Jumat, 19 Agustus 2011

Ideologi Silih Berganti, Mengapa Tak Pilih Islam?












 


Oleh: Mujiyanto 

SEBUAH headline menarik datang dari Harian Kompas. Dalam sebuah beritanya, Selasa, (14/06/2011), Kompas menulis judul, “Negara Mengarah Kleptokrasi”. Kesimpulan berita menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia mengarah menjadi negara kleptokrasi, yakni negara yang diperintah oleh para pencuri.

Korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya. Nilai-nilai kejujuran justru tak mendapatkan simpati, bahkan dimusuhi masyarakat.

Korupsi tak hanya dilakukan lembaga pemegang kekuasaan negara --baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—yang sering kali melakukan persekongkolan untuk menyelewengkan uang rakyat. Tapi seolah sudah mendarah daging di semua lini.

Sebelum ini, dalam sebuah pertemuan, tokoh agama beserta Forum Rektor menghawatirkan kondisi bangsa Indonesia yang makin terpuruk dan memperihatinkan. Pemerintahan yang dinilai lari dari masalah bisa menjerumuskan bangsa ini ke kondisi negara gagal (Failed State).

‘’Kami tokoh agama beserta Forum Rektor memiliki satu pandangan dengan kondisi bangsa ini, bahwa Indonesia amat serius terpuruk,’’ ungkap Din Syamsuddin dari forum lintas agama dalam diskusi publik yang digelar bersama bersama Forum Rektor dan 28 guru besar di Universitas Negeri Jakarta, Jumat (4/02/2011).
Saat ini, masyarakat sudah jenuh pemandangan sehari-hari yang isinya hanya berita korupsi di elit. Hukum yang hanya memihak orang besar. Aparat sewenang-wenang dan berbagai pemandangan kurang simpatik lain. Intinya, semua orang ingin sebuah perubahan.
Perubahan silih berganti

Bagaimanapun, perubahan adalah suatu yang alamiah. Di mana pun masyarakat di dunia ini pasti menginginkan suatu yang lebih baik. Tak terkecuali Indonesia, negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sepanjang sejarahnya berulang kali telah mengubah sistem politik dan bentuk pemerintahannya.

Setelah berabad-abad (sejak dijajah Belanda dan Jepang) negeri ini telah mengalami perubahan. Ketika terjadi agresi militer Belanda, bentuk pemerintahan Indonesia berubah berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), suatu negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Namun RIS bubar 17 Agustus 1950. Namun sebelum RIS dinyatakan bubar, saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian --Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur-- dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.

Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan UUD Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer, inipun hanya berlangsung selama hampir 9 tahun sampai Soekarno mengeluarkan dekritnya. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dekrit inilah yang mengakhiri masa parlementer dan kembali ke UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

Perubahan besar berikutnya terjadi pada tahun 1965.  Rezim Soekarno berganti era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Dan Demokrasi Terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila.

Di era inilah pertama kali masyarakat dikenalkan istilah demokrasi Pancasila. Sejak saat itu, Pancasila disebut sebagai ideologi negara—sebelumnya Soekarno hanya menyebut Pancasila sebagai philosofische grondslag, yaitu fundamen, filsafat (weltanschauung) bernegara, bahkan ia melarang parpol berasas Pancasila. Soeharto kemudian menafsirkan Pancasila dengan Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4).

Sayang, walaupun usahanya menamakan sistem ini memakan waktua selama 32 tahun, toh akhirnya gagal juga. Sebab hasilnya justru pemerintahan otoriter. Sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis, justru memisahkan urusan negara dalam mengatur rakyatnya dengan aturan agama (syariat Islam).

Bahkan mantan Presiden BJ Habibie dalam peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011 menyebut Indonesia mengalami penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru". Ini dibuktikan oleh dominasi asing di berbagai sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Alhasil, selama pergantuan rezim, pemerintahan Indonesia gagal meningkatkan taraf hidup rakyatnya.


Perubahan Hakiki

Pelajaran penting dari semua hal tersebut adalah:  
Pertama, perubahan yang terjadi sepanjang sejarah negeri ini terkait erat dengan masalah politik. Oleh karena itu bila kita ingin melakukan perubahan ke arah yang benar, maka harus dimulai dengan pandangan politik yang benar pula. Yaitu dengan sudut pandang politik khas, yang bersih, yakni yang bersumber dari aqidah Islam. Tanpa itu, hasilnya pasti lah liar.

Kedua, perubahan dan pergantian rezim saja tidak cukup. Sebab pangkal masalahnya bukanlah sosok Soekarno, Sutan Sjahrir, Soeharto atau rezim-rezim baru. Pangkal masalahnya adalah sistem apa yang dipakai dan diterapkan oleh rezim-rezim itu.

Fakta membuktikan, perubahan rezim tanpa disertai dengan perubahan sistem akhirnya hanya akan melahirkan “penumpang gelap” yang menjadi kaki tangan poros imperialis.
Maka pilihannya adalah mewujudkan gelombang perubahan hakiki. Di mana rakyat tidak hanya menuntut sekadar pergantian orang tapi juga sistem dan landasannya.


Untuk itu ada beberapa hal penting harus diwujudkan:

Pertama, sistem alternatif itu harus disiapkan. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam dengan syariahnya yang telah diturunkan oleh Allah SWT, Zat yang Mahatahu, MahaAdil lagi Maha Bijaksana. Sungguh aneh. Semua sistem ideologi telah dicoba di negeri ini, namun ketika wacana Islam disebut, seolah semuanya sini. Padahal, sungguh hanya sistem Islam yang belum pernah diberi kesempatan mengatur negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.

Kedua, masayakat harus diberikan penjelasan secara jujur dan cerdas, bagaimana kebobrokan bangunan sistem ideologi sekuler-kapitalisme dengan sistem politik demokrasi yang telah menghancurkan negeri ini. Demikian agar masyarakat paham.

Ketiga, ketiga kalangan asing dan Barat menawarkan sistem dan ideologinya ke negeri ini, maka, dipastikan mereka akan berupaya dengan segala cara untuk mempertahankan sistem itu meski “bobrok”. Maka masyarakat dan umat harus melakuan cara-cara membongkar kebobrokan konsep mereka kepada umat. Sehingga umat tidak akan terpedaya konsep-konsep yang menipu.

Keempat, desain bangunan sistem Islam harus terus dikomunikasikan dan dipahamkan kepada umat. Baik ke berbagai tokoh, militer dan ahlul quwah. Upaya ini harus dilakukan secara masif dan simultan. Sehingga umat paham dan tidak tersesat oleh kampanya negatif selama ini tentang sistem Islam.

Revolusi Tunisia dan Mesir haruslah memberi pelajaran berharga bahwa jika umat telah menghendaki dan mendesak suatu perubahan maka tidak akan terbendung.

Karenanya, tak ada alasan untuk tak kembali kepada sistem Islam yang berasal Allah yang Mahaadil dan Bijaksana. Desain sistem Islam telah dirancang dan digambarkan begitu jelas. Saatnya kita untuk mewujudkannya sebagai wujud kepatuhan kita terhadap seruan Allah dan Rasulnya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS al-Anfal [8]: 24).

Jadi, apa yang masih Anda ragukan dengan janji Islam? Dan sampai kapan kita akan terus berpegang pada idiologi salah yang telah terbuktik menghancurkan kita semua?

Penulis aktif di Pusat Kajian Islam dan Peradaban Jakarta
Foto: Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan menggelar konfrensi pers di Ma'arif Institute, Jakarta, Rabu. [republika]

Red: Panji Islam


Sumber: http://www.hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar