Kamis, 29 September 2011

Deradikalisasi Makna Jihad

Blogspot.com
Deradikalisasi Makna Jihad



Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Jihad adalah sesuatu yang amat mulia dan luhur. Jihad berasal dari akar kata jahada, berarti bersungguh-sungguh. Dari akar kata ini membentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).

Ketiga kata tersebut mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan. Jihad yang sebenarnya adalah jihad yang tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad dan mujahadah. 

Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar kepada orang yang tak berdosa, tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi, itu tindakan nekat atau sia-sia yang dilegitimasi dengan dalil agama. Bahkan, itu mungkin tindakan keonaran (al-fasad).

Jihad bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukannya menyengsarakan, apalagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. Sinergi antara jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah.

Jihad Rasulullah selalu berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan, ia selalu menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan. Jihad Rasul lebih mengedepankan pendekatan soft of power.

Ia lebih banyak menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan nonmiliteristis. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi. Bentrok fisik selalu menjadi alternatif terakhir. Itu pun dilakukan sebatas untuk  pembelaan diri.

Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.

Kalau musuh sudah angkat tangan, apalagi kalau telah bersyahadat, tidak boleh lagi diganggu. Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, Usamah, lantaran Usamah membunuh seorang musuh yang terperangkap lalu mengucapkan syahadat.

Nabi bersabda, "Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum apa yang tak tampak (akidah)." Akhlakul karimah tidak pernah ia tinggalkan sekalipun di medan perang.

Kemuliaan jihad tak perlu diragukan. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk surga, bahkan kalau terpaksa, "Tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk surga," kata Rasulullah.

Namun, kekuatan ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik. Nabi secara arif pernah menyatakan, "Goresan tinta pena ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada."

Demikian pula dengan kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan pernyataan seusai peperangan hebat, "Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu." Menaklukkan hawa nafsu bagian dari fungsi mujahadah.

www.republika.co.id

Metode Hisab Dapat Satukan Kalender Hijriyah Internasional
























 Ketua Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menyatakan, dengan banyaknya metode yang ada dalam penentuan awal bulan Hijriyah, Muhammadiyah sampai saat ini masih konsisten dalam menggunakan metode hisab wujudul hilal yang memang sudah lama dipegang Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Hijriyah.

Menurut Syamsul Anwar pada acara Konsolidasi Nasional Muhammadiyah, penggunaan metode hisab wujudul hilal sudah tepat, karena hanya dengan metode tersebut, penyatuan kalender Hijriyah secara Internasional dapat dilakukan.

“Penggunaan metode rukyat pada akhirnya membelah dunia menjadi dua wilayah waktu, dan tidak dapat dilakukan pada wilayah dunia bagian utara atau selatan, yang selama enam bulan matahari dapat bersinar tanpa henti,” jelasnya, Rabu (28/09).

Penggunaan metode hisab imkanur rukyat yang ditawarkan pemerintah, menurut Syamsul, banyak memiliki kelemahan. Di antara kelemahan tersebut adalah kebimbangan dalam memutuskan ketika ada kesaksian bahwa hilal dapat disaksikan ketika di bawah 2 derajat, dan sebaliknya apabila dalam situasi ketinggian hilal sudah dua derajat atau lebih, tapi tidak satu pun saksi yang dapat melihat, hal tersebut dapat menjadi masalah.

Apabila menggunakan metode penentuan awal bulan Hijriyah yang ditawarkan pemerintah, maka dalam 18 tahun mendatang untuk Idul Adha, akan terjadi 10 kali perbedaan dengan Arab Saudi. “Akan lebih banyak perbedaan lagi dalam penetapan Idul Adha dengan Arab Saudi selama 18 tahun mendatang, yakni 14 kali apabila menggunakan metode imkanur rukyat 4 derajat yang ditawarkan Thomas Djamaluddin,” jelasnya.

Sedangkan dengan metode hisab wujudul hilal yang diterapkan Muhammadiyah, kemungkinan perbedaan selama 18 tahun mendatang mengenai penetapan Idul Adha dengan Arab Saudi adalah empat kali, sehingga lebih mendekati .

Sumber: www.hidayatullah.com

Demokrasi dan Islam


1317266548743755014


Selama ini kita ribut-ribut dengan sistem demokrasi. Ada yang mengatakan demokarasi itu haram. Ada yang mangatakan boleh-boleh saja. Ada yang ingin golput karena muak melihat wakil rakyat yang ada. Dan berbagai macam centang-perenang lainnya. Kali ini saya coba membahas apa itu demokrasi dan hubungannya dengan Islam. Karena saya bukan ahli politik, maka mohon maaf sajalah kalau ada bagian-bagian artikel di bawah ini yang tidak akurat atau salah.


Pembagian Demokrasi

Yang pertama adalah rakyat langsung mengatur urusan mereka beramai-ramai dalam hal menentukan dasar dan kebijakan pemerintah tanpa adanya perantara yang berbentuk wakil-wakil rakyat. Ini disebut dengan demokrasi langsung. Cara ini pernah berlaku di zaman purba dulu yaitu di kota Athen dan juga pernah terjadi di beberapa daerah di Switzerland. Akhirnya cara ini ditelan sejarah, karena cara ini sangat susah direalisasikan ke dunia nyata.

Cara kedua disebut demokrasi perwakilan, dimana rakyat memilih wakil-wakil mereka dan selanjutnya wakil-wakil tersebut akan membentuk pemerintahan. Rakyat diberi hak untuk mengawasi melalui media yang bebas dan akan melakukan penilaian dalam dalam tempo tertentu melalui pemilihan umum. Pada zaman modern ini, pemilihan bisa dibuat melalui berbagai macam partai politik. Setiap partai memiliki ideologi yang menjadi dasar perjuangannya, program politik, ekonomi, pendidikan, dan berbagai agenda masyarakat. Rakyat bisa menukar para wakil rakyat itu melalui pemilihan umum. Oleh karena itu partai atau calon wakil rakyat tersebut diberikan peluang untuk dinilai oleh rakyat dan mereka juga berhak membela diri melalui kampanye yang dibenarkan.

Cara ketiga adalah dengan menggabungkan demokrasi langsung dan tidak langsung. Contoh demokrasi langsung, rakyat memilih wakil mereka melalui pemilihan umum. Sedangkan dalam demokrasi tidak langsung, rakyat akan diikutsertakan di dalam pemungutan suara untuk menyatakan persetujuan terhadap sebuah masalah tertentu.


Partisipasi Rakyat

Demokrasi yang ada di negara barat sekarang ini sebenarnya sudah tidak asli lagi. Banyak terjadi perubahan yang disebabkan kelemahan pemerintah ataupun kelemahan rakyat. Pemilihan umum adalah tonggak demokrasi, yang tanpanya demokrasi tidak ada artinya. Pemilihan umum adalah cara untuk memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk menentukan wakil-wakil atau pemimpin mereka. Pemilihan umum diadakan untuk mengatasi kesukaran dalam melaksanakan hak rakyat secara langsung.

Bagaimana fenomena golongan putih (golput – orang-orang yang memboikot pemilu) menurut kacamata demokarsi? Ada beberapa pendapat atau mazhab dalam hal ini. Yang pertama adalah yang mengatakan pemilihan menjadi hak bagi setiap rakyat yang menjadi warga-negara. Rakyat tidak wajib mengikuti pemilihan tersebut, bahkan boleh memboikotnya kalau perlu. Pendapat ini didukung oleh sebagian kecil tokoh-tokoh revolosi Prancis seperti Rouseau, Robespierre dan Petion. Kelompok kedua adalah yang berpendapat bahwa pemilu itu menjadi tugas dan tanggungjawab rakyat. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ketika Revolusi Prancis terjadi. Dampaknya adalah pemilu menjadi kewajiban yang dipaksakan. Negara seperti Australia menganut mazhab ini, sehingga warganegaranya yang tidak mengikuti pemilu akan mendapatkan hukuman penjara. Sedangkan pendapat terakhir adalah yang menggabungkan kedua pendapat di atas, yaitu pemilu menjadi hak dan kewajiban rakyat. Diakibatkan perbedaan-perbedaan pendapat di ataslah menyebabkan terdapat perbedaan dalam cara-cara pemilu di negara-negara barat.

Walaupun prinsip demokrasi menyatakan kekuasaan ditangan rakyat, ternyata ada juga syarat-syarat yang dikenakan sehingga tidak semua rakyat bisa mengikuti pemilu. Ada yang mensyaratkan si pimilih memiliki keuangan yang stabil yang dapat dilihat dari kemampuannya membayar pajak. Syarat ini akhirnya menyekat golongan buruh, rakyat miskin, dll, dari menyuarakan hak mereka. Ada juga yang mesyaratkan supaya rakyat yang berhak memilih bebas dari buta huruf. Cara seperti ini akan menghalangi orang-orang buta huruf dari golongan tertentu untuk mengikuti pemilu. Contohnya apa yang terjadi di beberapa wilayah selatan Amerika, dimana mayoritas yang buta huruf adalah dari kaum kulit hitam. Perkembangan terakhir adalah dengan tidak memberi syarat apapun untuk mengikuti pemilu kecuali batasan umur, tidak gila, dll. Kaum wanita juga mulai diberikan hak bersuara sejak tahun 1869.

Bagaimana cara menetapkan kemenangan calon-calon yang dipilih melalui pemilu? Ada dua sistem pemilihan dalam hal ini. Yang pertama adalah berdasarkan suara mayoritas. Inipun masih terbagi atas dua pendapat. Berdasarkan pendapat pertama, seorang calon dipastikan menang walaupun hanya menang satu suara saja. Pendapat lain mengatakan seorang calon harus menang secara mutlak yaitu mendapat suara lebih dari 50%. Cara ini memungkinkan sebuah partai politik bisa memiliki kursi yang banyak dengan suara pemilih yang lebih sedikit. Apabila ini terjadi maka pemerintahan yang terbentuk tidak mewakili mayoritas rakyat. Cara ini masih dilakukan oleh Britain dan bekas-bekas negara jajahannya. Sistem pemilihan yang kedua adalah dengan membolehkan sebuah partai mengajukan beberapa wakil untuk suatu wilayah pemilihan. Jumlah wakil yang dibolehkan adalah berdasarkan prosentase suara yang didapat. Dengan demikian partai yang mendulang suara yang banyak akan memiliki jumlah wakil yang ramai untuk suatu daerah pemilihan. Cara kedua ini dianggap lebih mewakili rakyat secara keseluruhan. Switzerland dan Jerman adalah sebagian negara yang memilih cara kedua.


Sikap Umat Islam Terhadap Demokrasi Barat

Golongan pertama adalah golongan yang menerimanya mentah-mentah karena dipengaruhi pemikiran sekuler. Mereka dengan tegas mengatakan politik tidak ada hubungannya dengan Islam, dengan sendirinya demokrasi juga tidak ada hubungannya dengan Islam. Mereka menegaskan umat Islam boleh menganut ideologi dan teori ciptaan manusia apa saja dalam urusan politik. Demokrasi barat yang mereka laksanakan itu, memberi ruang seluas-luasnya kepada ideologi selain Islam di dalam masyarakat. Golongan ini tidak menentang Islam secara terus-terang. Kalau ada ajaran Islam yang mengukuhkan kekuasaan mereka, mereka akan memberi tempat. Selain itu, pelaksanaan Islam dikontrol dengan ketat oleh pihak berkuasa. Mereka akan melontarkan berbagai macam tuduhan kepada gerakan-gerakan Islam. Apabila ada partai-partai Islam yang memenangkan pemilu, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkannya kembali, walaupun untuk keperluan itu mereka harus melanggar hukum yang mereka ciptakan sendiri.

Golongan kedua adalah golongan yang menolak demokrasi tanpa pandang bulu. Mereka menganggap demokrasi barat tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menganggap pelaksanaan demokrasi sebagai bidaah dhalalah, syirik dan bergelumang dengan kemungkaran. Ada sebagian kelompok yang menggunakan kekerasan tanpa menggunakan hukum fikih jihad, sehingga menyebabkan kebigungan terhadap ajaran Islam. Ada juga kelompok yang cukup dengan berdakwah saja sambil menunggu negara syariah Islam datang dengan sendirinya.

Golongan ketiga adalah golongan yang menerima demokrasi secara prinsip dan konsep, akan tetapi tetap menolak segala yang tidak baik dari demokrasi tersebut. Mereka menganggap demokrasi banyak persamaan dengan Islam dan boleh dilakukan perrubahan atau perbaikan untuk menyesuaikan dengan Islam.


Perbedaan

Demokrasi Barat mengklaim bahwa mereka memberi kekuasaan mutlak kepada rakyat sehingga muncul slogan “Suara rakyat adalah suara tuhan”. Slogan ini ternyata tidak sepenuhnya benar, karena kerumitan kalau bisa dibilang hampir tidak mungkin dalam melaksanakan demokrasi secara langsung. Lebih tepatnya demokrasi langsung ini tidak praktikal. Dikatakan tidak praktikal karena sangat susah untuk mengumpulkan rakyat serta adanya kemampuan yang berbeda dari segi ilmu dan pikiran. Malahan ada juga rakyat yang mudah dipengaruhi dengan korupsi, ancaman, penipuan bahkan ditolak haknya mengikuti pemilu. Karena kelemahan-kelemahan inilah demokrasi barat terpaksa mengadopsi demokrasi tidak langsung yaitu dengan memilih wakil-wakil dari kalangan rakyat.

Islam sejak awal tidak memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi yang ada adalah pemerintahan rakyat yang bermaksud rakyat berhak ikut serta dalam urusan pemerintahan dengan cara memberikan amanah kepada pemimpin yang dinamakan Ulil Amri. Dalam hal ini rakyat memiliki ketaatan yang tidak mutlak terhadap pemimpin dan memiliki hak bersuara yang dinamakan nasihat, amar ma’ruf dan nahi munkar. Ulil Amri bertugas untuk mengendalikan urusan pemerintahan. Sedangkan dalam urusan menyelesaikan masalah dan membuat keputusan, maka dibentuklah sebuah kelompok yang bernama A hlul Hal wal Aqdi atau lebih populer dengan sebutan majlis syura. Syarat menjadi anggota majlis syura adalah memiliki pengaruh serta dihormati karena ilmu dan akhlaknya.

Akan halnya sistem demokrasi barat yang menuntut adanya perwakilan, Islam menerima demokrasi yang memberi hak dan peranan kepada rakyat dengan moral yang tinggi. Islam menjadikan peranan wakil mereka suatu amanah yang paling besar di sisi Allah dalam kehidupan dunia dan akan dibicarakan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang calon wakil rakyat hendaklah memiliki syarat-syarat yang ditetapkan, diantaranya iman akhlak, ilmu dan pengalaman. Pemilihan wakil rakyat ini hendaklah bersih dari menipu, korupsi, ancaman dan sifat-sifat buruk lainnya. Dengan demikian wakil rakyat ini ketika membuat keputusan selalu berdasarkan al’Quran, as-Sunnah dan ijtihad para ulama. Dengan kata lain sistem demokrasi seperti ini tetap menempatkan kekuasaan Allah sebagai kekuasaan tertinggi.


Demokrasi Di Negara Islam

Salah satu penyebab kenapa demokrasi dikatakan haram oleh sebagain ulama adalah pada umumnya demokrasi yang dilaksanakan di kebanyakan negara Islam memberi kesan yang tidak baik kepada pelaksanaan ajaran Islam. Ini dikarenakan demokrasi yang dilaksanakan tersebut telah menyeleweng dari ajaran Islam dan juga dari demokrasi yang sebenarnya. Ini adalah hasil dari pemisahan politik dan ajaran Islam.

Pihak pemerintah di negera-negara Islam memodifikasi demokrasi itu sendiri untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam waktu yang lama.Pemilihan umum diadakan dalam suasana tidak ada kebebasan media untuk membuka pikiran masyarakat. Terkadang hanya satu partai saja yang boleh memerintah dan partai yang sedang berkuasa sekarang mengunakan segala cara untuk mempertahankan kedudukan mereka. Akibatnya partai oposisi selamanya menjadi partai oposisi.

Di sebagian negara, ada partai Islam yang diizinkan untuk berdiri tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu juga. Ini untuk menghalangi mereka untuk menjadi pemenang dalam pemilu. Kalaupun mereka menang delam pemilu, mereka akan dijatuhkan juga dengan berbagai cara walaupun melanggar undang-undang dan hak asasi manusia.

Pada tahun 1955, Partai Islam Masyumi dan NU pernah memenangkan pemilu dengan 40% suara. Dr. Muhammad Nasir dijadikan perdana mentri, akan tetapi pada saat yang sama pemerintahannya ditumbangkan. Para pemimpinnya meringkuk di penjara, atau menajdi tahanan rumah di zaman Sukarno dan Suharto. Partai Islam Turki yang dipimpin oleh Prof. Najmuddin Arbakan juga berhasil membentuk pemerintahn di Turki, tapi kemudian ditumbangkan oleh tentara untuk mempertahankan ideologi sekular. Partai Islam Aljazair juga pernah mencapai kemenangan besar pada tahun 1991 melewatu dua pertiga suara.
Namun hasil pemilu tersebut dibatalkan oleh tentara dan kemudian Partai Islam FIS dilarang untuk hidup sedangkan pemimpin-pemimpinnya dimasukkan ke dalam penjara. Di kebanyakan negara Arab pula, kebanyakan dibawah pemerintah berkuku besi entah itu dalam bentuk diktator atau kerajaan. Di Mesir, Ikhwan ikut pemilu tanpa menggunakan kenderaan partai. Di Palestina, partai Islam Hamas berhasil memenangi pemilu yang dipantau oleh pihak internasional. Walaupun begitu pihak barat dan Israel memboikot pemerintahan Hamas. Pemimpin-pemimpinnya ditahan, ekonominya juga diboikot, dan banyak lainnya.


Demokrasi Di Indonesia

Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental yaitu “one man one vote”, satu orang satu suara.  Tidak peduli apakah orangnya sama moralnya, ilmunya, kedudukan  maupun tingkat pendidikannya dsb.  Suara seorang ustadz disamakan dengan suara pelaku maksiat, orang kafir, munafik dsb. Suara seorang profesor sama bobotnya dengan suara orang yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga pernah ada yang mengusulkan agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak pilih) tidak cukup sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya minimal lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai sehingga dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.

Realitanya, Indonesia adalah negara republik yang menganut sistem demokrasi dengan pemilu sebagai cara untuk memilih pemimpin. Persis dengan bangsa Arab jahiliyah yang saat itu terlanjur kecanduan khamr. Prioritasnya, lebih baik negeri ini memiliki pemimpin daripada harus menganut sistem anarki (tanpa pemimpin) yang mafsadat (kerusakannya) jauh lebih parah. Lebih baik mengangkat pemimpin yang adil daripada yang kurang adil, atau lebih baik yang agak baik daripada yang tidak baik sama sekali. Singkat kata, “tiada rotan akar pun jadi”.

Sistem demokrasi sebenarnya tidak cocok dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat belum mengerti bagaimana menggunakan haknya untuk memilih pemimpin. Mereka tidak melihat dasar partai dan calon-calon wakil yang ditawarkan oleh partai tersebut. Mereka tidak melihat bagaimana kinerja wakil-wakil rakyat yang berasal dari partai tersebut. Apa yang mereka lihat adalah ketokohan pemimpin partai tersebut. Makin terkenal tokoh yang memimpin partai tersebut, makin besar kemungkinan partai itu menang, walaupun calon wakil rakyat yang ditawarkan tidak bermutu sama sekali. Akibatnya wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen tidak mampu melaksanakan tugas mereka dan hanya bertujuan mencari uang saja. Ujung-ujungnya masyarakat protes dengan cara golput. Padahal ini sebenarnya salah masyarakat juga karena membeli kucing dalam karung.

Keadaan lebih parah dialami oleh partai-partai Islam. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, tapi pemahaman agama mereka sangat rendah kalau tidak bisa disebut sekuler. Belum lagi media massa di Indonesia yang sering menjelek-jelekkan dan memfitnah gerakan Islam di Indonesia. Dengan kondisi ini tentu saja sangat berat bagi partai-partai Islam untuk mendulang suara mereka.

Dalam hal ini pula MUI sebenarnya telah berusaha untuk memberikan sebuah solusi dengan menciptakan episode-episode perubahan yang berawal dari “Wajib Memilih” pemimpin ideal. Episode selanjutnya mungkin DPR akan didominasi oleh para wakil rakyat yang faham agama –lantaran hasil pemilihan sebelumnya,– hingga secara lambat-laun syariat Islam dapat diterjemahkan dalam Undang-undang, demokrasi kian terkikis, dan ending-nya Daulah Islamiyyah pun akan kembali terlahir sebagaimana dulu pada masa Khulafa Rasyidin. Agak bermimpi memang, namun inilah harapan logis. Tapi terkadang kita sebagai “penonton” kurang sabaran dan maunya langsung menuju episode terakhir. Maunya langsung menuju lantai sepuluh, tanpa meniti dari lantai satu. Maunya instant dan simsalabim! Semuanya berubah tiba-tiba.

Untuk membuat hal diatas menjadi kenyataan diperlukan kerjasama di antara kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi Islam. Ada organisasi islam yang melakukan penetrasi ke pemerintahan dan parlemen dengan cara ikut serta dalam pemilu. Tujuan mereka bagus yaitu untuk menghalang ajaran agama Islam dikikis habis pelan-pelan melalui undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen. Bagi yang tidak mau terlibat dengan pemilu, jangan langsung mengkritik saudara-saudara kita yang terlibat dalam kepartaian.

Jangan menyesatkan, membid’ahkan atau mengkafirkan mereka. Apa yang perlu dilakukan adalah mengingatkan mereka apabila mereka mulai menyimpang dari rencana awal. Selain tugas tersebut, kelompok yang berada di luar pemerintahan dan parlemen, juga harus rajin berdakwah kepada rakyat. Tidak perlu dengan dakwah frontal dengan menyuruh mereka memilih partai-partai Islam, tapi cukup dengan cara membersihkan dan mempertingkatkan lagi pemahaman agama Islam mereka terutama masalah aqidah. Jadi dua cara ini harus dilakukan secara bersamaan.

Sumber Rujukan:
Islam dan Demokrasi oleh Abdul Hadi Awang
Dakwah antara Realitas dan Prioritas
oleh MS. Yusuf al-Amien
Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
oleh Tohir Bawazir



Ardi Syam

www.kompasiana.com


Rabu, 28 September 2011

Pemimpin dengan Kejujuran Cinta



Malam semakin pekat. Kota Madinah mulai hening dari hingar-bingar manusia. Sebagaimana biasanya, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu keluar berteman sepi. Bukan untuk mencari pencitraan diri. Bukan untuk mengais-ngais sensasi. Melainkan karena tanggung jawab dalam mengemban amanah ummat. Ia harus keluar untuk melihat kondisi rakyatnya. Mungkin saja, ada inspirasi yang bisa ia jadikan bahan untuk mengevaluasi kebijakan dan kepemimpinannya.

Saat melewati sebuah kemah, terdengar suara rintihan wanita. Umar radhiyallahu ‘anhu berjalan mendekat. Seorang lelaki sedang duduk di samping tenda. Setelah ditanya, lelaki itu mengaku berasal dari kampung, sedang istrinya di dalam tenda sedang berjuang menahan sakit, karena hendak melahirkan. Di situ, tidak ada manusia lain kecuali lelaki badui, istrinya dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.

Tanpa berpanjang kalam, Umar radhiyallahu ‘anhu segera beranjak pergi, pulang menemui istrinya. “Maukah kamu pahala besar yang sudah Allah giring kepadamu?” kata Umarradiallahu ‘anhu kepada istrinya Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha.

“Apa itu?” tanya istrinya.

“Ada seorang wanita asing hendak melahirkan. Dan di sana tidak ada seorangpun yang membantu.” jelas lelaki yang pertama kali digelari Amirul Mukminin itu.

“Ya, aku mau,” jawab Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anhamantap. Mereka berdua pun beranjak pergi, menuju sebuah perkemahan badui, sambil membawa makanan.

Sampai di tempat, Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha segera masuk tenda, menemui wanita badui yang hendak melahirkan. Sedang Umar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan kayu bakar dan memasak makanan. Tak ia pedulikan asap-asap yang menyelinap di sela-sela jenggotnya.

Lelaki badui itu hanya diam menatap Umar radhiyallahu ‘anhu dengan sorotan mata penuh heran. Seolah-olah Allah telah mengirimkan kepadanya seorang penolong malam itu. Dan ketika istrinya telah melahirkan, Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha berteriak memanggil Umar radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Amirul Mukminin, kabarkanlah kepada temanmu itu bahwa anaknya laki-laki.”

Lelaki itu tersentak kaget. Ternyata orang yang ada di depannya adalah Amirul Mukminin, seorang lelaki alumni “Madrasah Nabawiyah” yang namanya menggemparkan dunia. Umar segera menenangkan lelaki badui. Lalu memberikan makanan kepada Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha agar menyuapi wanita badui tersebut.

Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu mengambil makanan lagi dan diberikan kepada lelaki badui. “Makanlah, karena kamu sudah menahan kantuk semalaman.”

Begitulah Umar radhiyallahu ‘anhu melewati malam-malamnya. Mata selalu terjaga, demi kemakmuran rakyatnya. Sehingga banyak sekali kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang kemudian diubah, setelah mendapat inspirasi dari perjalanan malamnya. Mulai dari perubahan masa pengiriman pasukan perang, yang awalnya tanpa ada batas waktu dan berubah menjadi empat bulan. Kemudian pemberian santunan negara, yang awalnya hanya untuk bayi yang telah selesai masa penyusuan, lalu diganti menjadi diberikan kepada setiap bayi yang lahir. Dan masih banyak lagi.

Hal semisal itu hanya akan dilakukan oleh seorang pemimpin yang memahami makna dan hakekat kepemimpinan yang sesungguhnya. Bahwa memimpin itu adalah melayani. Memimpin itu adalah memberi. Memimpin itu adalah mencintai. Memimpin itu adalah berempati. Memimpin itu adalah mengayomi. Memimpin itu adalah melindungi. Memimpin itu adalah menyayangi. Dan memimpin itu adalah memberikan keteladanan yang baik kepada pengikutnya.

Dan selama hal ini tidak dimengerti dengan benar oleh para pemimpin lalu tidak diaplikasikan, maka selamanya kepemimpinan itu tidak jauh beda dengan perbudakan. Yang terjadi adalah eksploitasi-eksploitasi di atas pilar kedzaliman. Seperti tuan dan pesuruh. Seperti majikan dan pembantu. Karena tidak ada jembatan cinta yang menyatukan mereka.

Hari ini, banyak orang mengidentifikasi kepemimpinan dengan kekuasaan. Sehingga yang mereka lakukan adalah berlomba-lomba untuk mencapai puncak kepemimpinan, agar bisa mendapatkan kekuasaan. Lalu kekuasaan itu dijadikan sebagai alat untuk memimpin, demi mencapai tujuan dan ambisinya.

Kepemimpinan hanya diartikan dari satu sisi saja, MENGUASAI. Dengan menafikan sisi cinta, kasih sayang, perlindungan, pelayanan, pemberian, pengayoman serta empati kepada rakyat. Padahal pemimpin yang sesungguhnya justru bekerja dengan melayani. Itulah sejatinya yang harus dilakukan seorang pemimpin.
Pemimpin adalah pelayan. Sebagaimana layaknya pelayan, maka ia akan menikmati apapun setelah yang dilayani menikmatinya. Ia akan menyantap hidangan setelah rakyat menyantapnya. Karena ia harus “meladeni” rakyat dengan segala kebutuhannya.

Hakikat kepemimpinan itulah yang sangat dipahami oleh Umar radiallahu ‘anhu. Sehingga dia bersumpah, “Aku tidak akan makan daging sampai orang-orang faqir kenyang.”

Suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhudan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seorang pemimpin sepertimu terlihat sangat lesu dan pucat karena hanya makan roti kering. Kamu terlalu menyiksa diri. Padahal, dengan kekuasaan, kamu bisa meminta uang kepada kas negara (baitul mal).”

Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Bagaimana mungkin aku bisa menjadi pemimpin rakyat yang baik, bila aku tidak pernah merasakan derita yang mereka rasakan?”

Inilah bentuk cinta yang tulus seorang pemimpin kepada rakyatnya. Cinta sejati yang jauh dari kemunafikan. Cinta murni yang jauh dari kepentingan pribadi, keluarga, kelompok maupun golongan. Bersih dari polusi politisasi. Yang ada adalah kejujuran pengabdian kepada rakyat. Yang ada adalah ketulusan pelayanan kepada rakyat.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Seandainya ada domba yang mati di tepi sungai Eufrat, maka aku mengira bahwa Allah akan menanyakannya kepadaku pada hari kiamat, mengapa aku tidak memperbaiki jalannya.”

Rakyat ini sudah merindukan pemimpin yang bisa memesrai mereka di setiap saat. Rakyat butuh pemimpin yang bisa membimbing dan “me-ngemong” mereka. Rakyat mendambakan pemimpin yang jujur dan tulus dalam mencintai mereka.

www.eramuslim.com

FUI: Kasus Ambon Ditengarai Ditutup-Tutupi!

Antara/Izaac Mulyawan
FUI: Kasus Ambon Ditengarai Ditutup-Tutupi!
Sejumlah anggota TNI membersihkan puing di Kota Ambon, Senin (12/9). 
Situasi dan kondisi keamanan di Kota Ambon kini mulai kondusif setelah 
sebelumnya terjadi kericuhan antar warga. 


Selasa, 27 September 2011 13:57 WIB
Ahmed Widat, relawan Forum Umat Islam (FUI) menduga kasus kerusuhan Ambon (11/9) sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintah agar tak terlihat besar.

Ia yang berhasil masuk ke Ambon tanpa ada pemeriksaan khusus sejak Jumat (16/9) sampai Kamis (22/9), mengungkapkan sempat bertemu dengan pengungsi dan koordinator pengungsi yang juga aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ketika itu, banyak pengungsi yang tinggal di Masjid Al-Fatah, Masjid Jami' dan beberapa sekolah. Oleh pemerintah setempat, pengungsi ini disuruh kembali ke rumahnya masing-masing. "Hal ini disebabkan agar kasus ini tidak terlihat seperti kasus besar," katanya, Selasa (27/9).

Namun sampai saat ini, warga masih bertahan di pengungsian karena rumah yang terbakar belum direnovasi. Sebanyak 530 jiwa mengungsi di Masjid Jami', 330 jiwa di Masjid Al-Fatah, 1.382 mengungsi di SD 19, SD 30, SD 68 dan SD 69.

Sekretaris Jenderal FUI KH Muhammad Al-Khathtath menambahkan, pengungsi saat ini membutuhkan bahan bangunan untuk renovasi rumah, bahan pangan, pakaian dan obat-obatan. "Masyarakat juga membutuhkan sertifikat tanah. Pasca bentrok, biasanya banyak masyarakat yang akan menjual rumahnya dengan harga murah," ujarnya.

www.republika.co.id




Republika/Yogi Ardhi
SBY Bikin Bingung Anggota MUI
Cholil Ridwan

SBY Bikin Bingung Anggota MUI

Selasa, 27 September 2011 12:45 WIB
KH Cholil Ridwan, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengungkapkan keheranannya terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keheranan ini diungkapkan saat Forum Umat Islam (FUI) mengungkapkan hasil investigasi kerusuhan Ambon, di kantor MUI, Jakarta, Selasa (27/9).

"Kasus bom di Solo yang hanya satu korbannya, SBY langsung berkomentar. tapi kasus Ambon yang korbannya sampai ratusan, SBY tak memberikan suara,'' katanya.

Ia mengira kasus Ambon sengaja ditutup-tutupi agar tak kelihatan besar. "Di Solo, Presiden sudah memerintahkan untuk segera merenovasi lokasi. Tapi, tidak demikian di Ambon", ungkapnya.

Kerusuhan Ambon pada Ahad (11/9) menimbulkan kerusakan setidaknya 198 rumah. Sebanyak lima orang dilaporkan tewas, 43 korban luka tembak dan 62 luka berat.

Cholil juga mengira bahwa kerusuhan Ambon bukan hal yang kebetulan. "Bertepatan dengan peringatan 11 September,'' katanya.

FUI, yang diwakili oleh KH Muhammad Al Khaththah, membeberkan hasil investigasi kerusuhan Ambon. Mereka meminta agar MUI membuat tim investigasi khusus untuk menyelidiki kasus ini.


www.republika.co.id

Serangan 11 September, Renungan 10 Tahun yang Penuh Kebohongan

Kejadian di 11 September 2001 kiranya masih sangat segar membenak bagi warga dunia khususnya warga Amerika Serikat (AS), serangan yang konon telah mengubah pola dan orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap berbagai aktor serta unit analisis sekecil apapun yang mengancam masalah keamanan nasional AS.


Pola Kerja Yang Menyalahi Logika

Jika dicermati secara historis setidaknya pola klasik seperti ini (tanpa disadari) kerap dipakai berulang-ulang oleh AS dalam memuluskan berbagai kegiatan agresor luar negeri dalam upaya menjalankan national interest nya di berbagai belahan dunia, sebut saja keterlibatan AS di Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Perang Vietnam, yang jika diulas satu persatu keterlibatan AS dalam perang-perang besar ini sangat dipaksakan dan cenderung dengan unsur kesengajaan agar AS dapat terjun ke perang tersebut, dengan kata lain dalam pola ini AS berupaya memperoleh legitimasi publik AS untuk terjun ke dalam perang, salah satu cara adalah membuat kamuflase suatu peristiwa yang seakan-akan pihak musuhlah yang pertama menyerang atau cari gara-gara yang akan diikuti dengan serangan brutal AS ke pihak musuh yang sebelumnya (disengaja untuk) mencari gara-gara.

Sebutlah Perang Dunia Pertama, perang dengan hingar bingar jutaan nyawa melayang sia-sia di berbagai front tempur Eropa, yang secara substansi bukan merupakan perangnya AS, namun atas alasan keuntungan finansial yang akan dikeruk oleh jaringan bankir internasional yang berada di belakang layar pemerintahan atas perang tersebut, AS dipaksa untuk berkonfrontasi melawan pihak Jerman, namun masalahnya situasi dalam negeri sangat tidak mendukung agar AS terlibat dan banyak pihak yang mempertanyakan urgensi AS jika terlibat dalam perang ini. 

Dengan sebuah skenario yang diatur sedemikian rupa yang dalam film dokumenter World Economic Ruler dimana terdapat dokumentasi percakapan antara Colonel House penasehat Presiden Wilson dengan Sir Edward Grey Menteri Luar Negeri Inggris saat itu tentang bagaimana cara yang paling efektif untuk melibatkan AS dalam peperangan ini, hingga kemudian pada 7 Mei 1915 atas saran Sir Edward Grey diambil sebuah keputusan untuk mengirim dengan sengaja sebuah kapal penumpang bernama Lusitania ke perairan dalam kawasan perang yang dikuasai pihak Jerman, hasilnya berjalan dengan baik, seperti yang diharapkan kapal selam jenis U-Boat milik Jerman menembakkan torpedo kepada Lusitania, menenggelamkan kapal sekaligus membunuh 1200 penumpang kapal yang merupakan warga negara AS.
Seperti yang sebelumnya diperkirakan, gelombang emosi warga AS di seluruh negeri membuncah atas penyerangan ini, hanya tinggal memantik setitik api pada berton bensin untuk menggiring langsung AS ke dalam perang terbuka terhadap Jerman.

Sadar atas kekeliruan dan kesalahpahaman yang terjadi, Jerman kemudian memasang pengumuman di harian New York Times bahwa setiap kapal yang berlayar dalam sebuah medan laut pertempuran akan sangat rentan untuk diserang, termasuk Lusitania yang berlayar dari AS ke Inggris namun dengan teledor melewati area perang, namun alasan Jerman tersebut dianggap angin lalu dan kemudian AS melenggang ke Perang Dunia Pertama dengan dukungan penuh dari dalam negeri.

Kecenderungan yang sama juga terjadi dalam keterlibatan AS dalam Perang Dunia Kedua dan Perang Vietnam yang sebenarnya urgensitas AS dalam perang tersebut sangat dipertanyakan, namun akibat suatu insiden kemudian AS dengan percaya diri seakan mendapat legitimasi untuk masuk ke medan perang, seperti bagaimana provokasi taktis AS terhadap Jepang di Perang Dunia Kedua, hingga kemudian Jepang menyerang Pearl Harbour dan bagaimana AS masuk ke Vietnam dengan dalih para pejuang Vietnam Utara menyerang kapal Destroyer AS di Teluk Tonkin yang padahal penyerangan tersebut tidak pernah terjadi.
Pola seperti inilah yang kerap diulang-ulang diterapkan dalam kebijakan luar negeri AS, yang jika kita tilik lebih dalam sesungguhnya berbagai kebijakan dengan pola aneh yang merugikan AS sendiri sebagai suatu kesatuan tidak memberi keuntungan yang definitif bagi kepentingan nasional AS, melainkan bagi segelintir kelompok yang selama puluhan tahun berada di balik layar dalam menentukan arah sebuah boneka kuat dan besar bernama AS.
Hal inilah yang penulis coba untuk cermati, dalam kejadian serangan 11 September 2001 dimana kejadian yang kemudian mempopulerkan sebuah istilah mengerikan bernama Terorisme yang bahkan sampai saat ini oleh PBB belum dapat mendefinisikan istilah Terorisme secara harfiah. 

Kejadian yang kemudian oleh AS secara eksplisit dituduhkan kepada kelompok radikal Islam Al Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden, yang jika dicermati perang melawan terorisme saat ini mirip dengan perang-perang sebelumnya dengan pola yang sama dengan hasil yang sama yaitu memberikan AS akses penuh untuk menyerang negara, aktor atau unit yang dianggap membahayakan keamanannya.

Dengan kata lain serangan 11 September dijadikan sebagai insiden pemantik tak ubahnya insiden Lusitania, Pearl Harbour, dan Serangan terhadap Destroyer AS di Teluk Tonkin, yang dalam kasus serangan 11 September AS berusaha meyakinkan Dewan Keamanan PBB untuk merestui pentingnya sebuah perang terhadap kelompok teroris radikal yang mengancam keamanan dunia, yang dengan spesifik dituduhkan ke hidung kelompok Islam, sebuah konotasi menyakitkan bagi ratusan juta muslim di seluruh dunia, konotasi dengan ketakutan semu pada frasa Terorisme yang diciptakan oleh sebuah sistem tirani global. Hal sama yang di propagandakan AS di masa lalu untuk meraih dukungan dalam keikutsertaan AS dalam perang-perang sebelumnya.

Propaganda dari sebuah kebohongan yang bisa jadi merupakan kebohongan terbesar dalam sejarah peradaban manusia, mengenai bagaimana dengan busuknya pemerintah AS, media arus utama global menutupi serangkaian fakta yang berceceran mengenai pembuktian terbalik atas argumen populis yang menuduh bahwa runtuhnya menara kembar WTC disebabkan oleh tabrakan pesawat yang dibajak oleh kelompok ekstrimis islam. Serangkaian fakta yang mendeskripsikan 10 tahun serangan 11 September yang penuh dengan kebohongan.


Pembuktian Fakta Terbalik

Kompas.com edisi 23/09/11 yang dikutip dari Radio Netherland yang juga mengutip dari harian Spits Belanda menurunkan berita mengenai teori baru runtuhnya WTC, yang menyoroti mengenai kombinasi unsur antara aluminium dalam suhu pada pesawat dengan air yang keluar dari sistem penyiram kebakaran otomatis yang ditengarai bertanggung jawab dalam menimbulkan ledakan-ledakan besar yang di lihat oleh para saksi mata, sehingga mempercepat runtuhnya menara kembar. Sebuah teori yang secara nalar sangat lemah dan terkesan berupaya untuk menyangkal dan membela diri atas fakta-fakta yang lebih logis yang dipaparkan para pendukung teori yang menyatakan bahwa serangan pada menara kembar WTC telah diskenario dan di bom dari dalam hingga runtuh, bukan ditabrak. 

Aktivis di AS menyebutnya sebagai An Inside Job. Sebuah istilah yang mengarahkan tuduhan bahwa sebenarnya pemerintah AS sendirilah yang merencanakan, meledakkan serta mempropagandakan serangan menara kembar WTC. 

Tuduhan ini tentunya bukan tidak berdasar, sedikitnya terhampir hampir selusin fakta vital di lapangan yang seakan menolak jauh mengenai tuduhan bahwa tragedi WTC benar-benar dilakukan oleh kelompok ekstimis Islam.

Pertama, adalah mengenai argumen bahwa menara kembar WTC runtuh akibat tabrakan pesawat Boeing 757 yang telah dibajak oleh para teroris, namun kenyataannya oleh para saksi mata dan petugas pemadam kebakaran yang berhasil selamat mengatakan bahwa sebelum dan sesudah pesawat menabrak gedung, terdengar beberapa kali ledakan besar dari dalam gedung. Hal ini seakan mematahkan argumen dari tim komisi 9/11 yang dibentuk pemerintah untuk menyelidiki peristiwa ini menyatakan bahwa gedung WTC hancur akibat ledakan yang disebabkan oleh tabrakan dan penyebaran avtur pesawat, namun argumen ini ditolak oleh sekitar 1.600 arsitek dan insinyur profesional AS yang tergabung dalam Architect and Engineer For 911 Truth, kelompok arsitek ini yang kebanyakan anggota dari Institut Arsitek Amerika menolak teori bahwa avtur dapat melelehkan konstruksi bangunan menara WTC. Selain itu kelompok ini juga mencurigai adanya perubuhan terkontrol dengan bahan peledak yang menjadi penyebab runtuhnya menara 1, 2 hal ini sesuai dengan pernyataan saksi mata dan rekaman video yang memperlihatkan bola-bola api dan asap di gedung sebelum pesawat menabrak. 

Dan yang paling aneh adalah mengenai penyebab runtuhnya menara 7 yang sama sekali tidak ditabrak oleh pesawat, yang oleh komisi 9/11 dikarenakan efek angin runtuhnya menara 1 dan 2, sebuah argumen yang tidak dapat diterima logika ilmu pengetahuan, apalagi karena menara 7 terletak cukup jauh dari kedua menara yang telah rata dengan tanah.

Kedua, mengenai kegagalan sistem keamanan AS yang diduga sengaja di lemahkan dari dalam, sehingga tidak ada satupun peringatan yang keluar dari The North American Aerospace Defense Command (NORAD) sebagai badan yang bertanggung jawab atas keamanan udara pada serangan ini. Bahkan yang lebih mengejutkan seperti dilansir USA Today bahwa 2 tahun sebelum kejadian 11 September 2001 NORAD melakukan latihan dengan menggunakan pesawat penumpang sebagai senjata dan salah satu target sasarannya adalah gedung WTC, serta sebuah operasi yang diberi sandi Mascal pada Oktober 2000 yang mensimulasikan sebuah pesawat terbang yang menabrak Pentagon, serangkaian simulasi yang mencurigakan.
Ketiga, mengenai para pembajak yang oleh rilis FBI para pembajak berjumlah 19 orang berikut nama dan foto yang semuanya adalah warga Arab, namun dalam publikasi daftar penumpang pesawat yang dibajak tidak satu pun ditemukan penumpang dengan nama berbau Arab, selain itu dalam kurun waktu 6 bulan pasca rilis identitas para pembajak, terdapat 6 orang para pembajak yang ditemukan masih hidup dan melapor ke FBI atas dugaan terorisme yang dituduhkan pada mereka, dimana keenam orang tersebut sama sekali tidak dapat menerbangkan pesawat dan pada saat kejadian 11 September mereka berada di rumah masing-masing. Dan yang lebih mencengangkan bahwa diantara puing dan reruntuhan gedung WTC yang bahkan puing pesawat dan besi baja meleleh karena hangus tiba-tiba ditemukan sebuah paspor dari salah satu pembajak dengan kondisi bersih yang tergeletak di puing paling atas seakan-akan digeletakkan dengan begitu saja untuk memperkuat opini publik atas tudingan pemerintah. Yang sampai hari ini semua kekeliruan atas nama 19 orang nama pembajak masih belum direvisi dan juga tidak ada sedikitpun ditemukan hubungan antara 6 orang (jika benar adalah pembajak mustahil masih hidup) dengan serangan 1 September dan jaringan Al Qaeda.

Keempat, mengenai hubungan mesra antara keluarga Bush dengan Laden yang terangkum dalam hubungan bisnis, hal ini jelas menjadi kontradiksi dalam memandang rentetan peristiwa ini, salah satunya adalah mengenai perjalanan H.W Bush ke Arab Saudi pada tahun 1998 dan 2000 mengunjungi rekan bisnisnya keluarga Laden atas permintaan perusahaan yang bernama grup Carlyle, yang bahkan pada pagi hari 11 September 2011 H.W Bush bertemu dengan kakak Osama, Shafig bin Laden sebagai wakil dari grup Carlyle, sebagai catatan bahwa grup Carlyle adalah kontraktor alat-alat perang terbesar di dunia yang menuai keuntungan besar pada perang-perang pasca 11 September. Secara eksplisit bahkan tidak ada pernyataan langsung Osama bin Laden yang dituduh sebagai dalang dibalik serangan ini bahwa dia bertanggung jawab, kecuali sebuah video pengakuan Osama yang dijadikan satu-satunya bukti oleh pemerintah AS, namun video tersebut oleh banyak kalangan diragukan keabsahannya, karena ciri fisik Osama yang asli dalam foto berbeda jauh dengan Osama yang ada dalam rekaman. 

Kelima, Keenam, Ketujuh dan Kesekian fakta serta data lainnya yang dengan mudah dapat ditemukan dengan satu sentuhan di Internet, dimana semua fakta yang didapat jelas-jelas menolak teori umum yang telah berkembang selama 10 tahun terakhir atas penyebab serangan 11 September, yang semakin membuka pemahaman dari salah satu kebohongan terbesar sepanjang sejarah manusia.

Mengenai bagaimana pola dari salah satu metode keagresifan politik luar negeri AS berjalan, sebagai analogi negara AS ibarat sesosok boneka besar yang dikendalikan oleh segelintir kelompok demi tujuan dan agenda mereka, terlepas dari sentimen isu agama dan ras yang kerap didengung-dengungkan oleh berbagai kelompok atas fenomena ini, namun diatasnya berdiri tegak azas kemanusiaan, toleransi, kasih sayang, rahmat dari Allah sang pencipta alam semesta bahwa sebenarnya yang dihadapi oleh dunia saat ini bukan merupakan krisis ekonomi, bukan krisis energi, bukan krisis pangan, melainkan suatu krisis yang sangat mengerikan, yaitu krisis kesadaran.

Kesadaran yang meyadarkan bahwa wujud dari rezim tirani global itu memang ada, musuh bersama itu nyata adanya, bahkan di negeri kita sendiri, musuh yang saat ini dengan tenang menghabisi kita dengan tangan kita sendiri, mengkamuflasekan hasil pemikiran kita dengan apa yang kita dengar dan kita lihat, bukan dengan apa yang kita rasa, terutama di era dengan akses informasi tanpa batas seperti saat ini, yang menjadikan setiap informasi yang kita terima sangat bebas tanpa saring dan verifikasi, terutama oleh media arus utama yang secara global kerap dijadikan corong informasi dan pembentuk opini publik oleh segelintir kelompok ‘penguasa dunia’ dijadikan sebagai alat untuk memuluskan setiap agendanya.

Referensi :
Craig Unger, House of Bush, House of Saud The Secret Relationship Between the World’s Two Most Powerful Dynasties (Dinasti Bush – Dinasti Saud), 2008
Video Dokumenter Zeitgeist Part 2 : All The World’s A Stage
Video Dokumenter World Economic Ruler
http://en.wikipedia.org/wiki/September_11_attacks
http://en.wikipedia.org/wiki/9/11_conspiracy_theories
http://www.ae911truth.org
http://www.911sharethetruth.com/
http://truther.org/

Gelora Rajagukguk
www.kompasiana.com

Selasa, 27 September 2011

Pasal 33 UUD 1945 Dan Semangat Anti-Liberalisme Ekonomi

Ganyang Imperialis
Pada bulan September 1955, muncul perdebatan sengit antara Wilopo dan Widjoyo Nitisastro. Yang pertama adalah seorang negarawan nasionalis, sedangkan yang kedua adalah ekonom berhaluan liberal. Salah satu inti perdebatan mereka adalah azas ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945.

Menurut Wilopo, azas ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945 (pasal 38 UUDS 1950) adalah bertentangan (penentangan) terhadap liberalisme dan motif untuk mencari keuntungan pribadi. Bagi Wilopo, yang pernah menjabat Perdana Menteri antara tahun 1952-1953, penentangan terhadap liberalisme sesuai dengan latar-belakang revolusi Indonesia.

Sementara bagi Widjoyo Nitisastro, yang saat itu masih mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi UI, penafsiran terhadap azas ekonomi pasal 33 UUD tidak mesti menjadikan usaha swasta sebagai unsur ekonomi yang tidak sesuai. Meski begitu, pada tahun 1955 itu, Widjoyo Nitisastro masing mengakui perlunya negara dalam mengendalikan dan melaksanakan pembangunan ekonomi.

Empat puluha enam tahun kemudian, bertepatan dengan amandemen UUD 1945, kembali meletus perdebatan antara dua kubu ekonom dalam Tim Ahli Badan Pekerja (BP) MPR. Kubu pertama terdiri dari Mubyarto dan Dawam Rahardjo, sedangkan kubu lawannya terdiri dari lima ekonom, yaitu: Dr. Bambang Sudibyo, Dr. Syahrir, Dr.Sri Mulyani Indrasari, Didik J Rachbini, dan Dr. Sri Adiningsih.

Kubu Mubyarto kekeuh mempertahankan azas perekonomian yang berdasarkan kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945. Sedangkan kubu lawannya, yang kelak menjadi begawan-begawan neoliberal, berjuang mati-matian untuk menghapus istilah azas kekeluargaan itu.

Karena kalah dari segi imbangan kekuatan, yaitu 2 versus 5, guru besar UGM itu pun memilih untuk mengundurkan diri. “Mereka alergi seperti menyentuh penyakit kusta dengan istilah azas kekeluargaan,” kata Prof Budyarto.


Semangat UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dari dasar pembentukan negara Indonesia dan cita-cita mulai para founding father pada saat itu. Dalam bagian pembukaannya saja terdapat penegasan yang sangat kuat untuk menentang segala bentuk penjajahan (kolonialisme dan imperialisme).

Menurut Taufik Basari, seorang advokat dan penggiat HAM, semangat yang kuat untuk menentang penjajahan, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, juga diturunkan dalam pasal 33.

Dalam penjelasan yang asli, kata Taufik Basari, terkandung prinsip demokrasi ekonomi: produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan semua angota masyarakat. Karenanya, kemakmuran semua oranglah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

“Jika dihubungkan antara pembukaan, pasal 33 UUD 1945, lalu penjelasannya, maka ada isyarat sangat kuat untuk memperkuat kemandirian bangsa di bidang ekonomi,” kata mantan aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini saat diskusi bertajuk “Pasal 33 Di tengah Kepungan UU Pro-neoliberal”, Selasa (12/7) lalu.

Semangat anti-penjajahan pasal 33 juga ditangkap oleh Daryoko, Ketua Dewan Pembina Serikat Pekerja PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN).  Katanya, rumusan pasal 33 itu merupakan jalan untuk melikuidasi susunan ekonomi kolonialis.

Bahkan, kata Daryoko, pasal 33 UUD 1945 mengandung nilai-nilai sosialistik. Nilai sosialistik yang dimaksud Daryoko adalah bentuk kepemilikan negara untuk sektor-sektor ekonomi strategis dan aspek kemakmuran bersama.

Tetapi, menurut Aristides Katoppo, seorang tokoh pers Indonesia dan sekaligus pendiri Sinar Harapan, sekalipun semua menganggap bahwa tujuan pasal 33 itu adalah untuk kepentingan bersama, tetapi ada perbedaan cara pandang antara Bung Hatta dan golongan komunis.

Tetapi Tides– sapaan akrab Aristides–tidak merinci secara detail perbedaan itu. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan dunia, terutama setelah keruntuhan Soviet dan pergeseran Tiongkok menuju ekonomi pasar, maka perdebatan soal ideologi sudah tidak terlalu penting.

Karenanya, sehubungan dengan pasal 33 UUD 1945, Tides menganjurkan agar kita tidak perlu alergi dengan pasar, swasta, dan modal asing. “Itu kita anggap sarana saja. Tergantung dari siapa yang menggunakannya. Yang penting untuk kesejahteraan rakyat banyak,” ujarnya.

Akan tetapi, pasal 33 UUD 1945 memang tidak mengharamkan sama sekali peranan swasta. Dalam hal kepemilikan, misalnya, swasta atau usaha orang-perorang diperbolehkan terlibat pada cabang-cabang produksi yang tidak strategis dan tidak menyangkut hajat hidup orang banyak.

Hatta, saat menyampaikan pidato Hari Koperasi di tahun 1977, menjelaskan bahwa inisiatif swasta dibolehkan asalkan bekerja di bawah pemilikan pemerintah dan bidang dan syarat yang ditentukan oleh pemerintah. “Hanya perusahaan-perusahaan yang tidak mengusaia hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.”

Apa yang perlu ditegaskan di sini, sebagaimana juga bung Karno sering mengatakan, adalah soal demokrasi ekonomi dan kemakmuran rakyat banyak. 

(Ulfa Ilyas)
http://sudarjanto.multiply.com

Negara Bersumber Daya yang Tak Berdaya

http://static.inilah.com/data/berita/foto/237401.jpg

Indonesia adalah negeri ironi. Pertumbuhan ekonomi Papua selama semester pertama 2010 minus 14,9 persen, hanya karena produksi PT Freeport Indonesia turun. Pulau sebesar Papua bergantung pada satu perusahaan ekstraksi tambang; yang meski produksinya tidak turun sekalipun, tetap tidak membuat rakyat Papua menjadi sejahtera.


Dalam kasus lain, PT Perusahaan Listrik Negara gagal menekan biaya produksi dengan mengganti bahan bakar minyak ke gas karena terminal penerima gas alam cair terlambat dibangun.

Indonesia sangat beruntung memiliki sumber daya alam yang lengkap, mulai dari minyak, gas, hingga mineral dan batu bara. Seluruh potensi energi itu tidak hanya bisa mengumpulkan devisa, melainkan juga dapat menghasilkan efek bergulir yang menggerakkan roda perekonomian nasional.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah negara sudah memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat? Sebab, meskipun kontribusi sumber daya alam dalam pertumbuhan dan pendapatan per kapita sangat besar, banyak ketimpangan yang dirasakan masyarakat.

Jonathan Pincus, peneliti dari Harvard Kennedy School, menyebut Indonesia gagal memanfaatkan peluang yang terbuka dari globalisasi. Hal itu ditandai dengan ekspor Indonesia masih didominasi sumber daya alam dalam bentuk mentah, Indonesia tidak masuk dalam rantai produksi global, dan investasi asing terkonsentrasi pada sektor pengurasan sumber daya alam.

Ekspor produk manufaktur Indonesia periode 2003-2007 hanya tumbuh 6,4 persen, jauh ketinggalan dibandingkan dengan Malaysia yang tumbuh 7,9 persen atau bahkan Vietnam yang bisa tumbuh sampai 21,3 persen. Terjadi kenaikan tingkat pengurasan sumber daya alam secara sangat signifikan dalam kurun 2000-2007. Namun, hasil dari eksploitasi sumber daya alam itu tidak maksimal digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Kontribusi sektor primer yang mencakup pertanian, perikanan, pertambangan, dan kehutanan sangat dominan dalam menopang pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Bisa dikatakan, sektor ini merupakan modal awal dari pertumbuhan sebuah negara. Dengan hanya sedikit usaha eksplorasi, hasil-hasil sektor primer ini dalam jumlah besar bisa langsung menghasilkan uang hanya dengan dijual dalam bentuk mentah. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju didorong oleh sektor sekunder dan tersier, seperti industri manufaktur, perdagangan, dan perbankan.

Namun, sebesar apa pun potensi sumber daya alam yang dimiliki suatu negara, harus diingat bahwa ketiganya adalah sumber daya tidak terbarukan. Maka, negara-negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah seperti Indonesia pun harus menyiapkan sektor sekunder dan tersier sebagai penopang pertumbuhan. Hal ini yang sedang dilakukan negara-negara produsen migas di Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Dubai, yang sedang giat membangun industri properti, maskapai penerbangan, dan jasa keuangan.

Modal dan teknologi menjadi syarat utama untuk bisa naik dari negara berpendapatan rendah ke pendapatan tinggi. Sayangnya, sejak proyek Kilang Bontang berdiri tahun 1978, kita tidak berani mandiri dari sisi modal dan teknologi. Kita terus menggantungkan diri kepada pihak asing.

Indonesia, yang merupakan pionir industri gas alam cair, tidak memiliki satu pun fasilitas penerima gas alam. Akibatnya, setiap kali terjadi kelebihan produksi dari Kilang Bontang ataupun Arun, gas lebih banyak dijual ke luar. Bangsa lain yang menikmatinya. Kalaupun ada yang dialokasikan ke pabrik pupuk di Bontang, jumlahnya hanya sedikit karena subsidi untuk pupuk terbatas.

Konsep penguasaan sumber daya alam yang termaktub pada Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar, dalam praktiknya sudah sama dengan kepemilikan. Lihat kasus Proyek Gas Alam Tangguh atau Donggi Senoro. Pada Proyek LNG Tangguh, gas alam cair sebanyak 7,6 juta ton per tahun yang diproduksi BP dialokasikan untuk diekspor ke China, Amerika Serikat, dan Jepang. Adapun pada proyek Donggi Senoro, seluruh produksi gas alam sebanyak 2 juta ton per tahun diekspor ke Jepang.

Dalam proyek Tangguh, negara bahkan berperan aktif dengan membuka pasar gas ke China. Lobi bukan lagi ada di level bisnis, tetapi sudah antarpemerintah karena tak kurang Perdana Menteri Inggris Tony Blair sendiri yang berkirim surat ke Presiden Megawati. Inggris berkepentingan karena BP adalah perusahaan migas yang berbasis di negeri itu. Hasilnya, Indonesia kalah bersaing dengan penyuplai dari negara lain, gas dijual dengan harga murah untuk jangka waktu kontrak 20 tahun.

Dalam proyek Donggi Senoro, negara membiarkan PT Pertamina dan Medco menjual gas ke Jepang. Dari awal, cadangan gas yang berlokasi di Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, itu dinilai terlalu kecil dan tidak ekonomis untuk dikembangkan. Pemerintah membiarkan Pertamina dan Medco mencari pendanaan sendiri untuk bisa memonetisasi cadangan tersebut. Lagi-lagi Jepang yang memanfaatkan kesempatan, memberi pinjaman bunga rendah dengan imbal balik kepemilikan saham terbesar di proyek kilang dan membeli seluruh gas yang dihasilkan.

Kewajiban memasok ke dalam negeri sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Migas menjadi mandul karena pemerintah tak punya komitmen untuk melaksanakannya. Patokan sebesar-besarnya 25 persen yang disebut dalam undang-undang dan peraturan menteri menjadi jerat yang membatasi pemenuhan gas ke dalam negeri.

Komitmen memang menjadi titik krusial apabila kita mau menggunakan semaksimal mungkin potensi sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah setidaknya pernah menunjukkan komitmen itu ketika dalam negosiasi tahun 2006 dan berhasil melakukan pengurangan kontrak pengiriman gas ke Jepang mulai 2010.

Kita akan terus menjadi negara bersumber daya yang tak berdaya apabila pemerintah tidak mengubah paradigma menjual sumber daya alam dalam bentuk mentah hanya untuk mendapatkan devisa.

Doty Damayanti
(Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010)

Ironi Kehidupan Meno-Meno Pendulang Emas Liar di Timika, Papua


Di tangan para meno pendulang emas liar di Sungai Kabur, Timika, Papua, segepok fulus yang mereka dapatkan dari hasil memburu tailing PT Freeport Indonesia bisa ludes dalam sekejap. Bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi dibarter dengan alkohol dan seks. Sungguh ironis. Berikut laporan Amri Husniati, wartawati Jawa Pos, yang baru pulang dari kota tambang tersebut.

MATA Kelly, seorang "meno" (sebutan yang bermakna saudara untuk warga asli Papua, baik yang tinggal di pegunungan maupun pesisir), menatap lembaran-lembaran ratusan ribu rupiah dan lima puluhan ribu rupiah yang dihitung dengan cepat oleh Oken, pemilik Toko Emas Dita di Jl Ahmad Yani, Timika, Rabu sore (10/11).

Ketika fulus Rp 5,7 juta itu berpindah ke tangannya yang hitam legam, tanpa menghitung ulang, dia tinggalkan toko emas yang ditata alakadarnya tersebut dan diikuti seorang kawannya. Dua anak adam berambut kriwul-kriwul itu kemudian berlalu dengan sepeda motor hitam berpelat nomor DS 2465 MF.

Baru berjalan beberapa meter, motor yang ditumpangi dua pria dengan dandanan sepatu bots cokelat, celana pendek, dan menenteng handphone qwerty tersebut berhenti di sebuah toko, masih di ruas jalan yang sama. Tak sampai lima menit, mereka sudah keluar dari toko yang menyediakan aneka kebutuhan sehari-hari itu dengan menenteng tas kresek hitam.

Dari sela-sela pegangan tas plastik yang untuk menghancurkannya saja tak cukup puluhan tahun itu terlihat mencuat sejumlah kepala botol. Botol sirupkah" Atau botol kecapkah" Ah, tentu saja bukan. Si meno itu baru saja berbelanja anggur merah dan bir dengan lembaran rupiah dari hasilnya mendulang emas di Sungai Kabur di mil 38.

Dengan tentengan dua tas kresek hitam penuh minuman beralkohol di tangan kanan dan kiri itu, motor yang ditumpangi Kelly dan temannya melaju menuju arah Monumen Eme Neme. Mereka segera bisa mencecap surga duniawi lewat kenikmatan alkohol.

Mereka tak akan pulang semalaman untuk berkumpul bersama keluarga. "Meno, kalau punya uang, dia akan tidur di got. Tapi, kalau tak punya uang, dia akan tidur di rumah," ujar Firdaus Alma, pebisnis yang kenal dekat dengan etnis Kamoro maupun Amungme, suku asli di Timika, mengutip olok-olok khas Papua.

Aroma alkohol yang gencar menguar belum cukup bagi meno itu untuk menikmati hidup setelah berhari-hari berpacu dengan maut saat berburu emas di sungai nan keruh dengan aliran air sangat deras yang bisa menghanyutkannya setiap saat.

Dengan jutaan rupiah di saku, mereka bisa pergi ke Wisma Sopongiro, Wisma Ojolali, Wisma Srikandi, maupun wisma-wisma lain yang berderet di kilo 10 "sebutan tenar untuk lokalisasi di Timika. Atau, mereka cukup bertransaksi dengan PSK jalanan maupun pelajar-pelajar yang menjadi cewek cabutan.

Meno-meno berduit itu bisa pula mengumbar kegembiraan di diskotek yang mudah ditemui di ibu kota Mimika. "Di sekitar Eme Neme inilah salah satu tempat yang sering dijadikan transaksi dengan PSK," ujar Imam yang Rabu malam (10/11) itu menemani Jawa Pos berkeliling ibu kota kabupaten dengan APBD per tahun lebih dari Rp 1 triliun tersebut.

Lazimnya, para meno itu "turun gunung" pada Sabtu dan Minggu untuk menjual emas hasil mendulang. Tak heran jika pada akhir pekan transaksi unsur kimia bernomor atom 79 tersebut sangat marak. "Jalan Emas" "sebutan untuk Jalan Gorong-Gorong dan Jalan Bougenville yang dipenuhi puluhan toko emas" benar-benar panen. "Kalau akhir pekan, saya bisa beli sampai lebih dari 500 gram," ujar Oken.

Dari tangan meno pendulang emas, penghobi balap motor itu memberikan harga Rp 315 ribu hingga Rp 325 ribu per gram. Harga tersebut jauh lebih tinggi daripada harga yang dipatok para pengumpul yang jemput bola di area pendulangan emas yang pasang Rp 270 ribu per gram.

Oken tidak mau repot-repot melebur serbuk emas yang dibelinya itu menjadi perhiasan. "Lebih enak gini. Dijual lagi saja kepada pengumpul. Duit lebih cepat berputar," ujarnya.

Biasanya, para pengumpul emas membawa aurum murni keluar dari Timika. Ada yang ke Makassar hingga ke Jawa untuk dialihrupakan menjadi perhiasan. Barulah sebagian kecil dibawa kembali ke Timika.

Toh, meski berjuta-juta rupiah hasil transaksi emas membuat kantong meno pendulang jadi tebal, dalam hitungan sekejap, isi dompet mereka bisa ludes ditukar dengan kenikmatan alkohol dan seks.

Soal menenggak minuman keras, meno-meno memang jagonya. Jika sudah teler, mereka tak perlu pulang ke rumah. Tidur di selokan, jalanan, emperan toko, bahkan teras tempat ibadah merupakan pemandangan yang biasa di Timika. "Sepanjang tidak merusak atau bermasalah dengan orang lain, biasanya mereka dibiarkan saja," ungkap Topan, pria kelahiran Sangihe yang sudah lebih dari lima tahun berdinas di Timika.

Dengan berkelakar, Topan mengajak saya untuk membuktikan "asumsinya" bahwa gara-gara minuman alkohol itu tidak ada rumah warga asli yang kaca jendelanya utuh. Ketika Jawa Pos melakukan perjalanan ke Desa Tipuka dan Desa Ayuka di Distrik Mimika Timur Jauh, omongan Topan terbukti. Di setiap rumah orang Suku Kamoro, kaca jendelanya banyak yang pecah. Banyak yang ditambal sulam dengan tripleks.

"Itu terjadi karena, kalau sudah mabuk, orang sini sering merusak rumah sendiri," lanjut pria yang berpostur kekar dan berpotongan cepak tersebut.

Soal alkohol yang begitu merasuk dalam kehidupan meno-meno itu diakui Y. Imbiri, tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro. Bukan hanya pria dewasa yang menenggak alkohol. Mereka yang masih di bangku sekolah menengah pun tak ketinggalan.

Sampai-sampai, beasiswa pendidikan yang diberikan untuk pelajar dari suku asli di Timika itu kerap diselewengkan. Bukannya digunakan membeli buku, tapi malah ditukar dengan bir. "Aktivis-aktivis perempuan kerap bersuara untuk menekan peredaran miras," ujar alumnus Universitas Cenderawasih tersebut.

Namun, suara para penggiat kemanusiaan itu masih kalah lantang ditelan aroma alkohol yang menguar memenuhi udara Timika, terutama pada akhir pekan. Entah sampai kapan.

Sumber: www.globalmuslim.web.id



Pasal 33 UUD ’45: Konstitusi Kita Yang Terabaikan

http://isal.files.wordpress.com/2010/09/garuda.jpg

Beberapa waktu lalu, sekelompok tokoh agama ramai-ramai “menggoyang” istana. Para tokoh lintas akidah itu menuding Pemerintah kita telah melakukan “kebohongan”: satu kata yang dianggap terlalu kasar dan kemudian menjadi polemik.

Pemerintah kita dianggap tidak sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan rakyat, seperti yang kerap disampaikan dalam berbagai kesempatan. Pemerintah juga dianggap tidak serius menjalankan mandat konstitusi – bahkan mengabaikannya.

Saya tidak hendak membahas polemik tokoh agama versus Pemerintah yang sudah lewat itu. Namun, substansi masalah yang disampaikan oleh mereka itu tampaknya masih relevan – bahkan akan terus relevan – untuk kita kaji, terutama pengabaian terhadap amanat konstitusi.

Salah satu mandat yang terabaikan itu adalah Pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini merupakan salah satu prinsip mendasar bagaimana seharusnya sumberdaya perekonomian kita dikelola.


Production Sharing Contract (PSC)

PSC yang berlaku di dunia migas, menurut saya, adalah satu-satunya model pengelolaan sumberdaya alam yang paling “konstitusional”, khususnya PSC yang berlaku sebelum UU migas No 22 tahun 2001. PSC mengatur prinsip dasar bahwa kepemilikan sumberdaya migas ada di tangan negara (mineral right). Yang berhak menambang (mining right) juga negara, melalui perusahaan milik negara yang diberikan amanat oleh undang-undang.

Ada pun dalam pelaksanaannya, dengan mempertimbangkan kemampuan teknis dan finansial negara, boleh dikerjakan oleh kontraktor swasta, baik nasional maupun asing. Namun, kedua prinsip dasar di atas tetap berlaku. Kontraktor hanya berhak mengambil manfaat ekonomi (economic right) dari kegiatan penambangan migas itu, setelah berada pada titik penyerahan: titik dimana bagian migas negara dan bagian migas kontraktor dipisahkan.

Selama masih ada di perut bumi pertiwi, dan selama negara belum secara resmi memberikan bagian migas yang ditambang itu kepada kontraktor, selama itu pula kepemilikan sumberdaya migas tetap di tangan negara. Karena itu, meskipun kontraktor swasta yang mengebor dan mengangkut minyak atau gas dengan pipa, kendali managemen tetap di tangan Pertamina (dulu) atau BPMIGAS (kini).

Dengan sistem PSC, sumberdaya migas kita telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi pembangunan bangsa, meskipun sebagian kalangan menilai bahwa kita sebenarnya “tidak kaya” migas. Wajar, karena yang mereka jadikan pembanding adalah negara minyak di Timur Tengah sana.
Saat ini, sektor migas menyumbang sekitar 20% APBN – penyumbang terbesar ke dua setelah pajak. Di era 1970-an, bahkan migas menyumbang lebih dari 70% APBN.


Konsesi Tambang: Pengabaian Konstitusi yang Nyata

Lain ceritanya dengan sektor tambang umum, semisal emas, batubara, dan sebagainya. Secara prinsip, sumberdaya tambang umum adalah sama kedudukannya dengan sumberdaya migas di mata konstitusi. Namun, berbeda dengan tambang migas yang menggunakan sistem PSC, di dalam tambang umum masih menggunakan sistem konsesi: sistem yang berjalan sejak jaman kolonial dan hampir tanpa koreksi yang berarti.

Dalam sistem konsesi, kontraktor swasta, baik nasional maupun asing, memiliki hak atas mineral (mineral right), hak menambang (mining right) dan hak atas manfaat ekonomi (economic right) sekaligus.

Meskipun di dalamnya berlaku “pungutan negara” , sebagai bukti seolah-olah bahwa memang mineral yang ditambang itu milik negara. Di dalam industri tambang batubara, misalnya, negara hanya mendapatkan royalti 13,5%.  Untuk tambang emas, sesuai PP No 45 tahun 2003, negara hanya mendapatkan royalti 3,75%.

Namun yang perlu dicatat: pertama, emas atau batubaranya sendiri tetap diboyong oleh kontraktor, tanpa ada mekanime penyerahan dari negara sebagai pemilik sumberdaya itu sendiri; kedua, untuk tambang emas Freeport di Papua, negara hanya mendapatkan 1% royalti. Angka yang sangat mengenaskan.

Emas, batubara, dan juga migas, adalah sama-sama kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi pertiwi. Lalu, mengapa perlakuan mereka dibedakan? Mengapa Freeport sampai detik ini tetap memiliki, menambang dan mengambil manfaat ekonomi emas Papua, tanpa kontrol yang memadai dari negara dan hanya memberikan imbalan sedikit sekali? Bukankah konstitusi kita mendaulat bahwa emas itu milik negara?
Dari sisi ini, saya sependapat dengan para tokoh agama itu, bahwa Pemerintah kita telah “berbohong”: bohong terhadap konstitusi kita sendiri!

Sumber: http://casdiraku.wordpress.com

Pemerintah Wajib Audit Pertambangan Freeport



Pemerintah Wajib Audit Pertambangan Freeport
Suasana di Freeport Papua


Pengamat pertambangan, Marwan Batubara mendesak pemerintah melakukan pemeriksaan secara komprehensif terhadap wilayah pertambangan PT Freeport di Papua. Desakan ini menyusul dugaan Freeport melakukan penambangan urainum di lokasi pertambangannya. “Pemerintah harus tegas, harus mengirim tim yang mampu memeriksa secara menyeluruh dan komprehensif wilayah pertambangan Freeport,” kata Marwan, saat dihubungi, Sabtu (17/7).

Menurut Marwan, pemeriksaan yang dilakukan pemerintah harus disertai audit investigatif. Pemerintah diminta tidak percaya begitu saja sangkalan dari Freeport atas dugaan aktivitas penambangan uranium. Lemahnya posisi pemerintah saat ini, kata Marwan, juga lantaran tidak adanya wakil pemerintah di perusahaan berskala internasional tersebut.

Saham pemerintah yang tidak mencapai 10 persen di Freeport, lanjut Marwan, mengakibatkan pemerintah tidak memiliki wakil di perusahaan tersebut yang bisa mengawasi aktivitas pertambangan di Freeport. Selama beberapa puluh tahun, terang Marwan, Indonesia hanya mewakilkan beberapa komisaris independen dalam jajaran perusahaan Freeport. Baru tahun ini, kata Marwan, Indonesia menempatkan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Andi Mattalatta, sebagai salah satu komisaris di perusahaan Amerika Serikat tersebut. “Selama ini wakil kita cuma jadi komisaris independen yang tidak bisa berbuat banyak,” tegas Marwan.

 http://www.islamtimes.org/images/docs/000044/n00044688-b.jpg




Seperti diberitakan Republika hari ini, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) berencana mengirimkan tim untuk melakukan pemeriksaan uranium ke Papua. Namun, mereka tidak akan mengecek langsung ke pertambangan PT Freeport Indonesia. Pengiriman tim ini terkait dengan dugaan adanya penambangan uranium secara diam-diam di PT Freeport Indonesia.
 

Terkait Penambangan Uranium, Pemerintah Diminta Investigasi Freeport

Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha, meminta pemerintah untuk membentuk tim investigasi guna membuktikan sinyalemen penambangan uranium oleh PT Freeport. Selama tim investigasi itu bekerja, Freeport harus menghentikan kegiatan penambangan.

Pihak yang pertama kali menyebut ada penambangan uranium harus turut serta dalam tim itu. ''Kalau memang ada satu penambang atau penambang mineral menemukan mineral di luar daripada izin tambangnya, itu sudah kita anggap ilegal,'' kata Satya di Gedung DPR, Kamis (15/7).

Dia mengingatkan, Freeport hanya memegang izin penambangan bijih besi, emas, dan tembaga. Penambangan di luar bahan mineral  itu tidak diperbolehkan. ''Saya melihat kalau memang itu disinyalir bahwa ada kandungan uraniumnya, itu pelanggaran serius kalau Freeport tidak melaporkan kepada pemerintah,'' tegasnya.

Selain menyalahi izin penambangan, uranium jelas suatu bahan yang harus mendapat pengawasan karena bahan dasar nuklir. Oleh karenanya, Freeport perlu segera melakukan klarifikasi. ''Harus ada tim investigasi yang dibentuk Kementerian ESDM untuk menindaklanjuti bahwa sinyalemen itu ada atau tidak,'' cetus Satya.

Masalahnya bukan pada keberanian pemerintah semata, namun ini karena Freeport termasuk dalam industri strategis bangsa yang harus mengedepankan transparansi. ''Karena ini masih sinyalemen kita akan tanyakan pada pemerintah dan kita akan meminta kalau memang itu indikasinya kuat betul, sinyalemen itu bisa jadi indikasi kuat, kita akan meminta kepada pemerintah untuk membentuk tim investigasi,'' tandasnya.

 Sumber: www.republika.co.id

Sebuah IRONI Pertambangan Freeport



Pertambangan Freeport sudah tak asing bagi orang Indonesia, karena keberadaan Freeport di Indonesia sudah lebih dari empat dekade. Dalam periode penambangan di Papua, Freeport  kerap kali mendapat kritik terkait penerimaan Indonesia dari Freeport yang tidak berimbang, permasalahan lingkungan, serta konflik sosial yang sering terjadi di wilayah sekitar pertambangan. Tulisan ini bertujuan mengungkap fakta praktek pertambangan Freeport, kemudian menjadi refleksi bersama agar pemnafaatan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat terwujud.

Saat ini potensi tambang Freeport tersimpan di dua wilayah, yakni Erstberg dan Grasberg, Timikia. Kedua wilayah ini terutama menghasilkan tiga jenis mineral, yaitu tembaga, emas dan perak, disamping beberapa jenis mineral lain yang tidak tercatat resmi sebagai produk tambang. Potensi tambang telah dieksploitasi selama empat dekade mengikuti pola Kontrak Karya (KK) yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1967. Berdasarkan kajian atas data-data keuangan ditemukan bahwa penerimaan negara, termasuk penerimaan pemda Papua, dari tambang Freeport masih belum optimal. Faktanya, dari tahun ke tahun penerimaan negara selalu lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh Freeport dan rakyat di sekitar tambang masih banyak yang hidup miskin.


Potensi Ertsberg dan Grasberg 

Pada tahun 1936, sebuah tim yang dipimpin geolog Belanda, Jean-Jacques Dozy, melakukan ekspedisi ke tanah Papua. Tim Dozy sampai ke puncak pegunungan, dimana dijumpai adanya singkapan batuan yang ditengarai mengandung mineral berharga. Penemuan lokasi itu kemudian mengantarkannya ke “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden, Belanda tahun 1939.  Laporan ini mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua. Keduanya meyakini dan belakangan terbukti bahwa cadangan mineral Ertsberg menjadi cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada saat itu.

Analisis laboratorium menunjukkan terdapat kandungan tembaga sebesar “13 acres”, suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Dari informasi yang kami kumpulkan diperoleh bahwa potensi kandungan mineral Ertsberg mencapai 50 juta ton bijih mineral. Dinas Pertambangan Papua menyebutkan cadangan Ertsberg sebanyak 35 juta ton, dengan kadar Cu 2,5%. Jika diasumsikan harga rata-rata tembaga dan emas selama sekitar 20 tahun periode penambangan di Ertsberg  masing-masing US$ 2000/ton dan  US$ 200/ons, maka pendapatan yang dapat diraih dari potensi mineral tambang Ertsbegr adalah (35 juta ton x 2000 US$ /ton + 15 juta ons x US$ 200/ons) =  US$ 100 miliar. Dari potensi US$ 100 miliar ini, tidak diketahui secara akurat berapa pendapatan yang telah diterima negara.

Terlepas dari nilai US$ 100 miliar sebagai potensi pendapatan di atas, kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari Ertsberg. Dalam perencanaan dan kesepakatan awal sesuai KK, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang hanya akan memproduksi tembaga. Ternyata tambang Ertsberg juga menghasilkan emas sebagai by product. Namun tidak diketahui berapa besar emas yang telah dihasilkan, dan berapa pendapatan Freeport dari produk emas sebagai by product ini. Pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat secara seksama. Disamping itu, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang, Spanyol maupun di Amerika.


Disamping tembaga sebagai produk utama, sejak semula Freeport memang telah menghasilkan emas dan perak, tetapi hal ini tampaknya tidak dideklarasikan. Selain itu, selama periode penambangan wilayah Ertsberg, Freeport adalah perusahaan tertutup, sehingga berbagai aspek finansial perusahaan dapat saja tersembunyi dari akses pemerintah dan publik. Dengan demikian, penerimaan negara dari Ertsberg menjadi tidak optimal. Namun disisi lain, Freeport telah menjelma menjadi perusahaan tambang raksasa kelas dunia (menambang di Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika Selatan dan Indonesia), yang saat ini mempunyai total aset sekitar US$ 26 miliar (www.fcx.com).

Setelah menambang di Ertsberg hingga akhir tahun 1980-an, Freeport berpindah menambang di Grasberg, sesuai KK (KK Generasi V) yang ditandangani pada tahun 1991. Penambangan di Grasberg dilakukan secara terbuka (lubang terbuka, open pit) dan juga melalui deep ore zone (DOZ), penambangan gua blok bawah tanah (underground block cave). Penambangan open pit mengahasilkan biji sekitar 57 juta metrik ton pada tahun 2009 dan akan berlangsung hingga 2016. Sedangkan DOZ pada tahun 2009 menghasilkan biji mineral sekitar 26 juta metrik ton dan akan berlangsung hingga tahun 2020. Total produksi Freeport dari Grasberg pada tahun 2009 adalah 1,4 miliar pound tembaga dan 2,6 juta ounces emas.

Berdasarkan laporan keuangan Freeport tahun 2009, disebutkan bahwa cadangan emas, tembaga dan perak tambang Grasberg masing-masing sebesar 38,5 juta ons, 56,6 miliar pound dan  180,8 juta ons. Dengan harga rata-rata harga emas, tembaga dan perak selama periode penambangan diasumsikan masing-masing sebesar US$ 1000/ons, US$ 3,5/pound dan US$ 0,96/ons, maka total potensi yang dapat diperoleh dari tambang Grasberg adalah sekitar (38,5 juta ons x US$ 1000/ons + 56,6 miliar pound x US$ 3,5/pound + 180,8 juta ons x US$ 0,96/ons = US$ 236,77 miliar (sekitar Rp 2200 triliun!). Kita sangat yakin akan diperolehnya pendapatan tambahan karena konsentrat yang dihasilkan juga mengandung sejumlah mineral lain seperti cobalt, seng,  platina, dsb.


Aspek Kontraktual

Freeport (PT Freeport Indonesia, PTFI) memperoleh kesempatan menambang di Papua sesuai Kontrak Karya (KK Generasi I) yang ditandatangani pada tahun 1967. KK memuat sejumlah ketentuan seperti yang tercantum dalam UU No.11/1967 tentang PMA, antara lain kesepakatan menyangkut pajak, pengawasan, repatriasi, royalti, dsb. KK juga berisi ketentuan bahwa Indonesia tidak akan menasionalisasi Freeport dan setiap perselisihan akan diselesaikan melalui arbitrase internasional. Berdasarkan KK I tahun 1967 ini, Freport memperoleh konsesi penambangan di lokasi yang disebut “Blok A” yang mencakup wilayah Ertsberg dan Grasberg, dengan luas sekitar  24,700 hektar.

Pada tahun 1991 pemerintah menandatangani KK baru (Generasi V) dengan Freeport, yang antara lain berisi kesepakatan perpanjangan kontrak (“2 x 10 tahun”) dari tahun 2021 menjadi tahun 2041, dan perluasan wilayah penambangan dari “Blok A” menjadi “Blok A dan Blok B”. Dalam KK V tahun 1991 ini ditetapkan bahwa tambahan luas wilayah tambang yang diperoleh Freeport (Blok B) adalah 6,5 juta hektar! Di Blok B, Freeport telah mulai melakukan kegiatan eksplorasi dalam kawasan seluas 500.000 hektar. Patut dicatat bahwa dalam KK V tahun 1991 ini tercantum ketentuan bahwa perpanjangan kontrak “2×10 tahun” akan efektif jika telah mendapat persetujuan (approval) dari pemerintah Indonesia.

KK I menetapkan bahwa besarnya royalti tembaga yang harus dibayar adalah 1,5% (dari pendapatan bersih, net revenue) jika harga tembaga US$1,1/pound. Sedang royalti emas adalah 1% dari pendapatan bersih. Pada tahun 1998 disepakati royalti tembaga naik menjadi 2 kali lipat (3% & 7%) dan royalti emas menjadi 3 kali lipat (3%), jika fasilitas milling Freeport beroperasi melebihi 200.000 metrik ton/hari. Tambahan royalti tersebut terutama diperuntukkan bagi pendapatan pemerintah dan rakyat Papua.


Penerimaan Negara

Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan yang kontinu, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994, 1,52 juta ton pada tahun 1995 dan 2,8 juta ton pada tahun 2009. Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport.

Selain tembaga, emas merupakan salah satu produk utama Freeport. Hal ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi emas dan perak dalam bahan galian/deposit yang ditemukan. Sejak menemukan deposit emas terbesar di dunia, Freeport berubah menjadi tambang emas raksasa skala dunia. Berdasarkan Annual Report of Freeport McMoran to Security Exchange Commision (form 10-K) 2009 produksi emas FCX/Freeport di Indonesia untuk tahun 2007, 2008 dan 2009 masing-masing 2,185 juta ons, 1,182 juta ons dan 2,543 juta ons. Perlu dicactat bahwa 99% emas yang diproduksi FCX secara internasional berasal dari tambang Grasberg. Sedang total aset PTFI pada akhir tahun 2009 adalah US$ 2,7 miliar.


Tabel 1. Produksi dan Pendapatan PT FI dan Penerimaan Indonesia

Thn. Produksi Pndapatan (juta US$) Gross Profit (juta US$) Pajak (US$) Royalti (US$)
Emas (ribu ons) Tembaga (juta pon)
2004 1.456,2 996,5 1.980 804 266,4 43,5
2005 2.789,4 1.455,9 4.012 2.380 781 103,7
2006 1.732 1.201 4.883 2.929 950 126
2007 2.198 1.151 5.315 3.234 1.326 133
2008 1.163 1.094 3.703 1.415 612 113
Total 7.280, 6
17.893 10.762 3935,4 475.7


Selama berpuluh tahun menambang Freeport telah memperoleh keuntungan finasial yang sangat besar dari Ertsberg dan Grasberg. Keuntungan yang diperoleh Freeport setiap tahun senantiasa lebih besar dari kewajiban pajak dan royalti yang dibayarkan kepada negara RI. Hal ini juga tak lepas dari rendahnya saham yang dimiliki pemerintah di Freeport sehingga deviden yang diterima setiap tahun juga kecil. Namun kerugian pihak Indonesia juga disebabkan karena tidak ikut mengelola perusahaan, sehingga kehilangan  kesempatan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari belanja-belanja operasional dan kapital Freeport setiap tahun.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa setiap tahun keuntungan Freeport jauh lebih tinggi dibanding penerimaan Indonesia sebagai pemilik sumberdaya alam. Total keuntungan Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2004-2008 adalah US$ 10,762 miliar sedangkan total penerimaan negara dari pajak dan royalti hanya US$ 4,411 miliar. Berdasarkan laporan keuangan tahun 2008, total pendapatan Freeport (FCX) adalah US$ 3,703 juta. Dari pendapatan tersebut, Freeport memperoleh keuntungan total sebesar US$ 1,415 juta. Sedangkan pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti hanya mendapat total penerimaan sebesar US$ 725. Pada tahun 2009, laporan keuangan FCX menyatakan keuntungan PTFI adalah US$ 4,074 miliar, sedang penerimaan negara melalui pajak dan royalti adalah sekitar US$ 1,7 miliar.

Dengan harga emas yang berpotensi terus naik (saat ini lebih dari US$ 1100/ons), maka keuntungan FCX/PTFI juga akan terus meningkat (lihat Gambar 2). Namun penerimaan yang seharusnya diperoleh negara tidak sebanding dengan tingkat keuntungan yang diperoleh Freeport. Kecilnya penerimaan negara berpangkal dari kebijakan dan kontrak yang salah dan tidak adil. Oleh sebab itu sangat wajar jika pemerintah, bersama BUMN dan BUMD Papua, meningkatkan nilai sahamnya di Freeport. Namun harga saham yang harus dibayar bukanlah berdasarkan harga pasar FCX, tetapi harga yang telah dikoreksi akibat berbagai praktek KKN yang terjadi sebelumnya. Termasuk yang harus dilakukan adalah menuntut adanya kompensasi akibat kerusakan lingkungan yang timbul selama penambangan di wilayah Grasberg.

Sumber: http://iress.web.id

Tambang Emas Freeport: "Kekayaan Negara yang Terampas"


      PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.

       Freeport mulai banyak menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya berbagai permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli. Namun, dalam pembahasan ini permasalahan yang akan diulas adalah yang berkaitan dengan tidak optimalnya pengelolaan potensi ekonomi sumberdaya mineral di wilayah pertambangan tersebut bagi penerimaan negara.

       Potensi tembaga dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta pengelolaan pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi pemerintah Indonesia. Akibatnya, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak maksimal. Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami kerugian negara yang sangat besar karena tidak optimal, tidak adil, tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu.
 
 

Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi

        Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat dari KK I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar berasal dari keuntungan yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.

        Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut:
  1. Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia. 
  2. Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. 
  3. Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN. 
  4. Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah. 
  5. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial. 
  6. Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.

       Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin. Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.

        Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
 
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per tahun.

       Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.

       Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.

INI KAH CARA PEMERINTAH UNTUK MENYEJAHTERAHKAN RAKYAT KECIL....?????? 
......Coba Kita Bertanya Pada Rumput Yang Bergoyang.......
 
 
Sumber: http://roggersttnas.blogspot.com