Kamis, 27 Januari 2011

Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti


JAUH hari sebelum dibuka, sudah terasa Kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia akhir pekan lalu di Hotel Pan Pacific Nirwana Bali Resort, Tanah Lot, Bali, bakal berlangsung panas. Sehari sebelum acara, petugas keamanan hotel menghalau siapa pun yang tak berkepentingan. Polisi bertebaran di mana-mana. Belasan wartawan bahkan sempat diusir karena tak punya kartu izin meliput Kongres PSSI. Organisasi yang dipimpin Nurdin Halid itu memang sedang gonjang-ganjing, antara lain, karena lahirnya kompetisi tandingan Liga Primer Indonesia (LPI).

Pertikaian klub pendukung Liga Super Indonesia, yang bernaung di bawah PSSI, dengan klub yang "hijrah" ke Liga Primer menambah ketegangan kongres. Ada kabar ratusan suporter Bonek-pendukung klub Persebaya Surabaya, yang pindah ke LPI-akan menggelar unjuk rasa di Bali. Bonek memprotes kebijakan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang membekukan keanggotaan Persebaya dan melarang eks Ketua Persebaya Saleh Ismail Mukadar menghadiri kongres. "Begini jadinya kalau PSSI dipimpin orang seperti Nurdin," ujar Saleh pedas. Bersama sejumlah pendukungnya, Saleh diam-diam sudah masuk arena kongres di hotel milik keluarga Bakrie itu. "Nurdin selalu bikin aturan sendiri," kata Saleh dengan kesal.

PSSI juga membekukan keanggotaan PSM Makassar, Persis Solo, Persibo Bojonegoro, dan Persema Malang. Selain Persis Solo, tiga klub itu sudah pindah ke Liga Primer Indonesia. Sejak awal Januari lalu, meski tidak direstui PSSI, liga yang digagas Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional dan pengusaha Arifin Panigoro itu memang sudah bergulir. Meski tak diundang, semua klub yang dicoret PSSI sudah merapat ke Bali. "Kami menganggap surat pembekuan ini tidak sah," kata Ketua Umum Persibo Taufik Risnendar.

Dari luar arena kongres, serangan terhadap PSSI tak kalah gencar. Sejumlah mantan pengurus PSSI-antara lain Sumaryoto, Tondo Widodo, dan Abu Bakar Assegaf-menggugat kepengurusan Nurdin Halid di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Mereka cacat hukum dan harus mundur secepatnya," kata Harjon Sinaga, kuasa hukum para penggugat.

Meskipun PSSI dirundung setumpuk masalah, sepak bola Indonesia dua bulan terakhir ini mendadak jadi buah bibir masyarakat. Ditangani pelatih asing Alfred Riedl, tim nasional mencapai final Piala Federasi Sepak Bola ASEAN, Desember lalu. Ketika tim nasional "tewas" di tangan negeri jiran Malaysia, publik kembali menyorot kepemimpinan buruk Nurdin Halid.

Selama tujuh tahun Nurdin memimpin PSSI, boleh dikata tak ada prestasi membanggakan. Indonesia tak sekali pun merebut Piala ASEAN. Satu dekade terakhir, Indonesia cuma jadi penggembira di panggung sepak bola dunia. Kompetisi kacau-balau, diwarnai kericuhan, baku hantam, juga dugaan pengaturan hasil pertandingan.

Pada pertengahan 2010, sebuah kantor auditor internasional diundang mencari tahu apa yang salah dengan pengelolaan klub-klub di Indonesia. Auditor itu memeriksa 16 klub-sebagian besar bertarung di Liga Super Indonesia, kompetisi divisi utama di negeri ini-dan menemukan fakta memprihatinkan. Meski menelan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai puluhan miliar setiap tahun, hanya tiga klub yang punya laporan keuangan teraudit. Bahkan hanya empat klub yang berbadan hukum. Selebihnya tak jelas bentuk organisasinya.

Semua klub tidak punya sistem pembukuan standar. "Laporan keuangan hanya dibuat dengan program Excel dan bisa diakses siapa saja tanpa proteksi memadai," tulis laporan itu. Semua klub tidak punya aset. Stadion, asrama, dan kendaraan merupakan pinjaman pemerintah daerah. Manajemen dan pemain datang dan pergi. Sebagian pemain dan pelatih tak punya kontrak hitam di atas putih. Laporan setebal 165 halaman itu menunjukkan betapa kacau manajemen sepak bola di negeri ini.

Tak mungkin prestasi lahir dari keadaan runyam begini. Ada indikasi, dalam kompetisi, semua bisa diatur. Segala cara dianggap halal, termasuk mengatur wasit, kartu kuning dan merah, juga skor pertandingan. Bahkan pengaturan diduga sampai pada penentuan klub juara. Kemenangan diraih lewat jalan apa saja, demi mempertahankan kucuran anggaran (APBD) dan prestise daerah.

Sumber: tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar