Sabtu, 09 Juli 2011

Kisah Gayus Terulang di Surabaya

Masih ingat kasus gayus tambunan, narapidana yang keluar masuk  lapas Brimob Kelapa Dua dengan imbalan sejumlah uang ?  Cerita yang sama kini terjadi di Sidoarjo. Adalah seorang narapidana bernama Hariansyah Limantara. Terpidana kasus pemalsuan dokumen yang bebas keluar masuk Lapas Delta Kelas II Sidoarjo seminggu dua kali. Bertemu dan bercengkerama dengan keluarganya, bahkan makan2 di restoran denga kawalan seorang sipir. 
Berkat laporan investigasi wartawan Jawa Pos, kasus ini terungkap. Dan bagaikan ditempeleng untuk kesekian kalinya, pasca terungkapkan kebobrokan praktek pungli dan pesta narkoba di lapas, Menkumham Patrialis Akbar menjadi marah besar. Bahkan hari ini pak menteri telah mengirim tim inspektorat untuk melakukan pemeriksaan atas semua petugas, dan memerintahkan pencabutan atas semua hak Hariansyah. (Jawa Pos, 8/7-2011)


Cerita bermula ketika wartawan Jawa Pos mendapat informasi sumber bahwa hari itu (rabu, 6/7/2011) akan keluar lapas. Dengan bekal informasi itu, Jawa Pos menyanggong di depan lapas mulai jam 02.30.  Menit ke menit, jam ke jam ternyata hingga jam 05.00 tidak muncul. Tanda-tanda napi itu akan keluar baru terasa pada jam 08.50. ketika sebuah izusu panther masuk ke dalam komplek lapas. Sekitar 15 menit kemudian muncul sang napi dengan dikawal seorang sipir. Mereka kemudian diikuti dan mampir ke rumah kerabat. Dengan membawa istri, anak dan pengacaranya kemudian mereka melanjutkan perjalan ke sebuah restoran ayam goreng di Jalan Sulawesi.

Mereka duduk dan makan bersama dalam sebuah ruang terpisah, sementara sang sipir duduk sendiri di sudut rumah makan yang masih dalam satu ruangan rumah makan tersebut. Wartawan kemudian menyapa sipir yang kemudian bersikap gugup dan panik. Bahkan nyaris terjadi keributan di luar restoran.


Kisah sang napi sendiri sebelumnya dalam proses sidang penuh rekayasa. Hariansyah tidak pernah ditahan selama sidang hingga proses kasasi. Tidak mudah meringkus Hariansyah. Butuh waktu berbulan-bulan untuk memaksa napi 48 tahun itu masuk penjara. Bahkan, setelah ditahan pun, dia sudah menyiapkan skenario pindah lapas dari Kalimantan Selatan ke Sidorjo di Jawa Timur agar bisa bebas keluar-masuk rutan. 

Kasus ini jelas membuka lebih gamblang beragam praktek kotor yang telah banyak terungkap sebelumnya. Bagikan fenomena gunung es. Satu persatu kebusukan terungkap. Telinga menjadi tuli, otak menjadi mati. Para pemimpin hanya punya jargon tanpa action. Kasus yang lalu tak pernah menjadi pelajaran untuk berbenah diri. 

Di seberang lain,  media massa telah membuktikan kepiawaiannya sebagai the fourth pillar dalam sistem kenegaraan. Melalui investigative jurnalism mereka terbukti melakukan kontrol yang efektif terhadap tiga pilar kekuasaan yang terbukti rapuh dalam menjalankan amanat rakyat. 

Sumber: Jawa Pos 7/7/2011 dan 8/7/2011

Kartono Wae

www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar