Kamis, 09 Juni 2011

Ijtihad Tentang Hukum Memakan Katak dalam Agama Islam

PENDAHULUAN

Negara Indonesia yang terletak di garis Khatulistiwa memiliki daratan dan lautan yang cukup luas (sekitar 5 juta KM²) dikaruniai oleh alam yang indah, tumbuhan yang beraneka ragam dan juga hewan yang beraneka rupa oleh Alah SWT, Dzat Yang Maha Segalanya. Karena itulah, Indonesia (pernah) disebut sebagai Jamrud Khatulistiwa .

Pun dengan kehidupan masyarakatnya sendiri, Indonesia adalah negara yang penuh dengan keberagaman suku, yang tentunya akan semakin nampak indah pula jika sudah tak ada lagi peperangan atau pun konflik antar suku. Suku-suku itu pun sampai sekarang ada yang masih setia memeluk peraturan yang ditetapkan nenek moyangnya terdahulu, misalkan, suku Baduy di Jawa Barat yag tak pernah boleh memakai alas kaki, harus menikah dengan sesama Baduy, dan lainnya. 

Suku-suku yang masih tinggal di pedalaman mengandalkan hidupnya dari alam, mereka memakan binatang melata yang hidup di alam, termasuk katak. Tidak hanya suku-suku itu, masyarakat perkotaan juga gemar mengkonsumsi katak, bahkan, ada rumah makan yang menjadikan katak sebagai menu andalan mereka.
Permasalahannya, apakah mengkonsumsi katak itu diperbolehkan atau halal menurut Islam? Bagaimanakah ketetapan hukum Islam mengenai hal itu? Perlukah diadakan Ijtihad? Bagaimanakah pandangan atau ketetapan dari ulama-ulama besar?



PEMBAHASAN

Jika masalah taqlid dan ijtihad harus ditelusuri ke belakang, barangkali yang paling tepat ialah kita menengok ke zaman ‘Umar ibn al-Khathtab, Khalifah ke II. Bagi orang-orang muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan kaum Sunni, berbagai tindakan ‘Umar dipandang sebagai contoh klasik persoalan taqlid dan ijtihad. Salah satu hal yang memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar ‘Umar berkenaan dengan persoalan pokok ini ialah isi suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari, gubernur di Basrah, Irak:                                       “Adapun sesudah itu, sesungguhnya menegakkan hukum (alqadla) adalah suatu kewajiban yang pasti dan tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika sesuatu diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan. Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang berkedudukan tinggi (syarif) tidak sempat berharap akan keadilanmu. Memberi bukti adalah wajib atas orang yang menuduh, dan mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari (tuduhan). Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai) diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau putuskan kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang benar; sebab kebenaran itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah, kemudian temukanlah segi-segi kemiripan dan kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang paling mirip dengan yang benar. Untuk orang yang mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang waktu yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan haknya. Tetapi jika tidak, maka anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan lebih jelas dari ketidakpastian (al-a’ma, kebutaan, kegelapan) … Barang siapa telah benar niatnya kemudian teguh memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya (tidak tulus), maka Allah akan menghinakannya …”

Dari kutipan surat yang lebih panjang itu ada beberapa prinsip pokok yang dapat kita simpulkan berkenaan dengan masalah taqlid dan ijtihad.  

Prinsip-prinsip pokok itu ialah:
Pertama, prinsip keotentikan (authenticity). Dalam surat ‘Umar itu prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannyabahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.

Kedua, prinsip pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas ajaran dari Kitab dan Sunnah untuk mencakup hal-hal yang tidak dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu. Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi. Pengembangan ini diperlukan, sebab suatu kebenaran akan membawa manfaat hanya kalau dapat terlaksana, dan syarat keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.

Ketiga, prinsip pembatalan suatu keputusan perkara yang telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah, dan selanjutnya, pengambilan keputusan itu kepada yang benar. Ini bisa terjadi karena adanya bahan baru yang datang kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat, prinsip ketegasan dalam mengambil keputusan yang menyangkut perkara yang kurang jelas sumber pengambilannya (misalnya, tidak jelas tercantum dalam Kitab dan Sunnah), namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam hal ini bagaimanapun lebih baik daripada keraguan dan ketidakpastian.

Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa apapun yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi akibatnya dalam hubungan dengan sesama manusia (seperti terjadinya kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak (dalam bahasa ‘Umar, Allah yang akan “mencukupkannya”).
Dari prinsip-prinsip itu, prinsip keotentikan adalah yang pertama dan utama, disebabkan kedudukannya sebagai sumber keabsahan. Karena agama adalah sesuatu yang pada dasarnya hanya menjadi wewenang Tuhan, maka keotentikan suatu keputusan atau pikiran keagamaan diperoleh hanya jika ia jelas memiliki dasar referensial dalam sumber-sumber suci, yaitu Kitab dan Sunnah. Tanpa prinsip ini maka klaim keabsahan keagamaan akan menjadi mustahil. Justru suatu pemikiran disebut bernilai keagamaan karena ia merupakan segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci agama itu.


PENGERTIAN IJTIHAD

Menurut bahasa, ijtihad berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hokum syara’ (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.



MEDAN IJTIHAD

Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hokum (hukum Islam) secara mutlak?

Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur’an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma’i oleh ulama atau aimamatu ‘l-mujtahidin.
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma’qulu ‘l-ma’na/ta’aqquly (kausalitas hukumnya/’illat-nya dapat diketahui mujtahid).

Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak. Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur’an atau Sunnah yang statusnya qath’iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari’ah atau “ma’ulima min al-din bi al-dlarurah.”
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, “Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath’i dan tegas.” Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath’i seperti hukum kewarisan al-Qur’an.
2. Hukum Islam yang telah diijma’i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta’abbudy/ghairu ma’quli ‘lma’na (yang kausalitas hukumnya/’illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).

Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah, “Tidak ada ijtihad dalam melawan nash.”



PERBEDAAN YANG DITOLERIR

Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya,
“Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya).” (Riwayat Bukhari Muslim).

Benarkah katak halal dimakan? Sedangkan Rasulullah s.a.w. sendiri melarang membunuhnya? Dalam al-Quran disebut hanya babi saja yang haram dimakan. Sedangkan semua hewan lain halal dimakan belaka kecuali jika merupakan
1. Bangkai
2. Darah yang mengalir
3. Binatang yang disembelih bukan karena Allah
4. Binatang yang mati karena dicekik atau tercekik
5. Binatang yang mati karena dipukul
6. Binatang yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi
7. Binatang yang mati karena ditanduk ketika berlaga dan
8. Binatang yang mati dimakan binatang buas.
Semua hukum tersebut disebut dengan jelas dalam dua ayat ini. Dalam ayat pertama Allah berfirman: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan darah, dan daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih tidak karena Allah maka siapa terpaksa (memakannya karena darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (al-Baqarah: 173).
Dalam ayat kedua pula Allah berfirman: 
Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang yang disembelih karena yang lain dari Allah, dan yang mati tercekik, dan yang mati dipukul, dan yang mati jatuh dari tempat yang tinggi, dan yang mati ditanduk, dan yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan yang disembelih atas nama berhala; dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib dengan undi batang-batang anak panah. Yang demikian itu adalah perbuatan fasik. Pada hari ini, orang-orang kafir telah putus asa (daripada memesongkan kamu) dari agama kamu (setelah mereka melihat perkembangan Islam dan umatnya). Sebab itu janganlah kamu takut dan gentar kepada mereka, sebaliknya hendaklah kamu takut dan gentar kepada-Ku. Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu. Maka siapa yang terpaksa karena kelaparan (memakan benda-benda yang diharamkan) sedang ia tidak cenderung hendak melakukan dosa (maka bolehlah ia memakannya), karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (al-Maidah: 3)
Semua hukum yang disebut dalam dua ayat al-Quran di atas tidak disebut bahwa katak haram dimakan. Jika meneliti nas dan dalil dari hadis pula tentang hukum makan katak didapati bahwa Rasulullah tidak pernah memperuntukkan hukum yang jelas tentangnya. Sebaliknya yang ada ialah hadis yang memperuntukkan hukum larangan membunuh katak.
Dalam salah sebuah hadis itu disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abdur Rahman bin Abdul Wahhab, mereka berdua telah berkata telah memberitahu kepada kami Abu Aamir al-Aqdi telah memberitahu kepada kami Ibrahim bin al-Faqhl daripada Said bin al-Maqburi daripada Abu Hurairah katanya bahwa Rasulullah telah menegah daripada membunuh surah (sejenis burung), katak, semut dan pelatuk. (Riwayat Ibn Majah)
Dalam hadis yang lain disebutkan: Telah berkata telah memberitahu kepada kami daripada Ibn Abu Zib dan Yazid telah berkata telah memberitahu kepada kami Ibn Abu Zib dari Said bin al-Musaiyyib dari Abdul Rahman bin Uthman telah berkata telah menyebut seorang ahli perubatan berada di sisi Rasulullah dan dia telah menyebut katak akan dijadikan ubat, maka Rasulullah melarang membunuhnya. (Riwayat Ahmad)
Dalam sebuah hadis lagi disebutkan: Telah memberitahu kepada kami Ubaidullah bin Abdul Majid telah memberitahu kepada kami Ibn Abu Zib dari Said bin Khali dal-Qarizi dari Said bin al-Musaiyyib dari Abdul Rahman bin Uthman bahwa Rasulullah telah melarang membunuh katak. (Riwayat an-Nasai).
Ada juga beberapa hadis yang menyebut bahwa suara katak pada musim hujan merupakan tasbih kepada Allah.Berdasarkan hadis-hadis itu menyebabkan setengah ulama termasuk Imam asy-Syafie berijtihad dan menganggap bahwa karena Rasulullah melarang membunuh katak, maka hukum makannya pun dianggap haram.
Bagaimanapun, ketiga-tiga hadis melarang membunuh katak serta beberapa hadis yang menyebut bahwa katak itu sebagai tasbih kepada Allah adalah hadis yang lemah disebabkan terdapat dasar-dasar yang lemah dan tidak boleh dipercayai. Dalam hadis pertama sebagai contoh terdapat Ibrahim bin al-Fadhl yang disifat oleh Ibn Hanbal sebagai daif dan an-Nasai pula menganggap dasar itu bukan thiqah (tidak boleh dipercayai).Dalam kedua-dua hadis berikutnya terdapat pula Said bin Khalid yang disifat oleh an-Nasai sebagai daif.
Apa yang boleh disimpulkan daripada semua hadis berkenaan ialah selain ia tidak menyebut hukum pengharaman makan katak secara terang-terang, ia juga tergolong daripada hadis yang lemah atau daif. 

Pandangan ulama:
Ada beberapa ulama mengkategorikan katak seperti ikan dan hewan-hewan yang tinggal dalam air.
Mengenai kategori ini ada nas yang umum daripada ayat al-Quran dan hadis ditafsirkan (bukan secara terang-terang dan muktamad) bahwa semua hewan yang tinggal dalam air adalah harus dimakan.
Nas yang umum daripada al-Quran itu bermaksud: Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut, dan makanan yang didapati dari laut, sebagai bekal bagi kamu (untuk dinikmati kelazatannya) dan juga bagi orang-orang yang dalam pelayaran; tetapi diharamkan atas kamu memburu binatang buruan darat selama kamu sedang berihram. Oleh itu, bertakwalah kepada Allah, yang kepada-Nya kamu akan dihimpunkan. (Al-Maidah: 96)
Nas yang umum daripada hadis pula seperti hadis riwayat Imam Ahmad, At-Tarmizi, Imam Malik, ad-Darimi dan lain-lain yang bermaksud: Ia (laut) bersih airnya dan halal bangkainya.
Berdasarkan nas daripada al-Quran dan hadis yang umum ini serta hukum yang diambil daripada kaedah syariah asal setiap sesuatu itu harus, maka dapat dikatakan semua hewan yang tinggal dalam air harus dimakan termasuk katak. Bagaimanapun, hukum halal ijtihad seperti ini adalah terserah kepada adat dan pertimbangan kita masing-masing. Jika ada orang dalam keadaan terdesak, bukan saja katak tetapi buaya pun boleh dia makan.
Sementara itu ada beberapa ulama mengkategorikan katak dari golongan hewan dua alam. Hewan jenis dua alam ini dianggap haram dimakan oleh beberapa ulama dan hukum ijtihad ini jika dilaksanakan sepenuhnya, maka beberapa jenis ketam, siput dan kerang tidak boleh dimakan.
Dalam penelitian penulis didapati hukum haram dimakan hewan dua alam tidak ada dalam al-Quran dan hadis, tetapi ia merupakan hukum ijtihad beberapa ulama berdasarkan adat tempat dan persekitaran yang mereka tinggal.
Secara umumnya mayoritas (jumhur) ulama menganggap semua hewan laut (air), sama ada ikan dan binatang-binatang lain harus dimakan. Hukum mayoritas ulama ini berdasarkan ayat 96 daripada surah al-Maidah dan hadis yang menyebut bahwa bangkai laut adalah halal seperti tersebut di atas.
Bagaimanapun, beberapa mazhab seperti mazhab Syafie dan mazhab Hambali berbeda dengan mayoritas ulama karena mereka menganggap katak haram dimakan disebabkan ada hadis-hadis yang melarang membunuhnya.
Tetapi seperti telah disebut di atas bahwa kedudukan semua hadis yang melarang membunuh katak itu adalah tidak kuat belaka.
Agak perlu disebut juga nukilan Imam al-Bukhari berhubung hukum makan katak ini. Imam al-Bukhari dalam kitab sahihnya ketika mengurai ayat 96 daripada surah al-Maidah itu menyebut bahwa asy-Syabi (Aamir bin Syarahil) berkata: Jika ahli keluargaku makan katak, niscaya aku memberi mereka makannya. Pada waktu yang sama al-Bukhari juga menyebut bahwa al-Hassan (al-Hassan bin Abi al-Hassan Yassar al-Basri) menganggap tidak mengapa jika ada orang mahu makan kura-kura.
Berikut secara ringkasnya disebut pandangan pelbagai mazhab mengenai hukum makan katak ini.
1. Mazhab Syafie:
Ulama-ulama mazhab Syafie berpendapat katak tidak harus dimakan karena selain berdasarkan hadis-hadis yang disebut di atas, katak juga tergolong kategori khaba’ith, iaitu binatang yang kotor, keji, buruk dan tidak baik. Pendapat mazhab Syafie ini memang sesuai dengan kebanyakan adat bangsa di dunia ini termasuk orang Melayu yang penulis percaya jarang ada yang tertarik untuk makan katak terutama katak puru. 

2. Mazhab Hanafi:
Mazhab Hanafi berpendapat hanya ikan saja yang halal dimakan dari semua jenis hewan yang tinggal dalam air. Katak, kura-kura, anjing laut, buaya dan sebagainya haram dimakan.
3. Mazhab Maliki: 
Mazhab Maliki berpendapat bahwa katak sama seperti udang, ketam, kura-kura dan sebagainya boleh dimakan. Mereka berpendapat begitu karena tidak ada nas dan dalil yang jelas daripada al-Quran dan hadis yang mengharamkan makan katak.
Perlu diterangkan bahwa setahu penulis tidak ada orang bermazhab Maliki yang makan katak, kura-kura dan sebagainya. 

4. Mazhab Hambali:
Para ulama mazhab Hambali pula berpendapat bahwa katak dan semua hewan yang hidup di dua alam tidak halal dimakan kecuali jika ada jalan sembelihannya.
Bagaimanapun, dikecualikan jika hewan yang hidup di dua alam itu tidak berdarah seperti ketam dan beberapa serangga. Tetapi katak dan kura-kura yang tergolong daripada hewan yang hidup di dua alam yang berdarah, macam mana boleh disembelih? Katak yang tidak mempunyai leher dan kura-kura pula menyembunyikan lehernya dalam perisainya menyusahkan untuk disembelih. Apakah itu menjadi antara punca menyebabkan katak haram dimakan? Penulis tidak pasti.
Hewan yang hidup di dua alam yang lain seperti udang, ketam dan sebagainya walaupun tidak disembelih tetapi halal dimakan pada mazhab Hambali karena tidak berdarah.
Begitulah kedudukan hukum makan katak dalam al-Quran, hadis dan fikah (ijtihad) para ulama pelbagai mazhab.


KESIMPULAN 

Ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.Hukum makan katak itu terserah kepada pertimbangan masing-masing dan adat kebiasaan yang diamakanl dalam masyarakat. Jika ada yang berselera dan adat kebiasaan masyarakatnya pula tidak menganggap menjadi jejik dan keji, maka dianggap boleh makan. Jika sebaliknya, maka dianggap tidak boleh makan.


DAFTAR PUSTAKA
Web gaul.com, diakses pada 28 Nopember 2006
Astorajabat.com, diakses pada 28 Nopember 2006

Sumber: didikharianto.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar