Kamis, 06 Januari 2011
Wisata Pasca Letusan Merapi
Berdiri di balkon atas belakang rumah, sore hari di Yogjakarta terasa sangat berbeda. Gunung Merapi yang masih mengepulkan asap di bibir kawahnya, walaupun jaraknya puluhan kilometer dari tempat saya berada, tetapi tak mengurangi keanggunan dan ketakjuban saat melihatnya.
Bagai negeri di atas awan, Merapi berdiri kokoh dengan latar langit biru kejingga-jinggaan. Menandakan matahari akan segera berpamit membawa serta sinarnya untuk bertemu lagi esok pagi.
Pagi itu (25/12), tergelitik hati untuk mengunjungi lokasi dampak letusan Merapi di Cangkringan. Pukul 06 pagi, menggunakan sepeda motor, saya berangkat dari rumah menuju Desa Cangkringan. Melewati jalan Raya Kaliurang yang masih sepi, lalu berbelok melalui jalan yang lebih sempit.
Pemandangan pertokoan dan perumahan berubah menjadi persawahan hijau dan para petani yang menggarap sawahnya. Akses menuju wilayah wisata Merapi ini cukup jauh dari jalan raya. Meskipun begitu, jalanannya kini mulus beraspal. Udara pagi yang dingin menampar-nampar wajah. Gunung Merapi tinggi menjulang selalu terlihat sejauh mata memandang, seakan mengawasi dan mengikuti.
Kawasan desa Cangkringan bekas jajahan Merapi, kini dijadikan kawasan wisata oleh warga setempat. Memasuki desa Cangkringan, hutan bambu bagaikan pagar hijau mengawal di kiri dan kanan jalan. Para warga terlihat beraktivitas normal. Petugas berompi oranye, terlihat berjaga di setiap cabang jalan.
Para oknum pungutan liar pun tak habis-habis sepanjang jalan. Mulai dari pemuda hingga anak-anak, menyodorkan kotak bertuliskan sumbangan Merapi. Hal ini menghambat jalan menuju Merapi.
Sekitar satu kilometer dari kaki gunung Merapi, beberapa petugas berjajar menyodorkan tiket masuk. Untuk masuk ke kawasan tersebut, per orang harus membayar 5 ribu Rupiah.
Memasuki kawasan wisata Merapi, pemandangan sekitar yang tadinya hijau, tiba-tiba berganti menjadi coklat dan abu-abu. Pepohonan kering kerontang tak berdaun bagaikan di musim kemarau, menghiasi sisi jalan. Debu mulai berterbangan mengaburkan pandangan. Reruntuhan rumah-rumah akibat keganasan Merapi, berbaur dengan pasir, debu, dan puing-puing kayu terbakar.
Rika, penduduk yang kehilangan rumahnya akibat letusan Merapi, mengeluhkan bantuan berupa rumah dari pemerintah yang tak kunjung terealisasi. Padahal pemerintah telah menjanjikan penggantian rumah dan hewan ternak bagi korban letusan Merapi sejak jauh-jauh hari. Meskipun begitu, kebutuhan makanan para pengungsi sehari-hari terjamin.
Rika sekeluarga sampai saat ini masih tinggal sementara di pengungsian. Untuk menambah penghasilan, wanita paruh baya ini menjajakan minuman serta jasa toilet untuk para pengunjung wisata letusan Merapi
Tak berbeda jauh dengan Rika, Rianto, wanita paruh baya yang merupakan penduduk asli lokasi tersebut, kini menjadi tunawisma akibat letusan Merapi. Rianto bercerita mengenai rumahnya yang luluh lantak oleh material Merapi. Dengan ekspresi pilu, Rianto lalu menunjuk ke tumpukan puing-puing rumahnya yang hanya meninggalkan fondasi.
Demi menghidupi keluarganya, dia pun berjualan minuman, makanan, dan buah buahan di lokasi wisata letusan Merapi. Dia mengaku barang dagangannya diperoleh dari hasil sumbangan relawan, yang kemudian ia jual lagi. Kegiatan berjualan ini banyak diikuti oleh korban letusan Merapi lainnya yang mayoritas adalah kaum ibu.
Pengunjung diharuskan berjalan kaki ke lokasi bencana dari tempat parkir, karena kondisi jalannya tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan. Berbondong-bondong masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, datang hanya untuk melihat kondisi desa Cangkringan pasca meletusnya Merapi.
Dari tempat mereka berdiri, sisa-sisa jalur lahar panas Gunung Merapi terukir jelas bagaikan sungai kering. Kepulan asap belerang bermunculan dari balik bebatuan dan tanah. Bau sulfur, kayu terbakar, dan bangkai, berbaur menjadi satu menghasilkan aroma yang menyengat, memaksa sebagian besar pengunjung memakai masker.
Lahan berhektar-hektar yang dulunya adalah perkebunan, kini menjadi lautan pasir dan bebatuan dengan pasak pasak batang pohon terbakar yang mencuat tak beraturan di sekitarnya. Bagaikan gambaran kota mati seperti di film-film Holywood.
Kunjungan ke Merapi kali ini, dapat menjadi pengalaman spiritual bagi para pengunjung. Mengingatkan kita betapa Allah SWT sungguh berkuasa atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Berdiri berhadapan-hadapan dengan Gunung Merapi, hanya rasa takjub yang menjalar bagai terhipnotis. Sampai saat perpisahan pun, tak henti-henti lantunan Subhanallah terucap di dalam hati.
Sumber: salmanitb.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar