Jumat, 11 Februari 2011

New7Woders dan Kotroversi yang Menyertainya


Komodo (sumber : Kompas.com)


Menarik sekali membaca blog Mas Priyadi yang membahas soal Fakta-Fakta di Balik New 7 Wonders yang digagas oleh sebuah perusahaan privat di Swiss untuk melakukan pemilihan 7 keajaiban dunia baru yang dilaksanakan melalui kontes popularitas online berskala global. Taman Nasional Komodo terpilih menjadi salah satu finalis dari 28 negara untuk menjadi salah satu kandidat pemenang dalam ajang ini.


Dan situasi mendadak “memanas” ketika hari ini diberitakan nominasi Indonesia terancam di-elimninasi dalam kompetisi terkait ketidaksiapan menjadi tuan rumah deklarasi yang akan diadakan tanggal 11 November 2011. Tak kurang pengacara kondang Todung Mulya Lubis yang juga Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia ditunjuk oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) sebagai pengacara untuk menghadapi situasi ini. Alasan eliminasi dari nominasi hanya karena Indonesia tidak bersedia menjadi tuan rumah (hosting) deklarasi sungguh tidak adil setelah mekanisme voting itu sendiri dilaksanakan sejak 2008.
Seperti yang saya kutip dari Kompas.com, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) Sapta Nirwandar menyatakan:
“Kita minta keadilan, voting dari 2008 masa hilang karena gak mau hostingHormatin dong voting dari tahun 2008. Ini voting kan bukan hanya dari orang Indonesia, tetapi juga luar negeri,” kata Sapta kepada Kompas.com via telepon, Jumat (4/2/2011).
Namun, Sapta mengakui bahwa di perjanjian umum pada saat mendaftar terdapat klausa yang menyatakan bahwa pihak New7Wonders berhak mengeliminasi apabila tidak sesuai dengan ketentuan. “Tapi itu kan kalau punya dosa. Ini dosanya apa?” ucapnya.
Sapta menuturkan bahwa eliminasi jelas dikaitkan dengan posisi Indonesia sebagai tuan rumah. Sapta menambahkan, Indonesia tidak ikut jadi tuan rumah karena tidak siap dengan kondisi biaya. “Kalau dia (New7Wonders) mau eliminasi, eliminasi Indonesia yang tidak sanggup jadi host. Ini kita yang dieliminasi Komodo yang jadi finalis. Mestinya profesional,” katanya.
Pihak New7Wonders memang telah melakukan kontrak dengan sebuah konsorsium swasta di Indonesia. Sapta mengatakan, pihaknya tidak pernah tahu ada kontrak tersebut. Selama ini, ia melanjutkan, pihak Kembudpar baru sebatas mengadakan pembicaraan saja mengenai ketertarikan menjadi tuan rumah dan sama sekali belum terikat kontrak dengan New7Wonders.

Dalam sebuah berita di Kompas.com hari ini dipaparkan pula,
Gugatan kepada New 7 Wonder akan dilayangkan melalui pengacara Todung Mulya Lubis. Surat tersebut juga akan ditembuskan kepada 27 finalis New7Wonders lainnya.
“Todung mengirim surat mengenai masalah ini ke pihak New7Wonders. Tahap pertama nanti kita lihat dulu reaksinya,” kata Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) Sapta Nirwandar kepada Kompas.com via telepon, Jumat (4/2/2011).
Dalam surat Menbudpar Jero Wacik yang ditujukan kepada Wakil Presiden Boediono perihal “The Truth Behind N7W: Konsistensi, Kredibilitas, dan Kehormatan Bangsa”, Kembudpar telah menyiapkan langkah-langkah dari aspek hukum dan sosial masyarakat.
Dari aspek hukum, Kembudpar telah berkonsultasi dengan Todung selaku pengacara. Selain itu, Kembudpar juga belum pernah menandatangani perjanjian sebagai tuan rumah penyelenggaraan deklarasi New7Wonders. Langkah yang akan diambil Kembudpar adalah menyampaikan surat pengunduran diri dari minat menjadi tuan rumah.

Sementara itu, pada berita di Tempo Interaktif, Sapta mengungkapkan:
Ancaman Yayasan New7Wonders (N7W) yang bakal mengeliminasi Komodo dari nominasi tujuh keajaiban baru dunia, sangat merugikan Indonesia.
Yayasan internasional itu menyatakan akan mengeliminasi Komodo jika pemerintah dan konsorsium swasta tidak memenuhi landasan hukum yang disepakati. Namun, pemerintah membantah adanya kontrak dengan N7W tentang penunjukkan Indonesia sebagai tuan rumah deklarasi kompetisi pada 11 November mendatang.
Menurut Sapta, saat ini masyarakat luas baik dalam maupun luar negeri sudah memberikan suaranya untuk memilih Komodo. “Tentu jika komodo dieliminasi akan mengecewakan para pemilihnya,” kata Sapta.
Kekecewaan itu, kata Sapta, saat ini sudah mulai terasa. Salah satunya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat NTT, kata Sapta, mengusulkan agar pemerintah membuat kompetisi tandingan untuk menampung suara yang sudah terkumpul bagi Komodo. “Tapi kami belum menindaklanjuti usul tersebut.”

Pada Blog “Save Komodo” (yang nampaknya menjadi “corong” informasi New7Wonder) , atas nama “anak bangsa” secara “heroik” menyebutkan:
Kini setelah memasuki tahun kedua, Komodo terancam dicopot dari nominasinya. Mengapa? Karena barangkali kita semua terlalu cuek dan kurang cerdas memanfaatkan peluang besar ini dan seringkali juga kurang cermat bergaul dengan masyarakat internasional.
Yayasan N7W di Zurich yang bertindak sebagai pemrakarsa dan pemilik hak penyelenggaraan sebenarnya sudah menetapkan dan memilih Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan Deklarasi dan Penganugerahan 7 Keajaiban Alam Yang Baru pada tanggal 11 Nopember 2011. Indonesia dipilih karena selain banyak keanekaragaman hayatinya, juga karena masyarakatnya yang ramah serta terlah berkali-kali sukses menyelenggaraan berbagai pertemuan dan festival internasional. Dan yang paling penting lagi adalah azas demokrasi di Indonesia sangat luar biasa. New7Wonders adalah 100% pilihan masyarakat dan rakyat dunia bukan pilihan pemerintah atau lembaga pemerintah. Jadi azas demokrasi adalah tulang punggung dari eksistensi dan kompetisi ini. Indonesia telah menjadi raksasa demokrasi dunia.

Sejak Komodo ditetapkan sebagai finalis 7 Kejaiban Alam Dunia, pemerintah sadar bahwa untuk bersaing dengan calon keajaiban alam dunia lainnya seperti Amazone, Great Barrier Reefs, Grand Canyon, Kilimanjaro dan Sundhaban yang memiliki dukungan milyaran masyarakatnya tidak mudah. Oleh karena itu maka dibutuhkan strategi khusus untuk tampil dan menang sebagai salah satu keajaiban alam dunia yang baru. Strategi ini diwujudkan dalam keinginan pemerintah untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Deklarasi dan Penganugerahan Pemenang 7 Keajaiban Alam Dunia yang baru. Keingingan ini sudah berkali-kali disampaikan kepada masyarakat dan Yayasan N7W. Bahkan pada awal tahun 2010 yang lalu, Kemenbudpar selaku pemrakarsa ide ini telah mengundang pihak N7W dating ke Jakarta untuk memberi saran dan masukan bagaimana agar Komodo menang dan Indonesia menjadi tuan rumah Penganugerahan dimaksud. Berkali-kali N7W datang ke Jakarta untuk meninjau dan memastikan bahwa Jakarta, Indonesia pantas menjadi tuan rumah. Pemerintah sangat antusias. Bahkan rancangan Keputusan Presiden tentang Panitia Nasional Vote Komodo dan rencana menjadi tuan rumah sudah diajukan sejak pertengahan Januari 2010.
Pada bagian lain, situs ini juga menceritakan kronologis peristiwa hingga Taman Nasional Komodo terancam dieliminasi dari nominasi 7 New Wonders.

Sore tadi saat saya ikut hadir dalam sebuah pertemuan informal bersama sejumlah perwakilan rekan blogger dari berbagai komunitas bersama Kemenbudpar yang di-inisiasi oleh IDBlognetwork. Saya sedikit banyak mendapatkan pencerahan soal kontraversi yang terjadi soal New 7 Wonders ini.
Berikut catatan saya:
1.  Merujuk pada situs blog resmi New 7 Wonder disebutkan angka yang cukup fantastis untuk lisensi fee penyelenggaraan event deklarasi sebesar US$ 10 Juta (Rp 100 Milyar) yang konon telah secara legal ditandatangani dalam kontrak bersama New 7 Wonders dengan “Private Consorsium” (Tidak jelas ini “private consorsium” apa, istilah yang sama disebut Pak Sapta pada awal kutipan artikel diatas dengan istilah sebagai “konsorsium swasta”) .
Bagi saya angka Rp 100 Milyar bukanlah sebuah nilai yang sedikit dan banyak yang bisa dilakukan untuk dunia pariwisata di Indonesia dengan uang sebesar itu ketimbang untuk sebuah perhelatan deklarasi gelar “7 New Wonder” yang terkesan seremonial belaka. Nilai itu bisa lebih besar lagi bila ditambahkan biaya penyelenggaraannya sendiri (konon dapat mencapai US$ 35 juta). Saya sempat tersenyum saat salah seorang peserta diskusi nyeletuk,”Duit itu mending dipake beli makanan komodo dan pengembangan habitatnya disana!”.

2. Mekanisme pemilihan lewat voting di internet sangat rentan manipulasi. Pemungutan suara secara online bisa saja dilakukan berkali-kali oleh pihak yang sama apalagi tidak dilakukan verifikasi dan audit independen untuk itu. Kontraversi memang kerap terjadi pada ajang ini. Seperti tercantum di Wikipedia terdapat 14 juta suara dari dalam negeri Yordania telah memilih Petra–sebuah situs bersejarah disana–padahal populasi penduduk Yordania sendiri berada dibawah 7 juta orang.

Saya tertarik pada pernyataan di situs World Heritage Convention UNESCO, Badan Resmi PBB yang mengurus soal konservasi situs keajaiban dunia yang menyatakan secara tegas bahwa:
The list of the “7 New Wonders of the World” will be the result of a private undertaking, reflecting only the opinions of those with access to the internet and not the entire world.  This initiative cannot, in any significant and sustainable manner, contribute to the preservation of  sites elected by this public.
Kredibilitas UNESCO dalam penetapan reservasi daerah atau tempat yang perlu dilestarikan merupakan sebuah rujukan valid karena tentu telah melalui kajian-kajian ilmiah yang komprehensif serta mendalam dan tidak sekedar kesan sesaat atau pertimbangan sentimental belaka.

3. Saya tidak mengerti mengapa lantas status nominasi Taman Nasional Komodo terancam dihapus hanya lantaran Indonesia tak bersedia menjadi tuan rumah deklarasi. Ah, come on, ini sebuah alasan yang mengada-ada. Kita sudah cukup cerdas untuk memahami tak ada kaitan apapun antara kedua hal ini. Seharusnya, atas dasar keadilan, nominasi Komodo tetap jalan meski Indonesia tidak jadi tuan rumah.
Saya sependapat dengan apa yang disinyalir Mas Priyadi dalam tulisan diblognya bahwa:
New7Wonders hanyalah eksploitasi terhadap rasa nasionalisme. Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan mayoritas memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Wajar jika kini kita semua menjadi incaran mereka. Terlihat mereka seperti sangat berat hati jika harus memindahkan lokasi acara puncak ke luar Indonesia, sampai-sampai harus memberi ancaman untuk mendiskualifikasi Pulau Komodo.
Harapan saya, dan mungkin juga harapan seluruh masyarakat Indonesia bahwa kita tentu akan menolak upaya-upaya sistematis  yang “memanfaatkan” sentimen nasionalisme bangsa ini untuk kepentingan segelintir pihak yang hanya ingin menangguk keuntungan komersil dari sana.

4. Saya mendukung sikap Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk mengambil langkah tegas bahkan untuk melakukan rencana gugatan kepada 7 News Wonder.  Kehormatan dan harga diri bangsa ini layak diperjuangkan. Saya tidak sependapat atas apa yang dikatakan si “anak bangsa” yang menyatakan: barangkali kita semua terlalu cuek dan kurang cerdas memanfaatkan peluang besar ini dan seringkali juga kurang cermat bergaul dengan masyarakat internasional. Justru bagi saya,momentum ini telah menggugah kecerdasan dan kesadaran kita semua untuk kian peduli pada potensi pariwisata negeri sendiri dan By the way, memangnya siapa pula yang dimaksud dengan “masyarakat internasional” sehingga membuat kita seringkali  jadi kurang cermat bergaul ? Lembaga 7 New Wonder? Meminjam Kalimat Sule OVJ : “Owh, Tidak Bisa! :)


5. Apapun langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam menyikapi situasi ini, saya yakin inilah langkah terbaik. Jika memang Taman Nasional Komodo mesti dihapuskan dalam ajang kompetisi, bukanlah sebuah hal yang harus dirisaukan. Saya yakin segenap elemen bangsa ini akan mengerahkan segala kemampuan terbaiknya  untuk bersama-sama mempromosikan daerah wisata di Indonesia, dengan atau tanpa ajang 7 New Wonders.  Promosi Taman Nasional Komodo dan Daerah wisata potensil lainnya di Indonesia, lewat cara dan bentuk apapun, adalah manifestasi cinta dan rasa kebangsaan kita yang tinggi untuk bangsa ini.

MAJU TERUS INDONESIAKU !

 Sumber: daengbattala.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar