Selasa, 27 September 2011

Pasal 33 UUD 1945 Dan Semangat Anti-Liberalisme Ekonomi

Ganyang Imperialis
Pada bulan September 1955, muncul perdebatan sengit antara Wilopo dan Widjoyo Nitisastro. Yang pertama adalah seorang negarawan nasionalis, sedangkan yang kedua adalah ekonom berhaluan liberal. Salah satu inti perdebatan mereka adalah azas ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945.

Menurut Wilopo, azas ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945 (pasal 38 UUDS 1950) adalah bertentangan (penentangan) terhadap liberalisme dan motif untuk mencari keuntungan pribadi. Bagi Wilopo, yang pernah menjabat Perdana Menteri antara tahun 1952-1953, penentangan terhadap liberalisme sesuai dengan latar-belakang revolusi Indonesia.

Sementara bagi Widjoyo Nitisastro, yang saat itu masih mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi UI, penafsiran terhadap azas ekonomi pasal 33 UUD tidak mesti menjadikan usaha swasta sebagai unsur ekonomi yang tidak sesuai. Meski begitu, pada tahun 1955 itu, Widjoyo Nitisastro masing mengakui perlunya negara dalam mengendalikan dan melaksanakan pembangunan ekonomi.

Empat puluha enam tahun kemudian, bertepatan dengan amandemen UUD 1945, kembali meletus perdebatan antara dua kubu ekonom dalam Tim Ahli Badan Pekerja (BP) MPR. Kubu pertama terdiri dari Mubyarto dan Dawam Rahardjo, sedangkan kubu lawannya terdiri dari lima ekonom, yaitu: Dr. Bambang Sudibyo, Dr. Syahrir, Dr.Sri Mulyani Indrasari, Didik J Rachbini, dan Dr. Sri Adiningsih.

Kubu Mubyarto kekeuh mempertahankan azas perekonomian yang berdasarkan kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945. Sedangkan kubu lawannya, yang kelak menjadi begawan-begawan neoliberal, berjuang mati-matian untuk menghapus istilah azas kekeluargaan itu.

Karena kalah dari segi imbangan kekuatan, yaitu 2 versus 5, guru besar UGM itu pun memilih untuk mengundurkan diri. “Mereka alergi seperti menyentuh penyakit kusta dengan istilah azas kekeluargaan,” kata Prof Budyarto.


Semangat UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dari dasar pembentukan negara Indonesia dan cita-cita mulai para founding father pada saat itu. Dalam bagian pembukaannya saja terdapat penegasan yang sangat kuat untuk menentang segala bentuk penjajahan (kolonialisme dan imperialisme).

Menurut Taufik Basari, seorang advokat dan penggiat HAM, semangat yang kuat untuk menentang penjajahan, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, juga diturunkan dalam pasal 33.

Dalam penjelasan yang asli, kata Taufik Basari, terkandung prinsip demokrasi ekonomi: produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan semua angota masyarakat. Karenanya, kemakmuran semua oranglah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

“Jika dihubungkan antara pembukaan, pasal 33 UUD 1945, lalu penjelasannya, maka ada isyarat sangat kuat untuk memperkuat kemandirian bangsa di bidang ekonomi,” kata mantan aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini saat diskusi bertajuk “Pasal 33 Di tengah Kepungan UU Pro-neoliberal”, Selasa (12/7) lalu.

Semangat anti-penjajahan pasal 33 juga ditangkap oleh Daryoko, Ketua Dewan Pembina Serikat Pekerja PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN).  Katanya, rumusan pasal 33 itu merupakan jalan untuk melikuidasi susunan ekonomi kolonialis.

Bahkan, kata Daryoko, pasal 33 UUD 1945 mengandung nilai-nilai sosialistik. Nilai sosialistik yang dimaksud Daryoko adalah bentuk kepemilikan negara untuk sektor-sektor ekonomi strategis dan aspek kemakmuran bersama.

Tetapi, menurut Aristides Katoppo, seorang tokoh pers Indonesia dan sekaligus pendiri Sinar Harapan, sekalipun semua menganggap bahwa tujuan pasal 33 itu adalah untuk kepentingan bersama, tetapi ada perbedaan cara pandang antara Bung Hatta dan golongan komunis.

Tetapi Tides– sapaan akrab Aristides–tidak merinci secara detail perbedaan itu. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan dunia, terutama setelah keruntuhan Soviet dan pergeseran Tiongkok menuju ekonomi pasar, maka perdebatan soal ideologi sudah tidak terlalu penting.

Karenanya, sehubungan dengan pasal 33 UUD 1945, Tides menganjurkan agar kita tidak perlu alergi dengan pasar, swasta, dan modal asing. “Itu kita anggap sarana saja. Tergantung dari siapa yang menggunakannya. Yang penting untuk kesejahteraan rakyat banyak,” ujarnya.

Akan tetapi, pasal 33 UUD 1945 memang tidak mengharamkan sama sekali peranan swasta. Dalam hal kepemilikan, misalnya, swasta atau usaha orang-perorang diperbolehkan terlibat pada cabang-cabang produksi yang tidak strategis dan tidak menyangkut hajat hidup orang banyak.

Hatta, saat menyampaikan pidato Hari Koperasi di tahun 1977, menjelaskan bahwa inisiatif swasta dibolehkan asalkan bekerja di bawah pemilikan pemerintah dan bidang dan syarat yang ditentukan oleh pemerintah. “Hanya perusahaan-perusahaan yang tidak mengusaia hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.”

Apa yang perlu ditegaskan di sini, sebagaimana juga bung Karno sering mengatakan, adalah soal demokrasi ekonomi dan kemakmuran rakyat banyak. 

(Ulfa Ilyas)
http://sudarjanto.multiply.com

Negara Bersumber Daya yang Tak Berdaya

http://static.inilah.com/data/berita/foto/237401.jpg

Indonesia adalah negeri ironi. Pertumbuhan ekonomi Papua selama semester pertama 2010 minus 14,9 persen, hanya karena produksi PT Freeport Indonesia turun. Pulau sebesar Papua bergantung pada satu perusahaan ekstraksi tambang; yang meski produksinya tidak turun sekalipun, tetap tidak membuat rakyat Papua menjadi sejahtera.


Dalam kasus lain, PT Perusahaan Listrik Negara gagal menekan biaya produksi dengan mengganti bahan bakar minyak ke gas karena terminal penerima gas alam cair terlambat dibangun.

Indonesia sangat beruntung memiliki sumber daya alam yang lengkap, mulai dari minyak, gas, hingga mineral dan batu bara. Seluruh potensi energi itu tidak hanya bisa mengumpulkan devisa, melainkan juga dapat menghasilkan efek bergulir yang menggerakkan roda perekonomian nasional.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah negara sudah memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat? Sebab, meskipun kontribusi sumber daya alam dalam pertumbuhan dan pendapatan per kapita sangat besar, banyak ketimpangan yang dirasakan masyarakat.

Jonathan Pincus, peneliti dari Harvard Kennedy School, menyebut Indonesia gagal memanfaatkan peluang yang terbuka dari globalisasi. Hal itu ditandai dengan ekspor Indonesia masih didominasi sumber daya alam dalam bentuk mentah, Indonesia tidak masuk dalam rantai produksi global, dan investasi asing terkonsentrasi pada sektor pengurasan sumber daya alam.

Ekspor produk manufaktur Indonesia periode 2003-2007 hanya tumbuh 6,4 persen, jauh ketinggalan dibandingkan dengan Malaysia yang tumbuh 7,9 persen atau bahkan Vietnam yang bisa tumbuh sampai 21,3 persen. Terjadi kenaikan tingkat pengurasan sumber daya alam secara sangat signifikan dalam kurun 2000-2007. Namun, hasil dari eksploitasi sumber daya alam itu tidak maksimal digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Kontribusi sektor primer yang mencakup pertanian, perikanan, pertambangan, dan kehutanan sangat dominan dalam menopang pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Bisa dikatakan, sektor ini merupakan modal awal dari pertumbuhan sebuah negara. Dengan hanya sedikit usaha eksplorasi, hasil-hasil sektor primer ini dalam jumlah besar bisa langsung menghasilkan uang hanya dengan dijual dalam bentuk mentah. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju didorong oleh sektor sekunder dan tersier, seperti industri manufaktur, perdagangan, dan perbankan.

Namun, sebesar apa pun potensi sumber daya alam yang dimiliki suatu negara, harus diingat bahwa ketiganya adalah sumber daya tidak terbarukan. Maka, negara-negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah seperti Indonesia pun harus menyiapkan sektor sekunder dan tersier sebagai penopang pertumbuhan. Hal ini yang sedang dilakukan negara-negara produsen migas di Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Dubai, yang sedang giat membangun industri properti, maskapai penerbangan, dan jasa keuangan.

Modal dan teknologi menjadi syarat utama untuk bisa naik dari negara berpendapatan rendah ke pendapatan tinggi. Sayangnya, sejak proyek Kilang Bontang berdiri tahun 1978, kita tidak berani mandiri dari sisi modal dan teknologi. Kita terus menggantungkan diri kepada pihak asing.

Indonesia, yang merupakan pionir industri gas alam cair, tidak memiliki satu pun fasilitas penerima gas alam. Akibatnya, setiap kali terjadi kelebihan produksi dari Kilang Bontang ataupun Arun, gas lebih banyak dijual ke luar. Bangsa lain yang menikmatinya. Kalaupun ada yang dialokasikan ke pabrik pupuk di Bontang, jumlahnya hanya sedikit karena subsidi untuk pupuk terbatas.

Konsep penguasaan sumber daya alam yang termaktub pada Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar, dalam praktiknya sudah sama dengan kepemilikan. Lihat kasus Proyek Gas Alam Tangguh atau Donggi Senoro. Pada Proyek LNG Tangguh, gas alam cair sebanyak 7,6 juta ton per tahun yang diproduksi BP dialokasikan untuk diekspor ke China, Amerika Serikat, dan Jepang. Adapun pada proyek Donggi Senoro, seluruh produksi gas alam sebanyak 2 juta ton per tahun diekspor ke Jepang.

Dalam proyek Tangguh, negara bahkan berperan aktif dengan membuka pasar gas ke China. Lobi bukan lagi ada di level bisnis, tetapi sudah antarpemerintah karena tak kurang Perdana Menteri Inggris Tony Blair sendiri yang berkirim surat ke Presiden Megawati. Inggris berkepentingan karena BP adalah perusahaan migas yang berbasis di negeri itu. Hasilnya, Indonesia kalah bersaing dengan penyuplai dari negara lain, gas dijual dengan harga murah untuk jangka waktu kontrak 20 tahun.

Dalam proyek Donggi Senoro, negara membiarkan PT Pertamina dan Medco menjual gas ke Jepang. Dari awal, cadangan gas yang berlokasi di Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, itu dinilai terlalu kecil dan tidak ekonomis untuk dikembangkan. Pemerintah membiarkan Pertamina dan Medco mencari pendanaan sendiri untuk bisa memonetisasi cadangan tersebut. Lagi-lagi Jepang yang memanfaatkan kesempatan, memberi pinjaman bunga rendah dengan imbal balik kepemilikan saham terbesar di proyek kilang dan membeli seluruh gas yang dihasilkan.

Kewajiban memasok ke dalam negeri sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Migas menjadi mandul karena pemerintah tak punya komitmen untuk melaksanakannya. Patokan sebesar-besarnya 25 persen yang disebut dalam undang-undang dan peraturan menteri menjadi jerat yang membatasi pemenuhan gas ke dalam negeri.

Komitmen memang menjadi titik krusial apabila kita mau menggunakan semaksimal mungkin potensi sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah setidaknya pernah menunjukkan komitmen itu ketika dalam negosiasi tahun 2006 dan berhasil melakukan pengurangan kontrak pengiriman gas ke Jepang mulai 2010.

Kita akan terus menjadi negara bersumber daya yang tak berdaya apabila pemerintah tidak mengubah paradigma menjual sumber daya alam dalam bentuk mentah hanya untuk mendapatkan devisa.

Doty Damayanti
(Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010)

Ironi Kehidupan Meno-Meno Pendulang Emas Liar di Timika, Papua


Di tangan para meno pendulang emas liar di Sungai Kabur, Timika, Papua, segepok fulus yang mereka dapatkan dari hasil memburu tailing PT Freeport Indonesia bisa ludes dalam sekejap. Bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi dibarter dengan alkohol dan seks. Sungguh ironis. Berikut laporan Amri Husniati, wartawati Jawa Pos, yang baru pulang dari kota tambang tersebut.

MATA Kelly, seorang "meno" (sebutan yang bermakna saudara untuk warga asli Papua, baik yang tinggal di pegunungan maupun pesisir), menatap lembaran-lembaran ratusan ribu rupiah dan lima puluhan ribu rupiah yang dihitung dengan cepat oleh Oken, pemilik Toko Emas Dita di Jl Ahmad Yani, Timika, Rabu sore (10/11).

Ketika fulus Rp 5,7 juta itu berpindah ke tangannya yang hitam legam, tanpa menghitung ulang, dia tinggalkan toko emas yang ditata alakadarnya tersebut dan diikuti seorang kawannya. Dua anak adam berambut kriwul-kriwul itu kemudian berlalu dengan sepeda motor hitam berpelat nomor DS 2465 MF.

Baru berjalan beberapa meter, motor yang ditumpangi dua pria dengan dandanan sepatu bots cokelat, celana pendek, dan menenteng handphone qwerty tersebut berhenti di sebuah toko, masih di ruas jalan yang sama. Tak sampai lima menit, mereka sudah keluar dari toko yang menyediakan aneka kebutuhan sehari-hari itu dengan menenteng tas kresek hitam.

Dari sela-sela pegangan tas plastik yang untuk menghancurkannya saja tak cukup puluhan tahun itu terlihat mencuat sejumlah kepala botol. Botol sirupkah" Atau botol kecapkah" Ah, tentu saja bukan. Si meno itu baru saja berbelanja anggur merah dan bir dengan lembaran rupiah dari hasilnya mendulang emas di Sungai Kabur di mil 38.

Dengan tentengan dua tas kresek hitam penuh minuman beralkohol di tangan kanan dan kiri itu, motor yang ditumpangi Kelly dan temannya melaju menuju arah Monumen Eme Neme. Mereka segera bisa mencecap surga duniawi lewat kenikmatan alkohol.

Mereka tak akan pulang semalaman untuk berkumpul bersama keluarga. "Meno, kalau punya uang, dia akan tidur di got. Tapi, kalau tak punya uang, dia akan tidur di rumah," ujar Firdaus Alma, pebisnis yang kenal dekat dengan etnis Kamoro maupun Amungme, suku asli di Timika, mengutip olok-olok khas Papua.

Aroma alkohol yang gencar menguar belum cukup bagi meno itu untuk menikmati hidup setelah berhari-hari berpacu dengan maut saat berburu emas di sungai nan keruh dengan aliran air sangat deras yang bisa menghanyutkannya setiap saat.

Dengan jutaan rupiah di saku, mereka bisa pergi ke Wisma Sopongiro, Wisma Ojolali, Wisma Srikandi, maupun wisma-wisma lain yang berderet di kilo 10 "sebutan tenar untuk lokalisasi di Timika. Atau, mereka cukup bertransaksi dengan PSK jalanan maupun pelajar-pelajar yang menjadi cewek cabutan.

Meno-meno berduit itu bisa pula mengumbar kegembiraan di diskotek yang mudah ditemui di ibu kota Mimika. "Di sekitar Eme Neme inilah salah satu tempat yang sering dijadikan transaksi dengan PSK," ujar Imam yang Rabu malam (10/11) itu menemani Jawa Pos berkeliling ibu kota kabupaten dengan APBD per tahun lebih dari Rp 1 triliun tersebut.

Lazimnya, para meno itu "turun gunung" pada Sabtu dan Minggu untuk menjual emas hasil mendulang. Tak heran jika pada akhir pekan transaksi unsur kimia bernomor atom 79 tersebut sangat marak. "Jalan Emas" "sebutan untuk Jalan Gorong-Gorong dan Jalan Bougenville yang dipenuhi puluhan toko emas" benar-benar panen. "Kalau akhir pekan, saya bisa beli sampai lebih dari 500 gram," ujar Oken.

Dari tangan meno pendulang emas, penghobi balap motor itu memberikan harga Rp 315 ribu hingga Rp 325 ribu per gram. Harga tersebut jauh lebih tinggi daripada harga yang dipatok para pengumpul yang jemput bola di area pendulangan emas yang pasang Rp 270 ribu per gram.

Oken tidak mau repot-repot melebur serbuk emas yang dibelinya itu menjadi perhiasan. "Lebih enak gini. Dijual lagi saja kepada pengumpul. Duit lebih cepat berputar," ujarnya.

Biasanya, para pengumpul emas membawa aurum murni keluar dari Timika. Ada yang ke Makassar hingga ke Jawa untuk dialihrupakan menjadi perhiasan. Barulah sebagian kecil dibawa kembali ke Timika.

Toh, meski berjuta-juta rupiah hasil transaksi emas membuat kantong meno pendulang jadi tebal, dalam hitungan sekejap, isi dompet mereka bisa ludes ditukar dengan kenikmatan alkohol dan seks.

Soal menenggak minuman keras, meno-meno memang jagonya. Jika sudah teler, mereka tak perlu pulang ke rumah. Tidur di selokan, jalanan, emperan toko, bahkan teras tempat ibadah merupakan pemandangan yang biasa di Timika. "Sepanjang tidak merusak atau bermasalah dengan orang lain, biasanya mereka dibiarkan saja," ungkap Topan, pria kelahiran Sangihe yang sudah lebih dari lima tahun berdinas di Timika.

Dengan berkelakar, Topan mengajak saya untuk membuktikan "asumsinya" bahwa gara-gara minuman alkohol itu tidak ada rumah warga asli yang kaca jendelanya utuh. Ketika Jawa Pos melakukan perjalanan ke Desa Tipuka dan Desa Ayuka di Distrik Mimika Timur Jauh, omongan Topan terbukti. Di setiap rumah orang Suku Kamoro, kaca jendelanya banyak yang pecah. Banyak yang ditambal sulam dengan tripleks.

"Itu terjadi karena, kalau sudah mabuk, orang sini sering merusak rumah sendiri," lanjut pria yang berpostur kekar dan berpotongan cepak tersebut.

Soal alkohol yang begitu merasuk dalam kehidupan meno-meno itu diakui Y. Imbiri, tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro. Bukan hanya pria dewasa yang menenggak alkohol. Mereka yang masih di bangku sekolah menengah pun tak ketinggalan.

Sampai-sampai, beasiswa pendidikan yang diberikan untuk pelajar dari suku asli di Timika itu kerap diselewengkan. Bukannya digunakan membeli buku, tapi malah ditukar dengan bir. "Aktivis-aktivis perempuan kerap bersuara untuk menekan peredaran miras," ujar alumnus Universitas Cenderawasih tersebut.

Namun, suara para penggiat kemanusiaan itu masih kalah lantang ditelan aroma alkohol yang menguar memenuhi udara Timika, terutama pada akhir pekan. Entah sampai kapan.

Sumber: www.globalmuslim.web.id



Pasal 33 UUD ’45: Konstitusi Kita Yang Terabaikan

http://isal.files.wordpress.com/2010/09/garuda.jpg

Beberapa waktu lalu, sekelompok tokoh agama ramai-ramai “menggoyang” istana. Para tokoh lintas akidah itu menuding Pemerintah kita telah melakukan “kebohongan”: satu kata yang dianggap terlalu kasar dan kemudian menjadi polemik.

Pemerintah kita dianggap tidak sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan rakyat, seperti yang kerap disampaikan dalam berbagai kesempatan. Pemerintah juga dianggap tidak serius menjalankan mandat konstitusi – bahkan mengabaikannya.

Saya tidak hendak membahas polemik tokoh agama versus Pemerintah yang sudah lewat itu. Namun, substansi masalah yang disampaikan oleh mereka itu tampaknya masih relevan – bahkan akan terus relevan – untuk kita kaji, terutama pengabaian terhadap amanat konstitusi.

Salah satu mandat yang terabaikan itu adalah Pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini merupakan salah satu prinsip mendasar bagaimana seharusnya sumberdaya perekonomian kita dikelola.


Production Sharing Contract (PSC)

PSC yang berlaku di dunia migas, menurut saya, adalah satu-satunya model pengelolaan sumberdaya alam yang paling “konstitusional”, khususnya PSC yang berlaku sebelum UU migas No 22 tahun 2001. PSC mengatur prinsip dasar bahwa kepemilikan sumberdaya migas ada di tangan negara (mineral right). Yang berhak menambang (mining right) juga negara, melalui perusahaan milik negara yang diberikan amanat oleh undang-undang.

Ada pun dalam pelaksanaannya, dengan mempertimbangkan kemampuan teknis dan finansial negara, boleh dikerjakan oleh kontraktor swasta, baik nasional maupun asing. Namun, kedua prinsip dasar di atas tetap berlaku. Kontraktor hanya berhak mengambil manfaat ekonomi (economic right) dari kegiatan penambangan migas itu, setelah berada pada titik penyerahan: titik dimana bagian migas negara dan bagian migas kontraktor dipisahkan.

Selama masih ada di perut bumi pertiwi, dan selama negara belum secara resmi memberikan bagian migas yang ditambang itu kepada kontraktor, selama itu pula kepemilikan sumberdaya migas tetap di tangan negara. Karena itu, meskipun kontraktor swasta yang mengebor dan mengangkut minyak atau gas dengan pipa, kendali managemen tetap di tangan Pertamina (dulu) atau BPMIGAS (kini).

Dengan sistem PSC, sumberdaya migas kita telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi pembangunan bangsa, meskipun sebagian kalangan menilai bahwa kita sebenarnya “tidak kaya” migas. Wajar, karena yang mereka jadikan pembanding adalah negara minyak di Timur Tengah sana.
Saat ini, sektor migas menyumbang sekitar 20% APBN – penyumbang terbesar ke dua setelah pajak. Di era 1970-an, bahkan migas menyumbang lebih dari 70% APBN.


Konsesi Tambang: Pengabaian Konstitusi yang Nyata

Lain ceritanya dengan sektor tambang umum, semisal emas, batubara, dan sebagainya. Secara prinsip, sumberdaya tambang umum adalah sama kedudukannya dengan sumberdaya migas di mata konstitusi. Namun, berbeda dengan tambang migas yang menggunakan sistem PSC, di dalam tambang umum masih menggunakan sistem konsesi: sistem yang berjalan sejak jaman kolonial dan hampir tanpa koreksi yang berarti.

Dalam sistem konsesi, kontraktor swasta, baik nasional maupun asing, memiliki hak atas mineral (mineral right), hak menambang (mining right) dan hak atas manfaat ekonomi (economic right) sekaligus.

Meskipun di dalamnya berlaku “pungutan negara” , sebagai bukti seolah-olah bahwa memang mineral yang ditambang itu milik negara. Di dalam industri tambang batubara, misalnya, negara hanya mendapatkan royalti 13,5%.  Untuk tambang emas, sesuai PP No 45 tahun 2003, negara hanya mendapatkan royalti 3,75%.

Namun yang perlu dicatat: pertama, emas atau batubaranya sendiri tetap diboyong oleh kontraktor, tanpa ada mekanime penyerahan dari negara sebagai pemilik sumberdaya itu sendiri; kedua, untuk tambang emas Freeport di Papua, negara hanya mendapatkan 1% royalti. Angka yang sangat mengenaskan.

Emas, batubara, dan juga migas, adalah sama-sama kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi pertiwi. Lalu, mengapa perlakuan mereka dibedakan? Mengapa Freeport sampai detik ini tetap memiliki, menambang dan mengambil manfaat ekonomi emas Papua, tanpa kontrol yang memadai dari negara dan hanya memberikan imbalan sedikit sekali? Bukankah konstitusi kita mendaulat bahwa emas itu milik negara?
Dari sisi ini, saya sependapat dengan para tokoh agama itu, bahwa Pemerintah kita telah “berbohong”: bohong terhadap konstitusi kita sendiri!

Sumber: http://casdiraku.wordpress.com

Pemerintah Wajib Audit Pertambangan Freeport



Pemerintah Wajib Audit Pertambangan Freeport
Suasana di Freeport Papua


Pengamat pertambangan, Marwan Batubara mendesak pemerintah melakukan pemeriksaan secara komprehensif terhadap wilayah pertambangan PT Freeport di Papua. Desakan ini menyusul dugaan Freeport melakukan penambangan urainum di lokasi pertambangannya. “Pemerintah harus tegas, harus mengirim tim yang mampu memeriksa secara menyeluruh dan komprehensif wilayah pertambangan Freeport,” kata Marwan, saat dihubungi, Sabtu (17/7).

Menurut Marwan, pemeriksaan yang dilakukan pemerintah harus disertai audit investigatif. Pemerintah diminta tidak percaya begitu saja sangkalan dari Freeport atas dugaan aktivitas penambangan uranium. Lemahnya posisi pemerintah saat ini, kata Marwan, juga lantaran tidak adanya wakil pemerintah di perusahaan berskala internasional tersebut.

Saham pemerintah yang tidak mencapai 10 persen di Freeport, lanjut Marwan, mengakibatkan pemerintah tidak memiliki wakil di perusahaan tersebut yang bisa mengawasi aktivitas pertambangan di Freeport. Selama beberapa puluh tahun, terang Marwan, Indonesia hanya mewakilkan beberapa komisaris independen dalam jajaran perusahaan Freeport. Baru tahun ini, kata Marwan, Indonesia menempatkan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Andi Mattalatta, sebagai salah satu komisaris di perusahaan Amerika Serikat tersebut. “Selama ini wakil kita cuma jadi komisaris independen yang tidak bisa berbuat banyak,” tegas Marwan.

 http://www.islamtimes.org/images/docs/000044/n00044688-b.jpg




Seperti diberitakan Republika hari ini, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) berencana mengirimkan tim untuk melakukan pemeriksaan uranium ke Papua. Namun, mereka tidak akan mengecek langsung ke pertambangan PT Freeport Indonesia. Pengiriman tim ini terkait dengan dugaan adanya penambangan uranium secara diam-diam di PT Freeport Indonesia.
 

Terkait Penambangan Uranium, Pemerintah Diminta Investigasi Freeport

Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha, meminta pemerintah untuk membentuk tim investigasi guna membuktikan sinyalemen penambangan uranium oleh PT Freeport. Selama tim investigasi itu bekerja, Freeport harus menghentikan kegiatan penambangan.

Pihak yang pertama kali menyebut ada penambangan uranium harus turut serta dalam tim itu. ''Kalau memang ada satu penambang atau penambang mineral menemukan mineral di luar daripada izin tambangnya, itu sudah kita anggap ilegal,'' kata Satya di Gedung DPR, Kamis (15/7).

Dia mengingatkan, Freeport hanya memegang izin penambangan bijih besi, emas, dan tembaga. Penambangan di luar bahan mineral  itu tidak diperbolehkan. ''Saya melihat kalau memang itu disinyalir bahwa ada kandungan uraniumnya, itu pelanggaran serius kalau Freeport tidak melaporkan kepada pemerintah,'' tegasnya.

Selain menyalahi izin penambangan, uranium jelas suatu bahan yang harus mendapat pengawasan karena bahan dasar nuklir. Oleh karenanya, Freeport perlu segera melakukan klarifikasi. ''Harus ada tim investigasi yang dibentuk Kementerian ESDM untuk menindaklanjuti bahwa sinyalemen itu ada atau tidak,'' cetus Satya.

Masalahnya bukan pada keberanian pemerintah semata, namun ini karena Freeport termasuk dalam industri strategis bangsa yang harus mengedepankan transparansi. ''Karena ini masih sinyalemen kita akan tanyakan pada pemerintah dan kita akan meminta kalau memang itu indikasinya kuat betul, sinyalemen itu bisa jadi indikasi kuat, kita akan meminta kepada pemerintah untuk membentuk tim investigasi,'' tandasnya.

 Sumber: www.republika.co.id

Sebuah IRONI Pertambangan Freeport



Pertambangan Freeport sudah tak asing bagi orang Indonesia, karena keberadaan Freeport di Indonesia sudah lebih dari empat dekade. Dalam periode penambangan di Papua, Freeport  kerap kali mendapat kritik terkait penerimaan Indonesia dari Freeport yang tidak berimbang, permasalahan lingkungan, serta konflik sosial yang sering terjadi di wilayah sekitar pertambangan. Tulisan ini bertujuan mengungkap fakta praktek pertambangan Freeport, kemudian menjadi refleksi bersama agar pemnafaatan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat terwujud.

Saat ini potensi tambang Freeport tersimpan di dua wilayah, yakni Erstberg dan Grasberg, Timikia. Kedua wilayah ini terutama menghasilkan tiga jenis mineral, yaitu tembaga, emas dan perak, disamping beberapa jenis mineral lain yang tidak tercatat resmi sebagai produk tambang. Potensi tambang telah dieksploitasi selama empat dekade mengikuti pola Kontrak Karya (KK) yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1967. Berdasarkan kajian atas data-data keuangan ditemukan bahwa penerimaan negara, termasuk penerimaan pemda Papua, dari tambang Freeport masih belum optimal. Faktanya, dari tahun ke tahun penerimaan negara selalu lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh Freeport dan rakyat di sekitar tambang masih banyak yang hidup miskin.


Potensi Ertsberg dan Grasberg 

Pada tahun 1936, sebuah tim yang dipimpin geolog Belanda, Jean-Jacques Dozy, melakukan ekspedisi ke tanah Papua. Tim Dozy sampai ke puncak pegunungan, dimana dijumpai adanya singkapan batuan yang ditengarai mengandung mineral berharga. Penemuan lokasi itu kemudian mengantarkannya ke “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden, Belanda tahun 1939.  Laporan ini mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua. Keduanya meyakini dan belakangan terbukti bahwa cadangan mineral Ertsberg menjadi cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada saat itu.

Analisis laboratorium menunjukkan terdapat kandungan tembaga sebesar “13 acres”, suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Dari informasi yang kami kumpulkan diperoleh bahwa potensi kandungan mineral Ertsberg mencapai 50 juta ton bijih mineral. Dinas Pertambangan Papua menyebutkan cadangan Ertsberg sebanyak 35 juta ton, dengan kadar Cu 2,5%. Jika diasumsikan harga rata-rata tembaga dan emas selama sekitar 20 tahun periode penambangan di Ertsberg  masing-masing US$ 2000/ton dan  US$ 200/ons, maka pendapatan yang dapat diraih dari potensi mineral tambang Ertsbegr adalah (35 juta ton x 2000 US$ /ton + 15 juta ons x US$ 200/ons) =  US$ 100 miliar. Dari potensi US$ 100 miliar ini, tidak diketahui secara akurat berapa pendapatan yang telah diterima negara.

Terlepas dari nilai US$ 100 miliar sebagai potensi pendapatan di atas, kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari Ertsberg. Dalam perencanaan dan kesepakatan awal sesuai KK, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang hanya akan memproduksi tembaga. Ternyata tambang Ertsberg juga menghasilkan emas sebagai by product. Namun tidak diketahui berapa besar emas yang telah dihasilkan, dan berapa pendapatan Freeport dari produk emas sebagai by product ini. Pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat secara seksama. Disamping itu, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang, Spanyol maupun di Amerika.


Disamping tembaga sebagai produk utama, sejak semula Freeport memang telah menghasilkan emas dan perak, tetapi hal ini tampaknya tidak dideklarasikan. Selain itu, selama periode penambangan wilayah Ertsberg, Freeport adalah perusahaan tertutup, sehingga berbagai aspek finansial perusahaan dapat saja tersembunyi dari akses pemerintah dan publik. Dengan demikian, penerimaan negara dari Ertsberg menjadi tidak optimal. Namun disisi lain, Freeport telah menjelma menjadi perusahaan tambang raksasa kelas dunia (menambang di Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika Selatan dan Indonesia), yang saat ini mempunyai total aset sekitar US$ 26 miliar (www.fcx.com).

Setelah menambang di Ertsberg hingga akhir tahun 1980-an, Freeport berpindah menambang di Grasberg, sesuai KK (KK Generasi V) yang ditandangani pada tahun 1991. Penambangan di Grasberg dilakukan secara terbuka (lubang terbuka, open pit) dan juga melalui deep ore zone (DOZ), penambangan gua blok bawah tanah (underground block cave). Penambangan open pit mengahasilkan biji sekitar 57 juta metrik ton pada tahun 2009 dan akan berlangsung hingga 2016. Sedangkan DOZ pada tahun 2009 menghasilkan biji mineral sekitar 26 juta metrik ton dan akan berlangsung hingga tahun 2020. Total produksi Freeport dari Grasberg pada tahun 2009 adalah 1,4 miliar pound tembaga dan 2,6 juta ounces emas.

Berdasarkan laporan keuangan Freeport tahun 2009, disebutkan bahwa cadangan emas, tembaga dan perak tambang Grasberg masing-masing sebesar 38,5 juta ons, 56,6 miliar pound dan  180,8 juta ons. Dengan harga rata-rata harga emas, tembaga dan perak selama periode penambangan diasumsikan masing-masing sebesar US$ 1000/ons, US$ 3,5/pound dan US$ 0,96/ons, maka total potensi yang dapat diperoleh dari tambang Grasberg adalah sekitar (38,5 juta ons x US$ 1000/ons + 56,6 miliar pound x US$ 3,5/pound + 180,8 juta ons x US$ 0,96/ons = US$ 236,77 miliar (sekitar Rp 2200 triliun!). Kita sangat yakin akan diperolehnya pendapatan tambahan karena konsentrat yang dihasilkan juga mengandung sejumlah mineral lain seperti cobalt, seng,  platina, dsb.


Aspek Kontraktual

Freeport (PT Freeport Indonesia, PTFI) memperoleh kesempatan menambang di Papua sesuai Kontrak Karya (KK Generasi I) yang ditandatangani pada tahun 1967. KK memuat sejumlah ketentuan seperti yang tercantum dalam UU No.11/1967 tentang PMA, antara lain kesepakatan menyangkut pajak, pengawasan, repatriasi, royalti, dsb. KK juga berisi ketentuan bahwa Indonesia tidak akan menasionalisasi Freeport dan setiap perselisihan akan diselesaikan melalui arbitrase internasional. Berdasarkan KK I tahun 1967 ini, Freport memperoleh konsesi penambangan di lokasi yang disebut “Blok A” yang mencakup wilayah Ertsberg dan Grasberg, dengan luas sekitar  24,700 hektar.

Pada tahun 1991 pemerintah menandatangani KK baru (Generasi V) dengan Freeport, yang antara lain berisi kesepakatan perpanjangan kontrak (“2 x 10 tahun”) dari tahun 2021 menjadi tahun 2041, dan perluasan wilayah penambangan dari “Blok A” menjadi “Blok A dan Blok B”. Dalam KK V tahun 1991 ini ditetapkan bahwa tambahan luas wilayah tambang yang diperoleh Freeport (Blok B) adalah 6,5 juta hektar! Di Blok B, Freeport telah mulai melakukan kegiatan eksplorasi dalam kawasan seluas 500.000 hektar. Patut dicatat bahwa dalam KK V tahun 1991 ini tercantum ketentuan bahwa perpanjangan kontrak “2×10 tahun” akan efektif jika telah mendapat persetujuan (approval) dari pemerintah Indonesia.

KK I menetapkan bahwa besarnya royalti tembaga yang harus dibayar adalah 1,5% (dari pendapatan bersih, net revenue) jika harga tembaga US$1,1/pound. Sedang royalti emas adalah 1% dari pendapatan bersih. Pada tahun 1998 disepakati royalti tembaga naik menjadi 2 kali lipat (3% & 7%) dan royalti emas menjadi 3 kali lipat (3%), jika fasilitas milling Freeport beroperasi melebihi 200.000 metrik ton/hari. Tambahan royalti tersebut terutama diperuntukkan bagi pendapatan pemerintah dan rakyat Papua.


Penerimaan Negara

Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan yang kontinu, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994, 1,52 juta ton pada tahun 1995 dan 2,8 juta ton pada tahun 2009. Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport.

Selain tembaga, emas merupakan salah satu produk utama Freeport. Hal ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi emas dan perak dalam bahan galian/deposit yang ditemukan. Sejak menemukan deposit emas terbesar di dunia, Freeport berubah menjadi tambang emas raksasa skala dunia. Berdasarkan Annual Report of Freeport McMoran to Security Exchange Commision (form 10-K) 2009 produksi emas FCX/Freeport di Indonesia untuk tahun 2007, 2008 dan 2009 masing-masing 2,185 juta ons, 1,182 juta ons dan 2,543 juta ons. Perlu dicactat bahwa 99% emas yang diproduksi FCX secara internasional berasal dari tambang Grasberg. Sedang total aset PTFI pada akhir tahun 2009 adalah US$ 2,7 miliar.


Tabel 1. Produksi dan Pendapatan PT FI dan Penerimaan Indonesia

Thn. Produksi Pndapatan (juta US$) Gross Profit (juta US$) Pajak (US$) Royalti (US$)
Emas (ribu ons) Tembaga (juta pon)
2004 1.456,2 996,5 1.980 804 266,4 43,5
2005 2.789,4 1.455,9 4.012 2.380 781 103,7
2006 1.732 1.201 4.883 2.929 950 126
2007 2.198 1.151 5.315 3.234 1.326 133
2008 1.163 1.094 3.703 1.415 612 113
Total 7.280, 6
17.893 10.762 3935,4 475.7


Selama berpuluh tahun menambang Freeport telah memperoleh keuntungan finasial yang sangat besar dari Ertsberg dan Grasberg. Keuntungan yang diperoleh Freeport setiap tahun senantiasa lebih besar dari kewajiban pajak dan royalti yang dibayarkan kepada negara RI. Hal ini juga tak lepas dari rendahnya saham yang dimiliki pemerintah di Freeport sehingga deviden yang diterima setiap tahun juga kecil. Namun kerugian pihak Indonesia juga disebabkan karena tidak ikut mengelola perusahaan, sehingga kehilangan  kesempatan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari belanja-belanja operasional dan kapital Freeport setiap tahun.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa setiap tahun keuntungan Freeport jauh lebih tinggi dibanding penerimaan Indonesia sebagai pemilik sumberdaya alam. Total keuntungan Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2004-2008 adalah US$ 10,762 miliar sedangkan total penerimaan negara dari pajak dan royalti hanya US$ 4,411 miliar. Berdasarkan laporan keuangan tahun 2008, total pendapatan Freeport (FCX) adalah US$ 3,703 juta. Dari pendapatan tersebut, Freeport memperoleh keuntungan total sebesar US$ 1,415 juta. Sedangkan pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti hanya mendapat total penerimaan sebesar US$ 725. Pada tahun 2009, laporan keuangan FCX menyatakan keuntungan PTFI adalah US$ 4,074 miliar, sedang penerimaan negara melalui pajak dan royalti adalah sekitar US$ 1,7 miliar.

Dengan harga emas yang berpotensi terus naik (saat ini lebih dari US$ 1100/ons), maka keuntungan FCX/PTFI juga akan terus meningkat (lihat Gambar 2). Namun penerimaan yang seharusnya diperoleh negara tidak sebanding dengan tingkat keuntungan yang diperoleh Freeport. Kecilnya penerimaan negara berpangkal dari kebijakan dan kontrak yang salah dan tidak adil. Oleh sebab itu sangat wajar jika pemerintah, bersama BUMN dan BUMD Papua, meningkatkan nilai sahamnya di Freeport. Namun harga saham yang harus dibayar bukanlah berdasarkan harga pasar FCX, tetapi harga yang telah dikoreksi akibat berbagai praktek KKN yang terjadi sebelumnya. Termasuk yang harus dilakukan adalah menuntut adanya kompensasi akibat kerusakan lingkungan yang timbul selama penambangan di wilayah Grasberg.

Sumber: http://iress.web.id

Tambang Emas Freeport: "Kekayaan Negara yang Terampas"


      PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.

       Freeport mulai banyak menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya berbagai permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli. Namun, dalam pembahasan ini permasalahan yang akan diulas adalah yang berkaitan dengan tidak optimalnya pengelolaan potensi ekonomi sumberdaya mineral di wilayah pertambangan tersebut bagi penerimaan negara.

       Potensi tembaga dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta pengelolaan pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi pemerintah Indonesia. Akibatnya, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak maksimal. Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami kerugian negara yang sangat besar karena tidak optimal, tidak adil, tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu.
 
 

Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi

        Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat dari KK I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar berasal dari keuntungan yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.

        Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut:
  1. Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia. 
  2. Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. 
  3. Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN. 
  4. Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah. 
  5. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial. 
  6. Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.

       Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin. Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.

        Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
 
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per tahun.

       Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.

       Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.

INI KAH CARA PEMERINTAH UNTUK MENYEJAHTERAHKAN RAKYAT KECIL....?????? 
......Coba Kita Bertanya Pada Rumput Yang Bergoyang.......
 
 
Sumber: http://roggersttnas.blogspot.com

Freeport: Berpenghasilan 100 Triliun Cuma Ngasih Royalti 1 Persen? Apa Kata Dunia?


http://newfive.files.wordpress.com/2010/04/freeport.jpg

Tahukah Anda berapa nilai produksi emas Indonesia per tahun? Jumlahnya sangat besar, yakni mencapai Rp120 triliun. Hebatnya, sekitar Rp100 triliun di antaranya berasal dari tambang milik PT Freeport di Papua. Wow….!!!

Dengan hasil sebanyak itu, apakah kita sudah maksimal menikmati royalti dari tambang-tambang emas itu?
Sebagai informasi, seperti dikutip dari hukum online, royalti pertambangan diatur dalam PP No.45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam PP itu, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonnase. Namun ada pengecualian untuk PT Freeport McMorran. Perusahaan tambang asal AS yang beroperasi di Papua ini hanya dikenakan sebesar 1 persen dari harga jual kali tonnase (Hukum Online).
Jadi, dari 100 trilliun per tahun dari hasil penambangan emas PT Freeport di papua, kita Cuma dapat 1 persen? Alamak….!!!

Jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Afrika Selatan, Namibia, dan Tanzania yang juga memiliki sumber daya emas, angka 3,75 persen yang diberlakukan pemerintah itu sebenarnya sudah terlalu rendah. Karena 3,75 persen itu dihitung dari pendapatan bersih. Sedangkan pada negara-negara tersebut, pengenaan royalti emasnya mencapai 3-8 persen dari bruto (pendapatan kotor).

Melihat kecilnya keuntungan yang diraih Indonesia dari alamnya sendiri (khususnya emas), tak mengherankan apabila kemudian pemerintah ingin merenegosiasi tambang emas kita, khususnya pertambangan emas dari PT Freeport.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa (HR) mengatakan pemerintah saat ini sedang mengupayakan renegosiasi seluruh kontrak pertambangan. Sejauh ini tercatat telah 65 persen kontrak kerja siap untuk direnegosiasi.

Renegosiasi ini, lanjutnya, dilakukan kepada semua perusahaan mineral tidak terkecuali emas. “Siapa pun yang kontrak di Indonesia, harus patuh pada undang-undang yang ada,” jelasnya. Renegosiasi ini tak terkecuali dengan PT Freeport.

HR mengungkapkan terdapat beberapa hal yang ditekankan dalam proses renegosiasi ini yaitu pertama, pembagian royalti. Kedua, kewajiban untuk memproses hasil tambang di dalam negeri. Ketiga, terkait perluasan ataupun perpanjangan isi kontrak yang mencakup peraturan, luas areal, dan lain sebagainya. “Kemudian juga (terakhir) bagaimana divestasinya (saham),” tuturnya.

Melihat kecilnya keuntungan yang kita rengkuh dari alam kita sendiri, langkah HR ini penting untuk didukung. Masak berpenghasilan 100 Trilliun setahun, cuma bagi royalti 1 persen? 
Apa kata dunia?

Harapan Rakyat
www.kompasiana.com

Polemik Hibah F-16

http://www.wired.com/images_blogs/dangerroom/images/2008/06/19/f16i.jpg

Kesepahaman antara DPR dan pemerintah dalam pengadaan F-16 masih terus mencari titik temu dari segi teknologi dan pembiayaan. Komisi I DPR, sebagai mitra pemerintah dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional, memberikan beberapa persyaratan dan skema pembiayaan. Seperti apa? Berikut saya paparkan polemik sekitar ini.

DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pengadaan F-16 penting bagi TNI untuk meningkatkan performa dan kewibawaan TNI di lingkungan regional. Tertuang dalam rencana pembelian di tahun 2011, telah disepakati alokasi dana untuk pembelian 6 unit F16 baru untuk block 52+, senilai lebih kurang us$ 430juta. Alokasi pembelian armament (senjata) dipersiapkan secara terpisah.

Dalam perkembangannya timbul opsi lain. Hasil komunikasi antara TNI AU dan pemerintah Amerika, secara Goverment to Goverment, pemerintah Amerika menawarkan program hibah F-16 kepada pihak Indonesia. Program hibah ini disampaikan juga oleh Presiden Barrack Obama dalam kunjungan  singkatnya ke Indonesia pada 9 November 2010 yang lalu. Hibah F-16 ini telah mendapat persetujuan dari Kongres Amerika, dengan komposisi sbb : maksimal 28 unit F-16 block 25, 2 unit F-16 block 15, dan 28 engine utk F-16 block 25, dengan kondisi “as is where is” (seperti itu, di lokasi itu) alias apa adanya untuk pesawat F-16 yang diparkir di Arizona.

Di Arizona, terdapat sebuah padang luas, tempat dimana Amerika memarkir pesawat-pesawat tempur, baik yang masih digunakan maupun yang tidak digunakan lagi oleh militer Amerika. Padang Arizona memiliki kelembaban yang  rendah, sehingga pesawat yang diparkir di sana tidak mengalami korosi/kerusakan akibat humiditas. Kongres Amerika telah memberikan izin 28 unit F-16 untuk Indonesia, sementara Indonesia hanya butuh 24, jadi sudah terdapat titik terang. F-16 yang dimaksud kondisi nya terpakai 4000jam sd 6000jam, sehingga harus dilakukan program Falcon Star agar dapat digunakan hingga 8000jam terbang. Menurut KSAU, rata-rata pesawat akan digunakan 10-20jam/bulan, sehingga pesawat bekas tersebut dapat digunakan selama 12 – 15 tahun.

Karena “as is where is”, berarti delegasi Indonesia harus berangkat ke Arizona akan memilih 24 unit pesawat yang terbaik dari ratusan F-16 yang terdapat di sana.

Dalam penjelasan yang disampaikan menteri pertahanan kepada komisi 1, lebih lanjut ditengarai bahwa pemerintah Amerika ternyata tidak memberikan hibah “begitu saja”. There no ain’t such thing as a free lunch, tidak ada makan siang yang gratis. Mereka menawarkan konsep hibah plus upgrade.

Terjadi Dispute. Proposal yang disampaikan menteri pertahanan, diperlukan biaya sekitar us$ 450 juta – 600 juta untuk proses hibah (termasuk upgrade 24 pesawat) tersebut. Pada kesempatan yang berbeda, terjadi penjelasan Panglima TNI dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I, ada dua catatan terhadap proses hibah dan upgrade ini. Pertama, pesawat setelah diambil dari Arizona, kemudian akan diupgrade ke block 32. Hasil upgrade bisa selesai dan dikirim ke Indonesia, paling cepat pada tahun 2014 sebanyak 4 (empat) unit, setelah itu disusul dengan pengiriman lainnya. Kedua, biaya hibah dan upgrade 450 juta US dollar harus dibayar pemerintah Indonesia di awal, tunai.

Atas persyaratan tersebut, maka terjadilah perdebatan panjang di ruang rapat Komisi I antara anggota Komisi I DPR RI dengan Pihak Kemenhan.

Beberapa pemikiran yang dimunculkan oleh anggota Komisi I antara lain:
Pertama; kalau waktu delivery nya lama, kenapa harus beli bekas. Kalau beli baru, kita butuh waktu sekitar 36 bulan (sekitar 3 tahun) untuk mendapatkan 6 unit saja dengan daya tahan atau pemakaian jauh lebih lama (up to 8000jam pemakaian). Resiko membeli bekas, dari segi teknologi sudah pasti ketinggalan, walau memang harus diakui dari segi jumlah pesawat lebih banyak dengan jumlah uang yang sama.

Kedua; bila membeli bekas dan kemudian akan melakukan upgrade, maka Komisi I secara bulat mempunyai pemikiran, “bagaimana jika 24 unit pesawat F-16 tersebut diupgrade ke teknologi terbaru saja?”. Berdasarkan penjelasan Kemhan dan TNI AU, block 25 dan bloc 52 memiliki 2 perbedaan mendasar yaitu Perbedaan Sistem Avionik (block 32 menggunakan teknologi Commercial Fire Control Computer – CFCC, block 52 menggunakan teknologi Modular Mission Computer – MMC), Perbedaan Engine (engine block 52 berukuran lebih besar), dan Perbedaan Airframe (mengakomodasi mesin block 52 yang lebih besar, dan penambahan ruang angkut bahan bakar). Pilihannya adalah 24 F-16 block 25 tersebut diganti sistem avionik nya (termasuk mengganti cockpit) menjadi sistem avionic block 52 (sistem persenjataan menyesuaikan), sementara airframe dan engine tetap.


Sisi Teknologi

Konsep Hybrid (perkawinan), yaitu F-16 block 25, dengan kekuatan mesin tetap block 25, tapi avionik serta senjatanya di upgrade ke block 52. Keunggulan terdapat di avionic block 52, yang lebih canggih dari avionic block 25 dan block 32. Catatan : Proposal Kemhan mengusulkan agar upgrade avionic dilakukan menjadi block 32.

Pertimbangan yang mengemuka : karena Indonesia negara kepulauan, maka tidak membutuhkan mesin dengan jangkauannya lebih jauh. Untuk menjangkau Malaysia, misalnya, bisa dari kepulauan Riau, atau Pontianak untuk menjangkau wilayah Malaysia yang dekat Kalimantan. Begitu juga, untuk menjangkau Timor Leste bisa dari Kupang.

Dasar pemikiran dari Komisi I dengan konsep Hybryd itu terkait dengan “efek getar” (deterrent effect) dan daya tangkal. Singapura memiliki F-16 block 52 sejak tahun 1998 yang lalu.. Jadi kalau Indonesia di tahun 2014 memiliki 24 unit F-16 yang diupgrade “hanya” menjadi block 32, maka dinilai tidak mempunyai efek getar di kawasan.

Komisi 1 mempersilahkan Kemhan untuk mempersiapkan beberapa opsi, dilengkapi perkiraan biaya dan waktu, untuk menjadi bahan pertimbangan yang diperlukan. Proposal Kemhan untuk meng upgrade menjadi block 32, dan butuh waktu 3 tahun, dengan ongkos us$450 juta, sementara dari segi efek getarnya juga tidak terasa, maka menurut Komisi I, adalah keputusan yang “nanggung”, perbuatan setengah-setengah. Adalah lebih baik sekalian saja beli pesawat tempur baru sebanyak 6 unit blok 52. Selain efek getarnya lebih terasa, umur pemakaian juga akan lebih lama, yaitu sekitar 30 tahun, dibanding pesawat bekas yang hanya berumur 12 tahun.


Sisi Pembiayaan

Polemik kedua berkaitan dengan sisi pembiayaan. Skema pembayaran FMS (Foreign Military Sale) yang ditawarkan oleh pemerintah, sangat menarik, yaitu G to G (negara dibayar oleh Negara). Namun muncul pemikiran : Hibah, kok Mbayar?

Muncul pemikiran : (mungkin) pesawat bekas nya hibah, tetapi di “bundled” dengan membayar utk pelaksanaan program Falcon Star dan Upgrade.

Skema pembayaran FMS, ada kelemahannya : Pemerintah Amerika minta dibayar tunai 70% dimuka. Artinya, pesawat dikirim 2014 tapi pemerintah harus bayar lebih dulu, sekarang juga. Uang sebesar itu (70% x US$ 450 juta) tertahan diam di kas pemerintah Amerika. Sungguh disayangkan, semestinya dana sebesar itu bisa kita manfaatkan untuk membeli keperluan TNI lainnya seperti pembangunan pesawat patroli, kapal patroli, tank tempur, dan lain-lain. Ada masukan agar melalui Pinjaman Dalam Negeri oleh Bank Pemerintah, sebagai contoh melalui Bank Mandiri cabang New York, Bank Mandiri atas nama Pemerintah membayar penuh ke pemerintah Amerika, sementara Kemhan membayar ke Bank Mandiri secara installment per tahun (dicicil).

Komisi I sekarang ingin berbuat lebih baik dalam masa pengabdiannya. Jangan sampai hanya menjadi “tukang stempel” pemerintah. Tapi harus benar-benar menjadi mitra pemerintah dalam menghasilkan sesuatu yang terbaik untuk bangsa dan negara. Karenanya Komisi I membahas setiap persoalan, secara detil, teliti, dan berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara secara konsisten.


Sisi Pengerjaan Upgrade

Komisi 1 juga menyampaikan pemikiran : untuk memberdayakan kemampuan engineering Dalam Negeri, bagaimana bila proses Falcon Star dan Upgrade Block, dilakukan di wilayah Republik Indonesia? Sehingga terjadi proses pembelajaran dan transfer of technology yang bisa diserap oleh bangsa Indonesia. Kalau proses Falcon Star dan pelaksanaan Upgrade sepenuhnya dilakuka di Amerika, komisi 1 menganggap tidak ada nilai lebih yang signifikan buat industri pertahanan Dalam Negeri. Ini bagian dari komitmen Komisi 1 untuk mendukung pemberdayaan terhadap teknologi dan industri dalam negeri dalam menuju kemandirian alutsista. Pengerjaan upgrade-nya harus dilakukan di Indonesia dengan supervisi dari pihak produsen utama. Kami di Komisi I mengetahui bahwa anak-bangsa kita mempunyai potensi dan kemampuan untuk di bidang teknik perawatan dan upgrade alutsista.

Memahami pemikiran Komisi 1, anak bangsa Indonesia akan mempunyai kesempatan untuk melakukan bongkar-pasang pesawat-pesawat F-16 tersebut. Meskipun mengerjakan barang bekas, ilmu dan pengetahuan yang diperoleh anak bangsa tersebut merupakan aset yang sangat berharga dalam perjalanan bangsa ke depan. Jelas itu jauh lebih berguna bila dibandingkan : beli barang bekas, diupgrade oleh produsen langsung, duit terbang ke negara lain, sementara bangsa sendiri tidak pernah diberi kesempatan untuk pintar.

Jadi selain syarat teknologi dan pembiayaan, Komisi I juga memberikan penekanan pada aspek pengerjaan up-grade tersebut.

Dalam dua kali pertemuan, yaitu Senin (19/09) dan Rabu (21/9) antara pihak Pemerintah dan DPR, kesepakatan belum dicapai. Pihak pemerintah masih akan mengkaji keinginan Komisi I, dan Komisi I juga belum bisa menyetujui kemauan pemerintah. Pihak pemerintah yang hadir dalam pertemuan antara lain Menhan, Wamenhan, Sekjenhan, Panglima TNI, Asrenum  (Asisten Perencanaan Umum) didamping oleh Kasau, Wakasau, dan jajaran Angkatan Udara.

Semoga informasi deskriptif ini bermanfaat bagi masyarakat untuk memberikan masukan yang terbaik untuk bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Fayakhun
www.kopasiana.com