Kamis, 10 Maret 2011

Benteng Portugis Jepara, Imperialisme Harus Dilawan!



 
Mumpung masih ada sedikit waktu libur di awal tahun 2009, kuputuskan untuk mengisinya dengan mengunjungi tempat wisata yang tak jauh dari rumah. Setelah memilah-milah daftar interesting places yang belum pernah dikunjungi, akhirnya jatuh pilihan ke Benteng Portugis Jepara, sekaligus berlanjut jalan-jalan ke kota yang berjuluk kota ukir.

Sudah lama nian tidak menjejakkan kaki di kota ukir, setelah terakhir kali waktu masih duduk di bangku SD berwisata ke Pantai Kartini. Hmm…kira-kira seperti apa ya kemajuan bumi Kartini sekarang? 


Benteng Portugis, 02 Januari 2009; Membuka Lembar Sejarah
 
Sekitar jam 8 pagi, perjalanan kami sekeluarga pun dimulai. Dengan mengambil rute Rembang-Kaliori-Juana-Tayu-Dukuhseti-Keling selanjutnya singgah di Benteng Portugis. Di sepanjang jalur Juana-Tayu, tampaklah suasana alam yang sangat kontras, dimana selepas Kota Juana hingga Desa Kepoh, Kec. Wedarijaksa lahan di kanan kiri jalan didominasi oleh petak-petak tambak ikan bandeng yang dikelola masyarakat dan selebihnya mulai Margoyoso hingga  Tayu dikelilingi oleh areal persawahan dan perladangan. Mengingat daerah ini adalah kawasan yang terletak di lereng Gunung Muria yang subur, berkecukupan air dan berudara sejuk, sehingga lebih cocok dijadikan lahan pertanian.

Setelah melewati kota Kecamatan Tayu, kuarahkan perjalanan ke arah Jepara. Di km 7, ruas jalan Tayu-Jepara bercabang dua, arah lurus melewati Kec. Cluwak, sedangkan  berbelok ke kanan menuju Kecamatan Dukuhseti. Dan jalur inilah yang kupilih, karena relatif lebih dekat menuju Benteng Portugis.

Selepas kota Kecamatan Dukuhseti, kami dihadang kondisi jalan yang sempit, berdebu, rusak dan bopeng di sana sini. Kami membatin, apakah karena ini hanya jalur alternatif menuju Jepara, keberadaan jalan ini seolah dianaktirikan, sehingga kerusakan yang menahun didiamkan tanpa perawatan ?

Memasuki Kecamatan Keling, dimana posisi benteng Portugis sudah semakin dekat, Jajaran pegunungan Rengas, yang terletak Gunung Muria, semakin terlihat jelas di depan mata. Hawa sejuk khas pegunungan mengalir segar, perkebunan karet yang diusahakan PT Perkebunan Nusantara IX Jateng yang rindang menghijau, areal persawahan yang sedang memasuki musim bercocok tanam, antena relay TVRI yang sudah puluhan tahun mendiam di salah satu puncak bukit dan hamparan pesisir pantai dengan ombak membuih adalah nuansa alam di sekitar obyek wisata yang merupakan peninggalan Kerajaan Mataram abad XVII.

Dan tampak satu pemandangan mencolok, yaitu Bukit Ujung Watu yang dikepras untuk diresize menjadi area pembangunan PLTN. Bukit yang semula hijau tampak memutih oleh warna batu kapur setelah dipapas, seolah terbengkalai, tak tampak satu aktivitas apapun. Apakah proyek ini terkatung-katung tanpa kejelasan arah akibat aksi keberatan sebagian besar warga Jepara atas pembangunan PLTN di daerahnya?

Setelah dua jam perjalanan dari Rembang, sampailah kami di kawasan wisata Benteng Portugis. Tugu yang menggambarkan simbol sebuah benteng berdiri di depan pintu masuk, sekilas mirip buah catur benteng dalam bentuk raksasa. Dengan tiket Rp3.000,00 per kepala dan bea parkir Rp2.000,00 untuk kendaraan roda empat, akhirnya kami mendapat permit memasuki obyek wisata sejarah yang dikelola oleh Pemkab Jepara ini.

Kendaraan kami langsung disambut tanjakan curam dan kelokan tajam untuk mencapai puncak benteng. (Hmm…jadi ingat tanjakan Cemorosewu, yang tempo hari kami daki. Anggap saja ini miniaturnya, he he he…) Setelah kendaraan terpakir, kami masukki areal benteng yang kokoh, kekar dan tinggi menjulang dengan ketinggian kurang lebih 30 m di atas pantai Desa Banyumanis, Kecamatan Keling. Tampaklah perairan luas Laut Jawa yang begitu luas tak berujung, permukaan air tampak berkilauan diterpa cahaya mentari, hamparan batu karang yang seolah menjadi pelindung benteng dari debur gelombang, rentetan ombak yang saling berkejaran tanpa henti, Pulau Mandalika dengan mercu suarnya yang seolah mengambang di atas laut, teduh langit dan awan tipis di bawahnya meng-assist suasana pagi yang cerah di atas semenanjung Jepara. Sungguh lukisan alam yang tiada bandingnya. Serasa kami berdiri jauh di atas air laut, seolah dunia dalam genggaman kami.

Beberapa pohon asam jawa tumbuh menghijau dan asri di dalam benteng, dan bisa jadi usianya setua benteng ini. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata Jepara, panjang benteng sisi timur adalah 33,50 meter, sisi barat 37 meter. Lebar sisi selatan 28,50 meter dan sisi utara 20,30 meter. Dilengkapi ruang rehat yang dibangun di atas benteng ini, sebagai tempat pengunjung beristirahat, sambil melepas pandangan ke laut luas. Tiga buah meriam masih terpasang di bibir dinding benteng mengarah ke pulau Mandalika. Dinding benteng berbatu nan kokoh menyiratkan bahwa dunia arsitektur pada masa itu telah berkembang dan maju. Di sekeliling benteng ditumbuhi tanaman perdu dan tumbuhan keras seperti beringin, wali kukun, krinyo, ketapang, kesambi, laban, pule, waru, karet alam, serta jrakah lo, menjadikan benteng ini terhalang oleh rimbunnya daun dan tempat ideal untuk mengintai dan menghalau musuh. Sementara di bagian bawah benteng telah dibangun jalan berpaving melingkar rata-rata selebar 1,5 meter. Jalan ini hampir sejajar dengan tepian pantai Laut Jawa, sehingga bila muncul ombak besar jalan ini tercium oleh deburan air laut.

Dilihat dari sisi geografisnya, benteng ini sangat strategis untuk kepentingan militer zaman dahulu yang kemampuan jarak tembakan bombardir meriam hanya 2-3 km saja. Sehingga praktis selat yang dibatasi Pulau Mandalika dan Semenanjung Jepara ini dibawah kendali meriam benteng, sehingga berpengaruh kepada jalur pelayaran di laut Jawa. Konon, kapal-kapal mesti lewat selat ini, karena di sebelah utara Pulau Mandalika adalah daerah berbahaya untuk pelayaran karena terdapat pusaran air yang sering menenggelamkan kapal-kapal yang melewatinya.

Merunut sejarah, benteng ini dibangun setelah kejatuhan Jayakarta/ Sunda Kelapa ke tangan VOC, sehingga namanya diubah menjadi Batavia agar lebih “Nederland Taste”. Inilah sinyal awal tumbuhnya imperialisme di tanah bumi pertiwi. Sultan Agung Raja Mataram pun gusar, merasakan ancaman dari jatuhnya Jayakarta ke pelukan Belanda dengan bendera VOC-nya. Sultan Agung pun menetapkan dan mengagungkan tekat, “Penjajah harus dilawan, kolonialisme jangan dibiarkan hidup, Belanda harus angkat kaki dari tanah Jawa!

Perlawanan laskar Mataram pun dinyalakan berturut-turut di tahun 1628 hingga 1629 dengan kekalahan di pihak Mataram. Kejadian ini membuat Sultan Agung harus menggubah strategi peperangan baru, bahwa Belanda hanya bisa dikalahkan melalui serangan darat dan laut secara bersamaan. Sementara kelemahan di pihak Mataram, tidak memiliki armada laut yang tangguh, sehingga diputuskan untuk meminta bantuan kepada pihak ketiga yang berseteru juga dengan Belanda, yaitu Portugis. Perjanjian kerja sama antara Mataram dan Portugis pun disepakai dan untuk tahap awal Portugis menempatkan tentaranya di benteng yang dibangun oleh Kerajaan Mataram pada tahun 1632. Benteng ini sangat efektif untuk menjaga lintas pelayaran ke kota Jepara yang menjadi bandar utama Mataram untuk jalur perdagangan. Faktamya, kerjasama antara Kerajaan Mataram dan Portugis tidak pernah bisa terealisasi untuk tujuan mengusir Belanda di Batavia bahkan di tahun 1642 orang-orang Portugis angkat kaki dari benteng ini karena Malaka sebagai kota utama Portugis di Asia Tenggara justeru direbut oleh Belanda pada tahun 1641.

Seonggok bangunan bersejarah yang cukup dijadikan bukti bahwa segala bentuk penjajahan harus dilawan dengan usaha sekecil apapun. Meski akhirnya Mataram gagal dalam mengenyahkan Belanda dari tanah Jawa, namun tekat penolakan terhadap penjajahan dan nilai perjuangannya patut diteladani oleh para penerus bangsa. 


Imperialisme harus dilawan!

Akhirnya kami pun mesti angkat kaki dari benteng yang telah berusia 378 tahun ini. Waktu yang beranjak siang semakin mempersempit waktu kami untuk meneruskan perjalanan ke Kota Jepara mengharuskan kami mengakhiri kunjungan di salah satu obyek peninggalan sejarah yang begitu menggelorakan semangat patriotisme dan cinta bumi pertiwi nan permai, Indonesia. 

Sumber: cintanismara.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar