Selasa, 27 September 2011
Negara Bersumber Daya yang Tak Berdaya
Indonesia adalah negeri ironi. Pertumbuhan ekonomi Papua selama semester pertama 2010 minus 14,9 persen, hanya karena produksi PT Freeport Indonesia turun. Pulau sebesar Papua bergantung pada satu perusahaan ekstraksi tambang; yang meski produksinya tidak turun sekalipun, tetap tidak membuat rakyat Papua menjadi sejahtera.
Dalam kasus lain, PT Perusahaan Listrik Negara gagal menekan biaya produksi dengan mengganti bahan bakar minyak ke gas karena terminal penerima gas alam cair terlambat dibangun.
Indonesia sangat beruntung memiliki sumber daya alam yang lengkap, mulai dari minyak, gas, hingga mineral dan batu bara. Seluruh potensi energi itu tidak hanya bisa mengumpulkan devisa, melainkan juga dapat menghasilkan efek bergulir yang menggerakkan roda perekonomian nasional.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah negara sudah memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat? Sebab, meskipun kontribusi sumber daya alam dalam pertumbuhan dan pendapatan per kapita sangat besar, banyak ketimpangan yang dirasakan masyarakat.
Jonathan Pincus, peneliti dari Harvard Kennedy School, menyebut Indonesia gagal memanfaatkan peluang yang terbuka dari globalisasi. Hal itu ditandai dengan ekspor Indonesia masih didominasi sumber daya alam dalam bentuk mentah, Indonesia tidak masuk dalam rantai produksi global, dan investasi asing terkonsentrasi pada sektor pengurasan sumber daya alam.
Ekspor produk manufaktur Indonesia periode 2003-2007 hanya tumbuh 6,4 persen, jauh ketinggalan dibandingkan dengan Malaysia yang tumbuh 7,9 persen atau bahkan Vietnam yang bisa tumbuh sampai 21,3 persen. Terjadi kenaikan tingkat pengurasan sumber daya alam secara sangat signifikan dalam kurun 2000-2007. Namun, hasil dari eksploitasi sumber daya alam itu tidak maksimal digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Kontribusi sektor primer yang mencakup pertanian, perikanan, pertambangan, dan kehutanan sangat dominan dalam menopang pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Bisa dikatakan, sektor ini merupakan modal awal dari pertumbuhan sebuah negara. Dengan hanya sedikit usaha eksplorasi, hasil-hasil sektor primer ini dalam jumlah besar bisa langsung menghasilkan uang hanya dengan dijual dalam bentuk mentah. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju didorong oleh sektor sekunder dan tersier, seperti industri manufaktur, perdagangan, dan perbankan.
Namun, sebesar apa pun potensi sumber daya alam yang dimiliki suatu negara, harus diingat bahwa ketiganya adalah sumber daya tidak terbarukan. Maka, negara-negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah seperti Indonesia pun harus menyiapkan sektor sekunder dan tersier sebagai penopang pertumbuhan. Hal ini yang sedang dilakukan negara-negara produsen migas di Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Dubai, yang sedang giat membangun industri properti, maskapai penerbangan, dan jasa keuangan.
Modal dan teknologi menjadi syarat utama untuk bisa naik dari negara berpendapatan rendah ke pendapatan tinggi. Sayangnya, sejak proyek Kilang Bontang berdiri tahun 1978, kita tidak berani mandiri dari sisi modal dan teknologi. Kita terus menggantungkan diri kepada pihak asing.
Indonesia, yang merupakan pionir industri gas alam cair, tidak memiliki satu pun fasilitas penerima gas alam. Akibatnya, setiap kali terjadi kelebihan produksi dari Kilang Bontang ataupun Arun, gas lebih banyak dijual ke luar. Bangsa lain yang menikmatinya. Kalaupun ada yang dialokasikan ke pabrik pupuk di Bontang, jumlahnya hanya sedikit karena subsidi untuk pupuk terbatas.
Konsep penguasaan sumber daya alam yang termaktub pada Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar, dalam praktiknya sudah sama dengan kepemilikan. Lihat kasus Proyek Gas Alam Tangguh atau Donggi Senoro. Pada Proyek LNG Tangguh, gas alam cair sebanyak 7,6 juta ton per tahun yang diproduksi BP dialokasikan untuk diekspor ke China, Amerika Serikat, dan Jepang. Adapun pada proyek Donggi Senoro, seluruh produksi gas alam sebanyak 2 juta ton per tahun diekspor ke Jepang.
Dalam proyek Tangguh, negara bahkan berperan aktif dengan membuka pasar gas ke China. Lobi bukan lagi ada di level bisnis, tetapi sudah antarpemerintah karena tak kurang Perdana Menteri Inggris Tony Blair sendiri yang berkirim surat ke Presiden Megawati. Inggris berkepentingan karena BP adalah perusahaan migas yang berbasis di negeri itu. Hasilnya, Indonesia kalah bersaing dengan penyuplai dari negara lain, gas dijual dengan harga murah untuk jangka waktu kontrak 20 tahun.
Dalam proyek Donggi Senoro, negara membiarkan PT Pertamina dan Medco menjual gas ke Jepang. Dari awal, cadangan gas yang berlokasi di Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, itu dinilai terlalu kecil dan tidak ekonomis untuk dikembangkan. Pemerintah membiarkan Pertamina dan Medco mencari pendanaan sendiri untuk bisa memonetisasi cadangan tersebut. Lagi-lagi Jepang yang memanfaatkan kesempatan, memberi pinjaman bunga rendah dengan imbal balik kepemilikan saham terbesar di proyek kilang dan membeli seluruh gas yang dihasilkan.
Kewajiban memasok ke dalam negeri sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Migas menjadi mandul karena pemerintah tak punya komitmen untuk melaksanakannya. Patokan sebesar-besarnya 25 persen yang disebut dalam undang-undang dan peraturan menteri menjadi jerat yang membatasi pemenuhan gas ke dalam negeri.
Komitmen memang menjadi titik krusial apabila kita mau menggunakan semaksimal mungkin potensi sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah setidaknya pernah menunjukkan komitmen itu ketika dalam negosiasi tahun 2006 dan berhasil melakukan pengurangan kontrak pengiriman gas ke Jepang mulai 2010.
Kita akan terus menjadi negara bersumber daya yang tak berdaya apabila pemerintah tidak mengubah paradigma menjual sumber daya alam dalam bentuk mentah hanya untuk mendapatkan devisa.
Doty Damayanti
(Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar