Rabu, 20 April 2011

Studi Banding dan Hama Demokrasi

Rakyat kembali terusik menyaksikan 'wakil-wakilnya' pelesiran ke luar negeri dengan term demokratis yang legal, studi banding. DPR pun harus siap menerima protes terhadap political behaviour (perilaku politik) yang dipandang tidak perlu dan tidak rasional tersebut, menggerogoti demokrasi.

Diberitakan bahwa sejumlah anggota DPR memanfaatkan masa reses hingga 3 bulan kedepan untuk studi banding ke sejumlah negara. Diantaranya, Komisi VIII DPR yang rombongannya dipimpin Gondo Radityo Gambiro bertolak ke Australia dan Cina. Berbekal draf RUU Fakir Miskin yang masih setengah jadi, rombongan tersebut melakukan studi banding terhitung sejak Ahad (17/4) hingga Ahad (24/4) mendatang.

Sementara itu, Komisi I yang membidangi Polhukam, diketahui akan study banding ke AS pada 1-7 Mei 2011 dan menganggarkan biaya sebesar Rp 1.4 miliar. Tak ketinggalan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pun ikut melawat ke Inggris dan AS.

Tentu tak ada yang salah jika study banding tersebut berimplikasi positif dan signifikan bagi rakyat. Akan tetapi, berdasar keterangan Djoko Susilo Dubes RI di Swiss yang juga mantan anggota DPR, ternyata 90 persen studi banding tersebut tidak bermanfaat bagi rakyat. Lebih banyak mengandung unsur jalan-jalan.

Maka tak heran negara yang jadi tujuan study banding, pun yang memiliki sejumlah objek wisata dan belanja kelas dunia . Djoko Susilo mencontohkan, ada sejumlah anggota DPRD dari Sumatera yang study banding ke Swiss, dari 5 hari study banding, hanya 5 jam acara inti yang subtantif bagi rakyat (www.detiknews.com). Hingga kini, rakyat pun belum merasakan dari hasil plesiran yang lalu-lalu.

Relevan kiranya realitas politik Indonesia dengan apa yang dikatakan oleh komedian tersohor dari AS, Will Rogers (1879-1935). Rogers mempersepsi politik dengan satu statemen yang menohok. Tingkah polah para politikus selalu jauh lebih lucu ketimbang lelucon yang ia buat secara sengaja untuk menjadi lucu, demikian kata Rogers. Dalam konteks dinamika politik Indonesia yang tak pernah lepas dari ikonisasi, rasanya relevan dengan pandangan sumir koboy, pelawak, juga komentator sosial yang telah menulis lebih dari 4.000 kolom di berbagai media massa di AS tersebut.


Hama Demokrasi

Istilah lama kembali populer akhir-akhir ini yang juga menjadi sorotan perilaku politikus, ialah politikus kutu loncat, atau politisi yang loncat dari satu partai politik ke partai politik lainnya. Memasuki tahun 2011, tiga politisi yang juga pejabat pemerintahan dari tiga partai berbeda, meloncat ke satu partai yang sama. Yaitu, Ilham Arif Sirajudin mantan Ketua DPD Golkar Sulsel yang menjabat Walikota Makassar, pindah ke Demokrat setelah kandas menjadi ketua Golkar untuk periode selanjutnya. Jejak Ilham meloncat ke Demokrat juga diikuti oleh Zainul Majdi, Gubernur Nusa Tenggara Barat yang juga kader Partai Bulan Bintang.

Termasuk juga Yusuf Macan Effendi atau lebih dikenal dengan nama Dede Yusuf, juga mengambil keputusan mengejutkan. Setelah secara tersirat menyampaikan keputusannya untuk pindah dari PAN ke Partai Demokrat pada (12/4), Wakil Gubernur Jawa Barat tersebut secara resmi melayangkan surat pengunduran dirinya pada Senin (19/4) kemarin.

Trend politisi kutu loncat ini terjadi sejak reformasi, walaupun di masa orde baru telah ada, namun tidak se- semarak saat ini. Ekspresi politik yang dijamin demokrasi, dijadikan legitimasi terhadap political behaviour yang minor ini. Bahwa setiap orang berhak memilih kendaraan dan bergabung dengan partai politik.

Demokrasi liberal.

Selain tiga pejabat pemerintahan yang disebutkan sebelumnya, masih ada sederet politikus yang juga meloncat dari parpol lama ke parpol baru. Diantaranya, Gubernur Sulawesi Utara Sinyong Sarundajang berpindah dari PDIP ke Demokrat. Gamawan Fauzi yang sebelumnya menjadi Gubernur Sumatera Barat dengan dukungan dari PDIP, kemudian menerima pinangan SBY yang Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk dijadikan Menteri Dalam Negeri. Pun dengan Ruhut 'Poltak' Sitompul (dari Golkar ke Demokrat), Ali Mochtar Ngabalin (dari PBB ke Golkar), Permadi (dari PDIP ke Gerindra).


Oligarki

Fenomena politikus kutu loncat yang menjadi –meminjam istilah Jaya Suprana- 'kelirumologi' politik, yang jika dibiarkan, akan mematikan ideologi partai politik. Bahwa loncat partai seenaknya menandakan tidak adanya fatsun yang berlandaskan ideologi politik. Proses kaderisasi akan kacau dan bahkan stagnan. Karena panjangnya track yang harus dilalui ternyata bisa menempuh tol yang bernama 'popularitas yang di-back up oleh power (kekuasaan)'.

Sementara di tengah 'naik daun'-nya istilah politikus kutu loncat, muncul term baru yang juga bersamaan dengan fenomena ulat bulu yang patologis terhadap keseimbangan alam, khususnya bagi tumbuh-tumbuhan. Term atau ikonisasi baru tersebut yaitu politikus ulat bulu.

Seperti diberitakan, sejak 28 Maret yang lalu populasi ulat bulu muncul di Probolinggo Jawa Timur. Dalam waktu yang relatif singkat, ulat bulu merebak ke berbagai daerah, di antaranya Semarang - Jawa Tengah, Banjarmasin – Kalimantan Selatan, Buleleng – Bali, Garut, Sumedang, Bekasi dan beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat. Terakhir, ulat bulu bahkan muncul di Jakarta.

Munculnya ulat bulu ini persis bersamaan dengan sikap keras DPR yang ingin melanjutkan proses pambangunan gedung baru yang menelan biaya fantastis, yaitu Rp 1,138 triliun khusus bangunan fisik saja, atau hingga Rp 1,164 triliun sepaket dengan biaya konsultan.

Kengototan DPR diperlihatkan oleh statemen beberapa pimpinan DPR. Di antaranya Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat, Marzuki Alie "Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru. Hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu. Rakyat biasa dari hari ke hari yang penting perutnya terisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai. Jangan diajak urus yang begini, ajak orang-orang pintar bicara, ajak kampus bicara".

Juga komentar sinis Nudirman Munir, wakil ketua 'Badan Kehormatan DPR' yang juga politisi Golkar, "Kita jangan aneh-aneh membandingkan dengan rakyat yang susah. Itu jelas berbeda. Apa kita harus tinggal di gubuk reot juga, becek-becekan, kita harus realistis."

Sontak, komentar-komentar wakil rakyat tersebut semakin membuat rakyat naik pitam. Amarah rakyat tak terbendung yang diekspresikan dengan demonstrasi dan diskusi di berbagai daerah. Akhirnya muncul istilah politikus ulat bulu. Sikap ngotot DPR tersebut diasosiasikan dengan ulat bulu yang sifatnya menggerogoti tumbuhan.

Seperti anggota DPR yang mengindahkan badai protes rakyat, pada akhirnya melahirkan antipati terhadap politik dan demokrasi yang baru mulai bersemi diumurnya ke 13 ini –setelah lepas dari diktatorisme rezim orde baru-. Sifat ulat bulu ini seolah disempurnakan oleh studi banding yang diuraikan pada awal tulisan.

Bahwa perilaku perilaku apolitik yang tidak mecerminkan moral politik sehingga menimbulkan sinisme rakyat pada demokrasi, telah dilegitimasi dengan apologi tugas negara. Sehingga kerja se'sama' anggota DPR ini, semakin menguatkan tesis yang disampaikan oleh guru besar Ekonomi dan Politik North Western University yang juga Indonesianis (pengamat tentang Indonesia) Prof Jeffery A. Winters, sebagai rulling oligarki. Yaitu kekuasaan yang dilokalisir oleh sekelompok elite yang berkompetisi secara sehat menurut term demokrasi.

Dalam artian bahwa, politikus kutu loncat dan politikus ulat bulu, adalah hama-hama yang mengancam demokrasi karena mengkristal dalam bentuk oligarki. Sayang sekali banyak parpol yang memelihara hama-hama demokrasi tersebut!

Jusman Dalle 
Analis politik Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute dan pengamat ekonomi politik, sedang menyusun buku 'Holistikasi Marketing Politik'.

Sumber: www.detiknews.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar