Minggu, 13 Februari 2011

Setan pun Tertawa


            Sepanjang perjalanan mengantar Kyai Badrun, Jarun hanya diam. Tidak seperti biasanya, mulutnya mengatup tanpa banyak bicara. Padahal, sudah sangat lumrah bila dia berbicara panjang lebar tentang hari-harinya yang mungkin tidak penting untuk dibicarakan. Mungkin Jarun sudah berubah. Ah, itu hanya kemungkinan. Rasanya sulit.

            ”Kyai...” Akhirnya kaku juga lidahnya terus mematung.
            ”Hmm?” Kyai sepertinya sedang ingin istirahat. 

Tapi, begitu mendengar suara Jarun, matanya langsung terbelalak. Kesempatan yang sejak tadi ditunggu-tunggu sang Kyai.

            ”Bagaimana kalau ada setan muncul di depan Kyai?”
            ”Setan? Setan apa?”
            ”Setan! Ya, setan. Syaithon-ir-rojim!”
            “Haha…”

            Sang Kyai tertawa. Mendadak Jarun bertanya hal yang paling aneh dari segala keanehan yang pernah dia munculkan selama ini. Ini baru kemajuan. Bertanya tentang kehadiran musuh secara nyata di hadapan. Padahal, sudah lama kita memutuskan untuk berperang, meski seringkali sering terbujuk untuk berkomplot demi melakukan makar dan kemaksiatan lepada Tuhan. 

            “Setan itu licik, Kyai.”
            “Mana lebih licik dengan koruptor?”
            “Sama!”
            “Ah, yang benar?”
            Jarun diam. Berpikir sejenak.
            “Kalau begitu, setan yang lebih licik.”
            Lho, kok berubah?”
            Lha, Kyai toh yang suruh saya berubah.”
            ”Ah, ndak. Kamu yang sontoloyo. Masak sih koruptor tidak lebih licik?”
            ”Ya, ndak.”
            ”Kenapa toh?”
            ”Karena koruptor cuma anak-anak setan.”
            ”Anak?”
            ”Ya, anak.”
            ”Anak sama bapak kan sama saja. Cuma umurnya saja yang beda.”

            Walah... Jarun makin bingung. Bapak dan anak memang sama saja. Yang beda hanya soal usia. Berbicara tentang spesies juga tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan antara bapak dan anak karena memang sejatinya kedua hal itu setara. Setara dalam pemikiran dan gerakan karena anak mendapat warisan genetik dari sang bapak. Anak tidak akan pernah berlari jauh dari pohon orangtuanya. 

            ”Lalu kamu anggap kita anak-anak setan?”
            ”Ah, ndak. Kyai kok bisa nyimpulkan begitu?”
            Haha... Kyai tertawa lagi. Semakin keras. Satu detik, dua detik, tiga detik. Mengatup! 

            Menjadi setan kadang telah menjadi cita-cita manusia. Mungkin bosan dengan karekteristik insani yang sering salah dan berbuat baik sehingga sering dibilang munafik. Manusia kemudian berpikir untuk terus saja berbuat salah. Sudah terpercik air laut, lebih baik tenggelam sekalian. 

            Yang sebagian sibuk menggelamkan diri, yang lain sibuk menggelamkan orang lain. Mempersetankan orang untuk kepentingan pribadinya. Mungkin itu saja tidak cukup. Setan harus selalu bertambah tiap hari, bahkan tiap detik. Maka setiap kali kesalahan hadir, manusia pun berubah wujud menjadi setan. Lengkap dengan tanduk, taring dan mata yang menyala. Sekali salah, salah terus. Berubah rupa seolah telah menjadi  keputusan irreversible yang tidak akan mungkin bisa berubah bentuk ke rupa semula.

            Mempersetankan manusia benar-benar senjata yang paling ampuh untuk membunuh karakter manusia. Karakter yang seharusnya murni; jauh dan kembali, justru dipinggirkan untuk selalu menjadi hal yang layak dipinggirkan dan dijauhkan sejauh-jauhnya. Hinggá suatu saat tak akan pernah bisa kembali. Bahkan, ketika Tuhan sudah menyediakan jalan untuk kembali, manusia seolah menjadi penguasa jalan untuk menutupnya sendiri. 

            Sedangkan sebagian yang lain terus-terusan berbuat salah. Hingga setiap kali ditanya tentang perbuatannya, hanya sanggup menjawab, ”Walah, ini gara-gara setan.” 

            Setan telah menjadi primadona masyarakat yang katanya sudah modern. Tidak cukup bergentayangan lewat layar kaca, setan telah merasuk ke jiwa dan raga tanpa ada obat semujarab apapun yang bisa mengobatinya. Setan telah berdiferensiasi menjadi lautan manusia yang mempersetankan diri dan orang untuk menjadi setan seutuhnya. Tidak kurang suatu apapun. Setan telah menjadi idola baru untuk dijadikan cita-cita. Bukan lagi dokter atau insinyur, anak-anak sudah dilatih untuk menggantung harapan dirinya menjadi setan.

            Mungkin juga karena setan semula ingin menjadi khalifah di muka bumi sehingga manusia yang merasa dirinya tidak sehebat setan ingin mengubah diri menjadi setan. Padahal, bukankah setan hanya diciptakan dari api dan manusia diciptakan dari tanah? 

            Sekarang setan-setan sudah berkeliaran di sepanjang jalan. Setiap manusia yang berbuat salah, jidatnya penuh stempel bertuliskan nama setan. Setan alas, setan atap. Setiap kali kesal, manusia serta merta berteriak, ”Setan!” Mungkin memang setan telah melampaui kehadiran Tuhan di jiwa-jiwa yang kalut. 

            Dan setan pun tertawa. 

            Manusia telah menyibukkan diri dengan setan-setan dari mulutnya. Mempersetankan diri sendiri dan orang lain. Lalu mempersetankan kesalahan atas nama setan yang justru mebuat setan-setan tertawa terbahak-bahak ala setan. Karena manusia telah menjadi duplikat yang mutakhir untuk menjalankan tugas mereka yang ”mulia”.

            Haha... Sayang, setan bukan manusia.
            ”Jadi, Kyai pukul?”
            Ndak.”
            ”Kyai tendang?”
            Ndak.”
            ”Kyai usir?”
            Ndak.”
            ”Kyai bunuh?”
            Ndak.”
            ”Terus Kyai apakan?”
            ”Saya pinjam topengnya.”
            Lho, buat apa?”
             
Manusia kan lebih percaya dan takut sama setan. Ndak peduli lagi sama Kyai. Haha... Dunia ini sudah menjadi dunia setan. Setan!

            Wallahua’lam bishshowab.

Sumber: farranasir.multiply.com 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar