Jumat, 07 Januari 2011
Gayus, dalam Pusaran Politik Elit
“Gayus, dalam pusaran politik tingkat tinggi,” itulah kira-kira kalimat dari petikan hasil wawancara dengan salah seorang aktivis, ketua Badan Presidium Setara Institute, Hendardi yang dimuat dalam salah satu surat kabar nasional. Memang demikianlah opini yang selama beberapa hari ke belakang menjadi hot topic di berbagai media massa, cetak dan elektronik, nasional maupun lokal, bahkan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD tak sungkan untuk berbicara pada media dengan mengatakan “sterilkan kasus Gayus dari kepentingan politik”. Tidak hanya itu, Mahfud menyarankan agar kasus Gayus ini diambil alih oleh KPK. Hal tersebut mencuat setelah ada isu yang kemudian berkembang pascaterungkapnya pelesiran Gayus HP Tambunan ke Bali, adalah pertemuannya dengan Abu Rizal Bakrie. Ini artinya disadari atau tidak, arus politik sudah mulai mengombang-ambingkan kasus hukum ini.
Tidak hanya di sana, tiga perusahaan dimana sebagian sahamnya dimiliki oleh grup Bakrie pun kembali diusik. Kabar yang beredar, ketiga perusahaan itu pernah menggunakan jasa Gayus sebagai upaya pengurangan jumlah nominal beban pajak. Kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ical pun angkat bicara. Ical mulai mengendus adanya permainan politik dibalik kasus Gayus ini. Bagi penulis, sesungguhnya genderang “perang” politik sudah ditabuh, dan para elit politik sudah mulai bermanuver di depan publik.
Sesungguhnya rentetan kasus hukum yang syarat nuansa politik sebagai bagian “pertarungan” antara kubu yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan kubu yang ingin merebut kekuasaan bahkan ada kubu yang hanya ingin sekedar mengambil jalan akomodatif dari sebuah kekuasaan, sudah dimulai ketika kasus Bank Century mencuat. “Mainan” politik dalam kasus ini terasa kental sekali. Dalam kasus Century, Golkar yang mempunyai kekuatan cukup dominan di DPR seolah memegang kendali arah politik di DPR, Pansus Century terus bergulir, opsi yang menegaskan kucuran dana bailout Bank Century mengandung unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi opsi pilihan, hingga terpilihnya Ical sebagai ketua Sekretariat bersama gabungan partai koalisi, kasus tersebut hingga kini seolah lenyap ditelan berbagai kepentingan. Sejak saat itu, Golkar semakin percaya diri untuk bermanuver. Dalam pidato hari jadi Golkar, di depan SBY Ical mengatakan, “Walau langit tetap biru, padi sudah mulai menguning”. Sebuah isyarat politik, sebagai unjuk kekuatan bahwa Golkar sedang membangun kekuatan, merapatkan barisan untuk siap merebut kekuasaan. Inilah babak baru pertarungan elit politik.
Relasi Hukum dan Kekuasaan
Hukum dan kekuasaan bagai dua sisi mata uang, hukum sebagai instrumen kekusaaan sebagai penopang dalam mengelola negara, sebagai legitimasi dalam melaksanakan aturan dan kebijakan dan sebagai sanksi atas penyalahgunaan dan tindak pelanggaran. Bila di ibaratkan sebagai dua sisi mata uang, hukum harus berada di atas kekuasaan. Tetapi ketika logika politik sudah mulai memutarkan uang, keadaan bisa berbalik, kekuasaanlah yang akan mengangkangi hukum. Dalam kasus Gayus ini, kecenderungan tarikan politik menjadi perhatian berbagai pihak, tarikan kedalam permainan dua kekuatan politik akan mengkonotasikan hukum sebagai sebuah instrumen kepentingan, bukan sebuah instrumen positif yang mengikat.
Berangkat dari konsep teoritis yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles, mengenai kecenderungan sebuah negara demokratis yang akan berubah menjadi sebuah negara oligarki dimana ada beberapa kelompok yang melakukan monopoli terhadap sumber-sumber dalam ranah kekuasaan. Salah satunya hukum, maka dalam kasus Century dan Gayus ini, sejauh mana monopoli kasus tersebut akan mempengaruhi proses demokratisasi bangsa ini. penguasaan sumber-sumber hukum ini menyangkut seluruh perangkat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Artinya kepolisian, kejaksaan dan KPK tidak lepas dari penguasaan yang dimaksud.
Menurut Manan (2005: 107), hukum sendiri sebenarnya adalah kekuasaan dan hukum merupakan salah satu sumber dari kekuasaan. Tetapi menurut Satjipto Rahardjo (2000:337) hukum bisa dikendalikan oleh kekuasaan sehinggga akan menjadi tipe totalitarian (totalitarian law), dimana, pertama, ketentuan dan azas hukum hanya berdiri sebagai pajangan karena lebih menentukan putusan dibelakangnya. Kedua, otensitas hukum hampir tidak ada. Hukum tidak mencerminkan perintah-perintah hukum dari dalam atau beradasarkan logika hukum (ototelik) melainkan diperintah dari kekuatan di luar hukum (heteroik), dan ketiga, pemerintah totaliter. Tatanan tersebut memang blue print dari tatanan hukum yang sebenarnya, sedangkan tatanan yang tertulis hanyalah hukum bayangan.
Melembagakan Hukum dalam Logika Politik
Ketika logika politik secara perlahan mengintimidasi integritas dan supremasi hukum, maka bangunan lembaga hukum yang selama ini dibangun, termasuk individu-individu para penegak hukum dalam institusi kepolisian, kejaksaan bahkan KPK mau tidak mau harus tunduk pada kekuatan politik yang notabenenya datang di luar hukum. Bila fenomena ini terus menerus terjadi, objektivitas hukum di negara ini akan dipertanyakan, bangunan hukum akan rapuh karena kuatnya arus kekuatan kekuasaan, para penegak hukum menjadi tidak berdaya, dan ini akan menumbuhkan sikap ewuh pakewuh bahkan ketakutan bagi para penegak hukum, dan lembaga hukum akan menggunakan logika politik dalam menegakan hukum.
Ini akan berbahaya bila sikap-sikap seperti itu menjadi budaya para penegak hukum. Keberadaan Satgas Mafia Hukum bentukan presiden juga perlu dipertanyakan legalitas hukum pembentukannya, apakah sesuai dengan korelasi sistem hukum kita, sejauh mana kewenangannya? Ini akan menjadi tumpang tindih dengan kewenangan lembaga hukum lainnya seperti KPK, apalagi resistensi akan terjadi dalam tubuh Satgas manakala hanya presiden yang menjadi subjek pertanggungjawaban satgas dalam setiap kewenangannya.
Jika menurut Manan hukum adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah salah satu sumber hukum, ini diartikan bahwa kekuasaan mempunyai otoritas dalam “mengintervensi” hukum, manakala hukum itu sudah tidak lagi mencerminkan rasa keadilan masyarakat. SBY seringkali menyatakan bahwa dirinya tidak berhak mengintervensi hukum, tetapi justru pernyataan seperti itu meluncur dari mulut SBY manakala rakyat menantikan ketegasan SBY dalam mengambil sikap terkait kasus Susno Duadji dan kasus Bibit-Chandra.
Penutup
Ketika bangunan politik bangsa ini sudah memanfaatkan hukum sebagai kendaraan dalam mencapai tujuan, maka proses demokratisasi ini telah tercemar dan elit memberikan pendidikan politik yang buruk pada generasi selanjutnya. Kasus Gayus memang tidak sesederhana kasus-kasus hukum lain, sama halnya dengan kasus Century yang begitu banyak melibatkan para elit bagai sebuah pecahan-pecahan puzzle, yang bila disusun akan menguak tabir dan selubung gelap dibelakangnya. Orang kemudian menyimpulkan pertarungan dua kekuatan politik besar (Demokrat dan Golkar) adalah pertarungan hukum, hukum dengan logika politik.
Untuk menjauhkan kasus Gayus ini kedalam lembah gelap politik, dibutuhkan para penegak hukum yang betul-betul berani bertindak objektif tanpa bayang-bayang rasa ewuh pakewuh terhadap penguasa. Kalaupun ingin membongkar pengemplangan pajak yang diduga dilakukan oleh tiga perusahaan milik grup bakrie, atau penyidikan dan pembuktian isu pertemuan Gayus dengan Ical, maka itu harus dilakukan dengan indikator hukum yang bersifat positif yang dianggap paling sahih, buka karena kepentingan siapapun. Satu lagi pendapat Mahfud MD yang perlu digaris bawahi, bahwa bukan hal yang baru jika penegakan hukum di tanah air sangat kental pengaruhnya dengan kekuatan politik.
Oleh:Rino Sundawa Putra
Penulis adalah dosen Fisip Unsil
Sumber: radartasikmalaya.com
Makasih ya.. udah posting tulisan saya.
BalasHapussalam.. ^_^
saya yang mengucapkan terima kasih kpd Sdr. Rino Sundawa Putra.
BalasHapusSmoga tulisan saudara bermanfaat.
Salam.