyatukan mereka, misalnya dalam hal poligami, upacara kelahiran anak, dan kematian. Mereka mengikuti acara-acara gereja, namun hanya sedikit yang bersedia melakukan upacara perkawinan gereja. Aturan tentang perkawinan gereja tak sejalan dengan tradisi mereka yang memperkenankan kawin-cerai dan poligami.
Di sebuah taman makam di Antananarivo, bangunan makam tak beda dengan di Tapanuli. Di sini juga ada upacara pemindahan tulang, bangunan makam dibuat sekokoh mungkin bahkan dikunci kuat-kuat. Juga ada kepercayaan bahwa kematian merupakan sisi gelap sehingga begitu salah satu anggota keluarga meninggal, seluruh barang di rumah itu harus dibersihkan, minimal dicuci. Ini menjadi kepercayaan rata-rata suku Merina, bahkan mereka yang sudah modern pun melakukannya.
Lain lagi dengan suku Simiheti, mereka selalu mengenakan pakaian paling buruk ketika melayat orang meninggal. Tujuannya, begitu selesai melayat pakaian itu dibuang, tidak boleh masuk rumah lagi. Di beberapa suku, minimal suku Jawa, sehabis melayat orang harus membersihkan diri sebelum masuk rumah agar tidak membawa sial ke semua penghuni rumah itu.
Mengenal lebih banyak lagi masyarakat Malagasi, menurut Romo Marbun, kita akan menemukan budaya daerah Tapanuli, Aceh, Jawa, Bajo, Melayu, Flores, Dayak, dan lain-lain. Semula setiap daerah memiliki ciri budaya khas dan gampang ditengarai dengan nama kotanya. Misalnya, ada kota bernama Ramli Marantsetra yang dihuni penduduk yang kemungkinan berasal dari keluarga Ramli, tokoh Suny dari Aceh; Ambu Malasa yang berpenduduk asal Malaya; dan beberapa kota lain yang jika dirunut melalui kebiasaan penduduknya bisa menandakan dari mana kemungkinan mereka berasal.
Semua suku dari Indonesia tersebut akhirnya bercampur dengan budaya bangsa Komoro yang sekaligus membawa agama Islam dan India. Kini semua itu diyakini telah melahirkan satu bangsa: Malagasi yang bernaung dalam negara Madagaskar.
REPUBLIK Madagaskar yang nama resminya Repoblika Demokratika Malagasy terletak di sebuah pulau keempat terbesar di dunia setelah Greenland, Irian Jaya, dan Kalimantan. Menurut perkiraan, sekitar abad 8-9, penduduk Indonesia berimigrasi ke Madagaskar dan hidup bersama pendatang dari Afro-Arab sehingga melahirkan kelompok etnis Malagasi. Ketika orang Eropa mulai masuk ke sana dan mencari rempah-rempah, Madagaskar pun menjadi tempat perdagangan sekaligus daerah operasi perompak.
Di Madagaskar ketika itu terdapat beberapa kerajaan, antara lain Antemoro, Antesaka, Betsileo, dan Merina. Kerajaan Merina akhirnya mendominasi kerajaan lain, terutama dalam pemerintahan Raja Andrianaminimerina (1787-1810). Dan, ketika anaknya, Radama I, memerintah, ia mendapat bantuan dari Inggris untuk menguasai seluruh Madagaskar. Hubungan dagang juga dilakukan dengan Perancis, namun hubungan inilah yang menyebabkan Madagaskar menjadi wilayah jajahan Perancis pada tahun 1868.
Ketika akhirnya Madagaskar merdeka (1960), sepuluh tahun kemudian pertikaian politik di dalam negeri pun meledak. Pertikaian ini menyebabkan perekonomian Madagaskar terpuruk karena pengusiran orang asing, penindasan terhadap organisasi buruh, dan penahanan orang-orang sipil. Tahun 1975 Komodor Didier Ratsiraka menjadi presiden dan akhirnya membawa negara ini masuk dalam kelompok sosialis dan merasionalisasi semua perusahaan.
Setelah berkuasa 18 tahun, pada tahun 1993 Ratsiraka dikalahkan Albert Zafy dalam pemilu, namun di pemilu berikutnya ia berhasil merebut kembali jabatan presiden. Dan, terakhir dalam pemilu tahun 2002 ia dikalahkan oleh Marc Ravalomanana, politikus yang juga pengusaha.
Begitu pemilu usai terjadi pertikaian karena Didier Ratsiraka tidak mau mengakui kekalahannya. Keadaan ini memperburuk perekonomian Madagaskar, namun kini mulai bangkit setelah Didier Ratsiraka melarikan diri ke Perancis dan Marc Ravalomanana menggantikannya. Presiden baru yang berlatar belakang pengusaha itu mulai memprivatisasi perusahaan-perusahaan negara, dan itu juga tidak mudah. Terakhir beberapa kali terjadi pemogokan buruh stasiun pompa bensin karena begitu diswastakan, buruhnya merasa terancam PHK dengan kedatangan para ahli dari Eropa.
Sisa-sisa sifat sosialis masih terasa hingga kini. Para pejabatnya berpakaian sederhana, bahkan sangat sederhana bagi ukuran protokoler yang umumnya berlaku. Wali Kota Mahajanga, misalnya, berkantor dengan mengenakan sandal, bertopi, dan menyapa siapa saja yang ditemuinya. Sekjen Kementerian Luar Negeri Madagaskar bahkan hanya berkaos oblong warna oranye ketika mendampingi menterinya merundingkan kerja sama dengan delegasi Indonesia.
Pemerintahan Ravalomanana ini tampaknya membawa angin baru bagi hubungan dengan Indonesia. Seorang sejarawan Madagaskar menginformasikan, pada zaman Didier Ratsiraka pencarian jati diri bangsa Madagaskar seolah dinadirkan. Dari awal, Perancis seolah memang menghindari pimpinan dari suku Merina berkuasa karena suku tersebut merupakan mayoritas bangsa Madagaskar dan kerajaannya pernah menguasai seluruh negara itu. Suku ini sangat dekat dengan budaya Melanesia. Perancis lebih dekat dengan suku-suku di luar Merina, dan Ravalomanana merupakan orang pertama dari suku Merina yang memerintah Madagaskar setelah merdeka.
Akibatnya, menurut Dr Christian, di Madagaskar terdapat dua kelompok sejarawan, kelompok kampus yang propemerintah (didukung Perancis) dan kelompok nonkampus yang masih merindukan jati diri nenek moyangnya.
Diduga Perancis takut jika sejarah asal muasal bangsa ini diungkit, akan membangkitkan fanatisme kelompok etnis kerajaan Merina. Itulah sebabnya hubungan Madagaskar-Indonesia tidak kunjung ditingkatkan karena Pemerintah Madagaskar tidak membuka perwakilan di Indonesia.
Perubahan sikap Pemerintah Madagaskar ini jelas tercermin dari pernyataan para pejabatnya. Presiden Ravalomanana sendiri ketika menerima awak perahu bersama Kepala Perwakilan RI Richard Simbolon tegas menyebutkan bahwa kita bersaudara. Sebelumnya, dalam upacara menyambut kedatangan awak kapal Borobudur di Pelabuhan Mahajanga tanggal 15 Oktober lalu. Gubernur Mahajanga, Kolonel Toto Vincent menegaskan bahwa ekspedisi Indonesia untuk meyakinkan siapa mereka sudah dilakukan tiga kali: Saremanuk (1985), Ammana Gappa (1991), dan terakhir Samudraraksa Borobudur bulan Oktober ini. Bukti sudah nyata, sebaiknya ditindaklanjuti.
Pernyataan Menteri Kebudayaan Madagaskar lebih tegas lagi: bangsa Indonesia memang nenek moyang bangsa Madagaskar dan itu tak perlu diperdebatkan lagi. Begitu usai upacara ia mengajak delegasi Indonesia berunding mengenai langkah apa setelah ekspedisi ini. Dan, sore itu juga lahirlah beberapa kesepakatan yang akan segera disusun dalam kesepakatan bersama (MOU), antara lain menyangkut pertukaran misi kebudayaan, pengisian museum dengan benda-benda yang berkait dengan kedua bangsa, pertemuan para ahli sejarah dari kedua negara untuk rekonstruksi asal-usul penduduk Madagaskar, dan kunjungan menteri itu ke Indonesia bulan Januari mendatang.
Ekspedisi sudah cukup, Madagaskar sudah mengaku Indonesia-lah nenek moyangnya, sesudah itu mau apa? Jawaban itu yang diharapkan Madagaskar. (mamak sutamat)
Kisah Perjalanan Awak Perahu Borobudur
Perahu Zig-zag Melawan Angin
UPACARA pelepasan itu hampir menjadi pangkal musibah. Seusai Presiden Megawati meninjau perahu, lalu melepasnya ke laut lepas, perahu yang semula diikat tali di kiri dan kanan harus dilepas. Begitu bersemangatnya penarikan tali itu, Nick Burningham tak sempat mengelak saat tali menjerat kakinya dan ia pun terseret hampir jatuh ke laut. Hari itu, Jumat 15 Agustus 2003 pukul 16.10, masih di Marina Ancol, Jakarta Utara.
EKSPEDISI Samudraraksa Borobudur hari itu dimulai, namun sebenarnya belum siap berlayar. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar. Banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak dan antena. Mujoko, anak lulusan IPB jurusan ilmu kelautan, selama dua hari berkeliling Kota Jakarta mencari baterai untuk generator. Tanpa generator perahu bisa "hilang" sebab alat itulah sumber listrik di perahu.
Pukul 06.00 tanggal 17 Agustus, perahu itu akhirnya angkat jangkar. Baru beberapa meter menjelang keluar Pondok Duyung, sebuah kapal besar masuk, awak perahu panik dan segera memutar arah. Pemutaran arah bagi perahu layar bukanlah masalah sederhana karena harus tahu dari mana arah datangnya angin. Ketika cobaan itu lepas, perahu pun melenggang menuju Selat Sunda. Pantai masih jelas walau makin lama makin tersamar.
Panjang perahu itu 18,29 meter, lebar 4,25 meter, terbuat dari tujuh jenis kayu dengan tiang layar dari bambu, layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex, serta bercadik bambu di kiri dan kanannya. Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK menempel di kiri dan kanan perahu, fungsinya untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat "kamar mandi", beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.
Di geladak tengah ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun, 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.
Begitulah keadaan perahu yang dicontoh dari relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan. Di setiap pemberhentian akan dilakukan penggantian awak perahu, terkecuali di Madagaskar karena jarak Seychelles-Madagaskar relatif dekat. Apakah benar-benar bisa ditempuh dalam empat bulan, semua tergantung kecepatan dan arah angin.
Dari tujuh awak perahu dari Indonesia yang mengikuti pelayaran Jakarta-Madagaskar, tiga di antaranya berasal dari Pulau Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (IPB), dan IG Putu Ngurah Sedana kapten TNI-AL yang bertindak sebagai nakhodanya.
PUKUL 23.15 hujan deras mengguyur perahu, para awak perahu segera berhambur keluar untuk berhujan-hujan. Maklum sudah beberapa hari mereka tidak sempat mandi segar. Mereka bagai anak kecil berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak, begitu tulis Niken dalam catatannya. Pontus Krook dan Paul Bayly yang terlambat bergabung kebingungan ketika sedang bersabun ternyata hujan berhenti.
Keesokan harinya, 18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu. Namun, angin tiba-tiba mati. Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan, mereka mendayung di kiri-kanan perahu. Sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule. Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak. Dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.
Dalam perjalanan menuju Seychelles ini awak perahu dibagi dalam dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam. Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan, dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat, serta memasak. Awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut.
Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah. Maklum komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia, sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan, Bajo, Sulawesi Selatan, yang tidak tahu bahasa Inggris. Kedua gadis ini ketika tugas jaga harus berlari ke depan dan belakang serta berteriak-teriak menerjemahkan perintah komandannya.
TANGGAL 21 Agustus angin Samudra Hindia begitu kencang, perahu melaju dengan kecepatan rata-rata 8 knot per jam. Rasanya, enggak ada kerjaan membuat "Qta" (maksudnya: kita-Red) boring. Nick minta saya belajar mengemudi dan panjat tiang layar. Gila! Begitu tulis Niken di buku catatannya.
Menurut Niken ia memang lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat, namun setelah itu menjadi biasa. Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng. Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas. Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh. Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.
Begitu jenuhnya, akhirnya Nick mengadakan sayembara: siapa yang pancingnya dapat ikan duluan akan diberi 25 dolar AS. Semua mencoba dan baru tanggal 27 Agustus Kapten Putu memenangkan pertandingan. Namun, itu pun setelah perahu diombang-ambingkan ombak setinggi sekitar 9 meter. Ombak besar itu datang tanggal 24 Agustus, terus-menerus membuat awak perahu kelelahan. Di sini kelihaian pemegang kemudi diuji. Ia harus bisa membuat perahu berada di atas ombak, jangan sampai menerjangnya. "Pada saat itu kami hanya bisa berdoa, bayangkan ombak setinggi perahu di depan kita," kenang Niken.
Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya. "Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya," begitu aku Mujoko ketika ditanya. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi.
Buleleng, begitu istilah Niken untuk awak non-Indonesia, berpesta memeriahkan perjalanan itu. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa walau tinggal separuh, namun semua tergantung pada arah dan kecepatan angin. Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Blowing in the Wind yang dipelesetkan: … the answer my friend is depend on the wind, the answer is depend on the wind. Lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, di samping lagu Krisdayanti, Menghitung Hari.
Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus. Tali itu menjorok di luar perahu sehingga sangat sukar memperbaikinya. Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.
Hujan tiada henti turun, padahal tak seorang pun yang membawa jas hujan. Menurut Niken, pada saat hujan begitu, air menembus pakaian dalam sehingga membuat orang masuk angin.
PADA tanggal 8 September Putu ulang tahun. Awak perahu sibuk menyiapkan pesta walau seadanya, namun tetap mengharukan. Apalagi Allan Cambell, ship’s master, menyatakan bahwa pelabuhan tujuan tinggal 735 mil atau sekitar tiga hari lagi. Semua bergembira. Dan, benar, pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari.
Niken menggambarkan pelabuhan tersebut sebagai berikut: "Qta" lego jangkar di depan gunung, cahaya Port Victoria tampak jelas dan indah. Semakin terang kota itu semakin cantik karena terletak di atas bukit, sementara air laut hijau jernih mengundang "Qta" untuk berenang.
Tujuh belas hari mereka berada di Seychelles. Selain untuk mengisi perbekalan, mereka menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger.
PELAYARAN dari Seychelles menuju Madagaskar sangat berat. Angin sering mati. Kalaupun ada, angin pun bertiup dari arah depan, membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras. Selama dua hari angin mati, artinya tidak ada tiupan angin yang bisa menggerakkan perahu tersebut. Motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera "berbicara" dengan angin.
Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu Muhammad memberitahukan sikapnya di atas geladak perahu ketika berlabuh di Mahajanga, Madagaskar. Ditegaskan sebagai manusia harus bersikap wajar, "Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah," katanya menambahkan. Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan. Doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.
Jika ia "berbicara" kepada angin, sebenarnya ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia berbicara dalam bahasa Bajo, intinya minta agar angin datang dan menolongnya. Awak yang lain selalu tersenyum kecut mendengar ia "berbicara" kepada angin. Apalagi bagi buleleng yang tentunya tak masuk di akal mereka walau akhirnya angin pun datang.
Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi buleleng, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut ini berpegang pada letak bintang-bintang di langit.
Pelayaran Seychelles-Madagaskar merupakan ujian untuk membuktikan mana yang benar. Angin yang datang dari depan tak bisa ditahan dengan layar perahu walau menggunakan motor tempel. Akhirnya awak perahu asing menyerah dan Muhammad beserta rekan-rekannya berhasil melakukan perjalanan zig-zag dengan memindah-mindahkan arah layarnya. Layar dipasang dalam sudut tertentu agar angin "menyenggol" dan membawa perahu ke kiri atau ke kanan.
Pekerjaan ini melelahkan karena memindahkan layar untuk mendapatkan embusan angin dengan arah yang kita inginkan bukanlah sederhana. Pertama, layar diturunkan kemudian digeser, baru dinaikkan lagi dan dicari sudut yang pas. Itu dilakukan berulang-ulang sehingga salah satu layar robek dan tali pengikat layar putus.
Semua pekerjaan itu menjadi tanggung jawab awak Pagerungan karena hanya merekalah yang mampu dan mengerti. Awak yang lain hanya membantu sebagaimana diminta oleh pelaut asli tersebut melalui penerjemah.
Semua ini membuat perjalanan menjadi lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Jarak yang hanya sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta-Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari.
WALI Kota Mahajanga, Page’s, hari Selasa 14 Oktober 2003 naik perahu bersama para petugas imigrasi. Perahu sehari sebelumnya memang sudah masuk pelabuhan, namun karena sudah sore mereka lego jangkar sekitar 300 meter dari dermaga. Di mana pun mereka berlabuh (kecuali di Marina Ancol) tidak akan merapat ke dermaga untuk menjaga agar cadik di kiri-kanan perahu tidak rusak terbentur dermaga. Maklum terbuat dari bambu.
Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia-Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan. Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudra Hindia dengan Samudra Atlantik. Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian. Kini mereka tinggal bertiga belas.
"Niken insya Allah akan ikut sampai pelabuhan terakhir," kata gadis berjilbab itu mantap. (mamak sutamat)
Niken Maharani
GADIS itu mengaku baru pada hari terakhir mendaftarkan diri ikut Ekspedisi Samuderaraksa Borobudur. Itu pun karena sehari sebelumnya sang ibu menyodorkan Kompas yang memuat iklan pendaftaran tersebut. "Ini barangkali cocok buat kamu," kata maminya yang prihatin melihat anak ketiganya selalu murung. Maklum, Niken sebelumnya termasuk gadis yang tak bisa diam. Walaupun tidak mengikuti perkumpulan resmi, namun selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) ia selalu mengikuti kegiatan pencinta alam.
Lulus pada tahun 2002, Niken yang mengambil jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan belum tergerak mencari pekerjaan. Satu musibah membuatnya merana, kakek yang juga berfungsi ayah baginya, meninggal hampir setahun lalu. Ini yang membuatnya murung hingga akhirnya ia mendaftarkan diri ikut pelayaran menuju Afrika, dan kini dalam perjalanan menuju Cape Town, Afrika Selatan.
Niken yang kelahiran Bandung itu tidak menyangka bahwa "kapal" yang hendak diikutinya itu hanya sebuah perahu kayu kecil dan digerakkan layar, sebab iklan tersebut tidak menyebutkan bagaimana bentuk perahunya. Ia mengetahui bentuk perahu tersebut justru dari ibunya yang kemudian memperlihatkan gambar perahu tersebut yang dimuat di koran. Ia terkejut, semua anggota keluarga terkejut sehingga dilakukanlah sidang mendadak.
"Tapi semua menyerahkan kepada saya dan saya tetap berangkat karena takdir itu kan di tangan Yang Kuasa," kata Niken dalam pembicaraan di KBRI Madagaskar minggu lalu. Akhirnya ia benar-benar berangkat pada tanggal 15 Agustus diantar kedua orangtuanya hingga Pantai Marina, Ancol. Ia kini merupakan satu-satunya wanita Indonesia yang ikut berlayar dengan perahu kayu mengikuti rute perdagangan kayu manis, Jakarta-Seychelles -Madagaskar-Cape Town, dan akan berakhir di Ghana pada akhir tahun 2003 ini.
Gadis yang tak pernah melepaskan jilbabnya walau sedang berkutat di atas perahu yang berlayar di Samudera Hindia ini, punya fungsi inti. Ia memang tidak harus memanjat layar, tetapi tugas pokoknya menjadi penerjemah yang dilakukan dalam hempasan gelombang setinggi delapan meter. Ini bukanlah tugas yang ringan, Niken harus pontang-panting menyampaikan perintah Nick Burningham, pimpinan operasi kepada para pelaut asal Bajo atau sebaliknya. Perintah harus segera disampaikan karena keterlambatan bisa berakibat fatal. Sesekali jika sedang bertugas, ia juga mengemudikan perahu.
Niken merasa, persiapan pelayaran ekspedisi tersebut sangat singkat. Setelah beberapa tahapan tes, dari 700 pelamar terpilih sepuluh orang, termasuk Niken. Mereka diajak ke Bali untuk melihat dan meresmikan perahunya. Saat itu perahu belum sempurna. Kesepuluh calon tersebut diperingkat dan diputuskan untuk peringkat 1-5 dites pelayaran dari Bali ke Surabaya, 6-10 diikutkan trayek Surabaya-Semarang, dan mereka yang terpilih langsung ikut dari Semarang ke Jakarta. Dalam perjalanan mereka dilatih bagaimana mengendalikan perahu tersebut.
Niken masuk kelompok yang berangkat dari Surabaya dan begitu sampai di Jakarta, ia diminta ikut pelatihan dasar keselamatan selama tiga hari. Itu saja bekal yang diberikan. Dan pada tanggal 14 Agustus, Niken ke Bandung untuk berpamitan dengan kedua orangtuanya. Esok harinya Presiden Megawati melepaskan perahu tersebut di Pantai Marina.
"Setiap orang toh akan mati, jadi bagaimana kita mempersiapkan diri aja!", kata Niken ringan. Dan saat ini Niken berjuang dalam pelayaran paling berat menempuh Tanjung Harapan yang ombaknya terkenal ganas. (ms)
Orang Malagasy dan Kebudayaannya
BANGSA Malagasy yang mendiami Pulau Madagaskar sekarang ini adalah percampuran bangsa Asia-Afrika. Diduga mereka telah ada di Madagaskar sekitar 1.500 atau 2.000 tahun meskipun dari artefak batu yang ditemukan menunjukkan adanya kemungkinan budaya lain yang pernah hidup.
HAMPIR sebagian besar imigran merupakan bangsa Melayu-Polinesia yang telah mengarungi Lautan Hindia dari Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagian imigran yang lain adalah dari Afrika, serta para pedagang Arab, India, dan Portugis. Meskipun demikian, tampak sekali bahwa imigran yang pertama berasal dari Asia Tenggara atau Indonesia.
Suku bangsa
Berdasarkan data-data etnografis, di Madagaskar ada 18 suku, yaitu Antaifasy (orang pasir) yang tinggal di bagian tenggara di sekitar Farafangana; Antaimoro (orang pantai) yang tinggal di bagian tenggara sekitar Vohipeno dan Manakara. Mereka umumnya mendapat pengaruh budaya Arab. Antaisaka, Antankarana (yang tinggal di daerah berbatu karang), Antambahoaka (suku yang paling kecil jumlahnya yang tinggal di pantai sebelah tenggara; Antrandroy tinggal di daerah selatan sekitar Ambovombe. Warna kulit hitam dan kehidupannya semi nomadik.
Suku lainnya adalah Antanosy atau orang pulau yang tinggal di pulau kecil di sungai Fanjahira; suku Bara di daerah bagian barat daya dekat Toliara. Mereka adalah penggembala sapi. Nama "Bara" diperkirakan berasal dari pengaruh bahasa Bantu (Afrika). Suku Betsileo yang berdiam di sebelah selatan "the Hauts Plateaux" sekitar Fianarantsoa. Suku-suku lainnya adalah Betsimisaraka, Bezanozano, Mahafaly, Sakalava, Sihanaka (orang rawa); Tanala (orang yang tinggal di hutan); Makoa, Merina (orang dataran tinggi); Tsimihety (orang yang tidak memotong rambutnya). Selain itu masih ada kelompok suku lainnya yang datang dari India, Cina, dan Timur Tengah.
Adat istiadat
Bangsa Malagasy memiliki berbagai adat dan upacara ritual yang terkadang berbeda di masing-masing suku. Mereka memiliki kepercayaan menghormati pohon besar karena dianggap sebagai tempat tinggal arwah. Sesajian akan ditempatkan di bawah pohon. Suku Antaisaka yang tinggal di pantai tenggara memiliki kepercayaan bahwa rumah mereka mempunyai pintu kedua khusus untuk arwah nenek moyang. Apabila ada sanak saudara meninggal dunia, si mati akan dibiarkan beberapa hari sebelum dikubur.
"Famadihana"
Famadihana (yang berarti mengembalikan si mati) adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Upacara tersebut dalam rangka menghormati si mati sebagai penghubung antara manusia hidup dengan Zanahary atau Tuhan. Seluruh anggota keluarga yang berasal dari berbagai tempat di Madagaskar akan berkumpul untuk melaksanakan upacara yang biasanya dilakukan pada musim dingin (Juli sampai September). Upacara diawali dengan pembukaan makam oleh keluarga. Tulang-tulang yang telah terkubur kurang lebih dua atau tiga tahun diambil diiringi dengan tarian, nyanyian, dan musik yang merdu yang ditujukan kepada arwah. Sisa-sisa tulang yang telah diambil tersebut kemudian dibawa melalui jalan-jalan desa sehingga ia (arwah) tahu akan perubahan lingkungan yang telah terjadi sejak kematiannya.
Sisa tulang tersebut, setelah dibersihkan, dilumuri dengan minyak suci dan diberi pakaian kemudian dikembalikan ke makam. Upacara Famadihana dapat berlangsung berhari-hari sampai makanan dan minuman habis. Untuk biaya yang besar ini sering mereka harus menabung terlebih dahulu.
Seseorang yang telah meninggal dinamakan Lazan-ko Razana atau "ia yang sudah menjadi nenek moyang". Bagi orang Malagasy, si mati adalah pelindung terhadap keturunannya. Mereka memiliki hal-hal yang dianggap tabu dan disebut dengan istilah fady. Taha adalah upacara korban darah yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup manusia atau mencegah seseorang. Sebagai media, seperti kayu, tanah, rumput, batu, dan binatang digunakan untuk kelengkapan upacara. Kadang kala, si dukun harus tinggal beberapa hari di tengah pekuburan untuk berkomunikasi dengan arwah guna menyerap ilmunya. Benda-benda seperti tersebut di atas dipakai untuk menyerap aspek-aspek negatif dalam kehidupan dan kemudian dibuang di sebelah selatan rumah. Bagi orang Malagasy hidup harus dilindungi dengan cara apa pun agar dapat hidup panjang.
Upacara fatidra dipimpin oleh seorang mpitsika dengan menggunakan berbagai objek seperti: tujuh macam tumbuh-tumbuhan, tujuh ekor ayam jantan, dua fragmen tulang manusia, air suci yang diambil dari sumber air terdekat, seekor ayam jantan yang organ hati telah dikeluarkan, sebuah tombak.
"Tromba"
Tromba adalah upacara religius agar terjadi kontak atau komunikasi dengan arwah melalui medium seseorang yang dalam keadaan trance disebut saha. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka usaha penyembuhan suatu penyakit atau untuk mendapatkan petunjuk dalam segala kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam kondisi trance, si medium seolah-olah mengadakan perjalanan di alam arwah. Upacara ritual ini didasari atas kepercayaan tentang reinkarnasi seorang raja atau arwah yang merasuk dalam tubuh seseorang.
Peran mediator dalam menghubungkan manusia dengan dunia supranatural menggunakan apa yang disebut sikidy, yaitu sejenis biji tanaman: fano (Piptadenia chrysostach), tsiafakomby (Coesalpina), kily (asam), buncis.
"Sambatra" (Savatsy)
Sambatra adalah upacara khitanan yang biasa dilaksanakan dengan pesta besar pada musim dingin (Juli sampai September). Upacara ini meskipun telah terpengaruh oleh perkembangan zaman, namun masih dilaksanakan sebagian masyarakat desa setiap tujuh tahun. Dalam periode upacara tersebut semua anak yang lahir 7 tahun terakhir diwajibkan menjalani khitanan. Hari yang dipilih adalah hari Jumat (bahasa Malagasy: Zuma) pada bulan purnama ketika bunga-bunga sedang mekar dan tanah berbau harum. Dalam khitanan ini keluarga membangun lapa (tempat untuk khitanan). Selama beberapa hari diadakan pesta dengan tarian dan musik, macam-macam lomba olahraga. Si anak yang akan dikhitan juga ikut dalam aktivitas tersebut. Pada saat malam ketika ayam jantan berkokok yang pertama kali, beberapa orang pergi ke sebuah sumber air yang dianggap suci untuk mengambil air rano mahery. Selama perjalanan pulang orang-orang yang membawa air suci tersebut meneriakkan kata-kata zanoboro mahery dan manatody ambato sampai tiba di lapa. Kemudian juru khitan melaksanakan tugasnya.
Bahasa
Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Otto Chr Dahl, berdasarkan data-data bahasa, bahasa Malagasy banyak pengaruh dari kata-kata dalam bahasa Melayu dan bahasa Sanskerta. Beberapa contoh kata-kata dalam bahasa Malagasy yang mirip dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa, seperti dalam kata bilangan: roa (Mlg) = dua (2); telo (Mlg, dibaca telu) = telu (3); fito (Mlg, dibaca fitu) = pitu (7); valu (Mlg) = wolu (8). Kata-kata lain yang memiliki kemiripan antara lain: mora (baca mura) = murah (bhs Jawa); vulan = wulan (bhs Jawa); vato (baca vatu) = watu (bhs Jawa); aho (baca ahu) = aku (bhs Jawa); sofina (baca sufin) = kuping (bhs Jawa). Ada juga beberapa kata yang mungkin serapan dari bahasa Sanskerta. Dahl sampai pada kesimpulan bahwa nenek moyang orang Malagasy datang dari Indonesia. Peristiwa migrasi tersebut telah terjadi sekitar abad ke-7 Masehi.
Penelitian yang dilakukan oleh Adelaar juga menunjukkan adanya kata-kata bahasa Malagasy yang menyerap kata-kata bahasa Melayu, seperti: horita = gurita; fano (baca fanu) = penyu; hoala = kuala; tanjona = tanjung; varatra = barat; firaka = pirak; hihy = gigi; fify = pipi; molotra = mulut; haranka = kerangka.
Kemiripan dalam kata dan kemiripan dalam fisik tubuh membawa orang Malagasy pada pengakuan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Indonesia. Keadaan seperti tersebut merupakan modal penting untuk menjalin persahabatan kedua bangsa dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Prof Dr Timbul Haryono MSc Arkeolog,
Dekan Fakultas Ilmu Kebudayaan UGM
Sumber: www.kompas.co.id
Insiden Rawagede, Karawang: Kami Cuma Tulang-Tulang Berserakan...
Tidak bisa dipastikan apakah penyair Chairil Anwar ingin bercerita tentang pembantaian yang terjadi di Rawagede di dalam puisi berjudul Karawang-Bekasi, ataukah bukan. Namun yang jelas, tulang-tulang manusia memang berserakan di Rawagede, Karawang, setelah Belanda membantai penduduknya pada 9 Desember 1947.
Pada masa revolusi fisik, Rawagede adalah satu daerah yang dijadikan sebagai suatu markas gabungan oleh para pejuang kemerdekaan. Laskar-laskar seperti Barisan Banteng, Macan Citarum, Hisbullah, SP 88, dan sebagainya, semuanya mempunyai markas di sini.
Rawagede dipilih karena letaknya yang strategis, dekat dengan stasiun kereta api yang menghubungkan Karawang dengan Rengasdengklok. Selain itu, penduduk di Rawagede ini memang sudah dikenal selalu siap membantu logistik apa saja yang dibutuhkan oleh para pejuang.
Pada tanggal 5 Oktober 1946, laskar-laskar rakyat kemudian bergabung membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika itu, ada seorang tentara Indonesia yang bernama Kapten TNI Lukas Kustario. Dia adalah Komandan Resimen Cikampek, atau yang dikenal juga sebagai Resimen 6. Lukas sudah sangat dikenal sebagai orang yang melakukan perlawanan yang sangat luar biasa kepada Belanda. Serangan-serangannya kepada tentara Belanda sering sangat mematikan, seperti di Pabuaran, Subang, dan sebagainya.
Pada 8 Desember 1947, Lukas dan pasukannya mulai masuk ke Rawagede. Namun, ternyata keberadaan Lukas di sana diketahui oleh mata-mata Belanda. Langsung saja mata-mata itu melapor ke markas tentara Belanda yang ada di Jakarta. Pada hari yang sama, keluarlah perintah dari Jakarta, yang mengatakan bahwa Rawagede harus dibumihanguskan.
Namun, ada seorang lurah di Jakarta yang mengetahui perintah pembumihangusan tersebut sebelum tentara Belanda mulai menjalankan rencananya. Lurah ini pun segera memberitahukannya kepada Lurah Rawagede.
Mengetahui hal itu, Lurah Rawagede segera mengeluarkan perintah untuk membongkar jembatan yang ada di daerah Cilembu dan Palawad. Kedua jembatan ini merupakan akses masuk menuju Rawagede. Sementara itu, pasukan Lukas sudah meninggalkan Rawagede pada pukul 15.00 Wib. Mereka berencana akan menyerang markas tentara Belanda yang ada di Cililitan, Jakarta.
Pembantaian Dimulai
”Pada pukul 07.00 sampai 11.00 malam, turun hujan lebat,” kata Sukarman, seorang saksi mata yang ayahnya juga menjadi salah seorang korban pembantaian, meskipun tidak ikut tewas. Ternyata, setelah hujan berhenti, Belanda berhasil masuk dari utara dengan menyusuri jalan kereta api.
Pagi harinya, tanpa menyadari bahwa Belanda sudah masuk ke Rawagede, penduduk tetap bekerja sebagaimana biasanya. Pukul 04.00 subuh, mereka sudah mulai membawa bajak dan kerbau ke sawah.
Setelah berada di sawah, barulah mereka menyadari bahwa tentara Belanda sudah masuk Rawagede. Selanjutnya, sebagian dari mereka ada yang segera lari, dan ada juga yang kemudian memberitahukannya kepada warga yang lain.
Warga desa yang merupakan pejuang pun ada yang langsung berlari meninggalkan desa dan ada juga yang tetap di desa, tetapi bersembunyi. Namun, penduduk sipil yang tidak tahu apa-apa tetap tinggal di rumahnya, dan mereka pun dipanggil oleh tentara Belanda.
Setelah itu, semua penduduk desa yang berusia di atas 15 tahun mulai dikumpulkan dan ditanyai satu per satu. ”Belanda bertanya tentang keberadaan Lukas Kustario, dan semua penduduk desa menjawabnya tidak tahu,” kata Sukarman.
Penduduk desa itu pun dibagi menjadi 9 kelompok. Kesembilan kelompok itu tetap menjawab tidak tahu semua, meskipun mereka tahu bahwa pasukan Lukas sudah meninggalkan Rawagede sejak sore sebelumnya.
Akhirnya, kesembilan kelompok itu pun dibantai satu per satu. Mereka yang cacat atau sakit, termasuk juga yang usianya masih sekitar 14–15 tahun, dikeluarkan dari kelompok, dan tidak ikut dibunuh.
Para Pejuang Ditemukan
Pada siang hari, persembunyian para pejuang di Rawagede ditemukan. ”Langsung saja semua pejuang yang ada di sana dieksekusi dalam jarak 7–10 meter,” kata Sukarman.
Salah seorang pejuang yang bernama Surya Suhanda berhasil lari dari pembantaian itu. Dia berlari dan ketika melompati sebuah pagar pembatas desa, tertembak di sebelah pinggulnya.
Setelah tiba di sebuah kali, ternyata keberadaan Surya tidak terlihat oleh tentara Belanda yang mengejarnya. Tentara Belanda mengira bahwa di sekitar kali itu pasti ada banyak pejuang Indonesia.
Langsung saja mereka memberondongkan peluru ke dalam air dan ke arah semak-semak yang ada di sekitar kali. Benar saja, berondongan peluru itu pun membantai mereka yang bersembunyi di sekitar kali.
Namun, ada dua orang yang ternyata lolos dari berondongan peluru itu, yaitu Saih dan Kadi. Setelah merasa sudah tidak ada lagi tentara Belanda, keduanya pun segera keluar dari persembunyiannya di dalam kali.
Malangnya, begitu keluar dari persembunyiannya, mereka berdua langsung tertangkap. Kadi langsung dibunuh, sedangkan Saih disuruh untuk mengumpulkan keluarganya.
Ada 14 orang yang berhasil dikumpulkan Saih, termasuk orang tua dan anaknya. Semuanya akhirnya ditembak dari belakang karena diketahui sebagai anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Saih terkena tembakan, tetapi tidak sampai meninggal dunia. Namun, dia berpura-pura mati, sehingga bisa lolos dari pembantaian itu dan masih hidup hingga sekarang.
Pada malam harinya, Surya Suhanda mulai mengomando semua pejuang yang bisa lolos dari pembantaian itu untuk lari. Sementara itu, wanita-wanita yang suaminya dibunuh mulai mencari-cari suaminya.
Karena hanya tinggal kaum wanita, mereka membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk bisa mengumpulkan semua korban dan bisa menguburkannya. Yang diketahui, ada 431 korban yang tewas di dalam pembantaian tersebut.
Namun, sebenarnya masih banyak lagi yang mayatnya tidak ditemukan. ”Mungkin mereka inilah seperti yang disebut Chairil Anwar, hanya tulang-tulang yang berserakan,” kata Sukarman.
Memang belum bisa dipastikan siapakah yang dimaksud Chairil Anwar sebagai ”tulang-tulang berserakan” di dalam puisinya yang berjudul Karawang-Bekasi. Namun, Sukarman sendiri mengatakan bahwa Chairil Anwar memang pernah tinggal di daerah Karawang, sehingga kemungkinan besar bahwa pembantaian Rawagede inilah yang ingin diceritakannya di dalam puisi tersebut.
Ada Kecemburuan
Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sedang mempelajari kesaksian dari para janda korban pembantaian di Rawagede itu, dan juga kesaksian dari Saih. Rencananya, pada September nanti, KUKB akan mulai mengajukan tuntutannya kepada hukum internasional atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda itu.
Dalam investigasi yang dilakukan Sabtu (16/8) lalu, KUKB juga telah menyerahkan bantuan sejumlah uang dan pakaian kepada para janda yang berjumlah 9 orang, dan juga kepada Saih. ”Namun, sebenarnya masih ada sekitar 181 orang lagi ahli waris dari korban pembantaian di Rawagede itu,” kata Sukarman.
Menurut Sukarman, semua ahli waris seharusnya mendapat perlakuan yang sama. Perlakuan yang spesial kepada 9 janda dan Saih justru bisa menimbulkan kecemburuan terhadap keluarga korban-korban yang lainnya.
Namun, pengacara yang menangani tuntutan ini, GW Pulles, dari Kantor Pengacara Bohler Franken Koppe Wijngaarden, Amsterdam, Belanda, mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa kesembilan janda dan Saih diberlakukan secara spesial. Menurut dia, mereka inilah yang langsung menyaksikan pembantaian pada 9 Desember 1947 itu.
”Selain itu, kami juga perlu memastikan lagi kalau memang ada keluarga korban yang lainnya,” kata Pulles. Untuk memastikannya itu, Pulles mengatakan memerlukan waktu yang lebih lama dan dipastikan akan menelan biaya yang lebih besar lagi.
Bila kesaksian 9 janda dan Saih bisa diselesaikan, Pulles juga berjanji akan meneruskan dengan tuntutan dari para saksi dan korban yang lain. Karenanya, menurut dia, tidak relevan untuk membicarakan tentang kecemburuan yang lainnya, karena kalau tuntutan ini berhasil, yang akan merasakannya adalah seluruh warga Rawagede sendiri.
(dwin gideon)
sumber Sinar Harapan 2008
Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945
Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah.
Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti.
Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ).
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company…." Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…”
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.
sumber dari wikipedia indonesia dan swaramuslim.com
Fakta Baru mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949
Let Jen Spoor Pada 11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd –BIO).yang rencananya hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg –BFO- (Musyawarah Negara Federal), tanpa ikut sertanya Republik Indonesia. Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang Dewan Siasat Militer beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera memberangkatkan Presiden Sukarno ke India. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Belanda, alasan yang akan dikemukakan adalah suatu kunjungan resmi kenegaraan. Hal tersebut disampaikan kepada Wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus, yang segera meneruskan kepada Perdana Menteri India. Perdana Menteri Nehru menyetujuinya dan bahkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput Presiden Sukarno. Direncanakan, Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 15 Desember 1948 dan akan ditemani antara lain oleh Komodor Udara Suriadarma, namun pesawat yang dikirim oleh Perdana Menteri India, ditahan oleh Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan melanjutkan penerbangan ke Yogyakarta. Malam sebelumnya, Presiden Sukarno bahkan telah menyampaikan pidato perpisahan. Tanggal 17 Desember, melalui Ketua KTN Merle Cochran, yang sejak bulan Oktober 1948 menggantikan Dubois, Wakil Presiden Hatta yang juga ketua delegasi Indonesia, mengirim surat kepada Dr. Beel, yang berisi jawaban pihak Indonesia atas permintaan Belanda mengenai rencana pembentukan BIO. Karena penyakit paru yang dideritanya, sejak bulan Oktober 1948 Panglima Besar harus dirawat di rumah sakit, sehingga tugas sehari-hari dilaksanakan oleh para Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Namun firasat Sudirman yang kuat, mendorongnya pada 18 Desember 1948 untuk menyatakan, bahwa mulai hari itu, dia mengambil alih kembali komando Angkatan Perang (KSAP) Republik Indonesia.Kol. T.B. Simatupang, waktu itu adalah Wakil II KSAP mencatat: Pada tanggal 18 Desember pagi saya mengunjungi Pak Dirman yang sejak tiga bulan tidak dapat lagi bangun dari tempat tidurnya. Pada kesempatan itu saya laporkan kepada Pak Dirman bahwa pada satu pihak kita menganggap keadaan cukup genting, tetapi pada pihak lain menurut anggapan pimpinan politik, secara politis Belanda belum dapat memulai serangan selama surat-menyurat melalui wakil Amerika Serikat dalam KTN belum putus. Penyerangan oleh pihak Belanda dalam keadaan seperti itu merupakan politik gila, demikian pendapat di kalangan-kalangan politik. Walau pun begitu rupanya Pak Dirman telah mempunyai firasat bahwa Belanda akan menyerang juga. Pada hari itu Pak Dirman mengeluarkan pengumuman bahwa beliau telah memegang kembali komando. Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio Belanda dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan menyampaikan pidato yang penting.Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana “pemusnahan” TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan “Operasi Kraai.” Pukul 02.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) dari Korps Speciaale Troepen (KST) di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai masuk ke enambelas pesawat transportasi. Pukul 03.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 03.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 04.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 06.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 06.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo. Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional.” Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 07.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban. Sekitar pukul 09.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.Serangan terhadap Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota Yogyakarta. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00: PERINTAH KILAT No. I/P.B./D/19481. Kita telah diserang. 2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. 3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata. 4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda. Dikeluarkan di tempat Tanggal – 19 Desember 1948 Jam – 08.00 Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Letnan Jenderal Sudirman Setelah itu, Jenderal Sudirman berangkat ke Istana Presiden, di mana kemudian dia didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Sudirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Isi Surat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut: Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera. Yogyakarta, 19 Desember 1948 Presiden Wakil Presiden Sukarno Mohammad Hatta Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya: Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi. Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk “Exile Government of the Republic of Indonesia” di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya. Yogyakarta, 19 Desember 1948 Wakil Presiden Menteri Luar Negeri Mohammad Hatta – Agus Salim Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap pasukan Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan prajurit TNI serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI, segera ke luar kota, demikian juga di Yogyakarta. Masing-masing satuan menuju ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan, bumi hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan agar supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda. Perang gerilya dimulai! Setelah berita mengenai agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19 Desember 1949 disiarkan di seluruh dunia, berbagai kritik dan bahkan kecaman tajam dilontarkan oleh banyak negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan tanggal 20 Desember, berarti sehari setelah agresi militer Belanda, Dewan Keamanan PBB segera bersidang di Lake Success, dan kemudian dilanjutkan tanggal 22 Desember di Paris, yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga Negara) yang datang dari Indonesia dan memberikan laporannya. Pada sidang tersebut, Uni Sovyet mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai agresor, namun usul tersebut ditolak oleh sidang. Dewan Keamanan menerima usul Amerika Serikat, Siria dan Kolumbia, yaitu agar tembak-menembak segera dihentikan, dan semua orang Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dibebaskan. Kemudian Dewan Keamanan menerima usul resolusi dari wakil Ukraina, Vassily A. Tanassenko, dan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 24 Desember 1948, yang isinya menyerukan kepada Belanda untuk segera menghentikan aksi militernya. Karena tidak dipatuhi oleh Belanda, Dewan Keamanan mengeluarkan lagi resolusi tanggal 28 Desember, dengan tambahan agar pembesar-pembesar Republik Indonesia yang ditawan, dibebaskan tanpa syarat dalam waktu 24 jam. Kedua resolusi tersebut juga diabaikan oleh Belanda. Tanggal 31 Desember, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Simon H. Spoor, mengumumkan penghentian tembak-menembak yang tampaknya hanya sekadar basa-basi -berlaku di atas kertas saja- karena setelah itu, tentara KNIL di seluruh Indonesia terus melancarkan serangan terhadap tentara Indonesia di wilayah Republik, serta menangkap pimpinan Repulik. Perdana Menteri Belanda, Dr. Willem Drees, menyatakan bahwa “aksi polisional” mereka telah selesai, dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Pemerintah Belanda nampaknya tidak menduga reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari Pemerintah dan Senat Amerika Serikat, serta Dewan Keamanan PBB, yang segera mengeluarkan dua resolusi berturut-turut. Merle Cochran, wakil Amerika Serikat yang ditunjuk sebagai Ketua KTN, awal Januari dipanggil oleh Dewan Keamanan untuk memberikan laporannya mengenai situasi di Indonesia. Dalam Sidang Dewan Keamanan yang dilangsungkan di Lake Success tanggal 7 Januari 1949, wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB, Philip Jessup menyampaikan sikap Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih tegas daripada yang dikemukakan oleh Lovett tanggal 23 Desember 1948. Tamparan pertama dari pihak BFO adalah pengunduran diri Ketua “Negara Pasundan”, Mr. Adil Puradireja, sebagai protes terhadap agresi militer Belanda tersebut. Di PBB dan di dunia internasional, terjadi perang diplomasi antara Republik Indonesia dan Belanda. Tokoh-tokoh Republik di luar negeri berusaha untuk membuktikan kepada dunia internasional, bahwa Republik Indonesia dan TNI masih eksis. Di pihak lain, Belanda terus berusaha untuk meyakinkan negara-negara lain di PBB, bahwa Republik Indonesia dengan TNI-nya sudah tidak ada. KTN (Komisi Tiga Negara) masih tetap ada di Yogyakarta untuk mengadakan pemantauan situasi, dan selalu memberikan laporan kepada Dewan Keamanan PBB. Sejak pengaduan Republik kepada Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran Perjanjian Linggajati yang dilakukan Belanda dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947, The Indonesian Question (Masalah Indonesia) tidak henti-hentinya ada di dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Berbagai resolusi telah dikeluarkan sejak tahun 1947, namun Belanda masih tetap keras kepala dan tidak mau melihat kenyataan, bahwa Kemerdekaan Republik Indonesia tidak dapat dihalangi lagi. Belanda melawan opini dunia dan masih berusaha memutar balik jarum jam sejarah. Di PBB makin banyak negara termasuk Amerika Serikat, yang tidak percaya dengan versi Belanda. Beberapa negara melancarkan inisiatif untuk mendesak Belanda keluar dari Indonesia dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Terutama adalah Amerika Serikat yang ingin segera dihentikannya pertempuran di Indonesia dan telah memberikan isyarat, bahwa AS menyetujui pengakuan kedaulatan RI. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari strategi global AS untuk menghadang komunisme, berdasarkan teori dominonya pada waktu itu. AS sangat kuatir, karena Uni Sovyet melancarkan propaganda dengan mengidentiskan kolonialisme dengan kapitalisme. Perang dingin ideologi telah dimulai sejak tahun 1945, diawali di Konferensi Yalta. Berbagai kalangan di Amerika Serikat mendesak Pemerintah Amerika Serikat agar membekukan bantuan untuk negeri Belanda dalam rangka Marshall Plan (European Recovery Programm, program pemulihan/pembangunan Eropa, setelah Perang Dunia II), karena mereka menilai, Belanda menggunakan dana bantuan tersebut untuk membiayai agresi militer di Indonesia, yang diperkirakan menelan biaya sebesar satu juta US $/hari. Setelah Dewan Keamanan melihat bahwa Belanda tidak mematuhi Resolusi Dewan Keamanan tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948, awal Januari 1949 Dewan Keamanan menggelar sidang lagi untuk membahas masalah agresi militer Belanda. Amerika Serikat dan Uni Sovyet saling menuduh, bahwa yang dilakukan oleh masing-masing negara tersebut hanyalah agar Republik Indonesia tidak masuk ke bawah pengaruh negara lawan politisnya.Pada 22 Desember 1948, Kolonel Nasution selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa mengeluarkan maklumat yang isinya: Markas Besar Komando Jawa Maklumat No. 2/MBKD Berhubung dengan keadaan perang, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 dan 70, kami maklumkan berlakunya Pemerintahan Militair untuk seluruh Pulau Jawa. Dikeluarkan: di tempat Pada tanggal: 22 Dec.’49 Pada jam: 08.00 Panglima Tentara danTeritorium Jawa Ttd. (Kol. A.H. Nasution) Kepada: 1. Semua Div. 2. – id – Bd. 3. – id – STC 4. Residen Divisi III di bawah Kolonel Bambang Sugeng bermarkas di desa Kaliangkrik, dan sesuai dengan Perintah Siasat No. 1 dari Panglima Besar, di daerah gerilya dibentuk Wehrkreise (Wehrkreis, bahasa Jerman, artinya: Wilayah Pertahanan) dan Subwehrkreise (SWK). Pembagian Wehrkreise (WK) di wilayah Divisi III/Gubernur Militer III adalah:
Begitu juga jaringan teritorial yang telah dipersiapkan beberapa bulan sebelum serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 berfungsi dengan baik, sehingga para Panglima/Gubernur Militer dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman yang juga adalah Kepala Staf Angkatan Perang. Hirarki kemiliteran tetap berfungsi selama perang gerilya. Mengenai perjalanannya di Jawa yang dimulai tanggal 25 Februari 1949, Simatupang mencatat: “Organisasi teritorial kita telah cukup teratur pada waktu itu, sehingga kami tidak usah membawa apa-apa selain daripada sekadar pakaian, sebab di mana-mana organisasi teritorial itu akan menyediakan penunjuk jalan, tenaga-tenaga pengangkut barang, tempat tidur, makanan dan di daerah-daerah yang kurang aman, pengawalan.” Setelah melalui serangkaian perdebatan dan sanggahan dari wakil Belanda, akhirnya Dewan Keamanan PBB menerima usulan yang dimajukan oleh Amerika Serikat bersama Kuba, Norwegia dan Cina (Taiwan-pen.), yang isinya a.l. menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai perundingan dengan pihak Republik Indonesia, guna membicarakan pengakuan/penyerahan kedaulatan kepada RI. Pada tanggal 28 Januari 1948, Dewan Keamanan PBB menerima usulan 4 negara tersebut dan menetapkan sebagai Resolusi PBB No. 67, tanggal 28 Januari 1949, mengenai “The Indonesian Question.“
Secara keseluruhan resolusi tersebut menunjukkan sikap lunak negara-negara “Super Power” Barat terhadap Belanda, karena walau bagaimana pun, Belanda adalah sekutu mereka dalam Perang Dunia II. Perang dingin melawan komunisme telah dimulai. Pada waktu itu sedang dilakukan perundingan antara Amerika Serikat dengan negara-negara Eropa Barat, termasuk Belanda, dalam rangka rencana pembentukan Pakta Pertahanan, yaitu North Atlantic Treaty Organization (NATO), untuk menghadapi blok komunis yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Butir satu dan dua dari resolusi tersebut dengan jelas meminta Belanda untuk segera menghentikan aksi militernya di Indonesia, serta dengan segera membebaskan tanpa syarat, semua tahanan politik yang ditahan Belanda sejak 19 Desember 1948. Selain itu, resolusi telah menetapkan agenda penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Resolusi itu juga merubah Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia), menjadi United Nations Comission for Indonesia -UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia -KPBBI), yang mempunyai wewenang lebih besar. Dengan demikian Dewan Keamanan PBB resmi membentuk satu Komisi PBB untuk Indonesia. Merle Cochran dari Amerika Serikat, yang sebelumnya adalah Ketua KTN, diberi kepercayaan lagi untuk menjadi ketua UNCI. Empat negara anggota Dewan Keamanan tidak menyetujui resolusi tersebut, yaitu Argentina, Prancis, Uni Sovyet dan Ukraina. Wakil Ukraina, Vassily Tarasenko, melancarkan serangan hebat terhadap rencana resolusi itu seluruhnya dan menamakannya suatu “resolusi kapitulasi.” Wakil Argentina mengatakan, bahwa Dewan Keamanan seharusnya memberikan dukungan penuh untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, sedangkan Yacob A. Malik, wakil Uni Sovyet menyatakan, bahwa resolusi tersebut adalah suatu contoh yang menyolok mata, bagaimana negara-negara Barat memperlakukan negara-negara Timur, yaitu memihak kepada pihak penyerang. Ia menunjuk kepada sikap Belgia, yang dikatakannya mencoba membenarkan tindakan agresi Belanda. | |
Perencanaan Serangan Umum di Seluruh Wilayah Divisi III. Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol dr. wiliater Hutagalung -yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III- bertemu dengan Panglima Besar (Pangsar) guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui radio rimbu, Panglima Besar juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda. Hutagalung, yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta. Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republiok Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Pangsar menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III. Letkol dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar, sebelum kembali ke markas di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol dr. wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi. Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Pangsar, dan kemudian dibahas bersama-sama. Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai “grand design” adalah:
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, “grand design” yang dimajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai “serangan spektakuler” terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta. Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
Selain itu, sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah “terlatih” dalam menyerang pertahanan tentara Belanda. Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Nasution menulis: “Gubernur Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia dengan tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering berpindah-pindah di gunung-gunung.” Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk “skenario” seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna “menunjukkan diri” kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: “Bagaimana menyebarluaskan ke dunia internasional?” Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan, berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan, apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat, seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang – Yogya hanya sekitar 3 – 4 jam saja; Solo – Yogya, sekitar 4 – 5 jam, dan Semarang – Yogya, sekitar 6 – 7 jam.Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi IIIGM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak, dapat diperlambat. Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking, ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total -sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1- yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian. Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreis II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto. Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreis III/Brigade 10 Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan “grand design” kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang supir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal. Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis, yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang. Dalam catatan harian tertanggal 18 Februari 1949, Simatupang menulis (Lihat catatan harian T.B. simatupang: “Laporan dari Banaran”, Jakarta 1960, halaman 60): “Kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran. Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar).Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran. Saya jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta. Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat kedudukan kita. Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.” Simatupang dimohon untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio Auri di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat. Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini. Bunyi instruksi rahasia tertanggal 18 Februari 1949 adalah (copy asli, lihat lampiran/attachment): STAF DIVISI III/G.M.III Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto, untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX.INSTRUKSI RAHASIA Tanggal: 18/II/1949 Dengan ini diperintahkan kepada: Comandant Daerah I Untuk : 1. Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949 s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu obyek musuh di Daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah balabantuan untuk Yogyakarta. 2. Selesai. Dikeluarkan di : tempat Tanggal : 18-II-1949. Jam : 20.00 (tandatangan) Gub.Mil III/Panglima Div.III (Kolonel Bambang Sugeng) Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreis III melalui pegunungan Menoreh, untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan. Mengenai pemberian tugas kepada Letkol Suharto, dalam otobiografinya dr. Hutagalung menulis: … Sesampainya di wilayah Brigade X, kepada kami diberitahukan, bahwa pertemuan akan diadakan di salah satu sekolah desa. Oleh karena ada hal yang mencurigakan, pertemuan dipindahkan ke sebuah gubug di tengah sawah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 5 (lima) orang, yakni Panglima Divisi/Gubernur Militer Kolonel Bambang Soegeng, Perwira Teritorial Letkol. Dr.W.Hutagalung beserta ajudan, Letnan Amron Tanjung dan Komandan Brigade X Letkol. Soeharto beserta ajudan. Panglima Divisi membuka rapat dengan kata-kata :”Bersama ini rapat dibuka dan dipersilahkan Dr.Hutagalung untuk menguraikan tujuan”.Penulis berdiri serta mengulurkan tangan kepada Komandan Brigade X Letkol. Soeharto dan mengatakan :”Saudara Soeharto, saya ucapkan selamat pada saudara Soeharto oleh karena ditakdirkan untuk memegang peranan penting dalam perjuangan kita. Nama saudara Soeharto akan dicantumkan dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia” Setelah duduk kembali, penulis meneruskan dan menguraikan tentang sidang di gunung Sumbing yang dihadiri pimpinan pemerintahan sipil dan militer serta pertemuan dengan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, dengan keputusan : 1. Perlu melancarkan serangan “spektakuler” untuk meyakinkan dunia pada umumnya, khususnya Amerika Serikat, bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, mempunyai wilayah pemerintahan, organisasi dan kekuatan militer. Agar Amerika Serikat mempertegas dukungan terhadap resolusi PBB, serta menghentikan bantuan keuangan dan persenjataan pada Belanda yang sebenarnya sudah bangkrut. 2. Memilih kota Yogyakarta sebagai sasaran, dan menugaskan Komandan Brigade X/Wehrkreis lll, Letnan Kolonel Soeharto untuk melaksanakan rencana ini.Kemudian penulis mengajukan pertanyaan: “Siapkah Saudara Soeharto untuk melaksanakannya ?” Dijawab : “Siap!” Setelah itu diurakan secara rinci pembicaraan dalam rapat di lereng Gunung Sumbing dan di Banaran, terutama mengenai tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar supaya pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia yang bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis dapat masuk ke Hotel Merdeka, guna berbicara dengan wartawan-wartawan asing yang berada di Hotel tersebut. Diperoleh informasi, bahwa utusan Dewan Keamanan PBB, United Nations Commission for Indonesia (UNCI) masih berada di Yogyakarta. Harus diusahakan agar mereka dapat melihat Tentara Nasional Indonesia. Mengenai persiapan dengan pemuda-pemuda tersebut, harus dikoordinasikan dengan saudara Wijono dari Pepolit. Serangan harus dilaksanakan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949, agar supaya sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan oleh Panglima Divisi kepada Komandan-Komandan pasukan lainnya di sekitar Yogyakarta … Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. | |
Serangan Umum 1 Maret 1949 Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta. Mengenai operasi militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD tertulis: “Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.” Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.Mengenai serangan tersebut, pihak Belanda memberikan keterangan sbb.: Hari Selasa pagi tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang berada di perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai tempat di dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan telah dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kuta dari jurusan barat, sedang percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan selatan, di mana terletak Kraton-dalam. Segera militer Belanda mengambil tindakan untuk mematahkan serangan-serangan itu. Dengan melintas kota sebuah kolone dikerahkan ke tempat yang terancam di selatan kota itu guna menghadapi gerombolan yang menyerang. Kolone terebut ditembaki dengan hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil mencapai tembok utara kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton. Tembakan juga datang dari penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-pohon halaman kraton-dalam. Karena itu komandan kolone minta supaya diizinkan memasuki kraton, permintaan mana segera dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di halaman kraton-dalam tidak ada anggota gerombolan yang menyerang. Penyelidikan lebih lanjut dilakukan. Kekacauan berakhir lebih kurang pukul 11 pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang anggota gerombolan yang setelah menyusun kekuatannya di sekitar kota, melancarkan serangan ke dalam kota. Para penyerang, yang sebagian bersenjakan kuat, telah dapat dicerai-beraikan di semua tempat dengan menderita kerugian besar dan terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya. Di fihak Belanda 6 orang tewas, di antaranya 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram. Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan. Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan, betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan “besar-besaran” Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun limapuluhan di Pulo Mas, Jakarta. | |
Kontroversi “Pemrakarsa” Serangan Umum 1 Maret 1949 Hingga awal tahun tujuhpuluhan, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di Medan (Medan Area Oktober 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15 Desember 1945), Bandung lautan api (April 1946), perang Puputan Margarana/Bali (20 November 1946), pertempuran 5 hari 5 malam di palembang (1 – 5 Januari 1947), juga tidak melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan –sebagian bersama keluarga mereka- dari Yogyakarta/Jawa Tengah ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi Wingate untuk melakukan perang gerilya di Jawa Barat, setelah Belanda melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek Suroboyo pada 28/29 Oktober dan bulan November/Desember 1945, yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas”, Nasution menulis: “…enam jam di Yogya -yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif yang sedang dilancarkan oleh Panglima B. Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang dan Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian Divisi IV (Jawa Barat).” Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga AURI, Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari Brigade IX dan Brigade X, di-back up oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas mengikat Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah atau paling tidak memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin seorang panglima atau komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu diingat, ketika Belanda menduduki Ibukota RI, Yogyakarta, tanpa perlawanan dari TNI, karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak sanggup menahan serangan Belanda. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat, tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan pejuang serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar TNI. Apakah semua ini dapat dipersiapkan, dilakukan atau diperintahkan oleh seorang komandan brigade? Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio AURI di Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu berada di Wiladek. Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang komandan brigade dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang berada dua tingkat di atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa Inggris) yang akan disampaikan kepada pihak AURI untuk kemudian disiarkan oleh stasiun pemancar AURI. Dengan demikian, menurut versi ini, perencanaan serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian “memberikan instruksi” kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi. Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa (MBKD), Kolonel Abdul Haris Nasution, dibentuk Pemerintah Militer di seluruh Jawa. Struktur dan hirarki militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan pasukan dapat menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah komandonya tanpa seizin atasan. Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin dilakukan oleh komandan yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang yang dalam hirarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian Pertahanan serta pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio. Berdasarkan bukti dan dokumen yang ada, serangan tersebut jelas melibatkan berapa pihak di luar Brigade X/Wehrkreis III; bahkan terlihat peran beberapa atasan langsung Letkol Suharto. Nasih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali seluruh operasi di wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel Bambang Sugeng. Hal ini terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis II Letkol. M. Bachrun, di mana jelas disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada Komandan Wehrkreis III, Letkol Suharto. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung membantu dalam serangan ke kota adalah Brigade IX. Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan, bahwa Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi tertulis. Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, untuk a.l. “… mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya… yang dapat menarik perhatian dunia luar…”. Dalam buku yang sama di halaman 265, Nasution menulis: “Panglima Divisi III telah memerintahkan serangan umum terhadap Yogya pada tanggal 1 Maret 1949, yang mempunyai efek yang besar terhadap….” Dokumen ketiga yang membuktikan, bahwa seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I (Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949. Isi Perintah Siasat tersebut adalah: Staf Gubernur Militer III. Sangat Rahasia. PERINTAH SIASAT Nomor: 9/PS/49 Keadaan: 1. Mulai tanggal 1-III-1949 serangan terhadap Ibukota telah dimulai dan usaha merebut Ibukota akan dilakukan berkali-kali. Kekuatan dari fihak kita melulu dari Brigade X, ditambah dengan pasukan-pasukan kecil dari kesatuan-kesatuan lain-lainnya. Bantuan yang diberikan kepada Brigade X 1 Cie (kompi-pen.) dari Bat. Srohardoyo 1 Bat. Dari Bat. Darjatmo Brigade IX. 2. Berhubung dengan aktiviteit dari fihak kita, maka Belanda menggerakkan balabantuan dari Semarang dan Magelang (ditaksir 2000 orang lengkap) dan dibantu dengan Luchtmach-nya (Angkatan Udara-pen.), sehingga druk (tekanan-pen.) ke medan Yogya sangat beratnya. Perintah: Berhubung dengan hal tsb. Maka diperintahkan kepada Cdt. Daerah I dan Cdt. Daerah II U n t u k: 1. Vernegen (meningkatkan-pen.) aktiviteitnya di daerahnya, terutama ditujukan kepada centra dari Prembun-Kebumen- Magelang-Semarang wetelijk gedeelte Purwokerto- Probolinggo-Karangkobar. 2. Untuk daerah W.K. Brigade IX, terutama verbindingsweg (jalan penghubung-pen.) Magelang-Semarang dan Magelang- Yogya. (Dalam hal ini Bat. Panuju ditarik ke Magelang utara dan Bat. Bintoro verschuiven ke arah timur). 3. Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode 15-III-1949 hingga 1-IV-1949 dan selanjutnya tetap meluaskan perlawanan. S e l e s a i. Dibuat utk. Dibuat di tempat 1. Cdt. Daerah I. Tanggal : 15-III-1949 2. Cdt. Daerah II J a m : 12.00 Tindasan utk. Panglima Divisi III/G.M. III 1. Staf Divisi III. 2. M.B.K.D. 3. Cdt. Daerah III. (Kolonel Bambang Sugeng) 4. Arsip. Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu: 1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949, 2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan 3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949, membuktikan, bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III, tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution, yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera: Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta – Kedu – Banyumas – Pekalongan – sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran. …Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran… Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasan dari Bambang Sugeng yang dapat saya tangkap… Dengan Kolonel Sugeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya. “…datang dan bermalam di Banaran. …Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya” terlihat, bahwa Bambang Sugeng mengeluarkan instruksi rahasia tersebut tertanggal 18 Februari, setelah berkonsultasi dengan Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang.Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa Simatupang banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan teks dalam bahasa Inggris tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949. Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka juga telah “dipersiapkan” untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa Simatupang juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena dalam catatan hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia menyampaikan teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa “Serangan Spektakuler” tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional. Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk kepentingan penguasa. Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak, yang dalam hirarki militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin, bahwa komando operasi dipegang oleh seorang komandan brigade. Dalam instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5, Kolonel Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan: “… Peliharalah terus hierarchie ketentaraan…” Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan kompi, berpangkat Kapten). Dalam naskah yang ditulis di penjara Cipinang antara tahun 1991 – 1997, tertera (Abdul Latief. Naskah, belum ada judul, (diperoleh penulis tahun 1998), hlm. 57): “Semua yang saya tulis di sini dengan sendirinya menurut pengalaman yang saya rasakan, saya ketahui dan saya alami pada kejadian waktu itu di sekitar daerah yang ditugaskan kepada saya. Sebab skope pasukan saya kecil, yaitu hanya merupakan sebuah kompi saja yang hanya mempunyai daerah terbatas.” Perlu dianalisis kalimat yang tertulis dalam otobiografi Suharto, yaitu: “… Maka muncul keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada dunia, kebohongan Belanda itu. Karena sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan Wehrkreise yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa …“ “… Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas, Jawa Timur) dan pindah ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus Kolonel Bambang Supeno supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama setelah Kol. Bambang Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri Kehakiman Susanto Tirtoprojo . Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.” … Tanggal 8.2.1949, di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke Yogyakarta, di antaranya Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai politik, Letnan Basuki dan dr. Suwondo (dokter pribadi Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten Cokropanolo untuk menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya ditangkap Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan Kapten Cokropranolo. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar, dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak ditangkap Belanda. Jelas, Suharto yang waktu itu hanya komandan brigade, tidak termasuk lingkungan yang dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar. Selanjutnya, N.S.S. Tarjo menulis: Maka datanglah peserta dari seluruh wilayah, mereka menginap, mereka membawa staf, mereka berunding sambil “makan besar”, tak ketinggalan potret-potret sebagai dokumentasi. Tak ubahnya seperti konferensi dinas di dalam kota.”“…Dengan pemancar ini beserta radio-radio rimbu (Radio dengan tenaga listrik buatan. Kekuatan stromnya diperoleh dengan jalan memutar roda sepeda – pen.) , pimpinan Gerilya kita dapat mengikuti situasi Internasional dan dapat menyusun rencana perang Gerilya, sesuai dengan situasi politik, karenanya kita masih mampu berhubungan satu sama lain via darat dan udara, bahkan mampu mengadakan Konferensi Dinas Gubernur Militer, yang kita selenggarakan di daerah Wadas-lintang. Komunikasi dengan pimpinan militer dan sipil di Sumatera, akhir Januari 1949 telah dapat dijalin, seperti ditulis oleh Simatupang: “…Dan memang, akhir bulan Januari hubungan radio telegrafis telah pulih dengan Sumatera, dan melalui Sumatera sejak itu kami dapat pula mengirimkan berita-berita kepada perwakilan kita di New Delhi. Dengan Yogyakarta hubungan segera dapat diatur. Hari kedua setelah kami tiba di Dekso saya dapat mengirim surat-surat kepada Dr. Halim yang berada di kota dan tidak lama kemudian balasannya telah dapat saya terima…”Ini hanya beberapa catatan sebagai bukti, bahwa pernyataan Suharto sama sekali tidak benar. Memang, hanya sebagai Komandan Brigade, dia tidak termasuk jajaran yang harus atau dapat mengetahui keberadaan Panglima Besar, sedangkan Panglima Divisi/Gubernur Militer atau pimpinan tertinggi sipil, tidak sulit untuk bertemu, bahkan hadir dalam Konferensi Dinas yang diselenggarakan oleh Panglima Besar. Dari sekian banyak dokumen yang ada mengenai korespondensi pimpinan sipil dan militer, terlihat bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai hambatan untuk memberikan perintah, instruksi atau saling berkomunikasi. Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia mengambil keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama, hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade X, masih mempunyai atasan langsung, yaitu Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya hanya berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III. Juga ada Kolonel A.H. Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa berada di desa Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung Sumbing, tidak jauh dari markas Divisi III. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayah Divisi III berada dalam radius sekitar 24 jam berjalan kaki. Seorang pelaku serangan umum, Vence Sumual, dalam biografinya yang diterbitkan tahun 1998 menulis, bahwa dia dipanggil oleh Suharto untuk membicarakan rencana serangan tersebut. Sumual menulis (Sumual, Vence, Menatap Hanya Ke Depan, Bina Insani, Jakarta, 1998, hlm. 85): “… Panglima Divisi III, yang kini merupakan juga Gubernur Militer Daerah III, Kol Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia untuk Letkol Suharto, Komandan WK-III, agar mengadakan serangan umum yang lebih kuat lagi. Sedangkan kepada WK-I dan II diinstruksikan untuk memberikan bantuan pasukan ke dalam komando Letkol Suharto…” Selanjutnya, Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menulis:“… Sore harinya baru tiba. Markas SWK-106 berada di desa Semaken. Mayor Sumual langsung diantar masuk ke ruang dalam. Bob Mandagie tunggu di luar, mengobrol dengan beberapa anggota pasukan di situ. Di situ hanya mereka bertiga. Vence Sumual, Letkol Suharto dan Komandan SWK-106 Letkol Sudarto yang tuan rumah. Mereka bikin rapat. Uraian Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan bukan gagasan Suharto atau perintah dari Hamengku Buwono IX. Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di bawah komandonya: Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang. Kalimat: “…dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang” juga membuktikan kebenaran keterangan Letnan Kolonel dr. Hutagalung, yang menyebutkan, bahwa Wehrkreis II juga terlibat dalam aksi besar-besaran tersebut; perintah tertulis kepada Komandan Wehrkreis II tidak perlu diberikan, karena Letnan Kolonel Sarbini hadir dalam rapat perencanaan di lereng Gunung Sumbing.Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke luar kota. Dalam buku SESKOAD tertulis: “… Tiba-tiba datang seorang kurir dari Istana membawa berita bahwa apapun yang terjadi, para pejabat pemerintah tetap di kota. Mereka semua mendongkol, segera direncanakan penculikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sebuah pasukan telah disiapkan. Namun, kemudian Kolonel T.B. Simatupang melarangnya. Rencana itu dibatalkan.” Seandainya memang benar ada rencana “penculikan” Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya. Dalam buku SESKOAD setebal sekitar 400 halaman hanya dengan beberapa baris saja Sukarno didiskreditkan, dan digambarkan sebagai seorang pengecut yang tidak berani memimpin perang gerilya. Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan tersebut datang dari Hamengku Buwono IX (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono IX memanggil Letkol Suharto dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi perintah kepada Suharto untuk melaksanakan serangan atas kota Yogyakarta, dan HB IX telah menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1 Maret 1949. Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer berfungsi dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan untuk mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan komandan yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan dari atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar Angkatan Darat. Dengan demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan diberikan oleh seseorang yang berada di luar garis komando militer, adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi langsung kepada komandan pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan. Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri. Di beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana disebutkan, bahwa selain Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Hanya yang mengherankan adalah disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi dari Panglima Divisi Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III, Letnan Kolonel Suharto, untuk melakukan serangan atas Ibukota Yogyakarta antara tanggal 25 Februari – 1 Maret 1949. Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil Suharto untuk menghadap: … Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan. Ia kemudian mendapat satu akal … … Namun ia harus cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan siasat.Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, kutipan tersebut selanjutnya berbunyi: Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang dalam otobiografinya menyebutkan bahwa:… HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB IX – Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret. Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. … sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas … Di era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan penulisan sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah diterapkan oleh Suharto dan merekayasa legenda baru. Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua kesimpulan diarahkan kepada kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan segala sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada penjelasan, mengenai apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan oleh pendukung HB IX. Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat, sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk menciptakan suatu legenda baru untuk mengkultuskan dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap Yogyakarta tersebut menjadi tindakan, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan di PBB di Lake Success (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis). Brigjen. (Purn.) Marsudi seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web koridor.com tertanggal 23 Juni 2000, menyebutkan, bahwa Hamengku Buwono IX yang memberikan perintah kepada Suharto. Koridor.com menuliskan: “Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C Marsoedi menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki ibukota RI Yogyakarta; pada Siang hari datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Menurut dia, juga tidak benar Soeharto pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX. “Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan Soeharto,” katanya. Ia menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH H Prabuningrat, saudara Sri Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX. Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana pranakan, jenis baju tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari pertemuan itu, Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek. “Tunggu perintah lebih lanjut,” kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu itu. Ia mengungkapkan, sebelum bertemu Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima Besar Soedirman dan kemudian dijawab oleh Bapak TNI ini agar menghubungi Letkol Soeharto di Blibis.” Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat Tabloid mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 – 16 November 1998): “Gubernur Militer Bambang Sugeng itu ‘kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang.” Sangat tidak tepat, apabila Marsudi menyebutkan “Peranan Panglima Divisi tak terasa.” Marsudi, yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan hirarki militer. Marsudi yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan mengetahui peranan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng. Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng, selain yang langsung memimpin rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18 Februari 1949 -di mana disusun “Grand Design” Serangan Umum tersebut- juga memimpin sendiri rombongan dengan melakukan perjalanan kaki berhari-hari dari lereng Gunung Sumbing, menuju Brosot untuk menyampaikan “Grand Design” itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel Wiyono dari PEPOLIT dan termasuk kepada Letkol Suharto. Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng. Kemudian sehubungan dengan alasan “sarana komunikasi terbatas” maka “ada hirarki yang diterjang,”, sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan pernyataan Suharto, alasan tersebut telah terbantah. Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, oleh karena mereka tidak mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk menerjang hirarki. Selain itu, pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman. Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya sendiri, yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui tempat persembunyian Panglima Besar. Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, bahwa pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tim ini mengutip a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, di mana dikutip: “Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di persembunyiannya, meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya… HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu….Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.…Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa “pendudukan Yogya” oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.” Tampaknya menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu selain menetapkan tanggal penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari tanggal 1 Maret 1949, ia memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut dihentikan, seperti dituliskan: … Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa “pendudukan Yogya” oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup. Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel Suharto, yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para atasannya. Juga adalah suatu hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal penyerangan, tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran. Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak mengetahui mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa pasukan. Walau pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun kemudian TLAI membuat kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya “sudah cukup.” Dikemukakan juga kesaksian seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI menuliskan: …kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu. TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa HB IX adalah pemrakarsa, dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut memberikan kesan, bahwa kelompok yang mempunyai kekuasaan dan dana, dapat membayar “pakar sejarah” untuk menulis sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang selama ini dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak berbeda dengan “tukang jahit.”“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus dan tidak dirubah titik-komanya): “… kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan “pemerintah” kita diserahkan pada Syafroedin Prawiranegara dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan HB IX dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah RI telah “hilang” semenjak Sukarno-Hatta diasingkan Posisi TNI sudah sangat “lemah” dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, “kemiskinan” ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus “Jalan Keluar” dari “kemiskinan”, jadi beliau mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya …”Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang ketika Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra (Reorganisasi – Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI. Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam kata sambutannya, sebagai: “…kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama dalam penulisan buku ini…”. Sebenarnya, ketiga penulis yang adalah Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan seseorang-ataupun tidak mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat bukti yang kuat. Yang berhubungan langsung dengan latar belakang serangan tersebut, sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu pemrakarsa adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas lalu disinggung mengenai versi ketiga, yang dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, mantan Kwartiermeestergeneraal Staf “Q” TNI AD, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perwira Teritorial. Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa Playen, tempat pemancar radio AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH, yang menceriterakan pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun): “…yang ternyata T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud (Budiarjo-pen.)…dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan termasuk gagasan untuk SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode dan isi perintah rahasia dari kurir Pangsar Sudirman…” memang, adalah suatu novum, yaitu “…T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud..” Selain itu, Simatupang juga tidak menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen. Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang Yogyakarta, dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang menulis: …..Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan “SO” atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan “SO” ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita… Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber pembuktian, dapat menuliskan: “… T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo…” Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan “kajian ilmiah” tersebut dengan Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis: Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan fakta sejarah itu. “…de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa ini.” demikian Budi Hartono.Hal baru ini boleh dikatakan mungkin “unik”, yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan versinya. Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa “Serangan Spektakuler” -bahkan seluruh serangan umum di wilayah Divisi III- tersebut bukanlah pemicu perundingan antara Belanda dan Republik Indonesia. Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan saat perundingan antara Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan tersebut difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Namun, keberhasilan “Serangan Umum” (serangan secara besar-besaran yang serentak dilancarkan) di seluruh wilayah Divisi II dan III, termasuk “serangan spektakuler” terhadap Yogyakarta dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV, menambah jumlah keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia, sebagai bukti bahwa TNI masih ada. Keberhasilan “Serangan Umum” tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa, melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-daerah pertempuran. Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia, yaitu di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan Sulawesi, dan ini adalah bagian dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer. Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/TNI saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana dituturkan dalam buku Setiadi Kartohadikusumo: “Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang Merah Indonesia), kalau malam juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya, sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA Tugu dan di Imogiri.” Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah adalah suatu “never ending process”, suatu proses yang tidak akan berakhir, karena sering dapat ditemukan bukti baru, sehingga dengan demikian penulisan sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru. Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat membuktikan perintah atau pun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H. Nasution -Panglima Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau kepada Kolonel T.B. Simatupang -Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-, berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada, serta sesuai hirarki dalam pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer yang dilancarkan di seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980. Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak. Dalam skripsi yang ditulis oleh Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1, diterbitkan pada tahun 1988, telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol. Bambang Sugeng, di mana seharusnya terlihat jelas, bahwa serangan tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Juga telah diwawancarai beberapa pelaku sejarah. Namun terlihat, alur cerita yang disampaikan serta kesimpulan yang diambil, sangat tidak logis. Bahkan buku yang diterbikan SESKOAD tahun 1989, melampirkan banyak dokumen, yang sebenarnya menunjukkan peran beberapa atasan Suharto, namun tampaknya buku tersebut “dijahit” khusus untuk Suharto. Seharusnya, sekarang sudah menjadi kewajiban moral bagi SESKOAD, untuk merevisi buku tersebut dan merehabilitasi beberapa mantan atasan Suharto, karena jasa mereka bagi bangsa, negara dan TNI sangat besar; bahkan beberapa dari mereka termasuk yang berperan bukan saja dalam pembentukan BKR/TKR -cikal bakal TNI- melainkan juga dalam perencanaan serta pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Peran mereka dalam Perang Kemerdekaan II telah dikecilkan, demi mengangkat peran Suharto, yang dahulu hanya komandan Brigade dan kebanyakan hanya melaksanakan perintah atasan. Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan, edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 – 16 November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis oleh Sabam Siagian). Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut diterbitkan, dan menulis kata sambutan. Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf “G” (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf “Q” TNI AD (Kepala Staf “Q” – Head Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat: “dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki Belanda.” Pada 29 Februari 2000, bertempat di Gedung Joang ’45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan diskusi mengenai “Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949″ dan jumpa pers oleh Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra – putri alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr. Anhar Gonggong, yang mengakui, bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun radio yang memberitakan langsung dari Gedung Joang). Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari masing-masing versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia mengundang Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab, bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan Umum 1 Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis mewakili Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Beliau juga hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20 Maret 2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP Tambunan, alm Mayjen (Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah) . Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu hari sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari harian Kompas. Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi Hamengku Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di Yogyakarta, yang menerbitkan buku “Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949″, yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan, bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui alamat TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit. Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda. | |
Kesimpulan Setelah agresi militer yang dilancarkan Belanda tanggal 19 desember 1948 terlihat, bahwa Dewan Keamanan segera menunjukkan reaksi dan bersidang tanggal 20 Desember 1948, sehari setelah serangan Belanda. Dalam sidang yang dilaksanakan tanggal 22 Desember, Dewan Keamanan menerima usul dari wakil Ukraina, Vassily A. Tanassenko dan tanggal 24 Desember 1948 mengeluarkan resolusi, yang isinya adalah seruan agar Belanda segera menghentikan agresi militernya. Karena Belanda tidak mematuhi resolusi tersebut, tanggal 28 Desember, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang isinya dipertajam, yaitu ditambah dengan desakan, agar Belanda segera dan tanpa syarat, membebaskan seluruh pimpinan Republik yang ditawan tanggal 19 Desember serta mengembalikan mereka ke Yogyakarta. Banyak negara segera melancarkan aksi terhadap kegiatan ekonomi dan politik internasional Belanda, seperti larangan terbang di atas wilayah negara mereka, boikot kapal-kapal dagang Belanda, dsb. Yang sangat di luar dugaan Belanda adalah reaksi keras dari Pemerintah Amerika Serikat serta sejumlah Senator di Senat yang mengancam akan menghentikan program bantuan pemulihan ekonomi Belanda, dalam rangka European Recovery Programm (Marshall Plan). Bahkan negara-negara Asia menyelenggarakan suatu Konferensi Asia di New Delhi tanggal 20 – 23 Januari 1949, yang khusus membahas masalah Indonesia dan mengeluarkan resolusi yang sangat tajam bagi Belanda. Resolusi Konferensi Asia tersebut disampaikan kepada Dewan Keamanan, dan mendapat tanggapan yang sangat positif. Resolusi Konferensi Asia dikembangkan oleh Amerika Serikat, China (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang mengajukan resolusi, yang kemudian dikenal sebagai resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1948, yang sangat menentukan bagi masa depan Republik Indonesia. Semula, pada bulan Agustus 1947, Dewan Keamanan hanya membentuk Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia), yang merupakan suatu pengakuan de facto terhadap Republik Indonesia, ditingkatkan dengan dibentuknya secara resmi United Nations Commission for Indonesia (UNCI), dengan agenda yang tegas dan jelas, seperti tertuang dalam Resolusi Dewan Keamanan No. 67, tanggal 28 Januari 1949, yaitu: 1. Pengembalian para pemimpin Republik ke Yogyakarta serta Pemulihan Pemerintah Republik di Yogyakarta. 2. Penarikan mundur tentara Belanda. 3. Perundingan antara Belanda dan Indonesia, yang tujuannya adalah mengatur persyaratan pengakuan kedaulatan Negara Indonesia Serikat. Resolusi Dewan Keamanan No. 67, tanggal 28 Januari 1948, menjadi pusat seluruh kegiatan dan peristiwa, sampai terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanggal 23 Agustus 1949, di mana terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan selanjutnya, pengakuan kedaulatan RIS oleh Pemerintah Belanda tanggal 27 Desember 1949. Dengan demikian, Dewan Keamanan PBB telah mempersiapkan proses pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, walau pun bentuk yang dipersiapkan adalah Negara Indonesia Serikat (NIS), sebagai realisasi Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville, yang keduanya telah dilanggar oleh Belanda. Banyak negara anggota PBB -terutama di Dewan Keamanan- menilai, bahwa agresi militer Belanda tersebut membahayakan upaya menjaga perdamaian dunia; terutama untuk tidak menggunakan kekerasan militer dalam menyelesaikan sengketa. Selain itu, hampir semua negara anggota PBB -termasuk Amerika Serikat- menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Belanda itu adalah suatu pelecehan terhadap PBB, karena agresi militer tersebut dilakukan ketika perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda sedang berlangsung, yang difasilitasi oleh Komisi yang diutus oleh Dewan Keamanan PBB. Bahkan Ketua UNCI, Merle Cochran dari Amerika Serikat, satu hari sebelum agresi militer Belanda dilancarkan, sedang ke Jakarta, membawa surat dari Wakil Presiden M. Hatta, yang ditujukan kepada WTM Dr. Beel, yang isinya adalah jawaban pihak Republik atas suatu tuntutan dari Belanda. Oleh karena itu, reaksi Pemerintah Amerika Serikat termasuk yang paling keras terhadap Belanda. Di dunia internasional, boleh dikatakan tidak ada lagi negara yang mendukung Belanda; bahkan kawan-kawan tradisional Belanda, Inggris dan Prancis, juga menganjurkan Belanda untuk menerima resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949. Di dalam negeri, tidak seluruh rakyat Belanda mendukung agresi militer atau pun kebijakan yang dilakukan oleh beberapa Wakil Tinggi Mahkota (mengganti posisi Gubernur Jenderal semasa Hindia Belanda). Di samping kejenuhan terhadap perang, karena baru selesai Perang Dunia II, Belanda sendiri sangat membutuhkan dana besar bagi pembangunan di negeri Belanda, sedangkan diperkirakan, biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda sejak agresi militer mereka, mencapai I juta US $ sehari. Negara-negara boneka bentukan van Mook yang tergabung dalam BFO, pada akhirnya melakukan pembangkangan terhadap rencana Pemerintah Belanda serta WTM Dr. Beel, yang merencanakan untuk menggelar KMB tanpa mengikutsertakan Republik. BFO -beberapa negara federal semula mentolerir aksi militer Belanda- karena desakan rakyat di wilayah mereka serta melihat kenyataan, bahwa tanpa ikut sertanya Republik Indonesia hasil KMB tidak akan diterima oleh dunia internasional, mendukung agar Republik harus ikut serta dalam KMB. Di bidang militer, perhitungan Belanda ternyata meleset, karena tidak berhasil menghancurkan TNI, sehingga setelah TNI melakukan konsolidasi, tentara Belanda menghadapi perlawanan sengit di seluruh Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Semakin lama berlangsung perang gerilya, kedudukan Belanda semakin terdesak, hingga setelah sekitar 3 bulan setelah agresi militer mereka, Belanda praktis hanya dapat berkuasa di kota-kota, sedangkan di luar itu, seluruhnya dikendalikan oleh pemerintahan militer Republik. Perlawanan bersenjata Republik tidak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda, karena pimpinan militer dapat menyiarkan berita -dengan cara estafet- sampai ke luar negeri; juga sebaliknya, para gerilyawan dapat menangkap siaran radio dari luar negeri. Selain itu, KTN (Komisi Tiga Negara) dan setelah resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari, menjadi UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia), selalu memberikan laporan, baik mengenai situasi para tahanan politik, juga mengenai aksi militer dan perlawanan bersenjata dari Republik. Melihat agenda di Dewan Keamanan, serta tekanan dunia internasional, penyelesaian masalah konflik Indonesia dengan Belanda hanya tertunda, karena Belanda masih berkeras kepala dan mencoba mengulur-ngulur waktu, untuk mempersiapkan negara-negara boneka, yang mereka harapkan akan menjadi mayoritas serta memimpin Negara Indonesia Serikat. Berikut ini kronologi rangkaian peristiwa, sebelum dan sesudah 1 Maret 1949, yang dapat memberi gambaran yang jelas: Setelah ada reaksi keras dari Dewan Keamanan PBB dan Amerika Serikat, Perdana Menteri Belanda, Dr. Drees ke Indonesia tanggal 4 Januari 1949, dan tinggal selama 16 hari (!), sampai tanggal 20 Januari. Dalam pidato yang diucapkan tanggal 20 Januari, Drees mengakui kenyataan, bahwa bagi rakyat Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia adalah simbol perjuangan kemerdekaan, dan di BFO banyak pendukung Republik. Dalam sidang Dewan Keamanan yang dimulai pertengahan Januari, wakil Amerika Serikat secara panjang lebar menyatakan sikap tegas pemerintahnya yang mendukung Republik Indonesia dan melancarkan kritik tajam kepada Pemerintah Belanda. Sikap Amerika Serikat ini diikuti dengan resolusi yang dimajukan oleh Amerika Serikat, Cina (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang kemudian diterima dan disahkan menjadi Resolusi Dewan Keamanan No. 63 tanggal 28 Januari 1949, di mana isinya, di samping menuntut agar Belanda melepaskan semua pemimpin Republik serta agar Belanda memegang persetujuan Renville, juga memuat agenda yang jelas mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat (NIS) seperti yang tertera dalam persetujuan Renville. WTM, Dr. Beel, ke negeri Belanda tanggal 18 Februari, dan tinggal sampai tanggal 26 Februari. Selama di negeri Belanda, Beel mendengar berbagai kritik tajam mengenai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Telah disadari, bahwa resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949, tidak dapat ditolak lagi oleh Belanda, maka disusunlah strategi untuk “menyelamatkan muka” pihak Belanda. Pemerintah Belanda bersama WTM menyusun “skenario” penyerahan kedaulatan, dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanpa melibatkan UNCI (KPBBI). Pada 19 Februari 1949, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia, mengenai perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol Suharto, untuk mengadakan serangan secara besar-besaran terhadap Yogyakarta, antara tanggal 25 Februari – 1 Maret 1949. Dalam catatan harian Wakil III KSAP Kolonel Simatupang tercatat, bahwa Bambang Sugeng malam itu datang dan bermalam di Markas KSAP, dan merundingkan rincian serangan tersebut. Segera setelah tiba di Jakarta tanggal 26 Februari 1949, pada saat yang bersamaan, di negeri Belanda dan di Jakarta, dibacakan pernyataan yang disusun oleh WTM Dr. Beel bersama Pemerintah Belanda, yang isinya adalah penyelenggaraan KMB tanggal 12 Maret 1949, di mana intinya adalah penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Negara Indonesia Serikat, yang waktunya bahkan jauh lebih cepat daripada yang diusulkan oleh Dewan Keamanan dalam resolusi tanggal 28 Januari 1949, yaitu tanggal 15 Juni 1949. Pada hari yang sama, tanggal 26 Februari, WTM Dr. Beel mengirim utusan, Dr. Gieben, untuk menyampaikan undangan kepada Presiden RI, Sukarno, untuk menghadiri KMB, yang akan diselenggarakan di Den Haag mulai tanggal 12 Maret 1949. Di sini Belanda sudah menggunakan kata “Presiden Republik Indonesia”, dan tidak lagi hanya sebagai “pembesar prominnen.” Dua hari kemudian, tanggal 28 Februari, WTM Dr. Beel mengirim Dr. Koets ke Bangka, guna menerangkan lebih rinci rencana Pemerintah Belanda. Namun Sukarno tetap menolak untuk mengadakan perundingan apa pun selama berstatus sebagai tahanan. Tanggal 27 Februari, pimpinan BFO mengirim surat kepada Presiden Sukarno di Bangka, menyampaikan keingininan BFO untuk mengadakan pertemuan dengan pimpinan Republik, guna membahas rencana penyelenggaraan KMB di Den Haag. Tanggal 28 Februari, Simatupang datang di Playen, tempat pemancar radio AURI, dan menyerahkan teks dalam bahasa Inggris, mengenai “skenario” serangan yang akan dilaksanakan keesokan harinya, tanggal 1 Maret 1949. Teks tersebut harus dibacakan sore hari. Tanggal 1 Maret 1949, atas instruksi Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, dilancarkan serangan secara besar-besaran secara serentak -serangan umum- terhadap tentara Belanda di seluruh wilayah Divisi III/Gubernur Militer III (Jawa Tengah bagian barat, termasuk Yogyakarta) dan di wilayah Divisi II/Gubernur Militer II (Jawa Tengah bagian timur, termasuk Madiun) dilancarkan operasi militer paralel, di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto -terutama terhadap kota Solo. Tanggal 2 dan 3 Maret 1949 (surat untuk keinginan bertemu telah dikirim oleh BFO kepada Presiden Sukarno tanggal 27 Februari 1949), contactcommissie (komisi penghubung) BFO, yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hamid II, menemui Presiden Sukarno di Pulau Bangka, untuk membujuk Sukarno-Hatta, agar ikutserta dalam KMB tanggal 12 Maret. Namun Sukarno-Hatta tetap pada pendirian semula, yaitu kembali dahulu ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik dipulihkan, baru setelah itu mengadakan pembicaraan. Tanggal 4 Maret 1949, Presiden Sukarno mengirim surat kepada WTM Beel, yang isinya alasan penolakan untuk hadir dalam KMB tanggal 12 Maret di Den Haag. Dalam surat tersebut, Sukarno menyampaikan hal-hal yang sebelumnya telah dikemukakan, baik kepada utusan Beel, Gieben dan Koets, maupun kepada delegasi BFO yang dipimpin oleh sultan Hamid II. Dengan demikian skenario Dr. Drees dan Dr. Beel untuk menyelenggarakan KMB tanggal 12 Maret 1949 gagal. Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, Dewan Keamanan bersidang tanggal 10 Maret 1949. Amerika Serikat dan anggota Dewan Keamanan lain yang mendukung resolusi tanggal 28 Januari, tetap pada pendirian mereka yang keras dan tegas. Belanda telah melunak, karena semua usaha untuk mengulur waktu tidak berhasil. Sekarang hanya berusaha membuat kompromi untuk menyelamatkan muka. Setelah dilaksanakan lima kali sidang dalam waktu 14 hari, akhirnya pada 23 Maret 1949, Dewan Keamanan memutuskan -melalui voting- untuk menerima usulan Kanada (Canadian Directive) yang isinya: a. Pelaksanaan resolusi Dewan keamanan tanggal 28 Januari, terutama kalimat 1 dan 2 bagian pelaksanaannya; dan Tanggal dan syarat untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar yang diusulkan dalam Resolusi tanggal 28 Januari itu. Belanda akhirnya tunduk dan menerima keputusan Dewan Keamanan; dengan demikian lengkap sudah kegagalan Belanda untuk memaksakan kehendaknya, baik kepada pimpinan Republik, maupun kepada Dewan Keamanan dan bahkan kepada BFO -negara-negara federal bentukan van Mook. Dengan mencermati rangkaian peristiwa seperti tertera di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa opini dunia internasional, terutama anggota Dewan Keamanan, tidak tergantung dari satu atau dua operasi militer yang dilancarkan oleh TNI terhadap Belanda, melainkan keseluruhan perlawanan bersenjata yang dilakukan terhadap Belanda. KTN, dan setelah tanggal 28 Januari 1949 berubah menjadi United Nations Commission for Indonesia -UNCI- (Komisi PBB untuk Indonesia, disingkat: KPBBI), melaporkan secara keseluruhan perkembangan situasi masyarakat, pimpinan Republik dan keamanan di Indonesia; KTN/KPBBI tidak melaporkan satu-persatu pertempuran yang terjadfi di Jawa dan Sumatera. Juga apabila meneliti seluruh peristiwa dan kegiatan -terutama di Dewan Keamanan PBB- antara tanggal 26 Februari sampai tanggal 10 Maret 1949, secara ekstrim dapat dikatakan di sini, bahwa ada atau tidaknya serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949, agenda di Dewan Keamanan tetap berjalan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Manuver Drees dan Beel untuk menggelar KMB di Den Haag tanggal 12 Maret 1949 -yang kemudian gagal- juga tidak berpengaruh apa-apa terhadap agenda Dewan Keamanan. Masing-masing pihak, seperti negara-negara pendukung Republik serta beberapa negara federal di BFO, sejak dimulainya agresi Belanda tanggal 19 Desember 1948, telah menentukan sikap, dan selama lebih dari dua bulan sampai sidang Dewan Keamanan tanggal 10 Maret 1949, tidak sedikit pun beranjak dari tuntutan semula, yaitu tentara Belanda harus ditarik mundur; para pemimpin Republik harus dikembalikan ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik di Yogyakarta harus dipulihkan kembali. Peran dari negara-negara Asia yang menyelenggarakan Konferensi Asia tanggal 20 Januari 1949 di New Delhi, khusus untuk membahas masalah agresi milter Belanda tersebut sangat besar. Sampai pertengahan tahun 1948, Pemerintah Amerika Serikat masih mendukung Belanda karena negara-negara Blok Barat/Kapitalis, sejak dimulainya Perang Dingin (cold war) tahun 1947, sedang merencanakan pengepungan secara ideolgis dan politis terhadap Uni Sovyet di mana Belanda termasuk negara Blok Barat yang akan membentuk pakta militer NATO. Namun kemudian AS merubah politiknya di Asia, dan mendukung negara-negara yang bersedia menghancurkan kelompok komunis di negaranya, termasuk Indonesia. Setelah agresi Belanda tanggal 18 Desember 1948, Pemerintah Amerika Serikat sangat tegas menekan Pemerintah Belanda untuk mematuhi resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949, dan tekanan AS ini ikut menentukan sikap Belanda, karena Belanda waktu itu sangat membutuhkan dana bantuan dalam rangka Marshall Plan (European Recovery Programme) dari AS. Semakin lama Belanda mengulur waktu, semakin keras tekanan terhadapnya. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, bahkan mempertajam kritik serta tekanannya; Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan kepada Belanda; langkah ini dimotori oleh beberapa Senator Amerika Serikat, antara lain Senator Brewster. Keberpihakan Amerika Serikat kepada Republik Indonesia sebenarnya bukan karena AS memang sangat demokratis. Pada waktu itu, warga AS yang berkulit hitam masih belum memiliki hak memilih dan dipilih, diskriminasi ras masih sangat hebat, misalnya pemisahan sekolah untuk murid berkulit hitam, dan bahkan tempat duduk di taman pun ada yang tidak boleh diduduki oleh warga kulit hitam. Dengan demikian, dukungan AS kepada Indonesia tidak lepas dari politik Amerika Serikat sendiri, yaitu agar supaya Republik Indonesia tidak jatuh ke kubu komunis pimpinan Uni Sovyet. Dalam pandangan Uni Sovyet Belanda adalah agresor, sehingga sama sekali tidak perlu diberikan konsesi apapun. Beberapa negara BFO, mengalami tekanan yang semakin kuat dari rakyatnya, terutama Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur, di mana pendukung Republik sangat kuat dan rakyat di “negara-negara” teredbut berhasil mendesak wakil-wakil mereka, agar dalam sidang BFO tetap mendukung ikutsertanya Republik Indonesia dalam KMB yang diprakarsai PBB. Bahkan mereka mendukung syarat yang dimajukan dalam resolusi Dewan Keamanan, yaitu pembebasan tanpa syarat para pemimpin Republik, serta pemulihan Pemerintah Republik di Yogyakarta. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengakuan dunia internasional atas kedaulatan Republik Indonesia dicapai melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi, yang melibatkan seluruh komponen anak bangsa. Keberhasilan Republik untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda, dilandasi kekompakan tiga unsur perjuangan, yaitu:
Di bidang politik/diplomasi Rencana Belanda untuk melakukan serangan militer secara besar-besaran terhadap Republik, telah diperkirakan jauh sebelum dilancarkannya agresi militer tanggal 19 Desember 1949. Dipertimbangkan, bahwa pulau Jawa terlalu sempit untuk menjadi basis pemerintahan/prerlawanan terhadap Belanda, oleh sebab itu ditetapkan:
Presiden Sukarno, Wakil Presiden M. Hatta serta para pemimpin Republik lainnya, pada waktu itu bertahan pada pendirian, tidak akan melakukan pembicaraan apalagi perundingan, selama belum kembali ke Yogyakarta dan Pemerintah Republik dipulihkan di Yogyakarta. Sikap ini didukung oleh Konferensi Asia yang diselenggarakan di New Delhi; dan kemudian yang sangat menentukan adalah, dukungan Dewan Keamanan PBB terhadap sikap tersebut. Baik Perdana Menteri Belanda Dr. Drees, maupun Wakil Tinggi Mahkota Dr. Beel, tidak berhasil membujuk Presiden Sukarno maupun Wakil Presiden Hatta untuk diajak berbicara dalam taraf perundingan resmi. Mereka hanya bersedia berbicara dalam kapasitas sebagai pribadi, dan tidak sebagai wakil Republik. Di bidang militer Blitz Krieg (Bahasa Jerman, artinya perang/serangan secara kilat) yang dilancarkan tentara Belanda sejak 19 Desember 1949, tidak berhasil menghancurkan Tentara Nasional Indonesia. Simatupang menilai, Tentara Nasional Indonesia telah berhasil menghindari Vernichtung (Bahasa Jerman, artinya pemusnahan) yang direncanakan oleh Letnan Jenderal Simon H. Spoor, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan, oleh karena pimpinan TNI telah mengantisipasi akan adanya serangan tersebut beberapa bulan sebelumnya. Dengan demikian, persiapan yang telah dilakukan untuk melakukan perang gerilya sangat matang, seperti tertuang dalam Perintah Siasat I tertanggal 12 Juni 1948 (!), dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman. Persiapan di bidang militer, mulai dari pembentukan pasukan mobil (gerak cepat) serta pasukan dan organisasi teritorial, baik di Jawa maupun di Sumatera; mendata gedung, bangunan, jembatan dll. yang akan dihancurkan dalam rangka bumi hangus, agar tidak dapat digunakan oleh Belanda; telah menyiapkan basis/markas gerilya serta memindahkan peralatan penting yang dibutuhkan untuk bergerilya. Di beberapa daerah/Divisi, tidak sampai satu bulan setelah Belanda memulai agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, pasukan-pasukan TNI telah dapat melakukan konsolidasi. Bahkan seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march, jalan kaki dari Jawa Tengah/Yogyakarta, untuk melancarkan operasi Wingate di Jawa Barat, sehingga basis perlawanan TNI di Jawa dan Sumatera lengkap. Pemerintahan Militer yang dibentuk sejak tanggal 22 Desember 1948, telah berfungsi dengan baik. Komunikasi di antara pimpinan tertinggi militer dan sipil berjalan relatif lancar, baik melalui kurir, maupun melalui radiogram. Tiga bulan setelah agresi dimulai, kedudukan Tentara Nasional Indonesia di Jawa dan Sumatera telah mantap, sebaliknya, posisi tentara Belanda semakin sulit, baik dari segi militer maupun dari segi politisnya, karena biaya yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda sangat besar, sedangkan setelah Perang Dunia II, mereka membutuhkan dana tersebut untuk pembangunan di negeri Belanda sendiri. Dukungan rakyat Tanpa dukungan rakyat, perang gerilya tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik, mengingat keterbatasan perlengkapan yang dimiliki TNI, terutama dari segi logistik/penyediaan makanan dan minuman bagi gerilyawan. Selama perang gerilya yang berlangsung sekitar delapan bulan, rakyat sangat membantu dalam menyediakan makanan/minuman serta keperluan sehari-hari bagi gerilyawan, termasuk -selain Palang Merah Indonesia- membantu dalam perawatan prajurit yang terluka. Oleh sebab itu, pimpinan militer memerintahkan seluruh pasukan, dalam kehidupan di masyarakat bersama rakyat, harus seperti “ikan dalam air.” Para gerilyawan dilarang keras untuk mengambil apapun dari rakyat, tanpa izin. Setiap pelanggaran peraturan tersebut, dikenakan sanksi yang sangat berat. Hal-hal tersebut dapat dengan lancar dilaksanakan, juga berkat partisipasi pimpinan pemerintahan sipil yang ikut bergerilya. Selain itu harus diakui hebatnya strategi dan taktik yang dijalankan oleh Belanda sejak Jepang menyerah kepada Sekutu. Ketika Dr. C.O. van der Plas tiba di Jakarta tanggal 15 September 1945 dengan membonceng Admiral Sir Wilfred Patterson di kapal HMS Cumberland, tidak ada satu pun kesatuan militer Belanda, dan tidak ada sejengkal pun wilayah yang mereka kuasai. Setelah Persetujuan Renville, menjelang agresi militer II, Belanda telah menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, 3/10 Sumatera dan 2/3 Jawa. Seluruhnya dicapai melalui perundingan, baik Linggajati mau pun Renville, yang dikukuhkan dengan tandatangan pimpinan Republik. Kehebatan Belanda tersebut berarti juga kelemahan pihak Republik, yang selalu mengalah dan memberikan konsesi kepada Belanda. Perlu juga dicatat, bahwa ratusan ribu, bahkan mungkin juga jutaan bangsa Indonesia telah mengkhianati bangsanya sendiri, dan membantu Belanda –baik sebagai pamong praja, maupun sebagai serdadu- untuk menjadi penguasa di Bumi Nusantara. Belanda benar-benar memanfaatkan sifat ketamakan dan keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh jabatan, yang kemudian membantu penjajah menindas bangsanya sendiri. Kelihatannya semua sukubangsa di Indonesia sangat mudah untuk diadudomba dan gampang disuap. Hal ini bukan saja selama masa penjajahan sebelum Perang Dunia II, melainkan juga setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Puluhan ribu orang Indonesia bersedia dibayar oleh Belanda menjadi serdadu KNIL, untuk membunuh bangsanya sendiri. Beberapa pejuang ’45 yang aktif mengikuti perkembangan politik dan militer mengamati, bahwa orang-orang bayaran Belanda tersebut -kemudian dilanjutkan oleh anak cucunya- hingga sekarang selalu berusaha merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai usaha. Sangat menarik untuk menelusuri hubungan keluarga/kerabat antara pengacau-pengacau di bidang ekonomi, politik, hukum dan keamanan di Indonesia hingga tahun 2004 ini, dengan mereka yang pernah menjadi kakitangan Belanda, baik sebelum Belanda menyerah kepada Jepang pada 9 Maret 1942, maupun antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 agustus 1945, yang hingga kini tidak mau diakui oleh Belanda. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, sebagaimana ditegaskan oleh Menlu Belanda Ben Bot dalam wawancara di satu TV di Jakarta yang ditayangkan pada 19 Agustus 2006. |
May 23, 2008
http://technolinestreets.wordpress.com