Minggu, 19 Juni 2011

Poligami, Budaya Arab Atau Ajaran Islam?

Sekelompok wanita muslim mendeklarasikan  Klub Taat Suami,  menurut Gina Puspita pembentukan klub ini dinilai perlu, guna mengembalikan cara berfikir kaum hawa yang belakangan cenderung meninggalkan ajaran Islam. Perkumpulan para istri yang notabene dipoligami suaminya itu, sengaja dibentuk untuk memberikan pemahaman pentingnya menjadi istri sholehah bagi seorang muslimah. Ajaran Islam yang menghimbau wanita menyadari fitrahnya sebagai makmum (pengikut) dalam sebuah rumah tangga semakin tergeser dengan cara pikir di luar norma islam yang dipandang modern, adalah rugi bagi wanita yang tidak bisa bersikap sholehah sebagaimana yang dianjurkan dalam agama Islam.

Selanjutnya , tidak hanya sebatas melakukan ritual keagamaan secara istiqomah (konsisten), tetapi juga mengikuti jejak langkah (sunnah) Rasul. “Salah satunya, harus ikhlas menghadapi suami yang mempunyai keinginan menikah lebih dari satu atau poligami,” katanya. Gina mengibaratkan istri sebagai seorang penumpang dalam sebuah kendaraan, penumpang (istri) sudah selayaknya patuh kepada sopir sepanjang tidak mengancam jiwanya agar tujuan penumpang itu tercapai.

Itulah cuplikan berita yang saya baca hari ini yang dilansir berberapa media, sebuah peristiwa yang menarik yang mungkin bertentangan dengan pandangan kesetaraan gender yang belakangan ini banyak diperjuangkan kaum wanita. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah para pria dapat memperlakukan istrinya secara adil ?. Apakah benar wanita rela diduakan ?.  Terlepas dari pandangan agama yang sudah umum kita dengar sebagai alasan lelaki berpoligami, yang terpikir oleh saya adalah capek !. Capek mondar mandir, capek harus melaksanakan kewajiban, capek mengongkosi dan lebih dari itu persoalan muncul pada anak keturunan dimana akan timbul pandangan anak warga kelas satu atau kelas dua kalau sang ayah tidak mampu merukunkan antar istri-istrinya.

Jika kita mempelajari sejarah perkembangan ajaran Islam yang berkembang dari lingkungan bangsa Arab yang masih menganut perbudakan wanita, tentu saja ajaran Islam  tidak akan mendapat penganut apabila dalam pendekatan ( approach ) penyebarannya secara ekstrem menghapus kebiasaan budaya  Arab itu. Padahal sebagaimana yang saya pahami dalam ajaran Islam bahwa hanya Allah yang dapat berbuat adil sebagaimana dimaksud dalam syarat berpoligami.  Dalam Surat An-Nisa’ ayat 3: ”…Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”

Di sini dijelaskan bahwa salah satu syarat berpoligami itu adalah berlaku adil, yang sangat tidak mudah dilakukan, walaupun keadilan yang dimaksudkan bukanlah sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‘ ayat 129: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…”  

Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang poligami dalam Islam, maka perlu kita perhatikan firman Allah SWT:
“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak atau perempuan yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinlah dengan perempuan lain yang menyenangkan hatimu; dua, tiga, atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (terhadap istri yang terbilang), maka kawinilah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya” (An-Nisa` 3).

Menurut riwayat beberapa imam hadits sesuai dengan lafal Muslim dari Urwah bin Zubair dari Aisyah RA, dinyatakan bahwa Urwah bertanya kepada Aisyah, bibinya, tentang ayat ini. Aisyah menjawab: Wahai anak saudara perempuanku, yatim yang dimaksudkan di sini adalah anak perempuan yatim yang ada di bawah asuhan walinya, yang mempunyai harta kekayaan yang bercampur dengan harta walinya itu. Harta serta kecantikan anak yatim ini menjadikan walinya tertarik untuk menikahinya, tetapi ia (walinya) tidak mau memberikan mahar kepadanya dengan adil. Wali ini tidak mau membayar mahar anak yatim ini seperti mahar yang semestinya diterima perempuan-perempuan lain. Hal inilah yang membuat wali anak yatim ini dilarang menikahinya, kecuali kalau ia mau berlaku adil kepada mereka dan mau memberikan mahar yang lebih tinggi dari biasanya. Kalau tidak mau melakukan seperti itu maka mereka disuruh mengawini perempuan lain saja yang mereka senangi…”. kemudian Aisyah menyebutkan ayat: “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil dalam menikahi anak yatim, maka kawinlah kamu dengan perempuan-perempuan lain yang menyenangkanmu…”.

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang laki-laki tidak begitu saja bisa menikahi siapa saja yang diinginkannya dan berapa jumlah yang ia mau, tetapi ada aturan dan ketentuan yang harus diperhatikan dan dipatuhi­nya.

Ketentuan itu meliputi:
Pertama, larangan meni­kahi anak yatim bila takut tidak akan bisa berlaku adil dalam hal mahar, yaitu tidak dapat memberikan mahar –minimal– sama besarnya dengan mahar perempuan-perempuan lain. Kepada mereka ini dianjurkan memilih untuk menikah dengan perempuan lain saja.

Kedua, seorang laki-laki dihalalkan menikah lebih dari satu orang perempuan, bahkan sampai kepada empat jika ia sanggup untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan. Ketiga, seorang lelaki hanya boleh menikahi satu orang perempuan saja jika ia takut akan berbuat durhaka kalau menikahi lebih dari satu orang. Keempat, seorang lelaki hanya boleh menikahi seorang budak jika ia tidak sanggup menikahi seorang perempuan merdeka, sementara ia sangat memerlukan seorang istri.

Dan jika kamu takut (khawatir) tidak akan bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim yang ingin kamu nikahi dalam hal mahar dan nafkah, sehingga kamu takut tidak dapat memberikan haknya sebagai istri sebagaimana mestinya, maka janganlah kamu mengawininya. Allah mem­berikan pilihan lain untukmu, yaitu perempuan-perempuan yang tidak yatim yang dihalalkan bagimu untuk menikahinya, tidak hanya satu, tapi boleh dua, tiga, atau empat.

Menikah lebih dari satu, yang dikenal dengan sebutan poligami, tidak boleh lebih dari empat. Artinya seorang lelaki paling banyak hanya bisa mem­punyai empat istri dalam waktu yang bersamaan. Inilah pendapat yang disepakati oleh ijma’ kaum muslimin. Hal ini dijelaskan pula oleh hadits yang diriwa­yat­kan oleh Imam Malik dalam kitab Muwaththa‘, Nasa‘i dan Daruquthni, dalam Sunannya bahwa: “Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah Ats-Tsaqafah yang masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang istri. Nabi bersabda: “Pilihlah empat orang di antara mereka dan ceraikanlah yang lainnya”.

Dan dalam Kitab Abu Daud dari Haris bin Qays, ia berkata: “Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya, lalu saya cerita­kan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau ber­sabda: “Pilihlah empat orang di antara mereka”.
Adapun kebolehan Nabi berpoligami lebih dari empat bukan didasarkan kepada ayat ini, tetapi pengecualian yang diberikan oleh Allah khusus kepada beliau. Allah membolehkan berpoligami sampai jumlah empat itu adalah dengan kewajiban berlaku adil di antara mereka dalam berbagai urusan, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya tanpa membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Bila sang suami khawatir akan berbuat zalim, tidak dapat memenuhi hak-hak mereka secara adil, maka diharamkan baginya untuk berpoligami.

Bila seorang suami hanya bisa memenuhi hak tiga orang istri, maka haram baginya untuk meni­kahi yang keempat. Jika sanggupnya hanya memenuhi hak dua orang, haram baginya menikahi yang ketiga. Dan bila sanggupnya hanya memenuhi hak satu orang dan ia khawatir akan berbuat zalim kalau menikahi dua orang, maka dia hanya boleh kawin satu saja dan haram menikahi dua orang. Bahkan bagi seorang lelaki yang tidak mampu memenuhi hak seorang perempuan merdeka, maka ia hanya boleh menikah dengan budak kalau memang keadaan memaksa dia untuk menikah. Inilah yang ditegaskan oleh ayat ini.

Dalam satu hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‘i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah dijelas­kan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan salah satunya (tidak berlaku adil), maka ia akan datang di hari kiamat dengan bahu yang miring.” Keadilan yang dimaksud oleh ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa‘ ayat 129, karena adil yang dituntut dalam surat An-Nisa‘ ayat 3 adalah adil dalam hal-hal yang bersifat lahiriah yang disanggupi dan dapat dikerjakan oleh manusia, bukan dalam hal cinta dan kasih sayang. Keadilan dalam hal yang disebut­kan terakhir inilah yang tidak akan disanggupi oleh manusia, dan inilah yang dimaksudkan oleh ayat 129.

Mengenai hal ini Aisyah menyebutkan bahwa: “Rasulullah selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan beliau berdoa: “Ya Allah, inilah pembagianku terhadap istri-istriku pada apa yang aku miliki. Karena itu, janganlah Engkau cela aku atas apa yang Engkau kuasai dan tidak aku kuasai”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‘i, dan Ibnu Majah, dari Aisyah.)  Memilih untuk menikahi seorang istri, atau mengambil seorang budak sebagai istri, adalah langkah yang lebih baik untuk meng­hindari perbuatan zalim dan zina.

Dari paparan dan penjelasan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa poligami di dalam Islam bukanlah dianjurkan, tetapi hanya dibolehkan. Pembolehan ini juga tidaklah untuk semua orang yang mau berpoligami, tetapi hanya diperuntukkan bagi orang yang membutuhkan itu sebagai jalan keluar dari persoalan yang dihadapi, dengan syarat mereka mengerti hakikat dan aturan hidup berpoligami, serta mampu memenuhi aturan itu, sehingga hikmah berpoligami dapat diwujudkan dan segala dampak negatifnya bisa diatasi.  Terkait dengan pembentukan klub istri taat suami diatas, jika kita simak ulasan diatas sesungguhnya merupakan bentuk dari persetujuan dari para wanita itu untuk hal yang tidak dianjurkan dalam Islam. Pro kontra poligami yang terjadi selama ini lebih merupakan pemahaman yang bias oleh adanya pro kontra itu. Tentunya, alangkah baiknya para wanita memandang ajaran islam tentang poligami tersebut tidak  sebagai alasan pembolehan tetapi lebih pada menghindari hal2 yang berdampak negative.

Momon Mumed


Sumber: kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar