Kamis, 21 April 2011

Engkau Sarjana Muda Resah Mencari Kerja





Kebahagiaan Budi Susila hanya seumur jagung. Setengah tahun lalu, pemuda asal Klaten, Jawa Tengah, itu diwisuda menjadi sarjana ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Namun kebahagiaan meluap-luap ketika meraih gelar ekademik itu sedikit demi sedikit pudar ditelan waktu. Pasalnya, Budi sudah bosan keluar-masuk perusahaan untuk berburu pekerjaan. Segala daya upaya sudah dikerahkan Budi, termasuk lewat relasi kekerabatan. Namun hasilnya nihil. "Percuma saya belajar sampai sarjana, ternyata cari kerja tetap susah," ujar Budi.

Padahal, Budi digadang-gadang orangtuanya dapat membiayai adik-adiknya sekolah. Maklum, keluarga Budi bukan tergolong keluarga mampu. Bahkan, untuk membiayai kuliahnya, Budi harus rela banting tulang bekerja sebagai tukang ojek di seputar Cililitan, Jakarta Timur. Kesulitan Budi mendapatkan pekerjaan membuat adik-adiknya terancam berhenti bersekolah. Sebab orangtua Budi hanya buruh tani dengan penghasilan pas-pasan untuk hidup sehari-hari.

Budi tidak sendirian. Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sampai Agustus tahun ini, tercatat ada 961.000 sarjana yang menganggur. Mereka berasal dari 2.900 perguruan tinggi dengan berbagai disiplin ilmu. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya, yang mencapai 740.000 sarjana. "Tiap tahun, ada sedikitnya 300 sarjana baru di Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata 20% jadi pengangguran," kata Rektor Universitas Katolik Atma Jaya, F.G. Winarno.

Ketua Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya. Malang, Kusdi Raharjo, mengungkapkan data yang mengenaskan. Menurut dia, dari jumlah pengangguran di Indonesia pada saat ini yang mencapai 40 juta orang, sebanyak 2,6 juta di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,2 juta benar-benar menganggur (pengangguran terbuka) dan 1,4 juta lainnya setengah menganggur. "Mereka lulusan sarjana maupun diploma," kata Kusdi.

Tingginya angka penangguran di kalangan terdidik itu, menurut Winarno, lantaran rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama sebagai sarjana. Padahal, untuk menjadi lulusan yang siap kerja, keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan entrepreneurship (kewirausahawan) sangat dibutuhkan.

Di Indonesia, kata Winarno, jumlah entrepreneur sangat minim. Pada 2007, baru tercatat 0,18% atau 400.000 dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta. Sebagai pembanding, jumlah entrepreneur di Amerika Serikat mencapai 2,14% pada 1983. Bahkan di Singapura, berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Moneter (2005), pada 2001 mencapai jumlah entrepreneur 2,1% dan menjadi 7,2 % pada 2005.

Bandingkan dengan Indonesia, yang pada 2006 baru mencapai 0,18% atau hanya memiliki 400.000 entrepreneur dari jumlah penduduk 220 juta. "Jika mengacu pada jumlah ideal 2% saja, seharusnya jumlah wirausahawan di Indonesia mencapai 4,4 juta orang," ujar Winarno. Menurut dia, untuk menjadi negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah entrepreneur menjadi 1,1% atau menjadi 4,4 juta entrepreneur.

Untuk itu, pemimpin yang akan datang harus terus mengupayakan program pendidikan keterampilan yang menunjang industri keratif, guna menekan angka pengangguran akibat kurangnya lapangan kerja. Menurut Winarno, calon sarjana kini dan masa depan harus bisa berpikir bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. "Nah, tugas pemerintah selanjutnya adalah memfasilitasi sistem pendidikan yang menunjang lahirnya industri kreatif," ujar guru besar Institut Pertanian Bogor itu.

Pendidikan berbasis kompetensi menjadi sumbangan yang besar bagi calon-calon sarjana. Bila mereka mahir dalam bidang tertentu, seperti ICT, bahasa asing, kerajinan tangan, kesenian, dan bidang-bidang yang memicu lahirnya industri kreatif, maka para sarjana tersebut tidak akan menganggur dan selalu ada ide dalam melakukan kreativitas.

Untuk mengatasi kondisi memprihatinkan itu, Depdiknas meminta perguruan tinggi tak hanya memfokuskan perhatian pada riset, melainkan juga kewirausahaan. Namun tak gampang mencetak generasi Indonesia yang berjiwa wirausaha. "Dibutuhkan dana tidak sedikit, yakni sekitar Rp 10 trilyun," kata Ciputra, pendiri Universitas Ciputra Entrepreneurship Center.

Anggaran itu digunakan untuk memberikan pendidikan secara teori, pelatihan-pelatihan, serta modal awal untuk memulai bakat dan kemauan dalam berwirausaha.

Namun, menurut Ciputra, anggaran sebesar itu bisa dibilang bukan jumlah besar untuk nilai sebuah investasi. Jika dikalikan 15 tahun, akan menjadi Rp 150 trilyun. "Dalam kurun waktu tersebut, Indonesia akan berkembang cukup dasyat, bahkan bisa menjadi seperti Singapura dengan banyaknya masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha," tuturnya.

Ciputra yang dikenal sebagai pengusaha sukses ini meyakini, pendidikan kewirausahaan membekali mahasiswa untuk mandiri dan tidak berorientasi menjadi pencari kerja ketika lulus dari perguruan tinggi. Karena itu, kampus-kampus di daerah juga harus bisa menjadi pusat kewirausahaan, sehingga tidak hanya berperan menyebarkan benih kewirausahaan kepada mahasiswa, melainkan juga kepada masyarakat. "Mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu jangan hanya diajari bekerja dengan baik, melainkan juga harus dipacu untuk bisa menjadi pemilik berbagai saha sesuai dengan latar belakang ilmu mereka," ia menegaskan.

Ciputra menjamin, pendidikan kewirausahaan akan memberi dampak yang baik bagi masa depan Indonesia, seperti terjadi di Singapura. "Kuncinya, pendidikan harus dijalankan dengan kreatif,"' kata pemilik berbagai usaha properti itu.

Sejatinya, pemerintah tidak tinggal diam melihat kondisi memprihatiankan itu. Menurut Direktur Kelembagaan, Dirjen Dikti Depdiknas, Hendarman, pihaknya sedang menggalakkan workshop kewirausahaan bagi para dosen dan mahasiswa sebagai langkah kongkret untuk melengkapi dan memperkaya kegiatan pendidikan kewirausahaan di kampus.

Untuk program tersebut, Ditjen Dikti menganggarkan 1% dari anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah untuk pendidikan kewirausahaan. Pada tahun ini, anggaran yang disediakan untuk mengembangkan wirausaha di semua perguruan tinggi mencapai Rp 108 milyar.

Menurut Hendarman, dengan adanya workshop kewirausahaan, kebutuhan akan pendidikan wirausaha bisa terpenuhi. "Mereka dapat melayani masyarakat serta memberikan pendidikan kepada penganggur dan perajin," ungkapnya.

Pada tahun ini, ditargetkan 10.000 hingga 20.000 mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta bisa mendapatkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan di kampus. Para mahasiswa tidak sekadar diajarkan teori kewirausahaan oleh para dosen, melainkan juga dibimbing untuk menjalankan bisnis dan diberi pinjaman modal usaha.

Toh, menurut guru besar Universitas Indonesia (UI) bidang bisnis internasional, Ferdinand D. Saragih, tidak cukup hanya mengandalkan pelatihan wirausaha untuk mengatasi pengangguran terdidik. Ia juga menyarankan agar kurikulum sekolah bisnis diperbaiki sesuai dengan kebutuhan, seiring dengan arus globalisasi.

"Para pemimpin perusahaan bisnis masih terus menginginkan supaya business school mendesain ulang program studi bisnis untuk mengakomodasi tantangan-tantangan globalisasi," katanya. Kurikulum yang diinginkan institusi bisnis adalah kurikulum seperti yang diaplikasikan di Harvard Business School, MIT School of Management, Wharton School of Univesity of Pennsylvania.

Peneliti tracer study dari UI, Ahmad Syafiq, menganggap bahwa pemerintah perlu memiliki data dan informasi yang relevan, akurat, dan mutakhir mengenai hubungan antara dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja. "Sejak dulu, pemerintah tidak pernah memiliki konsep yang tegas dan terencana tentang keterkaitan antara pendidikan dan lapangan kerja. Pendidikan dilaksanakan sebagai amanat konstitusi semata," ungkapnya.

Menurut Syafiq, dua departemen, yaitu Depdiknas dan Depnakertrans, perlu duduk bersama untuk melakukan kajian dan analisis tentang hubungan antara pendidikan tinggi dan dunia kerja. Di sisi lain, perguruan tinggi harus mengaplikasikan tracer study yang terinstitusionalisasi, sistematik, terstandar, komparabel, dan reguler, agar diperoleh masukan yang akurat mengenai situasi transisi lulusannya dari kampus menuju kerja.

Tracer study memiliki potensi manfaat yang sangat besar untuk mengetahui relevansi perguruan tinggi dan mengevaluasi proses, output, serta outcome pembelajaran. Sayang, sampai saat ini, tracer study masih dilaksanakan dan diperlakukan semata-mata sebagai syarat akreditasi.


Sumber: www.gatra.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar