Selasa, 10 Mei 2011

Sedikit Tentang Negara Islam Indonesia(NII), Orang Awam Bingung??

Akhir-akhir ini Indonesia tengah dilanda demam berita mengenai gerakan yang mengatas namakan mereka sebagai NII ( Negara Islam Indonesia ). Sebuah wacana yang nyatanya mampu membuat resah berbagai pihak, mulai dari pihak kepolisian, para ulama agama, para pejabat, bahkan orangtua, lebih-lebih target salah satunya mahasiswa, penerus bangsa yang didambakan sebagai pembuat pencetus peradapan baru untuk bangsa kita agar menjadi lebih baik. Kembali pada NII, kelompak yang akan membuat Negara Islam Indonesia, Negara yang seperti apakah itu?? Orang awam beranggapan apakah seperti Negara Arab?? Tentunya jika memang seperti itu, berati harus mempergunakan aturan dan hukum islam, yang tidak melenceng dari ajaran islam, ajaran yang tertera dalam KItab Suci AL-Quran.

Lalu ketika melihat NII, apakah benar segala tindakan dari golongan mereka? adanya pemahaman tentang islam yang keliru atau telah disalah tafsirkan sehingga menimbulkan pemahaman lainya, tersiar menurut orang yang pernah ikut dalam golongan NII, mereka diminta untuk tidak mengakui keluarganya, bahkan bersikap kasar dan tidak hormat, serta tidak jarang mereka dipaksa memberikan harta benda mereka kepada pimpinannya dengan memanipulasi ajaran Islam. Melakukan penipuan kepada orangtua bahkan orang lain, bukankah itu sangat jelas diluar syariat agama islam, lalu kenapa mereka seakan kokoh dengan pandangan itu?. Pandangan mereka yang jelas melanggar syariat islam, nyatanya justru menjadi syarat sah dalam bergabung dengan kelompok mereka karena bagi mereka, merekalah representasi kelompok Islam. Mereka juga menganggap di luar mereka itu kafir, jadi darah dan harta di luar mereka itu halal.

Pengamat intelijen Wawan H Purwanto juga mencatat pola penjangkauan NII yang sangat rapi. Penjangkauan dilakukan NII seperti multilevel marketing (MLM), yaitu pemasaran lewat lisan. Setiap dua orang kader NII diharapkan bisa menjangkau 1 orang baru. Mereka juga menetapkan target penjangkauan 7 orang per minggu dan penghimpunan dana Rp 6-7 jt per bulan. Dengan berita semacam itu, apakah kita salah apabila pihak awam mengatakan sebenarnya mereka mencari uang atu pengikut atau justru keduanya?? Apakah kita yakin akan hidup dalam naungan golongan seperti itu? Yang tak jelas arah dan tujuan nya!

Dengan mereka beranggapan orang yang diluar NII adalah kafir, mereka menghalalkan mencuri, merampok dan berbuat kriminal lainnya selama dilakukan bukan sesamanya. Prinsip mereka itu, semua harta milik Allah yang harus dimiliki oleh kelompoknya saja. Dari sinilah mereka menghalalkan mencuri dan merampok, [berbagai sumber/www.hidayatullah.com]. Modus yang sering mereka lakukan adalah dengan metode pendekatan, hipnotis, bicara dari hati ke hati, dibawa ke tempat sesuatu, dibaiat, diajak untuk memahami amanu (iman), hijrah dan jihad. Terang saja orang yang tidak kuat imannya dapat dengan mudah terbujuk.

Sebagai orang awam, sempat berrfikir apakah memang benar itu akan dapat sejalan dengan ideologi bangsa kita ? Kembali pada zaman dulu, sejarah mengatakan betapa besar perjuangan yang harus ditempuh para pendahulu kita untuk membebaskan diri dari penjajahan, agar dapat menjadi bangsa seperti ini, bangsa yang besar dalan NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ). Seiring polemik bermunculan, terfikirkan apakah ini salah satu cara penjajahan secara religious?? Walaupun negara kita masih saja berkutat dengan masalah korupsi, teror bom, deskriminasi rakyat kecil, pendidikan yang belum merata, kesehatan yang belum maksimal, banyaknya angka pengangguran, gelandangan, bahkan jumlah warga misikin yang masih banyak, tetapi dilihat dari sisi lain kita selayaknya dapat bangga pada bangsa ini, bangsa yang mampu bersatu dengan banyaknya agama, adat, suku, bahasa dan budaya, suatu kekuatan besar dimana kita dapat bersatu dari banyaknya perbedaan, bahkan menjadikan perbedaan sebagai kelengkapan dalam pengisi tatanan bangsa ini.

Walau terkadang masih saja sedikit bagian dari perbedaan yang ada selalu menimbulkan polemik baru, tapi setidaknya kita hidup dalam bangsa yang mempunyai hukun dan landasan yang jelas.

Untuk itu jangan sampai bangsa kita kembali terpecah belah, apalagi dengan modus melalui ajaran yang mengatas namakan agama islam, mereka menjadikan kita saling berpecah belah dan dengan gampangnya mereka mengambil kesempatan itu untuk saling mengadu domba.

Mohon maaf jika tulisan ini menyimpang dari realita atau dianggap menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu dan ucapan terimakasih atas ilmu yang telah sebarluaskan sehingga ini dapat dijadikan sebagai amal ibadah, semoga orang-orang yang telah lalai masuk dalam golongan-golongan di luar syariat islam agar segera tersadar dan kembali pada ajaran Sang Pencipata Langit dan bumi, Allah SWT.

“Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah islam. Tiada berselisih orang-orang yang diberi al-kitab kecuali sudah datang pengetahuan kepada mereka. Karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya”
( QS. Ali Imran : 19 )

Ginanjar Yulianto


Sumber: kompasiana.com

Justifikasi Historis Islam Poltik Indonesia: “Siapa Melupakan Siapa ?”

Mensikapi berbagai kasus terorisme yang (mulai) marak kembali di tanah air, bertanyalah salah seorang presenter TV Swasta dalam acara bertajuk “Generasi Baru Terorisme” kepada Ja’far Umar Thalib, mantan Panglima Laskar Jihad tentang bagaimana meminimalisir, untuk tidak mengatakan menghilangkan sama sekali praktek-praktek radikalisme Islam di Indonesia. Ja’far Umar Thalib mengatakan, “pemerintah harus menegaskan kembali bahwa negara Indonesia adalah negara Islam”. Beliau menegaskan bahwa proses pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa telah jelas-jelas menetapkan Islam sebagai dasar negara (dengan klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta). Tapi sayang, presenter TV swasta ini tidak tidak mencecar jawaban Ja’far Umar Thalib ini secara elaboratif. Mungkin si presenter ini berpandangan bahwa jawaban mantan Panglima Laskar Jihad tersebut sudah “selesai”, atau ia beranggapan bahwa ujung-ujung dari jawaban tersebut hanyalah akan membawa kita kepada hal-hal yang bersifat utopis dan a-historis. Tapi yang jelas, dalih klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta (”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) selalu menjadi justifikasi historis-politis beberapa gerakan radikal untuk merasa berkewajiban menerapkan praktek negara Islam di Indonesia. “Masyarakat Indonesia, khususnya pemerintah, melupakan diri bahwa negara Indonesia sedari awal berdirinya sudah menjadi negara Islam”, kata Ja’far Umar Thalib. 

Mantan Panglima Laskar Jihad dan “suara-suara lainnya” beranggapan bahwa pemerintah, bahkan rakyat Indonesia, melupakan sejarah. Tapi benarkah demikian? Bila-lah sejarah ini bisa “diputar-balek” ke tahun 1945, tentu kita akan menikmati bagaimana para “Bapak Bangsa” ini berdebat dalam merumuskan dasar negara ini. Kita juga akan melihat events of history pencoretan klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta dan bagaimana merka dengan hati lapang-terbuka berusaha untuk saling mendengarkan, saling empati dan berbicara “ke depan”. Tapi sayang, sejarah tidak bisa diulang. Ia einmalig, kata Leopold van Ranke, hanya terjadi satu kali. Kita hanya bisa “mendekati” dan merekonstruksi pengkisahannya. Hanya tertinggal kesaksian, catatan, fakta, interpretasi dan (bahkan) opini. Pencoretan klausula Islami yang dianggap sebagai kekalahan ummat Islam dalam menerapkan (sebagai legitimasi historis-yuridis) negara Islam, terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945.

Satu hari setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan republik ini. Dan, Bung Hatta (dianggap) adalah orang paling bertanggung jawab dalam penghapusan 7 kata ini. Dalam bukunya Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menulis bahwa inspirasi penghilangan 7 kata tersebut dari seorang opsir Angkatan Laut Jepang. Ia lupa siapa nama opsir tersebut. Itu terjadi pada sore hari, 17 Agustus 1945. Prinsipnya opsir AL Jepang ini menyampaikan informasi keberatan dari kelompok-kelompok Protestan dan Katholik di wilayah Indonesia Bagian Timur tentang pencantuman 7 kata “keramat” ini. Bila dipaksakan jua, ada keinginan dari kelompok-kelompok tersebut untuk “sayonara” pada Indonesia yang baru lahir itu.

Bung Hatta tentunya berfikir dan merasa khawatir. Dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, putra Batuhampar Minangkabau ini kemudian mengutarakan hal ini. Sebelumnya, Bung Hatta juga mendiskusikan hal ini kepada KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Teuku Hasan. Dan, singat cerita, akhirnya diperoleh kesepakatan dalam forum PPKI ini untuk menghilangkan 7 kata yang berpotensi “menyakiti” saudara non-muslim dan menggantikannya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejarah kemudian mencatat, “Ketuhanan Yang Maha Esa”-lah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat pula rumusan Pancasila. Menurut Bung Hatta, proses ini dianggapnya sebagai “perubahan maha penting yang menyatukan bangsa”. Konteks historis diatas-lah yang seringkali digugat. Bung Hatta-pun yang muslim dianggap sebagai orang yang tak berpihak pada Islam dan teramat mudah mendengar “keluhan” kaum non-muslim. Benarkah demikian ? Bung Hatta berpijak pada semangat keislaman inklusif dan komitmennya yang tinggi terhadap pluralisme positif. Suatu sikap muslim yang terbuka terhadap informasi dan perubahan.

Bung Hatta mengenyampingkan sifat absolutik, ia lebih mengutamakan substansi daripada simbol. Ketika Bung Hatta menyadari bahwa 7 kata tersebut berpotensi mengancam persatuan bangsa karena mengandung eksklusifisme keagamaan, maka tokoh republik yang teramat lambat nikah ini, melakukan refleksi dan penilaian ulang. Bagaimana bentuk refleksi dan penilaian ulang yang dilakukannya pada sore 17 Agustus 1945 tersebut, hanya ia seorang yang tahu. Tapi yang pasti, pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Hatta bisa menerima alasan keberatan pencantuman 7 kata tersebut. Tapi Bung Hatta tak ingin menganggap ini hanyalah sebagai refleksi seorang personal an-sich semata, karena itu ia merasa perlu untuk mendiskusikannya dengan empat tokoh Islam diatas (empat tokoh yang secara personal tidak dikeragui lagi moralitas dan dedikasinya serta merupakan representasi dari kelompok-kelompok besar Islam masa itu).

Jikalau ke-empat tokoh Islam diatas yang diajak berunding oleh Bung Hatta akhirnya menyetujui penghapusan 7 kata dan menggantikannya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, nampaknya hal tersebut sudah menjadi “kehendak Allah”. Ini bukan fatalism. Tokoh-tokoh ini bukanlah tokoh-tokoh yang “baru jadi”. Mereka telah menyejarah dan merasakan bagaimana kebutuhan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ketika ada yang menggugat para tokoh ini sebagai orang-orang yang mudah dipengaruhi oleh kaum non-Islam, benarkah demikian ? Bisakah kita meragui ketokohan, kapabilitas, dan moralitas Bung Hatta, KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan ?. Akhirnya, historia vitae magistra, kata Bennedicto Croce.

Sejarah mengajarkan kita kearifan. Sejarah tak bisa diulang. Ia terjadi hanya satu kali. Seterusnya, ia hanyalah interpretasi dan memori untuk dikenang. Tapi terlepas dari semua itu, adalah kewajiban kita semua untuk mengucapkan terima kasih kepada para “Bapak Bangsa” yang telah mampu mencari jalan terbaik bagi bangsa ini ke depan. Terlepas suka atau tidak suka, Pancasila memang layak disebut sebagai puncak prestasi intelektual dan kultural yang pada dasarnya mempertemukan ragam ummat beragama, sebagai entitas sosial-historis riil bangsa ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Benarkah kita melupakan penghilangan 7 kata tersebut ? Jawabannya adalah justru kita melupakan jawaban mengapa para “Bapak Bangsa” justru mencari format terbaik bagi keutuhan bangsa ini. Wallahu a’lam.

Referensi : Bung Hatta (1969).

Muhammad Ilham

Sumber: kompasiana.com


Mahalnya Biaya Membunuh Osama Bin Laden



Serbuan tentara Amerika Serikat di sebuah rumah, di luar Kota Islamabad, Pakistan, yang menewaskan pemimpin tertinggi Al Qaeda Osama bin Laden, bisa jadi merupakan puncak dari invasi militer Amerika Serikat di Afghanistan, sebelum militer Amerika Serikat menarik diri dari Afghanistan yang telah diduduki sejak tahun 2001. Tewasnya Osama merupakan sebuah prestasi bagi Presiden Amerika Serikat Obama dalam memerangi terorisme, bahkan tewasnya itu segera diumumkan langsung oleh Obama dalam sebuah pidato di televisi yang disiarkan secara langsung. Prestasi ini bisa menjadi modal atau pencitraan bagi Obama dalam US Election 2012.

Namun untuk membunuh Osama, bagi pemerintah Amerika Serikat bukan sesuatu yang mudah. Untuk membunuh Osama, ia harus berhadapan dengan pasukan Taliban dan rakyat Afghanistan. Mengapa Amerika Serikat kok bisa berhadapan dengan Taliban bukan dengan Osama? Sebab Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Osama. Masifnya invasi Amerika Serikat ke Afghanistan inilah yang membuat Taliban keluar dari Kabul, ibukota Afganistan, menuju basis-basis baru di pegunungan.

Sebagai pasukan yang terlatih dan militan, tentu tidak mudah menundukan Taliban.
Akibatnya biaya operasi militer Amerika Serikat dari tahun ke tahun semakin tinggi dan korban tentara AS yang tewas atau depresi jumlahnya mencapai ribuan. Bahkan untuk melakukan operasi militernya di Afghanistan, pada tahun 2009, Obama mengirimkan kembali 30.000 tentaranya ke Afghanistan, pengiriman tentara Amerika Serikat yang kesembilan kalinya, ini menunjukan gagalnya atau tidak berhasilnya operasi militer Amerika Serikat di Afghanistan yang dilakukan sejak tahun 2001.

Dilihat dari grafik pengeluaran untuk Perang Afghanistan dari tahun ke tahun semakin
melonjak. Disebut untuk mengirimkan tentara sebanyak 30.000 itu pemerintah AS mengeluarkan biaya sebesar US$ 30 miliar untuk masa satu tahun. Bila dirinci biaya perang dalam sebulan US$ 3,6 juta. Masing-masing tentara dalam satu tahun memakan biaya US$1 juta. Sepuluh tahun operasi militer di Afghanistan ini merupakan masa yang cukup lama, bahkan lebih lama dari Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), Perang Irak-Iran (1980-1988), dan Perang Korea (1950-1953).

Invasi Amerika Serikat di Afghanistan bisa sangat lama, 2001-2011, sebab secara
teknik pertempuran tidak secara terbuka. Taliban lebih cenderung menggunakan sistem perang gerilya atau perang gunung sehingga mempersulit tentara Amerika Serikat untuk mendeteksi gerakannya. Selain itu secara sosiologis ada kedekatan antara Taliban dan rakyat sehingga secara diam-diam rakyat ikut membantu pertempuran.

Susahnya Amerika Serikat menumpas Taliban tidak hanya disebabkan teknik peperangan
dan sosiologi kedekatan antara rakyat dengan Taliban, namun juga disebabkan Hamid Karzai sebagai Presiden Afghanistan yang terbukti gagal dalam memimpin Afghanistan. Dosen Universitas Kabul, Saifudddin Saihun, beberapa waktu yang lalu mengecam, Hamid Karzai tidak mengembangkan strategi perdamaian bagi masyarakat Afghanistan setelah berakhirnya perang saudara dan invasi Amerika Serikat.

Menurutnya, selama hampir dua dekade, pemerintahan Hamid Karzai gagal melaksanakan tugas mengembangkan dan menerapkan konsep yang memadai dan strategi militer bagi pertahanan Afghanistan. Menyangkut jaminan perdamaian dan keamanan, pemerintah terlalu mengandalkan masyarakat internasional. Hamid Karzai adalah sosok koruptor. Kebiasaan korupsi inilah yang menyuburkan dukungan kepada Taliban dari masyarakat.

Untuk memecah hubungan Taliban dengan Osama, maka dalam Konferensi tentang
Afghanistan di Lancaster House, London, Inggris, pada tahun 2010, terdengar sebuah berita bahwa Amerika Serikat dan Inggris hendak 'menyuap' Taliban dengan dana sebesar 500 juta US$ atau sekitar Rp 4,7 triliun. Rencana penyuapan itu untuk membiayai program reintegrasi gerilyawan Taliban.

Program reintegrasi digunakan untuk membujuk sekitar 25 ribu tentara Taliban untuk
melepaskan senjatanya, turun dari gunung, dan kembali menjalani kehidupan masyarakat seperti biasanya. Bila para Taliban setuju dengan program reintegrasi, mereka akan ditawari pekerjaan, pendidikan, pemberian uang tunai, dan perlindungan. Program reintegrasi dirasa oleh kalangan pemerintah Afghanistan dan Barat bisa efektif karena konflik yang berkepanjangan di negeri itu bukan karena ideologi namun karena faktor ekonomi dan kesejahteraan hidup.

Namun mahalnya biaya operasi militer dan non-militer sepertiny tidak menjadi masalah
bagi Amerika Serikat. Sebab tewasnya Osama merupakan obat dari sakit hati rakyat Amerika Serikat atas serangan terorisme, 9/11, di WTC yang menewaskan sekitar 3.000 orang. Tewasnya Osama disambut gembira rakyat Amerika Serikat, lewat twitter, mereka
merayakan tewasnya orang yang dicari-cari tentara Amerika Serikat itu. Gubernur California, Arnold Schwarzenegger, dalam pesannya mengatakan, dirinya sangat bangga kepada prajurit Amerika Serikat. Bintang laga itu mengharap kepada rakyat Amerika Serikat untuk selama semenit mengucapkan terima kasih kepada para tentara yang telah berjuang untuk Amerika Serikat.

Tidak hanya Schwarzenegger, warga New York berkerumun dan bersorak-sorai di
ground zero, tempat bekas menara kembar WTC. Mereka hadir di tempat itu sambil mengatakan, bahwa korban serangan 9/11 tidak mati sia-sia. Dengan tewasnya Osama, warga New York merasa telah menang dan keadilan telah ditegakkan.

Ardi Winangun 
adalah peminat studi pertahanan. No kontak: 08159052503. Penulis tinggal di Matraman, Jakarta Timur.

Sumber: detiknews.com