Selasa, 05 Juli 2011
Ketika Manusia Menyaingi Tuhan
Ada pertanyaan seperti ini, siapa yang lebih memahami kita dan segala kehidupannya, apakah Tuhan atau diri kita sendiri? Umumnya setiap orang yang mengakui adanya dzat yang maha segalanya akan menjawab, Tuhan.
Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang paling memahami dan mengerti kebutuhan kita sebagai manusia, jawabannya tetap sama Tuhan, dan terakhir pertanyaan yang agak menggelitik adalah, mana lebih hebat kita atau tuhan, jawabannya kompak, Tuhan.
Mungkin pembaca juga punya jawaban yang sama dengan beberapa pertanyaan diatas. Jika iya, maka itulah yang sebenarnya. Kongkritnya sebagai makhluk lemah kita begitu mengakui dan menyadari bahwa Tuhan sebagai sang sutradara maha besar telah mengatur segalanya berdasarkan sebuah skenario besar pula agar hidup berjalan seimbang dan saling membutuhkan, saling menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi siapa pun.
Sebagai dzat yang mengerti kebutuhan manusia untuk bisa dinamis menjalani proses kehidupan yang penuh dinamika, Tuhan telah menyiapkan segalanya tidak hanya sebatas kebutuhan hidup yang siap diraih dengan usaha tapi juga Dia menyiapkan perangkat hukum yang tegas untuk menjaga keseimbangan hidup terjaga dengan baik. Salah satu perangkat hukum yang hingga saat ini kontroversial adalah qishas.
Dr. Quraish Shihab dalam salah satu artikelnya menerangkan bahwa qishas secara harfiahnya adalah "mengikuti". Dari akar kata yang sama, lahir kata qishash (kisah) karena orang yang berkisah mengikuti peristiwa yang dikisahkannya tahap demi tahap sesuai kronologi kejadiannya.
Dengan kata qishash, Al-Qur'an bermaksud mengingatkan bahwa apa yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya hanya mengikuti cara dan akibat perlakuannya terhadap si korban. Sebenarnya, konsep qishash dikenal oleh ajaran agama sebelum Islam, paling tidak, berdasarkan informasi Al-Qur'an, seperti telah ditetapkan Allah terhadap pengikut-pengikut Nabi Musa a.s. (lihat QS.5:45)
Lantas, kenapa hingga kini qishas tetap menjadi sesuatu yang sangat kontroversial? Jawaban nyentriknya adalah karena manusia berusaha menyaingi Tuhan.
Kenapa demikian? Karena beranjak dari beberapa pertanyaan diatas dimana kita begitu menyadari bahwa Tuhan maha tahu dengan kebutuhan kita tetapi produk hukum yang diturunkannya kita anggap tidak mampu menekan angka kriminalitas yang semakin merajalela dalam hidup ini. Alhasil, manusia berusaha membuat produk hukum sendiri yang menyimpang dari produk hukum Tuhan.
Bukankah ini upaya manusia untuk menyaingi Tuhan? Ironisnya adalah upaya ini tidak sebatas menjadikan Tuhan sebagai rival yang kuat, tapi secara tidak sadar manusia menuduh Tuhan sebagai dzat yang lemah yang tidak mengerti hakekat manusia yang sesungguhnya karena dinilai gagal menciptakan produk hukum yang sesuai dengan kebutuhan manusia. Luar biasa bukan?
Contoh kongkrit yang lagi hangat saat ini adalah hukuman pancung terhadap Ruyati atas dakwaan pembunuhan terhadap majikannya. Eksekusi ini tidak hanya menjadi perhatian bangsa ini namun juga dunia internasional. Kasus ini juga kembali mengingatkan publik akan sebuah pesan yang salah bahwa qishash sangatlah tidak manusiawi.
Oleh manusia, (walaupun tidak seluruhnya) menganggap bahwa Pembunuhan sebagai hukuman adalah suatu yang kejam, yang tidak berkenan bagi manusia beradab. Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu nyawa yang lain. Pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam, padahal pembalasan dendam merupakan suatu yang buruk dan harus dikikis melalui pendidikan.
Karena itu, kata kalangan yang mengemukakan dalih, hukuman terhadap pembunuh bisa dilakukan dalam bentuk penjara seumur hidup dan kerja paksa; pembunuh adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa, karena itu ia harus dirawat di rumah sakit; dan masih banyak dalih yang lain.
Secara umum, pola pikir diatas benar adanya. Namun satu hal yang harus dipahami adalah melihat suatu produk hukum tidak bisa dari satu sisi namun harus dari sisi yang lain pula. Terkadang kita tergiring dalam satu cara pandang dimana perhatian kita akan tertuju 100 persen terhadap pelaku pembunuhan dan kita melupakan korban.
Padahal antara pembunuh dan yang dibunuh sama dalam aturan hukum manapun. Celakanya, walau telah melakukan tindak pidana berat, sebagian masyarakat justru berempaty dan memberikan dukungan moral seolah-olah membenarkan kejahatan besar yang baru di lakukan.
Untuk menjawab pola pikir menyimpang diatas, Quraish Shihab dalam artikel yang sama juga menerangkannya dengan sejelas-jelasnya bahwa Peraturan apa pun itu baik yang ditetapkan oleh Tuhan maupun oleh manusia tujuan utamanya adalah kemaslahatan masyarakat. Dan bila kita bercerita masyarakat bukankah itu artinya kita sedang bercerita saya, anda dan dia (kumpulam masyarakat).
Oleh karena itulah antara individu dan masyarakat tidak pernah dapat dipisahkan. Pemisahan itu hanya ada dalam konsep teoritis tetapi dalam kenyataan sosiologis dan physicologis manusia dan masyarakat tidak pernah dapat dipisahkan kendati pun seseorang memutuskan hidup menyendiri dihutan belantara, gua atau didasar lautan sekalipun.
Karena sesendiri apa pun kita saat itu kita justru sedang menciptakan masyarakat lain sebut sajalah setan yang selalu menuntun kita kepada keburukan atau malaikat yang mengarahkan kita kepada kebajikan.
Demikianlah kebutuhan manusia. Pada saat kita seorang diri maka disaat yang bersamaan kita justru membutuhkan orang lain. Sehingga seorang dengan ribuan orang adalah sama. Sama karena kita saling membutuhkan. Maka wajarlah bila Tuhan menegaskan pada kita bahwa barang siapa membunuh seseorang tanpa hak maka salamalah artinya dia membunuh manusia selurunya.
Manusia sekaligus masyarakat memiliki naluri kuat untuk mempertahankan hidup. Bahkan semut sekalipun akan mempertahankan hidupnya bila terancam. Dan bila memungkinkan ia akan membunuh setiap makhluk yang berusaha menggaggu ketenangannya.
Apalagi manusia. Karena itulah semua peraturan mentoleransi pembunuhan yang dilakukan untuk mempertahankan hidup. Itulah sebabnya manusia membuat senjata-senjata pembunuh paling tidak untuk mempertahankan kehidupannya. Bila demikian halnya lalu dimana letak kejamnya sebuah qishash?
Seperti diutarakan diatas, bukankah tidak ada bedanya satu individu dengan ribuan individu. Tak ada perbedaan antara saya, anda atau dia dengan masyarakat. Maka apabila kita membunuh orang yang melakukan pembunuhan tanpa hak samalah artinya kita telah melakukan penjaminan akan hak hidup orang lain.
Sederhananya adalah, dengan membunuh terpidana pembunuhan tanpa hak maka setiap orang akab berpikir seribu kali untuk melakukan hal yang sama oleh karena yang paling barharga bagi manusia adalah kehidupan dan paling menakutkan adalah kematian. Oleh karena itu andai setiap orang mengetahui bila membunuh tanpa hak ia tidak akan dibunuh maka tangannya akan leluasa untuk mengulang-ulang kejahatan besar ini dilain waktu.
Sekeras apa pun qishash didalamnya selalu terdapat unsur pendidikan dan kemanusiaan. Unsur itu pulalah yang meredam lahirnya rasa dendam berkepanjangan dan kebencian. Jadi jelaslah bahwa qishash bukanlah embrio melahirkan dendam-dendam baru melainkan sebaliknya.
Alasannya adalah, setegas apa pun qishash itu Tuhan sebagai dzat yang kuasa memberikan keleluasaan kepada keluarganya (ahli waris) untuk memutuskan menjalankan qishash itu atau memaafkannya. Setidaknya ada tiga hal yang dipesankan bagi ahli waris terkait hukum qishash yaitu memaafkannya atau menerima ganti (denda) atau mungkin mengqishashnya.
Andai pun pada akhirnya ahli waris memilih opsi terakhir yaitu qishash maka sang pembuat produk qishash ini yaitu Tuhan pun menegaskan agar janganlah melampaui batas dalam membunuh. Disatu sisi qishash haruslah ditegakkan namun disisi lain nilai-nilai kemanusiaan juga ditegaskan dimana Tuhan memberi alternatif kepada ahli waris untuk memaafkan sehingga menghilangkan rasa dendam dan terjalin hubungan yang lebih baik.
Dan bukankah memaafkan akan menghapuskan dosa si pemberi maaf. Fenomena ini bukankah didalamnya terdapat unsur pendidikan yang sangat manusiawi? Maka orang yang menegaskan qishash tidak mendidik sama sekali tidak benar.
Tudingan yang mengatakan bagaimana mungkin kita membunuh dua kali dalam satu peristiwa dimana seseorang yang terbukti membunuh tanpa hak lalu kita membunuh si terpidana, dimana letak keadilannya. Statemen ini memang benar adanya itulah yang nampak secara kasat mata.
Tapi disisi lain layar kaca telah menunjukkan kepada kita, bagaimana ahli waris akhirnya membunuh sendiri si terpidana oleh karena ahli waris merasa tidak mendapatkan keadilan. Tidak hanya sebatas itu, rasa dendam dan perang saudara juga sering terjadi oleh karena hal yang sama. Maka, upaya kita menyelamatkan si terpidana oleh karena alasan sebagaimana disebut diatas justru berdampak terhadap terbunuhnya lebih banyak orang lagi.
Akhirnya, masyarakat (ahli waris) yang semula menuntut keadilan qishash terhadap terpidana menuntut lebih dari keadilan itu sendiri. Artinya, dendam atas dasar keadilan dari ahli waris mengakibatkan jatuhnya korban lebih banyak lagi dan dendam yang berkepanjangan.
Maka secara keseluruhan, andai kita masih mengatakan qishash adalah kejam, qishash tidak manusiawi dan qishash tidak mendidik maka pertanyaanya adalah berdasarkan uraian diatas dimanakah letak kekejaman, ketidakmanusiawian dan ketidak terdidikan dari sebuah qishash.
Bukankah survey harusnya mengetuk hati kita, bahwa tingkat pembunuhan di Arab Saudi yang konsisten dengan qishashnya relatif lebih kecil dengan pembunuhan yang terjadi di negara-negara eropa dan Amerika sebutlah Inggris, Belanda atau mungkin Amerika.
Ironisnya dalam satu tahun Arab Saudi hanya mencatat 128 kali pembunuhan untuk satu tahun. Dan tahukah kita bahwa angka 128 kasus pertahun itu adalah angka 128 kasus perhari di Amerika serikat yang dengan tegas menolak qishash.
Ini realita. Dan ini juga fakta. Setelah semua uraian diatas masihkah kita ngotot dengan keyakinan kita bahwa Tuhan salah dalam menerapkan hukumnya bagi manusia. Atau kita masih berupaya untuk menjadikan Tuhan adalah saingan kita. Wallahu a’lam.
Samsul Pasaribu
*Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga Indonesia (Germasi)
Sumber: www.detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar