Kamis, 09 Juni 2011

Ketika Keadilan (masih) Menjadi “Barang Mahal”

“Setelah selesai nanti, kamu mau menjadi apa?” tanya seorang teman kepada rekannya. “Aku mau menjadi seorang Pengacara,” jawabnya. “Kenapa tidak menjadi Hakim saja. Kamu pantas menjadi seorang Hakim!” tegasnya. “Ah.. Saya tidak punya cukup uang untuk menjadi Hakim.”


Seperti itulah percakapan dua rekan saya di tengah teriknya sinar matahari siang itu di Fakultas Hukum Unhas, Selasa, (19/4).

Harus diakui, penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini masih diselimuti segudang permasalahan. Berbagai bukti telah tersaji, baik berdasarkan pengamatan langsung, melalui pemberitaan media, hingga wacana yang berkembang dalam masyarakat, telah cukup membuat kita miris akan kelangsungan negara hukum (rechstaat) ini. 

Lihat saja “opera penegakan hukum” yang selama ini dipertontonkan. Artalita Suryani, seorang terpidana suap atas Jaksa Urip yang diberi fasilitas mewah selama dalam tahanan. Plesiran terpidana kasus mafia pajak, Gayus Tambunan ke luar negeri, dengan terlebih dulu menyogok sejumlah petugas. Dan terakhir, terkuaknya pergantian narapidana (joki napi) di Lapas Bojonegoro, menjadi serangkaian potret buram sistem hukum kita.

Hal yang sangat kontradiktif dengan posisi hukum dihadapan masyarakat kecil. Masih membekas di benak kita akan vonis pidana penjara yang diterima Mak Mina, seorang nenek berumur 55 tahun, yang dituntut karena telah mencuri tiga buah kakao. Atau kasus Prita Mulya Sari beberapa waktu lalu, yang mengusik rasa keadilan kita. Mereka adalah korban diskriminasi hukum, yang lebih berpihak pada kalangan “berduit”.

Mak Mina dan Prita Mulya Sari mewakili kalangan rakyat tak berpunya, yang mendapat perlakuan diskriminasi hukum. Sementara Artalita dan Gayus adalah kalangan berpunya yang mendapat keistimewaan di depan hukum. Lantas, bagaimana dengan prinsip “persamaan di depan hukum” (equality under the law) yang selama ini didengungkan?


Krisis Moralitas

Dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita telah berkembang menjadi begitu kompleks. Keadilan sepertinya menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan. Kalaupun ada, harus “dibeli” dengan harga yang cukup mahal. Maka tak heran, yang dapat menikmati keadilan di negara hukum ini hanyalah segelintir orang, yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya. Namun sebaliknya, praktik korupsi justru tumbuh subur dan semakin terjaga kelestariannya. 

Standar moralitas penegak hukum terbukti sangat rendah, terlebih jika mengamati realitas penegakan hukum kita saat ini. H. L.A. Hart (1965) mengatakan bahwa untuk menciptakan keadilan, hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, aturan, dan moral. Karenanya, hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Imam Mustofa, 2007:3).

Jadi apabila ingin menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka unsur moral harus terpenuhi. Belum terciptanya rasa keadilan atau dengan kata lain gagalnya penegakan hukum dalam masyarakat kita sampai saat ini, tidak terlepas oleh krisis moralitas yang melanda aparat penegaknya.

Mengutip apa yang disampaikan Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum mampu membuat rakyat bahagia.

Namun sayangnya, sekali lagi, aparat penegak hukum kita sepertinya masih enjoy dengan sistem yang terbangun saat ini, sekalipun disadari rusak. 


Keadilan Transaksional 

Keadilan adalah akhir dari proses hukum. Namun untuk mewujudkan hal tersebut, masih melewati proses panjang. Diawali dari proses pendidikan hukum di jenjang perkuliahan, hingga pada pembentukan karakter penegak hukum; Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara, yang profesional dan berintegritas. Semuanya dilakukan secara bertahap, demi satu tujuan mulia, mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Terkait proses rekruitmen, sedari awal saja sudah menuai banyak masalah. Utamanya terkait praktik nepotisme dan politik uang. Nepotisme terkait dengan sistem politik kekerabatan dalam perekrutan. Sementara politik uang, sudah menjadi “rahasisa umum” bahwa untuk dapat lolos seleksi, seorang calon harus “menyumbang” sekian juta, sekalipun dengan kualitas yang minim. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada juga diantara aparat penegak hukum yang profesional, berintegritas serta tetap menjunjung tinggi etika profesi, namun harus melawan ‘status quo’ yang sudah tercipta sebelumnya. 

Quo vadis praktik nepotisme dan politik uang di atas, yang selama ini merongrong wibawa penegakan hukum, serta mengusik rasa keadilan kita (common sense). Jadi, wajar saja apabila nada pesimis akan keadilan di negeri hukum ini masih setia bergema dari para pencari keadilan (justiciable). Ironis memang.

Kendati beragam fakta di atas tersaji di depan mata, pihak-pihak terkait tampaknya tutup mata dengan praktik buruk yang telah menjadi kebiasaan (custom) dalam kultur hukum kita, dan telah berlangsung lama. Ibarat pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”, suara-suara yang meminta diadakan reformasi segera ditelan buta dan oleh tulinya tembok birokrasi. Sehingga tak ayal, aparat yang menjadi output dari kultur yang tidak bersih itu pun berwatak transaksional. Inilah yang kemudian penulis maksud sebagai Keadilan Transaksional. Saat segalanya diukur dengan uang. Saat dimana uang menjadi “raja”, dan penegak hukum yang bermental korup menjadi “budaknya”. 

Kondisi seperti yang digambarkan di atas sungguh-sungguh berimplikasi negatif terhadap moralitas penegakan hukum di negeri ini. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan indikator. Pertama, pendekatan dalam rekrutmen instansi hukum lebih menonjol aspek nepotisme (kekeluargaan) dan politik uang (budaya sogok), serta mengesampingkan faktor kualitas. Seperti banyaknya jumlah aparat yang ada tidak sebanding dengan kualitas kinerja. 

Kedua, praktik korupsi karena penyalahgunaan jabatan (abuse of power) di dalam dunia hukum, seolah dianggap sebagai hal yang wajar dan sah-sah saja menurut para pelakunya. Kondisi ini dimaklumi mengingat proses sebelum menjadi penegak hukum umumnya, ditentukan oleh dua hal utama; kekerabatan dan politik uang. Untuk faktor kedua, lumrah kemudian actor penegak hukum akan berpikir untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan selama menjalani proses awal (rekruitmen), dengan menggunakan segala cara ketika telah menjabat.

Lalu apakah quo vadis sistem penegakan hukum (law enforcement system) kita selamanya akan seperti ini? Saya kira sudah saatnya untuk bertindak. 


Solusi Komprehensif

Berpijak pada pemaparan berbagai realitas yang telah tersaji, maka sudah saatnya reformasi di internal penegak hukum dimulai dari sekarang. Dengan mereformasi; institusi, watak serta mentalitas penegak hukum, sudah selayaknya aparatur hukum lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan, yang termanifestasi ke dalam proses rekruitmen yang bersih dan transparan, karena proses rekruitmen adalah pondasi yang akan menguatkan penegakan hukum di masa mendatang.
Selain itu, dibutuhkan keberanian dan keseriusan untuk melawan sistem hukum yang telah mengakar (akut) ini. Jika diibaratkan sebuah bangunan, proses rekruitmen menjadi titik sentral dan cerminan terhadap bangunan hukum di negeri hukum ini.

Disamping itu, salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah penegakan hukum yang berbasis moral. Tanpa didukung kesadaran moral dari para aparatnya, non sense suatu norma hukum dapat berjalan dengan baik. Karena itu, jika aspek moralitas sudah terpenuhi, maka praktik “tawar-menawar harga” dalam proses rekruitmen instansi hukum, hingga plesiran seorang terpidana, tidak akan ditonton lagi. Semoga!

Menarik apa yang dikatakan Imam Muhammad Baqir, seorang ulama besar islam, yang mengatakan, “Orang yang paling besar penyesalannya di hari akhir adalah orang yang sudah mengenal keadilan, lalu ia menyalahinya dan menjalankan sebaliknya.”

Ahsan Yunus
Sumber: kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar