Rabu, 05 Januari 2011

Jejak Politik dalam Kasus Gayus

http://static.inilah.com/data/berita/foto/1005322.jpg

Menguatnya sinisme publik terhadap penyelenggara negara bersumber pada model penanganan korupsi dan penyelewengan hukum lainnya. Publik meyakini bahwa muara dari karut-marut penanganan korupsi selama ini disebabkan oleh tarikan kepentingan politik kekuasaan.

Sikap apriori publik cenderung mengarah pada sikap apatis dan pesimistis terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hal itu tecermin dari pola penyikapan sebagian besar publik dalam jajak pendapat yang diselenggarakan pascapengakuan Gayus HP Tambunan pekan lalu tentang keberadaannya di Bali.

Pengakuan Gayus seolah menjadi penegas fakta yang mengonfirmasi betapa hukum bisa dibeli atau dipermainkan oleh kekuatan uang. Keberadaan Gayus di Bali pula yang menjadi pelengkap dari rangkaian bukti lemahnya integritas aparatur penegak hukum. Lebih dari itu, apatisme publik berujung pada keyakinan bahwa hukum bisa dibeli. Publik pesimistis sistem penegakan hukum dapat berjalan di tengah situasi di mana kepentingan politik dan kekuatan kapital lebih berpengaruh dan berkuasa dalam proses hukum di negara ini.

Sikap pesimistis semacam ini memunculkan kegamangan publik dalam melihat masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas yang menyimpulkan hanya separuh dari responden (50,2 persen) yang menaruh keyakinan mereka bahwa Indonesia akan bebas dari korupsi pada masa mendatang. Sementara separuh responden lainnya (47 persen) mengekspresikan sikap sebaliknya.

Publik menilai praktik korupsi yang berlangsung sejauh ini sudah demikian akut. Penilaian semacam ini menggiring sikap publik yang seolah frustrasi terhadap penyelenggaraan hukum di negeri ini. Praktik korupsi yang tampak berpilin di hampir semua institusi pemerintahan menunjukkan kecenderungan rendahnya integritas pejabat dan pegawai negara.

Apatisme publik tertuju nyaris pada semua institusi penegak hukum. Mereka meragukan keseriusan lembaga-lembaga penegak hukum. Sikap pesimistis akan keseriusan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ditunjukkan setidaknya oleh 65,8 persen responden jajak pendapat Kompas.

Institusi kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian tak luput dari pandangan negatif publik. Mayoritas responden berpendapat bahwa institusi-institusi negara tersebut gagal menunjukkan keseriusan dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Bahkan, lebih dari itu, institusi penegak hukum justru jadi ranah basah yang tak luput dari perilaku korupsi. Publik menilai aparatur yang bekerja di institusi-institusi tersebut tidak memiliki integritas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. Tak kurang dari 90 persen publik menyampaikan kekecewaan mereka terhadap keseriusan lembaga hukum di negeri ini dalam memberantas korupsi.

Sikap publik yang cenderung frustrasi menyaksikan perilaku koruptif dari aparatur negara tak lepas dari rangkaian skandal korupsi yang berjalin pada setiap level penyelenggara negara. Terbongkarnya praktik makelar kasus yang terungkap dalam rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo dan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan berlanjut secara renteng pada terkuaknya kasus-kasus lain. Testimoni Susno Duadji terkait adanya makelar kasus di tubuh kepolisian tak pernah direspons dengan penyelidikan lebih lanjut. Sebaliknya, hingga kini tidak ada penyelesaian dalam kasus-kasus itu yang mampu memuaskan rasa keadilan publik.

Menyikapi karut-marut dan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi, publik cenderung mendorong diberlakukannya sanksi yang lebih berat terhadap koruptor. Bagi sebagian terbesar publik, pemberian sanksi yang lebih berat diharapkan menjadi salah satu solusi untuk memberantas korupsi. Kegeraman publik kepada koruptor ditunjukkan dengan mayoritas responden yang setuju pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Sebanyak 69,3 persen responden dalam jajak pendapat ini menyampaikan sikap tersebut. Sementara itu, setiap delapan dari sepuluh responden juga sepakat dengan gagasan untuk memiskinkan koruptor.

Sanksi berupa hukuman mati atau pemiskinan dengan menyita atau merampas harta koruptor dinilai akan memunculkan efek jera. Pemberian hukuman yang berat terhadap koruptor diyakini oleh 65 persen responden menjadi salah satu cara yang efektif untuk memberantas korupsi di Indonesia.


Aroma politik

Pengakuan Gayus Tambunan tentang keberadaannya di Bali telah membuka persoalan lain. Persoalan berkembang tidak lagi hanya terkait soal penggelapan pajak senilai Rp 25 miliar, tetapi juga memunculkan isu politik terkait siapa yang ditemuinya di sana.

Kasus penggelapan pajak yang dilakukan Gayus menyeret sejumlah nama aparat penegak hukum. Sejumlah nama yang terseret dalam kasus mafia perpajakan Gayus, antara lain, adalah M Arafat Enanie (divonis lima tahun penjara), Sri Sumartini (vonis dua tahun penjara), Alif Kuncoro (vonis satu tahun enam bulan), dan Muhtadi Asnun (dituntut tiga tahun enam bulan). Meski demikian, sejumlah nama lain—yang diduga terlibat—masih belum tersentuh hukum.

Aroma politik menjadi kuat terkait pengakuan Gayus sebelumnya yang menyatakan menerima sedikitnya 3 juta dollar AS dari PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Ketiga perusahaan tersebut berada di bawah kelompok Bakrie Group. Terseretnya nama Ketua Umum Partai Golkar itu membuat aroma politik menjadi sangat kuat dalam penyelesaian hukum kasus tersebut.

Aburizal Bakrie (5/6) sendiri menyatakan tak masalah jika polisi ingin memeriksa perwakilan tiga perusahaan di bawah kelompok Bakrie itu. Menurut Aburizal, saham ketiga perusahaan itu milik publik sehingga tidak ada hubungannya dengan dirinya. Selain itu, Aburizal juga menolak pernyataan Gayus yang menyebutkan telah menerima uang dari PT KPC.

Meski demikian, publik menilai berbelit-belitnya pengungkapan kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus tak lepas dari faktor politik yang melingkupinya. Lebih dari separuh (57 persen) responden memercayai adanya keterkaitan kekuatan politik di balik kasus Gayus.

Rasanya memang sulit menembus benteng-benteng kepentingan politik yang memiliki kuasa lebih besar daripada pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan itu sendiri. Hal itu membuat keraguan publik menguat manakala menyaksikan bagaimana institusi penegak hukum bekerja mengungkap skandal Gayus. Padahal, publik menaruh harapan besar bahwa kasus Gayus akan mampu menguak gurita mafia perpajakan dan mafia peradilan.

Lebih dari tiga perempat responden menyampaikan keraguan mereka atas keseriusan institusi-institusi penegak hukum itu dalam memberantas korupsi.

Oleh: Suwardiman
(Litbang Kompas)
www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar