Sabtu, 09 Juli 2011

Omong Kosong Mencegah Korupsi (1)

Maraknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi semakin menegaskan, wilayah politik memang jadi ajang utama menjarah harta negara. Memang aksi jual beli perkara yang melibatkan polisi, jaksa dan hakim, tidak kalah marak. Namun kerusakan dunia hukum itu, jangan-jangan merupakan akibat lanjut ulah para politisi juga?

Perhatikan: semua hakim agung dipilih oleh DPR; demikian juga seorang jenderal polisi tak mungkin jadi kapolri jika tidak di-acc DPR. Jaksa agung memang menjadi hak presiden untuk mengangkatnya. Tetapi siapa percaya presiden bebas dari pengaruh politisi-politisi di sekitarnya.

Jika memang demikian, bagaimana membersihkan dunia politik dari para politisi berwatak buruk? Inilah masalahnya besarnya! Sebab untuk membebasakan wilayah politik dari para politisi buruk diperlukan seperangkat kebijakan. Celakanya, kebijakan itu merupakan kewenangan mereka.

Jadi, kalau mereka tidak mempunyai kesadaran pikiran, tidak memiliki kesungguhan hati, tidak ada kehendak bersama melawan korupsi, ya pilihannya cuman satu: menuggu rakyat marah. Atau Republik ini dibiarkan terperosok jauh ke dunia tak beradab sehingga menjadi negara gagal.

Apa boleh buat, kritik sekeras petasan dan demo sebesar air bah, tak menggoyahkan para politisi untuk bergerak maju. Memang ada beberapa politisi baik, yang berkeras memerangi korupsi. Tetapi jumlah mereka tidak seberapa, posisi mereka pun hanya anggota fraksi yang harus tunduk pada kebijakan partai, yang dikendalikan beberapa gelintir orang di puncak partai.

Segelintir orang itu selalu bicara soal moral bangsa, berpidato tentang Pancasila. Mereka juga berkali-kali umbar janji memerangi korupsi. Apa yang dilakukannya? Tidak ada. Para politisi yang berintegritas rendah tetap dipelihara. Mereka yang pintar setor uang ke partai ditematkan di posisi strategis, tanpa mau tahu mereka itu mendapatkan uang dari mana dengan cara apa.

Jauh panggang dari api. Semua pimpinan puncak partai politik, baik yang di kubu pemerintah maupun di kubu oposisi, berkoar-koar mencegah politik uang. Tetapi tidak ada langkah nyata. Beberapa momen untuk membuat kebijakan mencegah politik uang, dilewatkan begitu saja.

Tahun lalu DPR dan pemerintah mengesahkan UU No 2/2011 tentang partai politik, yang merupakan perubahan atas UU No 2/2008. Alih-alih membuat aturan yang memaksa partai politik untuk trasparan dan akuntabel dalam mengelola dana partai, mereka malah sepakat meningkatkan jumlah sumbangan: perorangan Rp 1 miliar, perusahaan Rp 7,5 miliar.

Sebetulnya tidak apa jumlah sumbangan perorangan maupun perusahaan dinaikkan. Masalahnya undang-undang tidak secara jelas membedakan siapa perorangan, dan siapa perusahaan! Anggota DPR bisa menyumbang sebanyak-banyaknya, karena dia bisa mengelak bukan sebagai perorangan. Sementara, induk perusahaan dan anak perusahaan bisa tumpang tindih memberikan sumbangan.

Undang-undang lama mengharuskan negara untuk memberikan bantuan dana untuk administrasi dan pendidikan politik. Namun lima tahun berlalu, dana negara sudah mengucur, tetap saja tidak ada pertanggungjawaban. "Banyak yang dibelikan kendaraan bermotor untuk ketua partai," kata seorang fungsionaris partai. Lalu undang-undang baru minta tambahan bantuan.

Undang-undang lama mengharuskan agar sistem pengelolaan dana partai diatur oleh masing-masing partai melalui AD/ART partai. Kita bisa lacak AD/ART partai politik satu per satu, dari partai besar ke partai kecil, dari partai lama ke partai baru, dan dari partai 'bersih' ke partai 'jorok', sama saja: tidak ada yang membuat aturan. "Urusan itu diserahkan kepada pimpinan partai dan bendahara," kata seorang fungsionaris tanpa merasa bersalah.

Itu baru satu aspek dari wilayah politik, yakni pengelolaan dana politik. Kalau dari satu aspek yang berhubungan langsung dengan masalah pengelolaan dana ini saja tidak jelas, maka bagaimana dengan aspek lain yang lebih kompleks, yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan peredaran uang. Tak terbayangkan!

Beberapa bulan berselang, ketika media massa memberitakan maraknya politik uang dalam proses penyelenggaraan pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pemilu kada, Presiden berjanji akan mendorong KPU untuk mengatasi masalah ini. Lah, bagaimana KPU mau mencegah politik uang, wong undang-undang mempersilakan. Benar-benar 'jaka sembung' deh.


Didik Supriyanto 
adalah wartawan detikcom

Sumber: www.detiknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar