Kamis, 13 Januari 2011
Tol Tengah Kota Surabaya, Sebuah Perdebatan yang Tidak Konstektual
A. UNGKAPAN KEPRIHATINAN
Pewacanaan tentang tol tengah Surabaya yang diangkat oleh sejumlah politisi dan kemudian menjadi headline beberapa media lokal di Surabaya telah menjadi lahan perdebatan tajam yang tidak mengerucut pada satu pemikiran dan ide solutif. Substansi yang diperbincangkan semakin lama semakin tidak kontekstual karena hanya memandang dalam perspektif yang sempit dan tekstual dalam bingkai inward looking dimana pada akhirnya yang menonjol adalah perspektif kepemihakan, setuju atau menolak tol tengah. Publikpun cenderung terbawa oleh polarisasi kepemihakan ini karena tingginya intensitas penetrasi pemberitaan oleh media yang memfasilitasi pemikiran tekstual yang diusung oleh sejumlah kalangan tertentu. Debat tol tengah kota selama ini yang hanya berkutat pada aspek teknis dan mikro cenderung mengkerdilkan makna pengembangan wilayah. Wacana tol tengah kota Surabaya perlu diposisikan secara benar dan kontekstual dalam bingkai outward looking agar publik mendapatkan informasi yang akurat serta agar perdebatan yang berkembang dapat diarahkan menuju diskusi yang diharapkan dapat mensintesakan konvergensi pemikiran yang relevan, rasional, dan tentunya akademis
B. FUNGSI DAN PERAN SURABAYA DALAM KONSTELASI NASIONAL DAN REGIONAL
Perdebatan tentang tol tengah kota Surabaya tidak bisa begitu saja melewatkan peran dan fungsi kota Surabaya dalam konstelasi nasional dan regional. Beberapa atribut tentang fungsi dan peran Surabaya sudah lama mencuat di berbagai forum dan media, antara lain sebagai kota terbesar ke 2 setelah Jakarta, pusat pengembangan dan pelayanan Bagian Timur Indonesia, kota metropolitan, sentra pengembangan wilayah Gerbangkertosusila sekaligus Surabaya Metropolitan Area, dan lainnya. Dalam draft RTRW Jawa Timur malah digagas peluang pengembangan kota Surabaya sebagai megapolitan bersama kota Malang (Megasuma).
Secara juridis formal dan spasial, fungsi dan peran Surabaya (dan wilayah perkotaan di GKS) telah ditetapkan dalam PP 26 tahun 2008 tentang RTRWN sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) di Propinsi Jawa Timur. PKN didefinisikan secara formal sebagai kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.
Penetapan Surabaya sebagai PKN membawa konsekuensi bahwa kota Surabaya tidak dapat dipandang dalam perspektif lokal atau internal semata, ini karena Surabaya memiliki fungsi dan peran sebagai agent of development dalam konstelasi nasional dan regional. Implikasinya, Surabaya tidak saja mampu melayani kegiatan sosial ekonomi dan budaya warganya saja, tapi juga dituntut handal dalam memfasilitasi kegiatan kota dalam konteks nasional dan regional.
C. ARUS BONGKAR MUAT BARANG DI PELABUHAN TANJUNG PERAK DAN SEKITARNYA
Meningkatnya kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan peti kemas dan Tanjung Perak tidak bisa dipungkiri secara tidak langsung akan berpengaruh pada pergerakan lalu lintas barang yang melalui jaringan jalan regional di kota, baik lalu lintas yang menuju maupun lalu lintas yang meninggalkan pelabuhan.
Gambar 1. PENINGKATAN VOLUME BONGKAR MUAT CONTAINER DI PELABUHAN PETI KEMAS MENURUT PERKIRAAN JICA
Sumber : JICA, 2007
Untuk angkutan container ini, Pelindo (2004) sendiri juga telah melakukan prediksi bahwa pada tahun 2025 volume bongkar muat akan melonjak menjadi lebih kurang 5 juta TEU’s (skenario pesimis) dan lebih kurang 22 juta TEU’s (skenario optimis). Angka-angka ini melebihi kapasitas terpasang saat ini yang hanya sekitar 2 juta TEU’s (Gambar 2.)
Gambar 2. PENINGKATAN VOLUME BONGKAR MUAT CONTAINER DI PELABUHAN PETI KEMAS MENURUT PERKIRAAN PELINDO
Volume bongkar muat barang di Pelabuhan Tanjung Perak juga diprediksikan meningkat tajam. Pelindo (2004) memperkirakan volume bongkar muat barang pada tahun 2025 menjadi sekitar 56 juta ton (Gambar 3.), sedangkan Bappeprov Jatim (2007) memperkirakan pada tahun 2020 menjadi sekitar 65 juta ton (Gambar 4.). Angka-angka ini sangat jauh diatas kapasitas terpasang pelabuhan saat ini yang hanya 30 juta ton.
Gambar 3. DATA DAN PERKIRAAN VOLUME BONGKAR MUAT BARANG DI PELABUHAN TANJUNG PERAK OLEH PELINDO
Sumber : Pelindo, 2004
Gambar 4. DATA DAN PERKIRAAN VOLUME BONGKAR MUAT BARANG DI PELABUHAN TANJUNG PERAK OLEH BAPPEPROV JAWA TIMUR
Sumber : Bappeprov, 2007
Kondisi bongkar muat barang di kedua pelabuhan tersebut di atas tentunya akan mempengaruhi posisi dan peran Surabaya dalam konstelasi regional (SMA). Karena akses menuju dan dari pelabuhan sudah barang tentu melalui wilayah kota Surabaya, maka tentunya Surabaya harus menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang kebutuhan tersebut, khususnya akses berupa jalan dengan kualifikasi fungsi arteri primer.
D. ARUS TRANSPORTASI BARANG DALAM KONTEKS REGIONAL MELALUI JARINGAN JALAN
Arus lalu lintas komoditas dalam konteks regional yang menggunakan angkutan darat, baik dari wilayah hinterland menuju Surabaya dan sebaliknya, menunjukkan angka yang tinggi saat ini. Dari survey yang dilakukan oleh JICA tahun 2010, terdapat paling tidak 10 komoditas utama yang menjadi obyek transaksi ekonomi regional, yaitu pasir, pakan hewan, beras, pupuk, baja, gula, kertas, semen, kayu, dan komoditas lainnya. Total volume komoditas yang ditransaksikan antara Surabaya dengan hinterlandnya mencapai 36.576.036 kg/hari, terdiri atas 21.600.056 kg/hari masuk ke Surabaya dan 14.975.980 kg/hari keluar Surabaya. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. VOLUME PERGERAKAN BARANG YANG MASUK DAN KELUAR SURABAYA
Sumber : JICA, 2010 (diolah)
Saat ini transaksi ekonomi regional diakomodasi melalui 2 jalur jalan tol yaitu tol Surabaya – Gresik yang menampung arus pergerakan komoditas dari dan ke hinterland di sisi Barat Surabaya dan tol Surabaya – Porong yang menampung arus pergerakan komoditas dari dan ke hinterland di sisi Selatan dan Timur Surabaya. Traffic counting yang dilakukan oleh JICA menunjukkan bahwa kendaraan angkutan barang mendominasi volume lalu lintas di 3 ruas tol yang diamati, masing-masing 75,44% untuk ruas Dupak – Gresik, 59,95% untuk ruas Dupak – Perak, dan 50,86% untuk ruas Dupak – Porong, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. DISTRIBUSI VOLUME LALU LINTAS YANG MELALUI JALAN TOL DALAM KOTA SURABAYA MENURUT JENIS KENDARAAN
Sumber : JICA, 2010 (diolah)
Dari hasil traffic counting yang dilakukan JICA diatas, rata-rata tingkat layanan jalan tol yang direpresentasikan oleh rasio antara volume lalu lintas (V) dengan kapasitas jalan tol (C, diasumsikan 3600 smp/jam) di tiga ruas berbeda adalah seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. RATA-RATA TINGKAT LAYANAN JALAN TOL DI SMA
Sumber: JICA, 2010 (diolah)
Dari data tersebut terlihat bahwa tingkat layanan jalan pada ruas Dupak – Perak dan Dupak – Porong sudah berada pada angka yang rendah, masing-masing 0,84 dan 0,91. Angka tingkat layanan jalan tol ini belum mempertimbangkan fluktuasi lalu lintas per jam.
Apabila informasi fluktuasi lalu lintas per jam di 3 ruas jalan tol di atas diakomodasi, maka angka tingkat layanan jalan tol pada jam puncak sudah melampaui angka 1 yang artinya sudah sangat buruk. Gambar 7 (kiri) menjelaskan kondisi tersebut pada saat ini, sementara Gambar 7 (kanan) menunjukkan perkiraan tingkat layanan jalan tol pada 20 tahun mendatang apabila tidak ada penambahan kapasitas jalan.
Gambar 7. TINGKAT LAYANAN JALAN TOL DI SMA PADA JAM PUNCAK
Sumber : JICA, 2010
E. APAKAH TOL TENGAH KOTA SOLUTIF ?
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta tersebut di atas, maka di wilayah SMA perlu ada peningkatan kapasitas jalan untuk menampung lalu lintas komoditas ekonomi regional yang; mau tidak mau, akan melalui kota Surabaya karena destinasi utamanya adalah pelabuhan Tanjung Perak. Meningkatkan kapasitas jalan tol dalam kota yang ada sekarang di Surabaya hampir tidak mungkin karena langkanya lahan. Alternatif yang paling mungkin adalah membangun jalan tol baru, baik untuk ruas Barat (Surabaya – Gresik) maupun ruas Selatan (Surabaya – Waru). Karena alasan inilah maka Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur waktu itu mengusulkan tol tengah untuk memfasilitasi (peningkatan) pergerakan barang pada ruas Perak – Waru, yang sekarang menjadi bahan perdebatan publik. Kalaupun kemudian saat ini Pemerintah Kota Surabaya mencabut kembali usulannya untuk membangun tol tengah dengan alasan bahwa masalah lalu lintas di dalam wilayah kota Surabaya akan diatasi dengan solusi lain (pembenahan struktur jalan, mengembangkan angkutan publik massal, membangun frontage road, dll), itu adalah persoalan yang berbeda konteks.
Saat ini Pemerintah Kota Surabaya sedang mengusulkan jalan lingkar Timur dan jalan lingkar Barat sebagai bagian dari komponen struktur jalan kota seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. RENCANA STRUKTUR JALAN KOTA SURABAYA MENURUT DRAFT RTRW SURABAYA
Sumber : Bappeko Surabaya, 2010
Secara fungsional, kedua ruas jalan ini berpeluang untuk diusulkan sebagai alternatif jalan regional yang menghubungkan antara Surabaya (Tanjung Perak) dengan wilayah hinterland sisi Barat Daya, Selatan, dan Timur via Waru. Secara administratif dalam konteks kebijakan pembangunan nasional, ruas jalan lingkar Timur lebih memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai koridor penghubung Waru – Tanjung Perak dibandingkan ruas jalan lingkar Barat, ini karena ruas lingkar Timur sudah tercantum sebagai jalan tol dengan skala prioritas utama, baik dalam PP No 26 tahun 2008 ttg RTRWN maupun dalam Keputusan Menteri PU No. 369/KPTS/M/2005 ttg Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional.
Perlu dipahami bahwa penggunaan istilah jalan tol harus dimaknai dalam konteks finansial-transportasi, yaitu jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol (pasal 1 ayat 2 PP 15 tahun 205 tentang Jalan Tol). Dalam kasus ruas jalan lingkar Timur Surabaya, secara fungsional, terminologi sebagai jalan arteri primer, yaitu jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan dengan pusat kegiatan wilayah (pasal 10 ayat 1 PP 34 tahun 2006 tentang Jalan), sudah sangat mencukupi untuk dimanfaatkan sebagai dasar dalam mengembangkannya. Sebagai tambahan informasi, di beberapa negara maju, jalan lingkar merupakan instrumen vital untuk memfasilitasi lalu lintas regional yang melalui kota dengan tidak mencampuradukkannya dengan lalu lintas internal kota. Dengan demikian maka akan sangat wajar dan rasional apabila ruas jalan lingkar Timur (dan Barat) dijadikan alternatif apabila pengembangan tol tengah dirasakan kurang kemanfaatannya karena beragam alasan dari berbagai perspektif internal kota Surabaya dan dari aspek teknis.
Selanjutnya, debat dan diskusi tentang tol tengah sebaiknya tidak hanya mengangkat issue-issue lokal, sempit, dan teknis semata, dimana pada gilirannya akan semakin memperuncing polarisasi antara kubu yang setuju dan menolak. Publikpun diharapkan tidak terseret pada debat berkepanjangan yang cenderung bias makna. Semakin jelas bahwa secara akademis jalan tol tengah Surabaya memang tidak diproyeksikan untuk mengatasi persoalan lalu lintas di dalam kota Surabaya, ini karena tujuan strategisnya adalah memfasilitasi peningkatan arus pergerakan barang dalam konteks regional (Surabaya Metropolitan Area).
F. REFERENSI
[2010], INOVASI DALAM RISET DAN PRAKTEK PERENCANAAN MENUJU PENATAAN RUANG KOTA MASA DEPAN, paparan Walikota Surabaya pada Seminar CITIES yang diselenggarakan oleh prodi PWK ITS
[2010], Draft RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI JAWA TIMUR, Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Timur
[2009], STUDY ON FORMULATION OF SPATIAL PLANNING FOR GERBANGKERTOSUSILA ZONE, JICA
[2008], Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
[2006], Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang JALAN
[2005], Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2005 tentang JALAN TOL
[2005], Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 269/KPTS/M/2005 tentang RENCANA UMUM JARINGAN JALAN NASIONAL
[2005], KONSEP RENCANA PEMBANGUNAN INTERNATIONAL HUB PORT (TERMINAL PETI KEMAS) DI JAWA TIMUR, paparan Pemerintah Provinsi Jawa Timur
[2004], RENCANA PENGEMBANGAN PELABUHAN TANJUNG PERAK DI TELUK LAMONG SURABAYA, paparan PT (Persero) Pelabuhan Indonesia III.
Putu Rudy Setiawan
Sumber: blog.its.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar