Jumat, 14 Januari 2011
Arang Pluralisme di Wajah Islam
Oleh: Zahrul Bawady M. Daud
Membahas terma pluralisme, tak akan terlepas daripada fakta sejarah munculnya isme yang sedang merebak ini. Di dalam What Went Wrong, Bernard Lowis mengungkapkan bahwa Kristen selalu diliputi oleh skisma (perpecahan). Perpecahan yang tak kunjung reda, bahkan menimbulkan pertikaian berdarah. Selanjutnya, masa kelam itu kembali dikukuhkan dengan hegemoni Kristen atas setiap kehidupan manusia. The dark ages (zaman kegelapan) yang dikenal ilmuwan Kristen, merupakan puncak daripada kegagalan gereja membuang sekte di dalamnya.
Hal ini kemudian membuat beberapa pengambil kebijakan di dalam gereja untuk mengambil sikap, guna menghindari pandangan buruk masyarakat terhadap kalangan gerejawan. Akhirnya, ditemukanlah model toleransi dalam menjalankan agama yang terlepas daripada sekte atau agama manapun yang dianut. Kegagalan agung daripada distorsi ajaran Kristen yang berdampak kepada konsep baru yang hari ini kita kenal dengan pluralisme beragama. Sebuah isme yang lahir dari kebingungan dan berkembang karena ketakutan Kristen bila pengikut mereka akan lari.
Munculnya Pluralisme disebabkan oleh fakta sejarah lain yang diakui oleh penulis penulis Kristen, mereka menyebut dogma Kristen pada masa ini adalah dominasi negara dan agama. Bahkan tak jarang dominasi ini dipraktikkan secara brutal dan tidak manusiawi, hal ini oleh Karen Amstrong ditulis akibat munculnya sebuah institusi gereja yang diberi nama inquisisi, sebuah instrumen kekejaman yang membawahi berbagai gerak keagamaan. Tak hanya gereja saja, Institusi yang populer pada abad ke 17 merupakan perpanjangan tangan dari dominasi gereja di abad pertengahan.
Dalam membangun kekuatan hegemoniknya, mereka mengembangkan sayap melalui upaya pengukuhan agama via negara, dalam arti kata tak terbatas. Kristen pada masa itu tidak sekedar agama, akan tetapi kekuatan politik yang diback up oleh pihak penguasa. Sebuah shock terapy pasca penindasan yang dilakukan oleh imperium Romawi. Keresahan inilah yang kemudian mengilhami para pemikir untuk membuat sebuah rumusan baru dalam ranah pluralisme, menanamkan sebuah doktrin baru, bahwa semua agama adalah sama.
Doktrin ini kemudian menjalar menggerogoti akidah umat Islam. Evolusi yang terjadi di kalangan kristen coba merambah sendi kokoh daripada ajaran Islam. Jika dulu Kristen gagal memegang dominasi karena penyelewangan sejarahnya, maka hal ini belum tentu terjadi di dalam Islam. Hal yang paling fatal dilakukan oleh para pemikir kita yang kebablasan adalah, menggunakan metode pengobatan yang menghilangkan penyakit kekuasaan tak terbatas milik gereja terhadap ajaran Islam. Sebuah hipotesa untuk dua penyakit yang tidak sama tingkat ke-akutannya.
Perbedaan yang sangat mencolok, Islam tidak mengenal arti sebuah institusi bergerak atas nama Tuhan, walaupun ia melakukan sebuah kesalahan. Jika institusi geraja pada masa itu mengklaim bahwa mereka adalah wakil Tuhan di bumi, berhak membakar manusia atas dasar kesalahannya yang serba tuduhan, maka perspektif ini tidak kita temui dalam ajaran Islam. Kebenaran di dalam Islam adalah sebuah pemahaman yang bersumber dari dalil yang jelas. Kesalahan setiap individu itu tidak dinamakan sebagai sebuah kesalahan sistem agama, tetapi karena kecerobohan individu tertentu saja. Islam tidak mengenal istilah Paus yang infallible (ma’shum; terlepas dari dosa). Seseorang tidak bisa berlaku dosa dengan legalitas kegamaan. Hal yang secara indah diakui oleh Karen, “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.”
Problema kitab suci juga tidak memiliki kesamaan. Teks Bible yang kita jumpai hari ini merupakan penyelewangan dari kalangan gerejawan demi membenarkan sektenya masing masing, penuh kontradiksi satu sama lainnya. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam.” Jikapun ingin menamakan keduanya sebagai mukjizat, maka hal itu tidak lagi relevan saat ini. Al-Quran adalah kitab terkahir, sebuah kitab suci yang terjaga, menanamkan nilai kejujuran dan tidak rentan dengan perubahan. Ini disebabkan keotentikan AL-Quran berada dalam justifikasi Allah Swt. Tren ini hanya berlaku bagi Kristen yang tidak bisa melakukan truth claim(klaim kebenaran) akibat konsep teologi dan riualnya yang penuh dengan problema. Sebuah generalisasi permasalahan yang salah arah.
Pluralisme merupakan sikap trauma beragama yang menjamur di dalam peradaban Barat versus Kristen. Karena kerentanan yang terdapat dalam teologi Kristen, fakta historis dan desakralisasi wahyu adalah akibat daripada distorsi ajaran Kristen itu sendiri. Hal demikian tidak terdapat di dalam ajaran Islam. Sehingga konsep pluralisme tidak layak diterapkan dalam kehidupan beragama, khususnya tidak sesuai dengan etika Islam.
Ajaran pluralisme dalam hemat penulis pada hakikatnya sedang menopang upaya dekonstruksi ajaran Islam serta menghilangkan kemurnian wahyu. Oleh JIL Indonesia, hal ini coba dikukuhkan melalui Fikih Lintas Agama (FLA), besutan intelektual Islam yang latah dengan teori Barat. Sebuah upaya kontekstual yang bersifat ekstrim dan bertolak belakangan dengan makna pluralisme itu sendiri.
Lebih jauh, konsep agama di dalam Islam adalah mutlak harus ada. Kewujudan Tuhan adalah satu satunya kepercayaan awal yang harus muncul di benak kita untuk beriman. Karakteristik yang paling mendasar dalam ajaran Islam adalah, kepercayaan kepada Tuhan, berdasarkan konsep din (agama/wahyu) yang bersifat menyatukan prinsip spiritual dan material. Oleh karena itu, keseluruhan sistem untuk menggapai sebuah tujuan penciptaan disebut dengan agama ( Islam).
Usaha penyebaran paham pluralis ini adalah sebuah upaya relevansi berbagai ajaran yahudi dan Kristen yang telah usang. Tak memperoleh cara lain, mereka mencoba menyusup ke dalam teori pluralisme yang secara jelas terpampang boroknya. Jika semua agama telah diragukan kebenarannya, maka ini sudah keluar dari sebab dan tujuan kita beragama, yaitu memperloh cahaya di dalam satu jalan. Maka pluralisme agama itu lebih dekat dengan paham atheisme, tidak dengan Islam.
Relativitas Ilmu
Di dalam konsep pengetahuan, kita mengenal istilah relativitas. Sebuah konsep yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi, bergantung kepada pola piker orang yang melihat kejadian tersebut. Semuanya serba berubah, ragu dan penuh ketidak pastian. Misalnya teori kejadian alam, bumi yang bersifat heliosentris, teori Darwin dan berbagai teori lainnya yang terus menyusut atau berkembang sesuai dengan jangkauan berfikir manusia. Fenomena ini menandakan bahwa pengetahuan manusia yang berdasarkan kepada akal bersifat relatif.
Namun, relativitas di dalam pengetahuan tidak diakui oleh ajaran Kristen. Kenyataan ini menimbulkan problema, ilmuwan terancam harus tunduk di bawah otoritas karangan bible dan gereja, padahal bible sendiri mengalami permasalahan otentisitas. Pada masa ini, tercatat sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, seperti Gelileo Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus dibakar hidup-hidup.
Akan tetapi, di dalam Islam, ada istilah qath’i (mutlak), di dalam epistimologi Islam, teori ini biasanya berdasarkan kepada berita yang mutawatir, baik lafaz maupun makna. Konsep relativitas tidak berlaku di dalam pembahasan yang sudah mutlak dan tetap (tsabit). Seperti Tuhan itu Esa, kewajiban melakukan shalat, melaksanakan puasa dan berbagai ibadah mahdhah (utama) dan hal hal yang berkaitan dengan akidah seorang muslim.
Oleh karena itu, penyebutan Tuhan sebagai “The real” yang secara kebetulan dicocokkan dengan kata arab “ Al-Haq” bukanlah representatif dari kebenaran Tuhan. Karena the real yang dikenal dalam kamus pluralis adalah semua yang bersifat kebaikan. Dalam pemahaman ini, tindakan amoral adalah hanya kesalahan norma, bukan agama. Sebuah landasan berpikir yang tidak sesuai dengan konsep Islam sebagai satu satunya agama yang diridhai. Destruktifikasi ajaran keagamaan ini timbul akibat latah mengikuti pandangan Barat yang penuh dengan dilema.
Hakikat intelektualitas adalah pusat manusia (centre of human being) yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral spritual. Jika tidak, maka secara spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Kekokohan intelektual baru tercakup jika sudah diwarnai dengan tindakan spiritual yang benar. Lalu, jika semua agama relatif, untuk apa kita beragama, bukankah dalam pandangan ini semua memiliki kemungkinan. Maka jangan campur adukkan relatifitas pengetahuan dengan relatifitas ajaran yang sudah konstan. Teori pluralisme bukan mendobrak kejahilan, tetapi memamerkan kebodohan dengan pemahaman akal yang terbatas. Jika akal sudah tunduk untuk mencerna, maka berilah kesempatan kepada wahyu untuk mengeluarkan instrumennya. Karena kepercayaan kepada wahyu, adalah inti daripada beragama yang sesungguhnya.
Dimuat di aceh institute: http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=774:arang-pluralisme-di-wajah-islam&catid=133:paradigma&Itemid=261
Tidak ada komentar:
Posting Komentar