Kamis, 10 Maret 2011

Penguasa Sepakbola (di) Seluruh Indonesia

12990480651837593148
Ilustrasi-Nurdin Halid (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

Republik ini benar-benar dikuasai kekisruhan. Dari persoalan politik, agama, kekerasan, mafia hukum lalu akhirnya merasuk juga ke dunia olahraga persepakbolaan nasional. Sepakbola yang sejatinya mengusung nilai-nilai sportifitas, semangat fair play di lapangan rupanya tidak berlaku dalam kepengurusan organisasi sepakbola nasional kita, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) akhir-akhir ini. Kepemimpinan ketua PSSI Nurdin Halid mendapatkan sorotan seiring dengan ambruknya prestasi persepakbolaan yang nir gelar, praktek suap, korupsi sampai mafia wasit.

Keadaan makin diperparah dengan penolakan Liga Primer Indonesia, upaya-upaya kotor “menjegal” orang lain di luar lingkaran kepengurusan PSSI untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum dan pemutarbalikan statuta FIFA. Masyarakat pecinta sepakbola tidak bisa menahan diri terlalu lama, sehingga berujung pada demonstrasi besar-besaran menuntut diturunkannya Nurdin Halid dari ketua umum PSSI dan penyegelan kantor PSSI.


Catenacio lalu counter attack 

Kekisruhan sepakbola nasional ini makin merambat, bukan saja antara PSSI dengan masyarakat pecinta sepakbola yang anti Nurdin Halid tetapi antara PSSI dengan pemerintah dalam hal ini Kementrian Pemuda dan Olahraga. Bahkan, menjalar juga ke ranah partai politik mengingat Nurdin Halid adalah kader Golkar sementara Menpora Andi Malarangeng kader Demokrat sejati.

Seperti strategi dalam permainan sepakbola itu sendiri, kubu Nurdin Halid seolah bertahan ala sistem gerendel catenacio yang dikembangkan pelatih Helenio Herera di Inter Milan (1963-1966). Selama demonstrasi dan protes menyerang kubu Nurdin dimana-mana, hampir tidak ada jawaban ataukah respons dari pengurus PSSI menyikapi kekisruhan ini. Lalu, secara tidak terduga “team” Nurdin Halid melancarkan serangan balik (counter attack) pada saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR-RI, di gedung parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/3/2011).

Serangan balik kubu Nurdin Halid itu diantaranya, menuduh pemerintah telah mengintervensi PSSI dan menuduh Menpora sebagai pemicu demonstrasi.

“Saya perlu pertegas, sebelumnya tidak ada yang protes. Tapi setelah press conference dari Menpora, banyak yang turun ke jalan dan melakukan unjuk rasa,” kata Nurdin Halid saat melakukan rapat dengar pendapat di Komisi X DPR, Selasa (1/3/2011). “Semuanya demo, Senayan, Kantor PSSI, diserbu. Saya kira bapak-bapak di sini bisa menilai sendirilah,” lanjut Nurdin. (kompas.com)

Kemudian Nurdin Halid dalam pernyataannya menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Menpora bertentangan dengan Statuta FIFA pasal 13.
“To manage their affairs independently and ensure that their own affairs are not influenced by any third parties.” 

Kewajiban menjaga independensi organisasi itu, masih kata Nurdin, juga ditekankan dalam Statuta FIFA pasal 17 ayat 2 tentang independensi anggota FIFA. “Each Member shall manage its affairs independently and with no influence from third parties.”

Pelanggaran atas prinsip independensi itu, masih kata Nurdin, bisa membuat PSSI diganjar hukuman pembekuan sementara dari keanggotan FIFA. “Bila sudah demikian, alangkah malunya kita yang akan menyelenggarakan SEA Games 2011 bisa tidak boleh ikut jadi peserta. Bahkan, kita tidak boleh menyelenggarakan pertandingan internasional.” (vivanews.com)

Serangan balik Nurdin Halid terhadap pemerintah juga “diselipkan” beberapa pernyataan yang mengagetkan. Diantaranya Nurdin Halid meminta dukungan untuk dipilih menjadi ketua Asean Footbal Federation (AFF) serta mengaku di depan anggota parlemen bahwa ia mendapat ancaman dari pejabat negara. Nurdin Halid bersedia membeberkan semuanya, asalkan mendapat perlindungan dari parlemen terkait hak imunitas dalam menjalankan tugas.


Salah kaprah

Menyikapi serangan balik team Nurdin Halid kepada pemerintah, menurut saya hal itu sebenarnya salah kaprah dan menunjukan betapa bobroknya PSSI dalam menyikapi sebuah persoalan.

Pertama, PSSI mengecam pemerintah telah mengintervensi mereka karena tidak sesuai dengan peraturan FIFA namun tidak melihat fakta yang terjadi. Menurut saya, tindakan pemerintah (Kemenpora) masih dalam taraf memperingatkan karena sepakbola adalah satu diantara sekian cabang olahraga yang pengelolaan dan pelaksanaannya berada di dalam sebuah negara yang berdaulat. Tindakan intervensi terjadi jika pemerintah secara arogan atau bertangan besi membekukan PSSI dan mengganti ketua umum seenaknya tanpa memperhatikan kaedah dan aturan yang berlaku. Pemerintah berhak memeringatkan, karena efek dari protes dan demonstrasi terhadap PSSI meresahkan dan mengganggu stabilitas hidup keamanan dan kenyamanan warga.

Jika PSSI mempersoalkan kata “intervensi”, hal ini bagai melihat sebuah titik di seberang daratan namun balok di mata sendiri tak digubris. Artinya bahwa PSSI tidak paham dengan kata intervensi, mengingat setiap tahun anggaran dari pemerintah (Kemenpora) untuk PSSI sekitar Rp. 20 M. Belum lagi suntikan dari KONI dan APBD di daerah-daerah. Pertanyaannya, suntikan dana dari pemerintah yang dianggarkan lewat APBN atau APBD selama ini apakah dapat dikategorikan sebagai “intervensi” pemerintah? Saya rasa PSSI harus menjawab hal ini.

Kedua, terkait pernyataan Nurdin Halid bahwa demonstrasi dipicu Menpora adalah sebuah “kebutaan dan ketulian” Nurdin Halid dalam melihat fakta yang terjadi. Belum lagi Nurdin Halid terus berkilah dengan “gaya lama” demonstrasi sudah ditunggangi dan dibayar pihak-pihak tertentu. Saya tidak tahu, apakah Nurdin Halid sering membaca koran, nonton televisi ataukah update perkembangan persepakbolaan nasional via internet?
Kalau mau jujur, semua pencinta sepakbola di negeri ini tanpa peryataan seorang menteripun pasti gamang, gemas, geram dan emosional melihat ambruknya citra persebakbolaan kita. Suporter bahkan bersatu tanpa memandang perbedaan. Mereka rela datang jauh-jauh dari daerah ke Jakarta hanya untuk sebuah revolusi PSSI. Tanpa dibayar dan tanpa ditunggangi siapa-siapa. Justru sebaliknya, para pendemo pendukung Nurdin Halid yang jumlahnya hanya segelintir orang (sebagian besar remaja dan ibu-ibu) justru mengaku dibayar (tempointeraktif.com). Di Gelora Bung Karno ketika ajang piala AFF tahun 2010 lalu, spanduk untuk menurunkan Nurdin turun telah terpasang dimana-mana. Lebih jauh lagi, seorang suporter nekat masuk lapangan sebagai bentuk kekesalan terhadap PSSI manakala timnas kita tak bisa berbuat apa-apa ketika dikalahkan Oman di kandang sendiri.


Hanya penonton

Kekisruhan ini kemudian berujung pada sebuah kesimpulan, bahwa masyarakat (kita) hanyalah penonton di tanah sendiri. Ya, kita menonton para penguasa bertanding merebutkan bola kekuasaan. Sepakbola bukan lagi milik rakyat, tetapi milik tiga penguasa besar yaitu FIFA, PSSI dan partai politik.

Hampir dalam beberapa pekan ini, statuta FIFA seolah menjadi “dewa” yang diagung-agungkan. Dan itulah senjata mematikan baik oleh pemerintah untuk “menguliti” PSSI kemudian dibalas lagi PSSI menyerang pemerintah. FIFA benar-benar menjadi “negara di dalam negara” meskipun Menpora menyatakan selama masih ada huruf “I” (Indonesia) maka harus ikut aturan main di dalam negara sesuai Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Tahun 2005 bahwa pemerintah punya kewenangan untuk mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan olahraga secara nasional.

PSSI pun menjadi penguasa yang terlalu otoriter dan absolut. Ketua umumnya malah masih bisa memimpin dari balik penjara dan ironisnya seolah tak punya malu masih mau mencalonkan diri dengan memelintir statuta FIFA dalam peraturan PSSI. Wasit dapat disuap, skor dapat diatur, juara bisa ditentukan, dan “setoran” wajib ke pengurus PSSI adalah bukti betapa berkuasanya PSSI akan pesepakbolaan nasional (baca juga investigasi Majalah Tempo edisi Januari 2011 mengenani korupsi di PSSI; koruPSSI).

Jika semua kekisruhan ini tidak terselesaikan, maka para penguasa sepakbola di seluruh Indonesia (FIFA, PSSI dan partai politik) akan terus mengobrak-abrik negara ini. FIFA punya hak menjatuhkan sanksi, sampai pemerintah dan PSSI datang bermohon meminta maaf (kabar terbaru Indonesia lolos sanksi FIFA). Partai politik pun tidak ketinggalan “menanamkan” citra untuk urusan olahraga, mengingat tahun 2014 untuk pemilu tinggal menunggu waktu. Kita boleh saja bernyanyi, “garuda di dadaku” tetapi para politisi punya lagu lain, “garuda di partaiku.” Semoga permasalahan ini segera berlalu kalau kita masih mau disebut bangsa yang punya harga diri.

Salam Damai untuk Indonesia Maju!

Yustus “Oijoon” Maturbongs
Asisten Ombudsman RI dan pecinta sepakbola!

Sumber:  olahraga.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar