Rabu, 24 Agustus 2011

Insan Latif Syaukani Mokoginta: “Kristologi adalah Anugerah Tuhan untukku”

 Dengan Kristologi, ia membela Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Quran.


Dengan pemilihan kata yang tepat dan dikemas dalam kalimat yang mengalir lancar, sistematis, dan sulit dibantah, ia mampu mematahkan berbagai argumen yang diajukan oleh para pendebat dalam forum Dialog Kebenaran Islam dan Kristen di mana saja yang ia menjadi nara sumbernya.   

Para pendebat itu biasanya adalah pendeta, misionaris, dan tokoh Kristen ortodoks yang fanatik. Namun Mokoginta, yang muhtadin (muallaf yang sudah lama masuk Islam), dan telah mengganti nama baptisnya Wenseslaus menjadi Insan Latief Syaukani, meng-counter semua itu dengan argumen yang logis dan Islami.

Ternyata, dialog semacam itu sangat menarik minat masyarakat. Sehingga tak mengherankan bila ia banyak diundang untuk acara-acara seperti itu, di samping untuk mengisi majelis ta’lim atau perhelatan lainnya di seluruh Indonesia. Dan semua itu kemudian ia rekam dan ditulis dalam bentuk buku saku.

Bahwa kemudian ia pernah dinobatkan sebagai muallaf berprestasi oleh Forum Komunikasi Lembaga Pembina Muallaf, itu merupakan konsekuensi logis dari berbagai kegiatannya dalam hal mensyiarkan agama Islam. Memang, nama Insan Latief Syaukani cukup dikenal sebagai kristolog. Ia mengatakan, “Itu adalah anugerah dari Tuhan untuk saya.”

Perjalanan keislaman Mokoginta berawal dari kepindahannya dari kota kecil Kotamubago, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, ke ibu kota, Jakarta. Wenseslus Mokoginta, demikian nama lengkapnya, memutuskan untuk pindah ke Jakarta pada tahun 1976. Ketika itu umurnya 27 tahun.

Ternyata kepindahan tersebut membawa banyak berkah. Jakarta menyambutnya dengan ramah. Ia tidak hanya sukses secara lahiriah, melainkan juga bathiniah. Bisnis yang digelutinya bersama seorang kenalan baru berjalan lancar. Dan yang lebih membahagiakan, ia mendapat hidayah dari Allah SWT, memeluk agama Islam. Di kota ini pula ia mendapat jodoh dari keluarga haji dan membina rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah.



Keteladanan sebuah Keluarga Muslim

Pria kelahiran 8 September 1949 ini adalah anak ketiga dari delapan bersaudara, dari pasangan ibu yang Islam dan ayah yang  nonmuslim yang masuk Islam ketika menikahi ibunya.

Ketika kecil, ia dan saudara-saudaranya dimasukkan ke sekolah Katholik, sekolah yang saat itu paling maju dalam banyak hal. Dalam hal pilihan agama anak-anaknya, orangtuanya menyerahkan sepenuhnya kepada mereka.

Bila ada orang menanyakan agamanya, kadang waktu ia menjawab Islam, tapi tak jarang pula mengaku sebagai penganut Katholik. Namun agama Katholik lebih melekat dalam dirinya, terutama setelah dibaptis pada tahun 1963, ketika berumur 14 tahun, dengan nama Wenseslaus. Tapi kitab suci agama tersebut baru dibacanya ketika duduk di kelas tiga SMP.
Mokoginta sangat terkesan dengan salah satu ayat dalam Bibel yang meyakinkan iman Kristennya, yaitu Injil Yohanes pasal 14 ayat 6, “Kata Yesus kepadanya, ‘Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui aku.” Ia yakin, hanya dalam Katholik ada jaminan pengampunan atas dosa dan jaminan hidup kekal serta masuk surga.

Pada waktu itu, menurut Mokoginta, Katholik-lah agama yang paling hebat dibanding dengan agama lainnya.

Namun, ia merasa risi tentang soal pengakuan dosa di hadapan pastor meski dalam ruangan tertutup. Itu dirasakan sangat memberatkan, terutama bagi para pemuda, apalagi bila dosa itu dilakukan dengan pacar.

Masalah lain, ia juga merasakan ada beberapa hal yang tidak pernah terpecahkan dengan tuntas, yaitu masalah ketuhanan Yesus, anak Tuhan Yesus, dosa warisan, dan penebusan dosa.

“Itu rahasia Tuhan Yesus, karena pikiran manusia tidak sampai ke sana,” demikian jawaban yang selalu diterimanya bila mempertanyakan hal-hal itu.

Tahun 1976, Mokoginta hijrah ke Jakarta, memulai lembaran baru dalam hidupnya. Ia berkenalan dengan keluarga W. Yarub, asal Palembang, seorang muslim yang taat.

Walau beda agama, hubungan keduanya sangat akrab. Mereka sepakat bekerja sama dalam usaha perdagangan dengan modal kecil. Entah kenapa, Yarub percaya penuh kepada Mokoginta untuk menjalankan usaha itu. Dan alhamdulillah, usaha itu berkembang. Kepercayaan itulah yang membuat Mokoginta terkesan.

Namun ada faktor lain lagi yang menarik minatnya. “Tingkah laku mereka selaku keluarga muslim membuat saya mulai tertarik kepada Islam,” katanya.

Selama sekitar empat tahun bergaul dengan keluarga Yarub, Mokoginta merasakan, kehidupan beragama Islam telah menyentuh qalbunya. Terutama dalam soal kebersihan dan kesucian. Minuman keras, judi, dan riba, yang diharamkan dalam Islam, membuatnya malu kepada diri sendiri, karena selama itu ia melakukannya.

Ia juga terkesan pada saat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Saat itu suasana Islami sangat terasa di mana-mana. “Tidak ada yang tidak menikmati hari raya keagamaan tersebut, termasuk anak yatim, anak telantar, dan fakir miskin,” kenangnya.

Lama-kelamaan ia merasakan, Islam adalah bagian dari hidupnya. Maka pada tahun 1980 ia mengucapkan dua kalimah syahadat di Masjid Al-Muqarrabin, yang kemudian berubah namanya menjadi Masjid Abdullah bin Auf, di Kompleks Asrama Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, yang tidak jauh dari rumahnya. Disaksikan beberapa teman dekatnya, ia dipandu oleh imam masjid tersebut mengikrarkan La Ilaha Ilallah, Muhammadar Rasulullah.

“Saya sangat bersyukur kepada Allah, yang menghendaki saya agar melakukan tiga macam hijrah. Hijrah antar-pulau, Sulawesi ke Jawa, hijrah antar-agama, Katholik ke Islam, dan hijrah antar-nama, Wenseslaus menjadi Insan Latif Syaukani,” katanya.

Setahun kemudian, ia menikah dengan gadis Betawi dari keluarga muslim fanatik. “Pernikahan itu menambah mantap pendirian saya dalam Islam walau pengetahuan saya tentang Islam masih sangat dangkal.”


Berkah terus Berdatangan


Kesulitan yang sangat ia rasakan ketika baru masuk Islam adalah ketika melaksanakan shalat. “Setiap kali melakukan salat fardhu dan ketika berdoa, yang terbayang di benak saya adalah wajah lukisan Yesus. Seolah-olah saya berkomunikasi dengannya,” katanya. “Dan hal itu berlangsung selama berbulan-bulan sehingga sangat mengganggu konsentrasi ibadah saya. Tetapi dengan usaha keras dan tekun berdoa, lukisan wajah Yesus hilang dari hadapan saya. Setelah itu shalat saya mulai lebih khusyu’.”

Namun kesibukan dagangnya tidak banyak memberi peluang baginya untuk mendalami ajaran Islam. Dan karena merasa banyak ketinggalan itulah, ia pada tahun 1986 menggelar pengajian rutin mingguan di rumahnya, yang dimaksudkan sebagai basis untuk mengkaji dan mendalami ilmu keislaman. Untuk itu ia minta kesediaan Ustadz Drs. H. Afdhil Salim, Lc. (alm.), dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat, untuk menjadi pembimbing dan pembinanya dalam mempelajari agama Islam maupun ilmu lainnya.
Berkah terus berdatangan kepadanya. Tahun 1992 Mokoginta mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istri.
Di depan Ka’bah ia berdoa agar keluarganya bisa mengikuti jejaknya, hijrah ke dalam Islam, yang penuh rahmat, berkah, dan sejahtera.
Sepulang dari sana, hasrat untuk mendalami agama Islam maupun Kristen demikian tinggi. Semua waktu luang digunakannya untuk membaca dan mengkaji berbagai buku tentang agama, khususnya yang menyangkut Islam dan Kristen. Dalam waktu relatif singkat, ratusan buku dibeli dan dibacanya sebagai referensi, terutama tulisan kristolog Islam, seperti Ahmad Deedad.

Buku-buku itu kemudian dikoleksinya di perpustakaan pribadi yang bisa dibaca oleh siapa saja, terutama anggota majelis ta’lim mingguan di rumahnya. Dari pengalaman pribadi dan banyaknya referensi, ia pun mulai menulis beberapa buku agar bisa dibaca oleh orang lain.

Satu hal yang paling membahagiakan dirinya dan dan dirasakan langsung hikmahnya adalah penulisan kristologinya. Banyak saudaranya, yang kandung maupun bukan, lantas masuk Islam, baik melalui dakwah maupun lewat buku-bukunya tadi.

“Kristologi yang kumiliki itulah talenta yang diberikan Tuhan kepada saya,” kata H. Insan Latief Syaukani Mokoginta. “Dengan ilmu ini saya mampu menjawab tantangan demi tantangan yang terus berdatangan dari para pendeta, misionaris, dan penginjil. Dengan kristologi, saya membela Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Quran.”

Alasan yang Memperkuat Keyakinan

Dari buku para kristolog Islam itu, ia menemukan beberapa alasan yang memperkuat keyakinannya terhadap Islam. Antara lain, pertama, Yesus adalah utusan Tuhan, bukan Tuhan. Kedua, Yesus menyuruh umatnya menyembah Allah, bukan menyembah dirinya.

Ketiga, Kristen tidak mewajibkan umatnya berkerudung ketika berdoa padahal itu adalah perintah agama (Korintus 11: 5-13). Keempat, orang Kristen terkadang menganggap pasti sesuatu yang belum pasti padahal mereka diajarkan untuk mengucapkan insya Allah (Yakobus 4: 13-17). Kelima, Yesus dikhitan, sesuai perintah Allah, sementara umat Kristen tidak mewajibkan berkhitan (Lukas 2: 21). Semua perintah Allah dan Yesus dalam Alkitab justru umat Islam-lah yang mengamalkannya, sementara umat Kristen tidak mengamalkan.

Dengan masuk Islam, Mokoginta merasa mendapat keuntungan ganda. Yaitu menjadi pengikut Muhammad tanpa meninggalkan Yesus, bahkan menjadi pengikut Yesus yang sebenarnya, sebab Yesus adalah Nabi Isa AS, nabi umat Islam juga.
Dengan kristologi, ia mendapat hikmahnya. Yakni, mengislamkan saudara, keluarga, dan orang lain, baik secara langsung maupun lewat tulisan-tulisannya yang tersebar dalam 20 buku dan lima VCD, termasuk mengislamkan Pendeta Advent Dr. Robert Wesley Sitorus, M.A. di Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada 24 Agustus 2007.

Buku pertama yang ditulisnya berjudul Dialog Rasional Islam dan Kristen (1994), dan yang terakhir berjudul Sekeluarga itu Akhirnya Masuk Islam (2007).

Suatu hari di tahun 2005 Mokoginta mengadakan sayembara berhadiah mobil BMW. Sayembara itu ditulis dalam sebuah buku berjudul Mustahil Kristen bisa Menjawab. Mobil tersebut akan dihadiahkan kepada pembaca yang dapat menjawab sepuluh kalimat:

(1) Mana pengakuan Yesus bahwa dia beragama Kristen?
(2) Apa ajaran Yesus ketika dia berumur 13 sampai 29 tahun?
(3) Pernahkah Yesus mengatakan “Akulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Aku”?
(4) Pernahkah Yesus mengatakan “Akulah yang mewahyukan Alkitab, Aku pula yang menjaganya”?
(5) Mana perintah Yesus atau Tuhan dalam Alkitab beribadah pada hari Minggu?
(6) Mana dalilnya dalam Alkitab bahwa Yesus seratus persen Tuhan dan seratus persen manusia?
(7) Mana dalilnya, asal percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dijamin masuk surga?
(8) Mana foto asli wajah Yesus dan siapa pemotretnya?
(9) Mana dalilnya dalam Alkitab bahwa Yesus lahir pada 25 Desember dan perintah merayakannya?
(10) Buktikan siapa yang hafal Alkitab walau satu surat di luar kepala.

Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab, sehingga mobil BMW masih terparkir di rumahnya di Kelapa Dua, Depok. Jabar.

Tahun 2004 ia membangun gedung dan kegiatan Pusdai (Pusat Dakwah Islam) di kampung halamannya, Kotamubago, di atas tanah seluas 2.000 meter persegi. Dengan adanya kegiatan tersebut, ia tiap tiga bulan pulang kampung, memantau kegiatan lembaga itu.

Tahun 2006, bersama Irene Handono dan Prof. Hembing, ia mendapat penghargaan Muallaf Award dari FKLPM (Forum Komunikasi Lembaga Pembina Muallaf) di Masjid Pondok Indah. Tahun 2007 penghargaan itu mampir lagi kepadanya bersama Irene dan Willy Brordus. Masyarakat Depok memilih dirinya sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia kota Depok pada Maret 2007.

Kini, dalam usia 61 tahun, Ustadz Insan Latief Syaukani Mokoginta tidak pernah lelah berdakwah dan menyebarkan ilmunya tentang perbandingan agama. Karena, menurutnya, tanpa ilmu pengetahuan bisa saja umat Islam dimurtadkan.

“Setiap muslim harus mendalami agamanya dan selalu berpegang teguh pada tali Allah, agar tidak mudah digoyang dengan berbagai iming-iming,” ujarnya mantap.

Bill

Sumber: http://majalah-alkisah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar