Rabu, 20 April 2011

Terorisme: Wacana Konspirasi Global

Sepanjang kehidupan manusia, kekuatan Politik dan kekuasaan secara irasional akan menjadi penentu sebagai apa manusia itu di ciptakan Tuhan. Fasisme dan Imperialisme adalah satu kesatuan. (Hegel, Philosophy is Right)

13032742481022557828
hegel smiling, pictured by gstatis.com


George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), salah satu pemikir Jerman yang di anggap oleh Hobes sebagai pemikir dengan pengaruh paling brutal. Kompetisi perang dunia pertama (1st World War/PD I) di sinyalir sebagai bentuk reaksi atas karya Hegel. Menanggapi persoalan kekinian, sejalan dengan ide lama Hegel setidaknya komunitas-komunitas yang ada di wilayah Negara (setiap bagian yang berperan dalam kehidupan sosial dan politik) termasuk di dalamnya masyarakat, penguasa, oposisi, terorisme dan berbagai bentuk perkumpulan lainnya, adalah satu kesatuan yang menjadikan sebuah wilayah disebut sebagai Negara (Henry J. Schmandt, 2002). Secara sederhana, dalam suatu Negara harus ada malaikat sebagai representasi kebaikan dan iblis mewakili sisi pengacau.


Rotasi berbagai hal yang terjadi akhir-akhir ini termasuk maraknya teror adalah bagian dari representasi ide Hegel. Ada kekuatan politik yang berperan sebagai dalang berbagai aksi brutal, tak ayal jika aliran Machiavellian menganggap benar cara apapun untuk menggapai kepantasan politik. Meskipun demikian, harus menjadi garis bawah bahwa Machiavelli hanya merunut menghalalkan segala cara dalam konsep kebaikan bersama (common good) bukan kekejaman seperti teror.


Konsep Jihad

13032743732055054055
Perang atas nama Tuhan adalah pelecehan 
terhadap kekuatan Tuhan, designing 
by gstatis.com


Reduksi makna atas istilah Jihad adalah alasan utama terorisme ada, secara kasat mata setiap orang yang mampu berfikir tidak akan setuju untuk menerima kenyataan pembunuhan massal yang dilakukan dengan konsep Bom atas nama Agama (irasional jika seorang muslim melakukan bom bunuh diri di masjid). Perbincangan terorisme paling menggemparkan adalah serangan World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Tapi justru suara sumbing muncul dibalik tragedi tersebut, mulai dari isu rekayasa oleh President of the United State (PotUS), hingga penyebutan aksi liar al-Qaeda. Persoalan yang belum usai hingga kini, apakah benar al-Qaeda tersebut ada, atau hanya simbolisasi terorisme?


Secara etimology, Jihad bermakna kesungguhan yang berhasrat kebaikan. Salah satu misal yang paling mudah adalah tidak berputus asa. Hanya kata itu yang menjadi kunci pemaknaan Jihad, bukan genderang perang terhadap golongan, ras, agama atau Negara lain. Konsep Jihad dalam perang dibenarkan ketika kelompok yang melakukan jihad berada diposisi tertindas dan tidak memiliki cara lain selain perang. Dalam konteks kini, wilayah perang tidaklah konsep yang dinamis dan elok. Diplomasi mungkin sebagai solusi untuk merealisasikan konsep Jihad dalam Negara.


 Konspirasi Global

Sajian atas berbagai persoalan yang terjadi menghasilkan banyak pemikiran yang berbeda, sebagian pihak menganalisa melalui pendekatan phenomenology atau berfikir apa adanya, melihat sesuai dengan fakta yang mampu ditangkap oleh indera mata. Namun tidak bagi sebagian lainnya, kecurigaan makin menjadi-jadi ketika teror demi teror muncul secara massif dan teratur. Alasan lain adalah karena penanganan pelaku teror selalu berakhir dengan kematian. Persoalan yang kemudian patut di tanyakan adalah mengapa setiap kali ada penyergapan pelaku teror selalu saja terbunuh? Dan pertanyaan demikian sering didengungkan.

United State (Amerika), sebagai Negara dengan ambisi memimpin dunia adalah kelompok paling depan dalam menggalang kekuatan melawan teroris, dengan sistem keamanan yang super canggih jika perbandingannya adalah Negara kita (Indonesia). Tragedi 11 September sebagai tanda dimulainya konspirasi global, bagaimana mungkin Negara dengan sistem keamanan sedemikian rupa namun tidak mampu melakukan deteksi terhadap pesawat asing. Ini adalah perbincangan lama yang hingga kini hilang tergerus dengan teror lain.

Sekarang, Libya dalam masa krisis pemerintahan dan mendapat serangan koalisi Amerika. Sederhana, apa kepentingan Amerika disana? Libya bukanlah Negara yang diperhitungkan Amerika dalam hal suplai Minyak, apakah persolan kemanusiaan? Kurang tepat jika menjawab dengan konsep kemanusiaan karena ada Negara lain yang lebih membutuhkan pertolongan Amerika. Lihat saja penyelesaian wilayah perang Irak, setelah hancur lebur Amerika serikat tidak mampu membuktikan apa yang selama ini menjadi alasan mereka untuk meratakan tanah Irak. Spekulasi beberapa pihak incaran Amerika atas irak adalah minyak, dan hal tersebut samasekali tidak terbukti. Apa pasal, diketahui perusahaan yang paling mendominasi wilayah itu kini adalah China. Bukan Amerika Serikat.


Politik Ekonomi Media

Perbincangan tentang ekonomi politik media atau dengan istilah lain dikenal dengan politik informasi adalah kajian baru dalam studi ilmu komunikasi (Communicology). Istilah tersebut merupakan akumulasi dari persoalan politik, ekonomi dan media. Penemuan tiga dimensi tersebut erat berkaitan dengan konstruksi isi media. Konglomerasi media mewakili wilayah ekonomi untuk memperkuat dimensi kebutuhan pragmatis. Dan ketiga dimensi di atas sebagai entitas yang dikonstruksi media, artinya setiap pesan media mengandung unsur kepentingan ekonomi dan juga politik.

Gambaran paling sederhana untuk membincang keterkaitan media dan konspirasi global adalah menilik ulang pengaruh media. Seperti dalam catatan Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), salah satu kekuatan media massa adalah membentuk realitas sosial. Hal ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerfull di mana pesan media mengkultivasi secara signifikan. Dalam konteks kekuataannya inilah media menjadi alat ampuh dalam pembentukan opini publik. Termasuk mereduksi makna Jihad, Islam itu kejam, dan simbol-simbol lainnya.

Motif apapun yang menjadi prioritas para pelaku teror tidak akan mampu mengendalikan pemaknaan yang disampaikan oleh media. Artinya, media sebagai penghantar pesan menjadi penentu kisruhnya kondisi yang terjadi, termasuk reduksi makna Jihad itu sendiri. Mengakhiri pembahasan ini. Secara epistemologis, menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja media tentu saja menjadi pertanyaan paling menarik. Berangkat dari apa yang kita konsumsi sehari-hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tayangan hiburan, kita akan menengarai terlebih dahulu pandangan ilmuwan sosial terhadap isi dari produk media itu. Sederhananya, apapun yang kita terima dari media itulah yang dalam tulisan ini kita sebut sebagai informasi. Dan informasi terlalu berat ntuk berpisah dengan Politik (kepentinga) dan uang.

Dedy Kurni Syah Putra
www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar