Rabu, 10 Agustus 2011

Apakah Al-Qur’an Terjaga Keasliannya?

http://mqitt.files.wordpress.com/2010/05/al_quran_by_juba_paldf.jpg

Bagi saya selaku umat islam, saya sangat meyakini bahwa Al-Qur’an kitab suci kami terjaga keasliannya. Keasliannya Al-Qur’an ini dijamin sendiri oleh Allah dalam firmanNya :

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu  sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui. (Qur’an Surat Al-An’am ayat 115)

Sesungguhnya  Kami-lah yang  menurunkan  Al  Qur’an,  dan sesungguhnya Kami benar-benar  memeliharanya. (Qur’an Surat Al-Hijr ayat 9)


Namun, dapatkah kita berargumen bahwa Al-Qur’an terjaga atau terpelihara keasliannya hanya dengan berargumen ayat-ayat diatas? Kan mungkin saja ayat-ayat tersebut dibuat oleh manusia, jadi belum tentu Al-Qur’an terjaga keasliannya. Untuk menjawab permasalahan ini, marilah kita telusuri sejarah teks Al-Qur’an sehingga kita akan meyakini dengan benar bahwa Allah menjaga keaslian Al-Qur’an.

Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ayat Al-Qur’an sudah mulai ditulis. Para sahabat Nabi pun banyak yang khatam (hapal) Al-Qur’an, dan kebiasaan untuk menghapal Al-Qur’an itu terwarisi sehingga banyak orang-orang yang hapal seluruh teks Al-Qur’an (Hafiz Qur’an) hingga saat ini. Pada saat penulisan Al-Qur’an pun Nabi selalu mengecek kembali apakah benar yang dituliskan sahabat pada suhuf-suhuf. Nabi pun sering meminta dibacaan ayat Al-Qur’an didepan dirinya.

Sejarah penulisan Al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua periode yaitu :

1. Periode Mekkah
Periode ini merupakan periode ketika Nabi Muhammad masih di Mekkah, sebelum hijrah ke Madinah. Periode ini merupakan periode permulaan dakwah beliau.
Suatu hari ‘Umar keluar rumah menenteng pedang terhunus hendak melibas leher Nabi Muhammad. Beberapa sahabat sedang berkumpul dalam sebuah rumah di bukit Safa. Jumlah mereka sekitar empat puluhan termasuk kaum wanita. Di antaranya adalah paman Nabi Muhammad, Hamza, Abu Bakr, ‘All, dan juga lainnya yang tidak pergi berhijrah ke Ethiopia. Nu’aim secara tak sengaja berpapasan dan bertanya ke mana ‘Umar hendak pergi. “Saya hendak menghabisi Muhammad, manusia yang telah membuat orang Quraish khianat terhadap agama nenek moyang dan mereka tercabik-cabik serta ia (Muhammad) mencaci maki tata cara kehidupan, agama, dan tuhan-tuhan kami. Sekarang akan aku libas dia.” “Engkau hanya akan menipu diri sendiri `Umar, katanya.” “Jika engkau menganggap bahwa ban! `Abd Manaf mengizinkanmu menapak di bumi ini hendak memutus nyawa Muhammad, lebih baik pulang temui keluarga anda dan selesaikan permasalahan mereka.” `Umar pulang sambil bertanya-tanya apa yang telah menimpa ke­luarganya. Nu’aim menjawab, “Saudara ipar, keponakan yang bernama Sa`id serta adik perempuanmu telah mengikuti agama baru yang dibawa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, akan lebih baik jika anda kembali menghubungi mereka.” `Umar cepat-cepat memburu iparnya di rumah, tempat Khabba sedang membaca Surah Taha dari sepotong tulisan Al-­Qur’an. Saat mereka dengar suara ‘Umar, Khabba lari masuk ke kamar kecil, sedang Fatima mengambil kertas kulit yang bertuliskan Al-Qur’an dan diletakkan di bawah pahanya… (1)

Cerita diatas terjadi saat permulaan dakwah Nabi Muhammad di Makkah. Pada cerita diatas kita ketahui dapat kita ambil kesimpulan bahwa pada saat itu ayat-ayat Al-Qur’an sudah mulai didokumentasikan (pada kertas kulit).


Kenyataan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sudah mulai ditulis pada saat di mekkah, pada awal-awal dakwah Nabi juga dicatat oleh Al-Kattani : Sewaktu Rafi` bin Malik al-Ansari menghadiri baiah al-’Aqaba, Nabi Muhammad menyerahkan semua ayat-ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika kembali ke Madinah, Rafi` mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan di depan mereka.(2)
Penulis wahyu pada periode ini antara lain  ‘Abdullah bin Sa’d bin ‘Abi as­Sarh (3,4) dan Khalid bin Sa’id bin al-‘As. Khalid bin Sa’id bin al-‘As pernah mengatakan, “Saya orang pertama yang menulis ‘Bismillah ar-Rahman ar­Rahim’.(5)
 
2. Periode Madinah
Pada periode Madinah kita memiliki cukup banyak informasi termasuk sejumlah nama, lebih kurang enam puluh lima sahabat yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad bertindak sebagai penulis wahyu. Mereka adalah Abban bin Sa’id, Abu Umama, Abu Ayyub al-Ansari, Abu Bakr as-Siddiq, Abu Hudhaifa, Abu Sufyan, Abu Salama, Abu ‘Abbas, Ubayy bin Ka’b, al-Arqam, Usaid bin al-Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Thabit bin Qais, Ja` far bin Abi Talib, Jahm bin Sa’d, Suhaim, Hatib, Hudhaifa, Husain, Hanzala, Huwaitib, Khalid bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, az-Zubair bin al-`Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Thabit, Sa’d bin ar-Rabi`, Sa’d bin `Ubada, Sa’id bin Sa`id, Shurahbil bin Hasna, Talha, `Amir bin Fuhaira, `Abbas, `Abdullah bin al-Arqam, `Abdullah bin Abi Bakr, `Abdullah bin Rawaha, `Abdullah bin Zaid, `Abdullah bin Sa’d, ‘Abdullah bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Uthman bin ‘Affan, Uqba, al­’Ala bin ‘Uqba, ‘All bin Abi Talib, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Amr bin al-’As, Muhammad bin Maslama, Mu’adh bin Jabal, Mu’awiya, Ma’n bin ‘Adi, Mu’aqib bin Mughira, Mundhir, Muhajir, dan Yazid bin Abi Sufyan. (6)

Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu.(7) Zaid bin Thabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, la sering kali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu turun.(8) Sewaktu ayat al-jihad turun, Nabi Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; ‘Amr bin Um-Maktum al-A’ma duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad, “Bagaimana tentang saya? Karena saya sebagai orang yang buta.” Dan kemudian turun ayat, “ghair uli al-darar”(9) (bagi orang­-orang yang bukan catat).[10] . Saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.(11)


Setelah Nabi Muhammad Wafat

“Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur’an masih belum dikumpulkan dalam satuan bentuk buku.“(12)
Di sini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan’ bukan ‘penulisan’. Sebenarnya, Kitab Al-Qur’an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun.”(13)

Kompilasi Al-Qur’an menjadi satu buah buku terjadi pada saat pemerintahan khalifah Abu Bakar.
Zaid melaporkan:
Abu Bakr memanggil saya setelah terjadi peristiwa pertempuran al­Yamama yang menelan korban para sahabat sebagai shuhada. Kami melihat saat ‘Umar ibnul Khattab bersamanya. Abu Bakr mulai berkata,” ‘Umar baru saja tiba menyampaikan pendapat ini, ‘Dalam pertempuran al-Yamama telah menelan korban begitu besar dari para penghafal Al­Qur’an (qurra’), dan kami khawatir hal yang serupa akan terjadi dalam peperangan lain. Sebagai akibat, kemungkinan sebagian Al-Qur’an akan musnah. Oleh karena itu, kami berpendapat agar dikeluarkan perintah pengumpulan semua Al-Qur’an.” Abu Bakr menambahkan, “Saya kata­kan pada ‘Umar, ‘bagaimana mungkin kami melakukan satu tindakan yang Nabi Muhammad tidak pernah melakukan?’ ‘Umar menjawab, ‘Ini merupakan upaya terpuji terlepas dari segalanya dan ia tidak berhenti menjawab sikap keberatan kami sehingga Allah memberi kedamaian untuk melaksanakan dan pada akhirnya kami memiliki pendapat serupa. Zaid! Anda seorang pemuda cerdik pandai, dan anda sudah terbiasa menulis wahyu pada Nabi Muhammad, dan kami tidak melihat satu kelemahan pada diri anda.

Carilah semua Al-Qur’an agar dapat dirang­kum seluruhnya.” Demi Allah, Jika sekiranya mereka minta kami me­mindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan terasa lebih ringan dari apa yang mereka perintahkan pada saya sekarang. Kami bertanya pada mereka, ‘Kenapa kalian berpendapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?’ Abu Bakr dan ‘Umar bersikeras mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja dan malah akan membawa kebaikan. Mereka tak henti-henti menenangkan rasa keberatan yang ada hingga akhirnya Allah menenangkan kami melakukan tugas itu, seperti Allah menenangkan hati Abu Bakr dan ‘Umar.(14)



Mushaf Usmani

Al-Qur’an yang berada ditangan umat muslim sekarang sering disebut sebagai Mushaf Usmani karena berkat jasa Usman-lah Al-Qur’an terjaga dari banyak versi penulisan. Sering terjadi fitnah kepada umat islam kalau Al-Qur’an yang ada sekarang merupakan Al-Qur’an versi Usman bin Affan, berbeda dengan Al-Qur’an pada zaman Nabi Muhammad karena pada zaman Usman Qur’an-qur’an yang ada dibakar kemudian hanya versi Usman yang dibiarkan tetap ada. Tuduhan ini tentu saja tidak berdasar. Pada saat Usman bin Affan, Islam sudah tersebar luas sampai ke propinsi lain. Berangkat dari suku kabilah dan provinsi yang beragam, Al-Qur’an diajarkan dalam dialek masing-masing daerah tersebut, karena dirasa sulit untuk meninggalkan dialeknya secara spontan. Oleh sebab itu, banyak versi Al-Qur’an yang ditulis dengan banyak dialek berbeda-beda. Khalifah Usman tidak setuju akan hal ini, karena dengan penulisan Al-Qur’an dalam bermacam dialek tentu saja akan membuat perubahan arti atau salah penafsiran terhadap kata-kata Al-Qur’an.

Hudhaifa bin al-Yaman dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia, yang telah menyatukan kekuatan perang Irak dengan pasukan perang Suriah, pergi menemui ‘uthman, setelah melihat perbedaan di kalangan umat Islam di beberapa wilayah dalam membaca Al-Qur’an. Perbedaan yang dapat mengan­cam lahimya perpecahan. “Oh khalifah, dia menasihati, ‘Ambillah tindakan untuk umat ini sebelum berselisih tentang kitab mereka seperti orang Kristen dan Yahudi.’ (15)

Adanya perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an sebenarnya bukan barang baru sebab ‘umar sudah mengantisipasi bahaya perbedaan ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibn Mas’ud ke Irak, setelah ‘umar diberitahukan bahwa dia mengajarkan AI-Qur’an dalam dialek Hudhail(16) (sebagaimana Ibn Mas’ud mempelajarinya), dan ‘umar tampak naik pitam:
AI-Qur’an telah diturunkan dalam dialek Quraish, maka ajarkanlah menggunakan dialek Quraish, bukan menggunakan dialek Hudhail.(17)

Hudhaifa bin al-Yaman mengingatkan khalifah pada tahun 25 H dan pada tahun itu juga ‘Uthman menyelesaikan masalah perbedaan yang ada sampai tuntas. Beliau mengumpulkan umat Islam dan menerangkan masalah perbedaan dalam bacaan AI-Qur’an sekaligus meminta pendapat mereka tentang bacaan dalam beberapa dialek, walaupun beliau sadar bahwa beberapa orang akan menganggap bahwa dialek tertentu lebih unggul sesuai dengan afliasi kesukuan.(18) Ketika ditanya pendapatnya sendiri beliau menjawab (sebagaimana diceritakan oleh ‘Ali bin Abi Talib),
“Saya tahu bahwa kita ingin menyatukan manusia (umat Islam) pada satu Mushaf (dengan satu dialek) oleh sebab itu tidak akan ada perbedaan dan perselisihan” dan kami menyatakan “sebagai usulan yang sangat baik).”(19)

Khalifah Usman bin Affan kemudian memperbanyak Al-Qur’an berdasarkan naskah asli yang ditulis pada zaman Nabi yang disipan di rumah Hafsa, Istri Nabi SAW. AI-Bara’ meriwayatkan:
Kemudian ‘Usman mengirim surat kepada Hafsa yang menyatakan. “Kirimkanlah Suhuf kepada kami agar kami dapat membuat naskah yang sempurna dan kemudian Suhuf akan kami kembalikan kepada anda.” Hafsa lalu mengirimkannya kepada ‘Uthman, yang memerintahkan Zaid bin Thabit, `Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin al-’As, dan ‘Abdur­Rahman bin al-Harith bin Hisham agar memperbanyak salinan (duplicate) naskah. Beliau memberitahukan kepada tiga orang Quraishi, “Kalau kalian tidak setuju dengan Zaid bin Thabit perihal apa saja mengenai Al-Qur’an, tulislah dalam dialek Quraish sebagaimana Al-Qur’an telah diturunkan dalam logat mereka.” Kemudian mereka berbuat demikian, dan ketika mereka selesai membuat beberapa salinan naskah `Uthman mengembalikan Suhuf itu kepada Hafsa…20


Sumber :
1.  Ibn Hisham, Sira, vol.l-2, hlm. 343-46.
2. Al-Kattani, al-Tarat76 al-Idariya, 1: 44, dengan mengutip pendapat Zubair bin Bakkar, Akhbar al-Madina
3. Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 22.
4.  Untuk lebih jelas, harap dilihat M.M. al-A’zami, Kuttab an-Nabi, Edisi ke-3, Riyad, 1401 (1981), hlm.83-89.
5.  As-Suyuti, ad-Dur al-Manthur, i: 11.
6. Untuk lebih jelas harap dilihat M.M, A’zami, Kuttab an-Nabi.
7. Abu ‘Ubaid , Fada’il, hlm. 280; Lihat juga Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 22, mencatat pendapat `Uthman dengan merujuk pada Sunan at-Tirmidhi, an-Nasa’i, Abu Dawud, dan al-Hakim dalam al­Mustadrak.
8. Ibn AM Dawud, al-Masahif, hlm.3; Lihat juga al-Bukhari, Sahih, Fada’il Al-Qur’an: 4.
9. Qur’an, 4: 95.

10. Ibn Hajar, Fath al Bari , ix: 22; as-Sa’ati, Minhat al-Ma’bud, ii: 17.
11. As-Suli, Adab ul-Kuttab, hlm. 165; al-Haithami, Majma` az-Zawaid, i: 52.
12. Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 12; Lihat juga al-Bukhari, Sahih, Jami’ Al-Qur’an, hadith.4986.
13.  As-Suyuti, al-Itqan, i:164.
14. Al-Bukhari, sahih, Jam’i Al-Qur’an, hadith, no. 4986; lihat juga Ibn Abi Dawud, al-Masahif,
15. AI-Bukhari, Sahih, hadith no. 4987; Abu ‘Ubaid, FadA’il, hlm. 282. terdapat banyak lagi laporan tentang masalah ini.
16. Salah satu suku mayoritas di daratan Arabia pada zaman itu.
17.  Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 9, Kutipan Abu Dawud
18.  Lihat Abi Dawud, al -Masahif, hlm. 22. Dalam kejadian ini banyak perbedaan pendapar telah diberikan dalam menentukan tahun yang sebenar dari tahun 25-30 Hijrah. Saya mengadopsi pendirian Ibn Hajar. Lihat as Suyuti, al-Itqan, I : 170.
19. Ibn Abi Dawud, al-Magahif, hlm. 22. Lihat juga Ibn Hajar, Farhul Bari, x: 402.
20. Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: ii, hadith no. 4987; Ibn Abi Dawud, al-Masahif, hlm. 19-20; Abu ‘Ubaid, Fada’il, hlm. 282

Sejarah diatas adalah sepenggal kisah yang saya kutip sedikit dari buku “The History of Quranic Text; From Revelation to Compilation- Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasinya” karangan Prof.dr.MM.al A’zami. Bukunya dapat DIDOWNLOAD DISINI.

Sumber: http://abrahamik.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar