Selasa, 29 Maret 2011

Kenapa Orang Mau Menyogok untuk Jadi CPNS?


ilustrasi


Sudah menjadi bincangan dalam masyarakat kita tentang kecurangan dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Entah sampai dimana kebenarannya, disebut-sebut kalau mau diterima jadi CPNS tingkat Sarjana melalui jalan belakang, harus menyogok antara Rp40 juta sampai Rp150 juta. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi pula menyatakan akan membatalkan hasil seleksi CPNS di sementara daerah yang diduga tidak beres.

Terlepas dari kebenaran rumor itu yang biasanya sangat sulit dibuktikan, mari kita telisik masalah sogok ini secara sederhana saja. Telisik ini mungkin bukan sebagai penyelesaian akan tetapi untuk coba memahami kenapa orang mungkin saja mau melakukan hal tercela tersebut, supaya kita tidak melakukan atau terlibat hal yang sama. Ini dapat kita kupas dari dua sisi pandang: materialistik dan moral atau etika.

Secara materialistik, menjadi PNS memang tetap akan jadi pilihan banyak orang. Di tengah-tengah ekonomi yang sulit sehingga lapangan kerja sedikit sekarang ini, kesempatan kerja menjadi sesuatu yang diburu habis-habisan. Seorang yang tamat S1 dari perguruan tinggi top sekali pun tidak dengan mudah dapat pekerjaan. Ini dapat kita mengerti karena sebagai bandingan, di Jepang yang merupakan Negara industri maju, setiap tahunnya hanya 63 persen lulusan universitas yang bisa masuk pastar kerja.

Bagi seorang sarjana S1 yang bersikap mental lemah, kurang kemandirian, dan kurang entrepreunership maka menjadi PNS dianggap pilihan yang tepat. Bila didorong pula oleh orangtuanya yang telah merasakan mudah dan “enak”nya sebagai PNS (yg cenderung bersikap mental sama), maka muncullah hasrat bersama agar sarjana itu bisa diterima sebagai PNS yang tidak lepas dari hitung-hitungan pendapatan.

Seorang sarjana akan mulai bekerja sebagai PNS golongan III/a yang pendapatannya ternyata memang not too bad jika dibandingkan dengan seorang pegawai swasta sebuah perusahaan kecil. Setelah kenaikan terakhir ini, seorang golongan III/a baru akan memperoleh gaji dasar Rp1.902.300,- yang ditambah dengan tunjangan yang bervariasi menurut daerah. Sebagai contoh, jika ia PNS Pemko Pekanbaru, pendapatannya per bulan Rp3.432.300, yang jumlah itu tidak mudah dijumpai pada perusahaan swasta.

Tidak heran jika ada orangtua yang pragmatis akan sedia menyiapkan pelicin sampai Rp150juta karena anaknya sudah terjamin kehidupannya sejak awal. Jumlah itu, secara rugi-laba akan kembali hanya dalam 44 bulan atau kurang dari lima tahun. Di tengah pengaruh materialisme dan permisifme saat ini, “kelayakan” ini akan membuat orang lupa pada norma-norma dari mana mestinya berangkat membangun hidup.

Secara moral, sikap dan langkah pragmatif ini kelak akan membawa pengaruh buruk pada para pihak berkenaan. Meskipun “sukses” mencarikan pekerjaan anaknya, nurani si orangtua tidak akan lupa keburukan itu, apalagi kalau suatu kali anaknya bermasalah dalam pekerjaannya. Bagi anaknya pula, kalau diteropong secara nilai agama, dengan sogok itu dia sebenarnya telah mengambil peluang kerja yang bukan haknya sehingga jalan haram itu akan menghasilkan pendapatan haram seterusnya. Kecil kemungkinan nurani mereka tidak berdentang karenanya; seandainya tidak atau meraka abaikan, maka sikap kerja si PNS akan terdorong fokus untuk mengembalikan uang sogok itu dengan berbagai cara sehingga akan merugikan institusinya, masyarakat, dan negara.

Jika dilanjutkan, secara spiritual kondisi ini akan membawa keburukan sebagaimana banyak contoh yang kita lihat. Menurut syariat, yang menyogok atau menerima sogok akan mendapat sanksi, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, di dunia atau di akhirat kelak karena ianya sunnatullah. Naudzubillahi min Zalik, kita berlindung dari perbuatan tercela ini.

Feizal

Sumber: kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar