Senin, 07 Maret 2011

Pasola, Mensyukuri Berkah di Pulau "Arwah" Sumba

Senja mulai datang. Para lelaki berkain ikat khas Sumba, hanggi, dan perempuan bersarung toledo berdatangan ke kampung adat Wainggale di Desa Wainyapu, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Rumah alang tinggi yang biasanya lengang pun menjadi penuh orang. Hari-hari biasa, perkampungan penganut kepercayaan animisme Merapu yang dipenuhi kubur batu itu sangat hening. Gemuruh deru ombak lamat-lamat terdengar saat terbawa tiupan angin di desa yang menghadap Samudra Hindia itu. Namun, sore itu, keheningan pecah oleh lengkingan bernuansa magis. 
 
"Alalalalala... Uuu.... Alalalalalala... Uuuu.... Alalalalalala.... Uuu...," teriak sejumlah wanita sambil menghampiri satu per satu batu kubur yang ada di perkampungan. Sembari mengunyah sirih dan pinang, mereka bermaksud memberi tahu ambu, arwah leluhur, bahwa mereka telah berkumpul dan siap mengadakan Pasola esok hari.

Pasola adalah permainan adu ketangkasan saling melempar lembing dari atas kuda yang dipacu kencang. Ini bukan pertandingan dan tidak ada yang menang atau kalah. Pasola lebih merupakan permainan melepas sukacita mensyukuri anugerah datangnya musim panen dan kumpul kerabat.

BAHANA PATRIA GUPTA
 
 
Tradisi Pasola - Warga bersiap melempar tombak kayu ke arah lawan pada Tradisi Pasola di Desa Waynyapu, Kecamatan Kodi Mangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Rabu (10/3). Tradisi yang menggabungkan antara kemahiran berkuda dan melempar tombak tersebut untuk menyambut Tahun Baru menurut kepercayaan tradisional Sumba yaitu Marapu dan syukuran musim panen.
 
Kalau tidak tangkas dalam bermain Pasola, taruhannya adalah luka, bahkan nyawa. Meski lembing dari kayu lamtoro yang keras itu ujungnya tumpul, karena dilempar dengan kuat dari kuda yang berlari cepat, tetap sangat membahayakan lawan. Tak heran banyak orang tertarik menyaksikannya, termasuk turis asing.
Pasola bukan sekadar pertarungan mengumbar emosi, tetapi justru mengendalikan emosi. Pasola adalah bagian dari ritual adat Nyale yang diadakan masyarakat Sumba yang menganut kepercayaan Merapu. Pesta adat Nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang mereka dapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. 
 
Ritual Nyale diawali dengan mengambil cacing laut di pantai sebelum fajar tiba. Mereka yang berhasil meraup cacing sangat banyak dipercaya akan mendapat banyak rezeki pada tahun ini.

Nyale diadakan satu tahun sekali, sekitar bulan Februari atau Maret. Masyarakat setempat menyebutnya pada bulan gelap hari ketujuh pada bulan Februari atau bulan gelap hari keenam pada bulan Maret. Kepastian tanggal ditentukan oleh Rato Nyale.

Tahun 2010, Pasola diselenggarakan di delapan desa adat. Tiga desa berada di Kabupaten Sumba Barat dan lima desa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Pasola di Wainyapu adalah Pasola yang terakhir.
Sore itu, Selasa (9/3), para lelaki yang akan ikut bermain Pasola mulai berlatih. Malam harinya, sekitar pukul 23.00, warga berkumpul di rumah ketua suku, yang juga pemimpin spiritual Merapu. Mereka melaksanakan kawoking, puji-pujian.

Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, para penunggang kuda sudah berkumpul di Lapangan Kacaru, siap berpasola. Satu kubu bergerombol di sisi barat dan kubu lain di sisi timur. Sekitar seribu penonton, mengelilingi lapangan, menanti atraksi mereka.

Sekitar pukul 11.00, begitu Kuda Nyale-kuda milik Rato Wora Ledeh, pemimpin adat Marapu di Kampung Adat Wainggal-memasuki lapangan, pertandingan pun dimulai. Penunggang kuda kedua kubu langsung memacu tunggangan mereka, saling mendekat dan melempar lembing.

BAHANA PATRIA GUPTA
 
 
Tradisi Pasola - Warga menghindari tombak kayu yang dilempar pihak lawan pada Tradisi Pasola di Desa Waynyapu, Kecamatan Kodi Mangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Rabu (10/3). Tradisi yang menggabungkan antara kemahiran berkuda dan melempar tombak tersebut untuk menyambut Tahun Baru menurut kepercayaan tradisional Sumba yaitu Marapu dan syukuran musim panen.
 
Penonton pun spontan berteriak begitu melihat ada penunggang yang terkena lembing atau ada yang berhasil menghindari lemparan lembing lawan. Menurut Robert Ramone, pastor yang juga pengamat budaya Sumba, masing-masing wilayah di Sumba mengklaim ritual Nyale berasal dari wilayah mereka. Namun, yang mendekati kebenaran, Nyale berasal dari Kodi karena di sana rumah kepala suku disebut dengan uma nyale atau rumah nyale. "Di wilayah lain, tidak ada Uma Nyale," ujarnya. 
Di wilayah Kodi, Rato Ranggamete (65) yang tinggal di Kampung Mbukabani adalah yang dituakan dan menjadi penentu kapan Nyale dilaksanakan. Tanpa restu darinya, warga belum memulai Nyale. Rato Nyale dipercaya sebagai orang yang mempunyai kemampuan mengundang cacing laut datang.

Kampung Mbukabani juga terasa lebih angker dibandingkan dengan kampung lain. Terlebih Uma Nyale, tempat Rato Ranggamete tinggal. Di dalamnya terdapat pusaka, seperti mbendu (gendang dari kulit manusia) atau pandalu (tempayan berisi air suci untuk penyembuhan pemain Pasola yang terluka). Sayang, obyek itu tak boleh dipotret.

Menurut Rato Ranggamete, upacara ritual Nyale menggambarkan upacara meminta (kamuru) dan membangun persatuan (pahwungo). Pasola sendiri berarti membuang yang tidak baik, letin jandaha. Suasana pesta tergambar sehari sebelum Pasola digelar. Warga membawa ternak ayam, babi, dan anjing lalu mereka potong dan dimasak.


Pasola lalu dimaknai sebagai institusi dan sarana reuni, bergotong- royong, dan rekonsiliasi. Ketika banyak orang makin sulit mensyukuri pemberian alam, ritual Nyale menyadarkan manusia akan adanya kekuatan alam. Di tengah kondisi masyarakat yang semakin banyak mengumbar marah dan saling tidak peduli, kearifan lokal suku Sumba telah memberi inspirasi.

Oleh: Sutta Dharmasaputra dan Kornelis Kewa Ama

Sumber: tanahair.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar