Masuknya Islam di
tanah Jawa tidak bisa lepas dari rangkaian sejarah. Dan sejarah tentang
Walisongo (sekitar 600 tahun yang lalu) adalah sebuah rangkaian sejarah
yang menyertai masuknya Islam di tanah Jawa yang pada masa itu masih
didominasi oleh Hindu-Budha, dan sebagian lagi masih menganut
kepercayaan masa Megaliticum. Ada yang perlu kita ketahui tentang
sejarah ini dengan pandangan bijak agar tidak terjebak dalam segala
pandangan yang bersifat “Neo” akan sebuah sejarah…..
Walisongo
itu adalah suatu da’wah atau dewan mubaligh, apabila seorang dari
anggota dewan itu meninggal mala akan di gantikan oleh wali lainnya.
Seperti tersebut dalam kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yg penulisnya
dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Magrobi, walisongo melakukan sidang 3
kali yaitu:
1404 — 9 wali
1436 — masuk 3 wali pengganti
1463 — masuk 4 wali pengganti
Walisongo periode 1
waktu Sultan Muhammad 1 dari Turki,
mengirimkan utusan untuk menyebarkan islam di tanah jawa karena
mendengar kabar ada 2 kerajaan Hindu : Majapahit dan Pajajaran. pada
tahun 808H/1404M para ulama berangkat ke pulau jawa
1. Maulana Malik Ibrahim-Turki-ahli mengatur negara-dakwah di jawa timur-wafat di gresik 1419M
2. Maulana Ishak – Samarqand(Rusia)– ahli pengobatan–setelah Jawa pindah ke pasai- wafat dsana
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra–Mesir–dakwah keliling–Trowulan Mojokerto
4. Maulana Ahmad Al Mahrobi–Maroko–dakwah keliling–1465M di Jatinom
5. Maulana Malik Isroil–Turki–ahli mengatur negara–1435M–Di Gunung Santri
6. Maualana Muhammad Ali Akbar–Persia–ahli pengobatan –1435M- Di gunung Santri
7. Maulana Hasanuddin–Palestina–dakwah keliling–1462–Samping mesjid Banten Lama
8. Maulana Alayudin–Palestina–dakwah keliling–1462–samping Mesjid Banten Lama
9. Syekh Subakir–Persia–ahli menumbali tanah angker–kembali ke persia 1462M
Periode 2
Masuk 3 wali baru sidang diadakan di Ampel Surabaya
1. Raden Ahmad Ali Rahimatullah–Cempa– menggantikan Malik Ibrahim
2. Sayyid Ja’far Sodiq–palestina–menggantikan Malik Isroil
3. Syarif Hidayatullah–palestina–mengantikan Maulana Ali Akbar
Periode 3 (1463M)
Masuk masuk 4 wali baru sidang berlangsung di Ampel Surabaya
1. Raden Paku(Syekh Maulana Ainul Yaqin) —Sunan Giri–menggantikan Syekh Maulana Ishak
2. Raden Said (Sunan Kalijaga)–menggantikan Syekh Subakir
3. Raden Makdum Ibrahim(Sunan Bonang)–menggantikan Maulana Hasanuddin
Periode 4
Masuk 2 wali menggantikan Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Magrhobi
1. Raden Hasan (Raden Patah)
2. Fathullah Khan
Periode 5
Sunan Muria–Raden Umar Said
“Walisongo”
berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan
Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada
saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan
erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik
Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim
yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad
adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus
murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid
Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain,
kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. Mereka
tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad
16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa
Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada
masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari
kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri
adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan
Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin
pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator
karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan
Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran
Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan
Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat
secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing
tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai
dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis
sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa
-yakni nuansa Hindu dan Budha .
Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419)
Maulana Malik
Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di
Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi
Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa
terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik
Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah
menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama
terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang
Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi
putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat
(dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana
Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa
versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah
yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada
dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah
Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas
pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara
membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri
untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa.
Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek
Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul
masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu.
Maka sempurnalah
misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang
ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura,
Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Ia putera tertua
Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan
Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di
Campa pada 1401 Masehi. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan
bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat
lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini
bernama Jeumpa.
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat
dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang
kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).Beberapa
versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M
bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa,
mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang,
kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.
Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang
dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu
Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di
Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri.
Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan
Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam
pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra
dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun
1475 M.
Di Ampel Denta
yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun
mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat
sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan
mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan
Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah
ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut
fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah.
Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh
maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak
minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan
tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Ia anak Sunan
Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya
adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok
Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang
mayoritas masyarakatnya beragama Hindu.
Di sana ia mendirikan Masjid
Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa
Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia
membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal
dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi
pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya
untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap
berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun
Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya
dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat
diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti
Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu
fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga
mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di
tempat-tempat gersang.Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat
‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi.
Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat)
dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai
masyarakat.
Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan
karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah
“Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al
Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin,
bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu
Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga
menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi nuansa baru.
Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa
seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika
itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan
transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya
Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah
dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah
lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan
Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi
(peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
Sunan Kalijaga
Dialah “wali”
yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar
tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban
-keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga
adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti
Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat
beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari
dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di
Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di
sungai (kali) atau “jaga kali”.
Namun ada yang menyebut istilah itu
berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai
“penghulu suci” kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami
masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir
pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung
Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan
Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus
sahabat dekatnya, Sunan Bonang.
Paham keagamaannya cenderung “sufistik
berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia
sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka
ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini
sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah
tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya).
Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak
masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah
bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj,
lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat
Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar
tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran
Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari
para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain,
ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati.
Dengan demikian,
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra
Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat
dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati
juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian
menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun,
Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M,
Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon).
Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia
putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi
Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra
Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia
pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada
Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa
Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat.
Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang
kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya
pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan
Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia
memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang
di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi
simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang
surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.Sunan
Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001
malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya
berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya,
ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut
bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur
melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Muria
Ia putra Dewi
Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak,
dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria
diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18
kilometer ke utara kota Kudus.Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara
ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria
lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan
melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan
pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak
(1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai
masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu
dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah
dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil
dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti .
Sekilas tentang Kesultanan Demak (1500 M)
Kesultanan Demak
berdiri pada tahun 1500 M di Bintoro (Demak) oleh Pangeran Jimbun, putra
Prabu Brawijaya V dari Majapahit dengan putri Champa. Setelah jadi
sultan bergelar Raden Patah, dan memerintah selama 18 tahun. Dalam
pemerintahannya dibantu oleh Walisongo. Setelah meninggal diganti
putranya Pati Unus, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor,
karena ia pernah memimpin armada laut Demak melawan Portugis di Selat
Malaka pada tahun 1511 M. Pati Unus hanya memerintah selama 3 tahun dan
digantikan adiknya Pangeran Trenggono.
Tahun 1527 atas jasa panglima
perangnya Fatahillah berhasil mencegah pasukan Portugis yang hendak
mendarat di Sundakelapa (kini
Jakarta). Selama pemerintahannya banyak melakukan pembebasan ke
daerah-daerah sekitarnya. Sultan Trenggono mati syahid dalam pembebasan
Pasuruan. Sepeninggalnya terjadilah intrik dalam keluarga kesultanan
Demak.
Penggantinya Sunan Prawoto dibunuh oleh suruhan Aryo Penangsang,
adipati Jipangpanolan yang membalas dendam atas kematian ayahnya. Namun akhirnya Aryo Penangsang tewas di tangan
Sutowijoyo, putra angkat Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang
diangkat jadi adipati di Pajang. Joko Tingkir memboyong pusaka keraton
Demak ke Pajang dan sejak itu berakhirlah riwayat Demak sebagai
kesultanan, dan berganti menjadi kadipaten
Sumber tulisan : Dzikrullah.com, Kaskus.com