Senin, 02 Mei 2011

Teksture, Elemen Seni Keris





Dirunut dari catatan-catatan kuno, interpretasi seni dalam perkerisan sangatlah kompleks. Apa yang disebut ‘estetika keris’ sudah tentu melibatkan pengalaman dan wawasan terhadap nilai keris.

Ir. Haryono Haryohuritno dalam buku Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar menggolongkan dalam kriteria yang cukup rasional adalah dengan menyebut ”Panca Waton” dalam catatan itu disebut sebagai pakem (pedoman pokok) YA MOR JA SI RAP yaitu penilaian berdasarkan penghayatan pada ’guwaYA’ (nuansa ekspresi), keindahan tatanan paMOR, waJA (baja), beSI, dan gaRAP atau pembentukan keris yang dianggap bagus, kata RAP atau garap kemudian bergeser menjai NGUN atau waNGUN (bentuk yang serasi dan harmonis). Untuk menilai Mor atau paMOR yang bagaimana yang dianggap baik, JA atau waJA yang dianggap baik dan terutama gaRAP atau waNGUN sangat berkait dengan wawasan dan pengalaman melihat keris, maka untuk menjadi “mengerti keris” dibutuhkan pengalaman analisis yang melatari wawasan terhadap pengetahuan keris.

Aspek Seni yang sangat menonjol pada keris adalah bentuk rupa atau Dhapur dan konfigurasi layer dari lapisan Pamor sesuai ”Panca Waton”, namun dijumpai pula tidak selalu harus dipenuhi dengan adanya setiap unsur tersebut. Misalnya pada keris ’kelengan’ (tanpa Pamor). Kelengan atau tanpa pamor bisa menjadi media estetika seni para empu jaman dahulu. Para empu menyajikan senirupa keris keleng dalam hal ini polos tanpa pamor sering disertai dengan kehebatan penyediaan besi dan bajanya yang indah. Pengolahan tempa-lipat besi dan baja sangat membutuhkan kesabaran dan perasaan agar pemanasan bara mencapai saat yang tepat untuk ditempa. Empu Pangeran Sendang Sedayu dikenal membuat keris dengan ribuan kali tempa-lipat yang hingga kini belum bisa dipraktekkan oleh praktisi atau seniman keris masa kini. Teknik tempa lipat dengan bara api yang sangat terukur menjadikan keris Sedayu sangat indah walaupun tanpa pamor. Orang Jawa bilang besinya lumer dan nglempung (seperti tanah liat hitam keabu-abuan) sering pula ngurap (hurap) dan menampilkan permukaan (surface) ’malela kendaga’ (keemasan seperti pasir emas yang ditebar). Begitu pula keris-keris sebelum jaman Majapahit seperti Kediri – Jenggala atau Jalak Budha yang jika diperhatikan teksture serat maupun kerusakan korosinya menjadi seni tersendiri.


Kanjeng Kyahi Bintul Anom (sorsoran)




Perkembangan hasrat pada komunitas perkerisan dalam hal menilai besi pun sebenarnya sudah dimulai sejak jaman kerajaan-kerajaan (Paku Buwana) dimana keris yang indah dan masuk dalam jajajaran ’top kelas’ koleksi keraton rata-rata sangat menonjol pada keindahan besinya. Terutama estetika keris dari beberapa empu yang melibatkan elemen senirupa yaitu teksture. Bahkan empu Koso dari jaman Madura madya, jika dianalisa telah melakukan teknik ’kamalan’ (membuat pamor menjadi ’nyekrak’) sebagai seni tersendiri, keris empu Koso yang sering dianggap sebagai keris ’nyekrak’ karena dimakan usia diduga diciptakan khusus dengan tujuan menampilkan seni teksture. Keindahan dari teksture keris menjadi sebuah nilai tersendiri yang memberikan adanya guwaya atau nuansa ekspresi.

Sumber: www.javakeris.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar