Jumat, 04 Maret 2011

Kasus Ahmadiyah Bukan Soal Kebebasan Beragama, Tapi Penodaan Agama


Di tengah kegaduhan situasi politik Indonesia yang tak menentu, tiba-tiba mencuat kasus seputar Ahmadiyah. Bentrokan kembali terjadi antara warga dengan jemaat Ahmadiyah. Kali ini terjadi di Pandeglang, Banten.
Patut disayangkan kenapa bentrokan ini bisa terjadi. Padahal sejatinya hal ini bisa dihindarkan bilamana pemerintah mau bertindak tegas terhadap Ahmadiyah. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan. Hal ini pun sudah ditegaskan oleh MUI. Begitu pula dengan hasil keputusan Bakorpakem Indonesia serta Majma’Al-Fiqh Al-Islami OKI.


Hasil Fatwa MUI

Sidang paripurna Lengkap Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia Pada tanggal 4 Maret 1984  memutuskan :
Bahwa Jemaat Ahmadiyah di wilayah negara Republik Indonesia yang berstatus sebagai badan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I No.JA/23/13 tanggal 13-3-1953 (tambahan Berita Negara tanggal 31-3-1953 No.26 ) bagi umat Islam menimbulkan: Keresahan karena isi ajarannya bertentangan dengan ajaran agama Islam. Perpecahan khususnya dalam hal ubudiyah (shalat), bidang Munakahat dan lain-lain.

Bahaya bagi ketertiban dan keamanan Negara. Maka dengan alas-alasan tersebut dimohon kepada pihak yang berwenang untuk meninjau kembali Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I. tersebut.
Menyerukan: Agar Majelis Ulama Indonesia , Majelis Ulama Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, para Ulama dan Dai di seluruh Indonesia menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jemaat Ahmadiyah Qadiyani yang berada di luar Islam.

Bagi mereka yang telanjur mengikuti Jemaat Ahmadiyah Qadiyani supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar. Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak terpengaruh dengan faham yang sesat itu.

Di beberapa Negara lain, Ahmadiyah telah dinyatakan keluar dari Islam. Pemerintah Malaysia misalnya telah melarang ajaran Qadiani dan dianggap kafir sejak tanggal 18 Juni 1975. Kerajaan Brunei juga telah melarang ajaran Ahmadiyah berkembang di negara Brunei Darussalam. Kerajaan Arab Saudi menyatakan bahwa Ahmadiyah kafir dan tidak boleh memasuki tanah haram. Sedangkan di Pakistan telah dinyatakan bahwa Ahmadiyah adalah termasuk kelompok minoritas non-muslim, sama kedudukannya dengan agama Nasrani, Sikh, dll.


Kasus Ahmadiyah Bukan tentang Kebebasan Beragama

Kami hanya ingin mengingatkan kepada beberapa pihak yang mengaitkan Ahmadiyah dengan kebebasan beragama. Perlu juga diketahui bersama, bahwa Ahmadiyah bukanlah tentang kebebasan beragama, melainkan sebuah bentuk penodaan Agama. Mereka mengakui sebagai agama Islam namun ajarannya telah mengobok-obok prinsip-prinsip Islam. Semisal diantaranya:

Pertama, Meyakini ada nabi sesudah Muhammad SAW. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Nabi kemudian diyakini oleh pengikutnya, sebagian lagi menganggap sebagai pembaharu meski Misza sendiri mengaku sebagai nabi. Dalam kitab Tuhfatut an-Nadwah Mirza Ghulam Ahmad berkata:
“Seperti yang aku katakan berkali-kali bahwa apa yang aku bacakan kepadamu adalah benar-benar kalam Allah, sebagaimana al Quran dan taurat adalah kalam Allah, dan bahwa aku adalah seorang nabi “Dzilli “ (nabi mendapat wahyu dan syariat) dan “Buruzi” (nabi yang tidak membawa syariat). Dan setiap muslim harus mematuhiku dalam masalah-masalah agama. Siapa saja yang mengetahui kabarku tentang diriku, tetapi tidak menjadikanku hakim dalam memutuskan masalahnya, ataupun tidak mengakuiku sebagai al masih yang dijanjikan, ataupun tidak mengakui wahyu yang aku terima dari Tuhan, maka dia akan mendapat azab di akhirat kelak karena dia telah menolak apa yang seharusnya dia terima. (Tuhfat an-Nadwah, hal. 4 ).

Padahal sesuai dengan prinsip akidah Islam bahwa jelas tidak ada nabi maupun Rasul setelah Muhammad Saw. Sebagaimana Firman Allah SWT: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs. Al-Ahzab 40).

Begitu pula dengan hadits Rasulullah SAW: “Tidak ada nabi sesudahku”. (HR. Bukhari).
“Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku” (HR. Tirmidzi)

Kedua, Mengacak-acak Al-Qur’an. Semisal ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107).

Kemudian dirubah oleh Mirza Ghulam Ahmad dalam kitab sucinya Tadzkirah dengan berbunyi: “Dan kami tidak mengutus engkau –wahai Mirza ghulam Ahmad- kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Kitab Tadzkirah, hal.634 ).


Solusi untuk Ahmadiyah

Maka untuk menghindari terjadinya kekacauan yang tidak diinginkan lagi, sudah semestinya pemerintah supaya menindak tegas Ahmadiyah untuk melindungi akidah rakyatnya dengan cara membubarkan organisasi tersebut kemudian pemeluknya diminta untuk kembali ke jalan yang benar. Atau Ahmadiyah di tetapkan sebagai pihak non-Islam. Serta terapkan syariah Islam secara kaffah untuk Indonesia yang lebih damai dan maju.

“Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” ( HR. Bukhari).

Wallahu a’lamu bis-shawaab.

Oleh: Ali Mustofa Akbar

www.voa-islam.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar