Rabu, 20 April 2011

Demokrasi yang Memperkosa Pancasila

Demokrasi yang Memperkosa Pancasila

OPINI | 20 April 2011 | 10:07 38 2 Nihil



1. Jejak demokrasi yang semuanya bernilai pembodohan dalam rangka mempertahankan kekuasaan.

Pada tahun 1830 hingga 1840 rangkaian revolusi demokrasi merembet di seluruh eropa dengan disertai kekerasan. Proses demokratisasi ini terus berlanjut hingga perang dunia kedua usai dan negara demokrasi bermunculan  di eropa utara, selatan dan barat di benua eropa, amerika, jepang dan negara jajahan inggris di
asia dan beberapa negara berkembang menuju demokrasi. Ambisi kaum zionis mengharapkan bahwa demokrasi nantinya merupakan ideologi pemenang pada akhirnya dan berakhirnya segala pertarungan ideologi di dunia dalam menguasai rakyat. Hal ini disebakan tehnik politik demokrasi mengenal semacam black hole dalam tata politik, populer disebut the dark-side of democracy (sisi gelap demokrasi). Melalui proses yang demokratis, akan terjadi transformasi kedaulatan menjadi kewenangan. Karena merupakan turunan kedaulatan, maka ruang lingkup pemegang kewenangan terbatas.

Namun, karena posisinya di pucuk piramida kekuasaan, pemegang kewenangan leluasa menentukan corak kepolitikan satu negara. Transformasi sifat populis menjadi elitis dalam ajaran demokrasi terjadi di sini. Hukum besi munculnya oligarki dalam politik seperti diutarakan robert michels tak terhindari. Sekali oligarki terbentuk, semangat untuk mengeksploitasi dan mempertahankan kekuasaan terjadi. Disinilah terwujudnya anarkhisme, yang sebenarnya merupakan buah dari demokrasi. Bagi sebagian besar kaum anarkis, pemungutan suara untuk memutusan kebijakan pada demokrasi langsung dalam perkumpulan bebas adalah  secara politis sejalan dengan  kesepakatan bebas.
Alasannya, bahwa “banyak bentuk dominasi dapat dilaksanakan dalam tingkah laku yang berdasarkan perjanjian, non-koersif dan bebas…dan adalah naif…berfikir bahwa oposisi belaka terhadap kontrol politis akan membawa dengan sendirinya menuju akhir penindasan.” (john p. clark, marx stirner’s egoism, hal. 93). Jelas bahwa individu harus bekerja sama untuk menuju kehidupan yang lebih manusiawi. Jadi, “Dengan bergabung bersama insan lainnya…(individu memiliki tiga pilihan) ia harus tunduk pada kehendak lainnya
(diperbudak) atau dipatuhi lainnya (berkuasa) atau tinggal bersama dalam kesepakatan persaudaraan demi kepentingan bersama (berkumpul). Tak ada seorangpun yang dapat lari dari kebutuhannya. ”(errico malatesta, the anarchist revolution, hal. 85).

Wujud nyata semangat ini adalah berani mengambil kebijakan tidak populis pada periode awal jabatan, lalu kembali ke kebijakan populis pada akhir masa jabatan. Dengan cara ini pemilih diharapkan ingat kebijakan populis yang berpihak kepada rakyat di akhir jabatan, dibanding mengingat kebijakan tidak berpihak kepada rakyat pada awal jabatan (alvarez and glasgow, do voters learn from presidential election?, 1997). Disinilah akhirnya pasti sekaligus akan terjadi teori dan praktek pembodohan terhadap rakyat yang terpaksa dilakukan sistem demokrasi.

Dari hal yang disebutkan diatas tersebut tampak, elit (semacam pelaku trias politika) amat berkepentingan memelihara memori pendek rakyatnya dan inilah pembodohan sekaligus pembohongan yang dilakukan oleh pemerintahan yang engemban system demokrasi. Yang semua itu dilakukan untuk mengambil hati rakyat dengan menjanjikan atau mengiming imingi rakyat akan kekuasaan dan keadilan, maka proses pembodohan terhadap rakyat itupun berlangsung, apalagi dalam thermometer jiwa masyarakat Indonesia yang permisif, mudah memaafkan. 

Melalui permainan isu dan pengendalian informasi, rakyat bisa dibuat bingung bahkan frustrasi oleh elit yang mereka pilih. Dan dengan kebingungan inilah elit politik semakin memperpanjang daftar pendidikian pembodohan terhadap rakyatnya, demokrasi memang pada kenyataannya lebih banyak untuk cenderung
membunuh kecerdasan rakyat.

Dinyatakan oleh socrates, seperti diceritakan muridnya, plato (427-347 SM), dalam karyanya the republic, memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah nilainya dibandingkan aristokrasi (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan oligarchi (negara dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people), kata socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna.
Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan.


2. Jejak demokrasi yang membunuhi Para Nabi

Yerusalemkaulempari batu sampai mati! Sudah berapa kali Aku ingin merangkul semua penduduk, Yerusalem! Nabi-nabi kaubunuh! Para utusan ALLAAH mu seperti induk ayam melindungi anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kau tidak mau! ( Lukas 13: 34 ).

Dalam sistem demokrasi, rakyat berfungsi sebagai sumber hukum. Semua produk hukum diambil atas
persetujuan mayoritas rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen. Inilah
cacat terbesar dari sistem demokrasi. insan dengan segala kelemahannya dan pengaruh emosinya yang meledak-ledak dipaksa untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri terhadap kejadian yang sedang dihadapinya padahal pada saat itu juga pemikirannya akan sangat dipengaruhi lingkungan dan pengalaman emosional pribadinya. 

Pikiran insan juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Atas pengaruh-pengaruh itulah maka mereka bisa memandang yang baik sebagai yang jelek dan juga sebaliknya. Tak dapat dipungkiri bahwa Yesus dari Nazareth mati ( dalam kematian sesaat ) karena faham demokrasi, yang dicetuskan orang banyak atas dasar emosi sesaat tanpa ilmu pengetahuan, ketika ada dua opsi untuk membebaskan yesus atau barabas, maka berdasarkan suara terbanyak (bukan berdasarkan kebenaran) sebagian besar orang yahudi itu menginginkan Yesus dihukum dan barabas dibebaskan renungkan nash berikut ini:
Lalu Pilatus berkata kepada mereka: “ Tetapi kejahatan apa yang telah dilakukanNya? Namun mereka berteriak makin keras : “salibkanlah Dia “ dan oleh karena pilatus ingin memuaskan hati orang banyak itu, kama ia membebaskan barabas bagi mereka, tetapi Yesus disesahnya lalu diserahkannya untuk disalibkan” (matius 15:13-15).
Disinilah penguasa terpaksa harus membuat rakyatnya senang demi menyelamatkan kekuasaan yang dipegangnya, sebagaimana yang dilakukan pilatus terhadap orang banyak tersebut.


3. Belati demokrasi yang menikam leher Pancasila

Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter. Jika tidak demokratis, pasti totaliter. Totaliter sendiri dikategorikan sebagai yang memiliki kesan buruk, kejam, bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipus tidak ketinggalan ikutmemakai istilah demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai “demokrasi sosialis” atau “demokrasi kerakyatan”.
Sehingga unesco pada tahun 1949 menyatakan:”.mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh “.

Berbicara Pancasila sebagai harga mati, maka itu berarti Pancasila lah yang terpilih sebagai yang menjiwai rakyat Indonesia secara totaliter. Kenyataan yang sebenarnya demokrasi sangat bertentangan dengan nilai musyawarah dalam Pancasila. Musyawarah dan demokrasi adalah merupakan dua metoda penyelesaian masalah kehidupan dunia yang berbeda bahkan sangat berlawanan.

Musyawarah menghasilkan suatu keputusan yang disebut mufakat. Sedangkan, demokrasi menghasilkan
suatu keputusan yang disebut penetapan pihak yang memenangkan pemilihan yang dilaksanakan.
Mufakat sebagai hasil keputusan musyawarah merupakan hasil terbaik dari standarisasi terbaik dari suatu proses pengajuan dasar-dasar pemikiran pemecahan masalah yang disepakati dan ditetapkan secara bersama di dalam suatu Lembaga/Majelis terhadap suatu persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan dalam alam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk karena siapapun berhak mengklaim baik-buruk terhadap sesuatu Masyarakat bersikap “apapun boleh”.

Contohnya di san fransisco, para eksekutif makan siang di restoran yang dilayani oleh pelayan wanita yang bertelanjang dada. Tetapi di new york (masih di amerika), seorang wanita telah ditangkap karena memainkan musik dalam suatu konser tanpa pakaian penutup dada. newsweek menyatakan: “.kita adalah suatu masyarakat yang telah kehilangan kesepakatan..suatu masyarakat yang tidak dapat bersepakat dalam menentukan standar tingkah laku, bahasa, dan sopan santun, tentang apa yang patut dilihat dan didengar.” Sementara, proses demokrasi selalu menetapkan pihak pemenang melalui penghitungan suara sebagai dasar
keputusan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi kepanitiaan yang melaksanakan pemilihan. Tanpa standarisasi baik atau buruk, Ilmu atau kebodohan.

Oleh karena itu, proses Musyawarah adalah lebih cenderung pada penggunaan hak bicara bukan hak suara. Sehingga, Musyawarah akan lebih mengandalkan kepada kemampuan keilmuan seseorang atas persoalan yang akan dipecahkan, dan prosesnya akan mencerdaskan hadirin yang hadir terlibat. Adapun proses demokrasi adalah lebih cenderung menggunakan hak suara daripada hak bicara. Sehingga, proses ini akan lebih ditentukan oleh kekuatan ikatan primordial seseorang terhadap seseorang baik secara individu maupun secara kelompok atau organisasi. Sehingga, transfer ilmu pengetahuan sebagai suatu proses pencerdasan bangsa akan sangat lemah terjadi.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa proses musyawarah akan membentuk seseorang lebih menjadi pemimpin, sedangkan proses demokrasi lebih cenderung membentuk seseorang menjadi penguasa. Hal ini dapat dijelaskan dari pemahaman bahwa hanya seseorang yang memahami sejarah dan masa depan kehidupan Bangsa dan Negara Republk Indonesia yang layak ditetapkan untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Ini hasil dari proses musyawarah.
Tetapi, proses demokrasi lebih memaksakan seseorang menduduki suatu jabatan tertentu tanpa melihat kemampuan atau kapasitas keilmuan orang yang dicalonkan tersebut.

…….demokrasi tumbuh dengan darah para Nabi yang mengalir, sebab mereka harus dihukum berdasarkan tuduhan masyarakat luas bahwa para Nabi itu adalah penyesat yang harus dibinasakan….Sesungguhnya demokrasi adalah sistem yang mengkudeta terhadap kekuasaan ALLAAH & penghancur Pancasila yang
notabebene sebagai weltanschauung atau bahan baku ideologi.sila yang mana pada tiap tiap sila terkandung grundnorm (norma dasar sebagai pesuposisi kehadiran suatu prinsip) penerapan demokrasi merupakan kesyirikan, dan inilah dosa yang tak terampuni hal itu dikarenakan pelakunya telah memposisikan dirinya sebagai pemerintah selain ALLAAH,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.  Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisaa’ : 48).

Sebagaimana pembukan UUD 1945 adalah merupkaan grundnorm, dan batang tubuh merupakan statsfundamentalnorm. Ketuhanan YANG MAHA ESA, tuhan yang dimaksud adalah ALLAAH YANG MAHA PENGASIH sesuai yang termaktub dalam pembukan uud 1945. disila kesatu ini adalah hukum asal bahwa di Indonesia diharamkan tumbuhnya penyembahan kepada berhala, atau tuhan yang lebih dari satu, Sila pertama merupakan wujud bagi wajibnya rakyat Indonesia menerapkan Hukum ALLAAH sebagai bukti penghambaan kepadaNYA, bagi umat Islam sendiri wajib berhukum dengan hukum ALLAAH, nash Quran menjelaskan siapa yang tidak berhukum dengan Hukum ALLAAH & RasulNYAadalah kafir (QS 5:44-47,50) lihat juga QS 47:33 , berkalam ALLAAH :
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah  Dia telah memerintahkan agarkamu tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf: 40).

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa  yang diturunkan Allah.” (QS Al Maidah: 49)

kepatuhan  kepada Hukum ALLAAH & petunjuk Rasul dijelaskan dalam sabdanya sbb:
Kutinggalkan kepadamu 2 perkara bila kamu berpegangan dengan keduanya kamu tidak pernah tersesat selamanya , KitabuLLAH dan Sunnah RasulNYA (Sunan Tirmidzi Kitabul Manasik:56, Ibnu Majah:84, Imam Malik Kitab Qadhar:3,dengan sanad Amru bin Auf-AbduLLAAH bin Amr-Katsir bin AbduLLAH, Katsir perawi matruk menurut Ahmad,tapi hadits ini shahih secara matan,yang diperkuat pula dengan hadits berikut) :
“siapa membenci SunnahKu maka dia bukan dari golonganku (Musnad Ahmad 4,dengan sanad Mujahid-Manshur-Jarir-Yahya) : “ilmu itu hanya ada 3 : KitabuLLAH yang berbicara Sunnah yang telah lalu, dan ucapan Aku tidak tahu ( dinukil dalam al I’lam nya Ibnu Qayyim, al Faqih nya Al Khatib al Baghdadi dengan sanad Ibnu Umar-Nafi-Malik).

Dan inilah sebenar-benarnya statsfundamentalnorm (norma fondasi perundang undangan), sebagian besar ahli murjiah menyatakan bahwa kekafiran itu bukan kekafiran yg sebenarnya berdasarkan atsar ibnu Abbas RA, tapi itu pernyataan yang tidak dilandaskan pada keilmuan yang benar, satu hal yang perlu dicatat karena apa yang datang dari itu hanyalah atsar shahabat, dan atsar tidak dapat mengalahkan Quran dan As Sunnah Ash Shahihah, apalagi ada kritik tentang Hisyam bin Hujair sebagai perawi, berkata ahli hadits Dia tsiqah. Dan diringkas oleh Al-Hafidz dengan ucapan beliau :  Dia shaduq dan memiliki beberapa kekeliruan. Yahya Al-Qaththan mendhaifkannya, demikian pula Imam Ahmad dari Ibnu Ma’in dalam sebuah riwayat, mka hadits yang yang ada padanya kritik walau selemah apapun tidak dapat dijadikan hujjah untuk membantah penjelasan tentang akidah yang telah sharih dan bahkan lebih sharih , dengan penerapan Hukum ALLAAH maka akan dicapai keadilan karena hanya ALLAAH yang MAHA ADIL (lihat mazmur 7:12) , begitu juga sebagaimana ditetapkan didalam bible, begitu banyak perintah wajibnya menjalankan Hukum ALLAAH,
“percayalah kepada tuhan dengan segenap hatimu, jangan kamu bersandar pada pengertianmu sendiri ( amsal 3:5)
“percuma mereka beribadah kepadaKU sebab yang mereka lakukan hanyalah perintah orang”(Matius 15:9),
nash yang terkutip disini adalah cemeti yang menyambar kepala orang bodoh lagi kafir yang lebih mengutamakan hokum buatannya sendiri daripada Hukum dari ALLAAH.

“berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri diatas jalan orang berdosa, yang tidak duduk didalam kumpulan pencemooh, yang kesukaannya adalah Taurat, dan merenungkan Taurat itu siang dan malam” ( Mazmur 1:1-2)

Penerapan Hukum ALLAAH adalah implementasi dari keadilan tuk menuju peradaban mulia sebagaimana tersirat dalam sila ke 2. Persatuan Indonesia tidak dapat terwujud selama partai politik masih ada dinegeri ini,karena keberadaan partai2 tsb hanya memperparah persengketaan yang dibangun diatas sentimen
belaka (primordialisme),dan ini bertolak belakang dari nilai pancasila sebagai alat pemersatu. ALLAAH hanya menciptakan Insan berbangsa bangsa bukan berpartai. maka rakyat haruslah dikuasai (bukan yang menguasai atau berdaulat sebagaimana yang diajarkan oleh faham demokrasi) oleh bapak bangsa yang
berhikmat (bukan presiden) dengan mengoptimalkan kepala suku masing2 yang memiliki kepribadian yang bijaksana sebagai wakil rakyat (bukan dpr). sesuai dengan sila ke 4.dengan itu semua maka keadilan sosial bagi rakyat akan dapat terwujud.Pancasila bukan musuh Islam,tapi dengan pancasilalah kedigjayaan
pemerintahan Islam semakin dapat terbentengi, pancasila sudah sempurna untuk dijiwai dalam konsep bermasyarakat yang strukturnya mengharuskan harmonisasi terhadap keberagaman (bhineka tunggal ika). 

Di sinilah akhirnya dapat kita tetapkan bahwa konsep seminim minimnya konsep Hukum yang tepat bagi  Indonesia ini adalah berhukum sesuai dengan keyakinan masing2 semaksimal maksimalnya adalah penerapan Hukum Islam murni secara keseluruhan, yang paling penting diadakan pemidanaan terhadap pelanggaran
keyakinan, contohnya umat Islam yg tidak shalat jumat dipenjara, orang nasrani yg tdk mingguan digereja dipenjara,org yahudi yg tdk kesinagog hari sabtu dipenjara juga.pengadilan agama berada diatas pengadilan negara. presiden bukanlah kepala pemerintahan tapi dia hanyalah kepala jongos alias pegawai administrasi
(opsorsing perusahaan negara).trias politika digantikan dengan centralisasi kekuasaan yg dipegang oleh bapak bangsa.bapak bangsa adalah sekaligus pemimpin tertinggi militer dan kepolisian.

Pada prinsipnya pemerintahan negeri ini berkewajiban menegakkan Hukum yang sesuai dengan aturan & ajaran sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh ALLAAH berdasarkan keyakinan masing masing ajaran samawiyah yang teguh kepada nilai penesaan ALLAAH & peneran Hukum Hukum NYA. Al Hukmu
(menentukan hukum) merupakan hak khusus Rububiyah ALLAAH, sebagaimana doa merupakan hak khusus Uluhiyah-NYA, maka barangsiapa merampas hak-hak khusus itu berarti dia telah menempatkan dirinya sebagai RABB selain ALLAAH. 

Dan pernyataan atau keyakinan atau persetujuan akan bolehnya si fulan atau sekelompok orang membuat hukum adalah termasuk memalingkan hak khusus ALLAAH itu kepada selain-NYA yang berarti pelakunya telah menyekutukan ALLAAH [Lihat definisi Tauhid Rububiyah dan Syirik dalam Rububiyah dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 1/55].


Kewajiban menerapkan Hukum ALLAAH menurut Para ‘Ulama

Oleh karena itu, mengenai tahkim ini perlu diketengahkan karena sangat penting , yakni:
[1] Bila suatu negara menegakkan hukum Islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim serta kebijakan ada di tangan mereka, maka negara tersebut adalah negara Islam, meskipun mayoritas penduduknya kafir [Lihat Al Fatawa As Sa’diyyah karya Syaikh Abdurrahman Nashir A Sa’diy 1/92, cetakan II tahun 1402, Maktabul Ma’arif Riyadl]. Dan bila pemerintahnya itu adalah pemerintah Muslim yang adil.

[2] Bila syari’at Islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam (qadliyyah mu’ayyanah) kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih menjadi landasan dan hukum negeri itu dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini serta dia masih meyakini hukum Islam itu yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dhalim atau muslim yang fasiq atau kufrun duna kufrin menurut Ahlus Sunnah, sedangkan menurut firqah Khawarij, hakim / pemerintah itu adalah kafir. [Ini karena pelaku dosa besar menurut Khawarij adalah kafir] Namun, apabila di dalam kasus tertentu di atas, si hakim meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukum ALLAAH atau menganggap halal berhukum dengannya, maka dia itu kafir menurut Ahlus Sunnah dan Murji’ah sekalipun, demikian halnya menurut Khawarij.

[3] Bila suatu negara membabat hukum Islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan (qawaniin wadl’iyyah / undang-undang buatan manusia), baik dari mereka itu sendiri atau mengambil dari hukum-hukum orang lain, baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris atau yang lainnya, maka pemerintahan itu adalah pemerintahan kafir dan negaranya adalah negara kafir [Lihat Naqdul Qaumiyyah Al’Atabiyyah karya Al Imam Abdul Aziz Ibnu Baz hal 50-51 atau Majmu Fatawa Wa Maqaalat Mutanawwi’ah karya Syaikh Ibnu Baz I/309-310] meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para penguasa tersebut
ataupun nama Islam yang mereka sandang itu tidak ada manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab mereka telah kafir lagi murtad [ Lihat Ta’liq atas Fathul Majid oleh Al Faqiy 373.] dan negaranya adalah negara kafir.

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahuLLAAH mengatakan, “Setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at ALLAAH dan tidak tunduk kepada hukum ALLAAH serta tidak ridla dengannya, maka itu adalah negara jahiliyah, kafirah, dhalimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini Wajib atas pemeluk Islam untuk membenci dan memusuhinya karena ALLAAH dan haram atas mereka mencintainnya dan loyal kepadanya sampai beriman kepada ALLAAH saja dan menjadikan syari’atnya sebagai rujukan hukum dan
ridla dengannya.”[ Naqdul Qaumiyyah Al Arabiyyah yang dicetak dengan Majmu Fatawa wa Maqaalaat Mutanawi’ah I/309-310.]

Syaikh Shalih AL Fauzan hafidhahuLLAAH berkata, “Yang dimaksud dengan negeri-negeri Islam adalah negeri yang dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan syari’at Islamiyah, bukan negeri yang di dalamnya banyak kaum muslimin dan dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan bukan syari’at Islamiyah. (Kalau demikian), negeri seperti ini bukanlah negeri Islamiyyah.”

Hal serupa dikatakan oleh Syaikh Muhammas Rasyid Ridla rahimahuLLAAH bahwa negeri seperti itu bukanlah negeri Islam. Para ulama yang tergabung di dalam Al Lajnah Ad Daimah ketika di tanya tentang negara yang di huni banyak kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hokum
Islam, mereka mengatakan, kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan, “Bila pemerintahan itu berhukum denga selain apa yang diturunkan ALLAAH, maka pemerintahan itu bukan Islamiyyah.”

Bahkan pemerintah atau hukum itu adalah hukum thagut. Syaikh Shalih AL Fauzan berkata, “Dan apa yang tidak disyari’atkan ALLAAH dan Rasul-NYA di dalam masalah politik dan hukum di antara manusia, maka itu adalah hukum thagut dan hukum jahiliyah “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum)
siapakah  yang lebih baik dibanding (hukum) ALLAAH bagi orang-orang yakin.”

Pernyataan ini adalah perkataan sebagai seorang Muslim tanpa terikat dari golongan apapun dia.. Mereka memvonis para penguasa yang menerapkan undang-undang (qawaaniin wadl’iyyah) bukan Islam, sebagai orang-orang kuffar murtaddin, meskipun mereka itu masih melaksanakan shalat, shaum, haji dan lain-lain serta masih meyakini bahwa dirinya muslim. Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahuLLAAH berkata,
“Siapa yang menjadikan perkataan orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum di dalam masalah darah, kemaluan dan harta dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat di dalam Kitab ALLAAH dan sunnah Rasul-NYA, maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir murtad bila terus bersikeras diatasnya dan tidak kembali berhukum dengan apa yang telah diturunkan ALLAAH dan tidak bermanfaat baginya nama apa pun yang dengannya dia menamai dirinya (klaim muslim) dan (tidak bermanfaat juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dhahir, baik shalat, shaum, haji dan yang lainnya.”

Bahkan vonis kafir murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum Islam, namun di dalam masalah tertentu (umpamanya di dalam masalah zina) dibuat undang-undang buatan yang bertentangan dengan hukum Islam, sehingga setiap berzina tidak dikenakan hukum Islam, tetapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah Ahlus Sunnah, si hakim itu adalah kafir murtad juga, bahkan meskipun si hakim (pemerintahan) tersebut mengatakan bahwa hukum Islam yang paling adil dan kami salah.”[Majmu Fatawa 12/280 dan 6/189, dari kitab Raf’ullaimah, Muhammad Salim Ad Dausariy.]

Telah menjadi ijma’ ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum ALLAAH dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah (Din Islam). Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Ilyasiq yang  menjadi undang-undang bangsa Tatar :
“Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada  Muhammad bin AbduLLAAH penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at  lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana  dengan orang yang berhukum kepada alyasiq dan mendahulukannya atas syariat ALLAAH?  Siapa melakukan hal itu berart telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sudah menjadi pengetahuan bersama dari  dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang  memperbolehkan mengikuti selain dinul Islam atau mengikuti syari’at (perundang -undangan) selain syari’at nabi Muhammad ShallaLLAAHu ‘alaihi wa salam, maka ia telah kafir  seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan mengkafiri sebagian  lainnya. 

Sebagaimana Kalam ALLAAH,  “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan ALLAAH dan para Rasul-NYA dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada ALLAAH dan para rasul-NYA …” {QS. An Nisa’:150}

Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa,” Manusia kapan saja menghalalkan hal  yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati  kehalalannya atau merubah syari’at ALLAAH yang telah disepakati maka ia kafir murtad  berdasar kesepakatan ulama.”

Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan dalam menafsirkan Kalam ALLAAH, “Jika kalian  mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik.” Ini adalah sumpah ALLAAH. DIA  bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya  telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma’  kaum muslimin.”

Abdul Qadir Audah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada SANG PENCIPTA dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina,
minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan ALLAAH berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin.”

Begitu juga dituturkan oleh Ulama2 kontemporer, sbb:
1.Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, “Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam memutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang Kalam ALLAAH :
“…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada ALLAAH dan Rasul-NYA jika kalian beriman kepada ALLAAH dan hari akhir…” [Risalat Tahkimil Qawanin hal. 5]

Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, “Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa aja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al-Qur’an dan As-Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al-Qur’an dan As-Sunah yang lebih berat dari penentangan  mereka seperti ini dan pembatal syahadat “Muhammad dalah utusan ALLAAH” mana lagi yang lebih besar dari hal ini?

Canggih Anggastana 
www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar