Selasa, 04 Januari 2011

Siapa Bilang Tiwul Tidak Punya Gizi?

 
















Tiwul bukan menu baru bagi masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Sudah sejak lama makanan ini dikonsumsi oleh orang Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Siapa sangka bila ternyata tiwul yang identik dengan menu pokok marginal itu ternyata memiliki kalori dan gizi yang memenuhi standar untuk dijadikan makanan pengganti beras. Tapi tunggu dulu. Tiwul yang dimaksud tentu bukan tiwul sembarangan, tapi tiwul istimewa.
 
Dikatakan istimewa sebab tiwul itu diolah dengan berbagai bahan campuran full gizi. Bukan air tapi susu segar dicampur dengan telur. Waktu dihidangkan di meja makan pun temannya juga bukan ikan asin, tapi ayam bakar, sop kambing, kadang-kadang ikan bakar.
Tiwul adalah pilihan. Jika terjadi devisit beras, stabilitas dan ketahanan pangan keluarga tak akan terganggu sebab terdapat berbagai makanan pokok alternatif. Itu artinya ketergantungan terhadap padi sebagai bahan pangan pokok perlahan akan berkurang. Substitusi bahan pangan nonpadi yang tersedia secara regional sesuai dengan daya dukung agroekologi dan pranata budaya masyarakat ini, bagaimanapun, tetap memperhatikan kadar gizi makro dan mikro yang tinggi. Jangan sampai karena berganti tiwul, standar gizinya

Sumber kalori potensial nonpadi adalah jagung dan cassava. Produksi jagung domestik lebih rendah dari permintaan sehingga mesti dipenuhi dari jagung impor sekitar 1,5 juta ton per tahunnya. Sedangkan, produksi cassava masih surplus. Dari 100 persen produksi hanya 90 persen yang digunakan untuk pangan, pakan, dan industri.

Dari sisi kandungannya, cassava ternyata punya keunggulan daripada padi. Ia punya lebih banyak kandungan lemak, kalsium, zat besi, vitamin A dan C. Bila tepung cassava dicampur dengan 18 persen tepung kedelai maka tepung komposit tersebut menjadi bahan pangan pokok bergizi tinggi dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan padi. Ditambah dengan telur maka lengkaplah tiwul itu memiliki kandungan protein sebesar 29 persen.

Cassava juga punya keunggulan lain yaitu kemampuan tanaman ini beradaptasi dengan lingkungan marginal. Ia juga bisa ditanam di berbagai medan secara lebih merata di seluruh wilayah di negeri ini. Jika dipanen hasilnya bisa mencapai 25 ton per hektare per 9 bulan atau 134 kkal/hari, sedangkan padi sawah dengan asumsi dua kali panen hanya 12 ton per hektare setara dengan 125 kkal/hari. Artinya, dengan pengolahan yang sederhana saja menjadi tepung komposit ubi kayu bisa menjadi bahan pangan bergizi tinggi dan lengkap.

Keunggulan tepung komposit inilah, ternyata, yang menjadi faktor pendorong PT. Bogasari untuk membangun industri tiwul instan di Gunung Kidul, Yogyakarta. Industri ini akan menambah keunggulan cassava sebagai sumber kalori alternatif utama. Oleh karena itu, peran cassava dalam sistem pangan global menuju tahun 2020 menjadi semakin penting. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil pengumpulan data pola konsumsi penggunaan sumber kalori utama nonpadi di Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung.

Sumber: kadangtani.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar