Selasa, 10 Mei 2011

Justifikasi Historis Islam Poltik Indonesia: “Siapa Melupakan Siapa ?”

Mensikapi berbagai kasus terorisme yang (mulai) marak kembali di tanah air, bertanyalah salah seorang presenter TV Swasta dalam acara bertajuk “Generasi Baru Terorisme” kepada Ja’far Umar Thalib, mantan Panglima Laskar Jihad tentang bagaimana meminimalisir, untuk tidak mengatakan menghilangkan sama sekali praktek-praktek radikalisme Islam di Indonesia. Ja’far Umar Thalib mengatakan, “pemerintah harus menegaskan kembali bahwa negara Indonesia adalah negara Islam”. Beliau menegaskan bahwa proses pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa telah jelas-jelas menetapkan Islam sebagai dasar negara (dengan klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta). Tapi sayang, presenter TV swasta ini tidak tidak mencecar jawaban Ja’far Umar Thalib ini secara elaboratif. Mungkin si presenter ini berpandangan bahwa jawaban mantan Panglima Laskar Jihad tersebut sudah “selesai”, atau ia beranggapan bahwa ujung-ujung dari jawaban tersebut hanyalah akan membawa kita kepada hal-hal yang bersifat utopis dan a-historis. Tapi yang jelas, dalih klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta (”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) selalu menjadi justifikasi historis-politis beberapa gerakan radikal untuk merasa berkewajiban menerapkan praktek negara Islam di Indonesia. “Masyarakat Indonesia, khususnya pemerintah, melupakan diri bahwa negara Indonesia sedari awal berdirinya sudah menjadi negara Islam”, kata Ja’far Umar Thalib. 

Mantan Panglima Laskar Jihad dan “suara-suara lainnya” beranggapan bahwa pemerintah, bahkan rakyat Indonesia, melupakan sejarah. Tapi benarkah demikian? Bila-lah sejarah ini bisa “diputar-balek” ke tahun 1945, tentu kita akan menikmati bagaimana para “Bapak Bangsa” ini berdebat dalam merumuskan dasar negara ini. Kita juga akan melihat events of history pencoretan klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta dan bagaimana merka dengan hati lapang-terbuka berusaha untuk saling mendengarkan, saling empati dan berbicara “ke depan”. Tapi sayang, sejarah tidak bisa diulang. Ia einmalig, kata Leopold van Ranke, hanya terjadi satu kali. Kita hanya bisa “mendekati” dan merekonstruksi pengkisahannya. Hanya tertinggal kesaksian, catatan, fakta, interpretasi dan (bahkan) opini. Pencoretan klausula Islami yang dianggap sebagai kekalahan ummat Islam dalam menerapkan (sebagai legitimasi historis-yuridis) negara Islam, terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945.

Satu hari setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan republik ini. Dan, Bung Hatta (dianggap) adalah orang paling bertanggung jawab dalam penghapusan 7 kata ini. Dalam bukunya Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menulis bahwa inspirasi penghilangan 7 kata tersebut dari seorang opsir Angkatan Laut Jepang. Ia lupa siapa nama opsir tersebut. Itu terjadi pada sore hari, 17 Agustus 1945. Prinsipnya opsir AL Jepang ini menyampaikan informasi keberatan dari kelompok-kelompok Protestan dan Katholik di wilayah Indonesia Bagian Timur tentang pencantuman 7 kata “keramat” ini. Bila dipaksakan jua, ada keinginan dari kelompok-kelompok tersebut untuk “sayonara” pada Indonesia yang baru lahir itu.

Bung Hatta tentunya berfikir dan merasa khawatir. Dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, putra Batuhampar Minangkabau ini kemudian mengutarakan hal ini. Sebelumnya, Bung Hatta juga mendiskusikan hal ini kepada KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Teuku Hasan. Dan, singat cerita, akhirnya diperoleh kesepakatan dalam forum PPKI ini untuk menghilangkan 7 kata yang berpotensi “menyakiti” saudara non-muslim dan menggantikannya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejarah kemudian mencatat, “Ketuhanan Yang Maha Esa”-lah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat pula rumusan Pancasila. Menurut Bung Hatta, proses ini dianggapnya sebagai “perubahan maha penting yang menyatukan bangsa”. Konteks historis diatas-lah yang seringkali digugat. Bung Hatta-pun yang muslim dianggap sebagai orang yang tak berpihak pada Islam dan teramat mudah mendengar “keluhan” kaum non-muslim. Benarkah demikian ? Bung Hatta berpijak pada semangat keislaman inklusif dan komitmennya yang tinggi terhadap pluralisme positif. Suatu sikap muslim yang terbuka terhadap informasi dan perubahan.

Bung Hatta mengenyampingkan sifat absolutik, ia lebih mengutamakan substansi daripada simbol. Ketika Bung Hatta menyadari bahwa 7 kata tersebut berpotensi mengancam persatuan bangsa karena mengandung eksklusifisme keagamaan, maka tokoh republik yang teramat lambat nikah ini, melakukan refleksi dan penilaian ulang. Bagaimana bentuk refleksi dan penilaian ulang yang dilakukannya pada sore 17 Agustus 1945 tersebut, hanya ia seorang yang tahu. Tapi yang pasti, pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Hatta bisa menerima alasan keberatan pencantuman 7 kata tersebut. Tapi Bung Hatta tak ingin menganggap ini hanyalah sebagai refleksi seorang personal an-sich semata, karena itu ia merasa perlu untuk mendiskusikannya dengan empat tokoh Islam diatas (empat tokoh yang secara personal tidak dikeragui lagi moralitas dan dedikasinya serta merupakan representasi dari kelompok-kelompok besar Islam masa itu).

Jikalau ke-empat tokoh Islam diatas yang diajak berunding oleh Bung Hatta akhirnya menyetujui penghapusan 7 kata dan menggantikannya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, nampaknya hal tersebut sudah menjadi “kehendak Allah”. Ini bukan fatalism. Tokoh-tokoh ini bukanlah tokoh-tokoh yang “baru jadi”. Mereka telah menyejarah dan merasakan bagaimana kebutuhan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ketika ada yang menggugat para tokoh ini sebagai orang-orang yang mudah dipengaruhi oleh kaum non-Islam, benarkah demikian ? Bisakah kita meragui ketokohan, kapabilitas, dan moralitas Bung Hatta, KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan ?. Akhirnya, historia vitae magistra, kata Bennedicto Croce.

Sejarah mengajarkan kita kearifan. Sejarah tak bisa diulang. Ia terjadi hanya satu kali. Seterusnya, ia hanyalah interpretasi dan memori untuk dikenang. Tapi terlepas dari semua itu, adalah kewajiban kita semua untuk mengucapkan terima kasih kepada para “Bapak Bangsa” yang telah mampu mencari jalan terbaik bagi bangsa ini ke depan. Terlepas suka atau tidak suka, Pancasila memang layak disebut sebagai puncak prestasi intelektual dan kultural yang pada dasarnya mempertemukan ragam ummat beragama, sebagai entitas sosial-historis riil bangsa ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Benarkah kita melupakan penghilangan 7 kata tersebut ? Jawabannya adalah justru kita melupakan jawaban mengapa para “Bapak Bangsa” justru mencari format terbaik bagi keutuhan bangsa ini. Wallahu a’lam.

Referensi : Bung Hatta (1969).

Muhammad Ilham

Sumber: kompasiana.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar