Selasa, 09 Agustus 2011

Ancaman Pengibaran Bendera Malaysia di Perbatasan dan Tuntutan Papua Merdeka

1312768875959385960

Kawah Freeport Papua


Negeri yang subur tidak menjadi jaminan negeri itu akan makmur, bisa jadi tikus mati di lumbung padi, itulah kenyataan yang ada, fakta yang harus kita terima bahwa negara ini sudah salah kelola.

Hiruk pikuk politik yang dipertontonkan, skandal skandal besar yang banyak muncul kepermukaan, ditambah ekonomi rakyat yang nyaris tak ada perubahan membuat sebagian saudara kita memilih untuk merdeka, walaupun wacana untuk merdeka di beberapa daerah sudah menjadi isu lama namun dengan keadaan negara yang seperti ini, keinginan merdeka semakin kuat apalagi sekarang mata mereka tak lagi buta, papua yang kaya raya akan sumber daya alam nyaris tak tersentuh pembangunan, padahal berton ton emas dan tembaga dikeruk habis puluhan tahun, sebuah fenomena bahwa memang pemerintah kita berwatak penjajah.

Ketika mereka menuntut untuk merdeka, ancaman militer sebagai separatis harus mereka terima, dan Aceh pernah merasakan bagaiamana daerah itu menjadi sebuah Daerah operasi Militer yang konon menghilangkan ratusan rakyat aceh selama masa itu diberlakukan.

Ancaman penduduk perbatasan Indonesia malaysia untuk mengibarkan bendera malaysia adalah wujud protes bahwa mereka butuh perhatian, dan bukan tidak mungkin mereka memilih menjadi warga negara malaysia daripada menjadi warga negara Indonesia walaupun di cap tak memiliki jiwa nasionalisme, bagi mereka nasionalisme tidaklah penting, yang utama adalah mereka hidup layak sebagai rakyat.

Indonesia memang harus di format ulang, baik grand designnya, misi dan visinya maupun tata kelola negaranya. Memang  menghilangkan watak sebagai negara penjajah tidak mudah,  apalagi  ratusan tahun negeri ini di bawah pemerintahan penjajah belanda yang dikenal sebagai penjajah kemaruk yang mengesampingkan kemakmuran negeri negeri jajahannya.

Jiddan





Mengapa Kades Yusak Mengancam Kibarkan Bendera Malaysia pada HUT Kemerdekaan RI di Perbatasan?
13128094121050991965
history.blogspot.com

Menjelang perayaan HUT kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2011 nanti, Sang Saka Merah Putih sudah mulai terlihat berkibar di kampung-kampung di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia, khususnya di Kabupaten Kapuas Hulu. Ditanya soal rasa nasionalisme: penduduk perbatasan, sejauh pengamatan saya selama ini, masih merasa bangga menjadi bagian dari NKRI. Bagi mereka, secara prinsip: NKRI masih sebuah harga mati.

Akan tetapi, sebuah kasus malah mencuat belakangan ini dan telah diberitakan oleh beberapa media bahwa Yusak, Kepala Desa Mungguk Gelombang, Kecamatan Ketungai Tengah, Kabupaten Sintang, mengancam untuk mengibarkan bendera Malaysia di perbatasan pada HUT Kemerdekaan RI nanti. Bahkan Yusak, akan mengajak warganya untuk menjadi warga negara Malaysia.

Ancaman Yusak ini melahirkan berbagai tanggapan baik di tingkat pusat, propinsi maupun daerah. Semuanya seolah-olah baru tersadar dari tidur panjang seperti kambing kebakaran jenggot, ketika muncul ancaman separatis. Yang terjadi kemudian, saling menuding dan melempar kesalahan di antara pusat, propinsi, dan daerah. Pusat menyalahkan propinsi, propinsi menyalahkan kabupaten. Presiden menyalahkan Gubernur, gubernur menyalahkan Bupati. Semuanya saling melempar tanggung jawab tentang kondisi perbatasan yang sangat memprihatinkan sebagai “penyuluh” munculnya ancaman Kades tersebut.

Kepolisian dan TNI mengambil tindakan tegas: “akan menindak, jika ada warga yang berani mengibarkan bendera Malaysia di wilayah perbatasan pada HUT Kemerdekaan RI nanti, karena tugas mereka memastikan bahwa NKRI masih sebuah harga mati.

Pertanyaan autokritik bagi pemerintah adalah: “mengapa rakyat di perbatasan mulai berani mengeluarkan ancaman separatis? Bukan tanpa dasar, jika Yusak, yang mewakili suara hati masyarakat perbatasan sampai nekat memaklumatkan ancaman tersebut justru menjelang perayaan HUT Kemerdekaan. Karena bagi masyarakat perbatasan, apalah arti kemerdekaan itu, jika mereka masih belum mengecap kemerdekaan itu dalam arti yang sebenarnya? Ketika jalan ke tempat mereka masih seperti sebuah kubangan kerbau di musim hujan;  jika fasilitas kesehatan belum memadai dan harus jalan kaki berjam-jam, berhari-hari, hanya untuk membeli obat; jika mereka bahkan belum merdeka dari buta huruf karena minimnya bangunan sekolah dan guru; jika mereka lebih mudah mendapatkan “ringgit” daripada “rupiah;” jika barang-barang kebutuhan pokok dari Malaysia harganya jauh lebih terjangkau dibandingkan barang-barang dari Indonesia?

Di sisi lain, mereka hidup di dalam kawasan dengan Sumber Daya Alam yang kaya. Pertanyaan mereka sederhana: “ke mana dan untuk apa semua kekayaan alam dari pulau mereka?” Mereka hidup di dalam kolam susu, tetapi hanya menikmati ampasnya saja.

Rasa ketidakadilan terhadap pemerintahlah, yang “seolah-olah” atau mungkin saja “disengaja” telah menganatirikan mereka sejak kemerdekaan dari belenggu penjajah pada tahun 1945 sampai dengan hari ini, yang memicu munculnya suara-suara ancaman separatis.

Tidak cukup dengan tindakan reaktif apalagi represif kepada Yusak, atau rakyat mana pun di perbatasan yang mengancam seperti itu. Sebab selama ini pemerintah Indonesia ke mana? Berbuat apa terhadap mereka? Temukan akarnya yakni dengan tindakan menyembuhkan akarnya berupa perhatian, pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dll, terlebih dahulu dan dengan sendirinya suara-suara ancaman itu akan berhenti bahkan tidak menjadi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena sesungguhnya “rasa nasionalisme masyarakat di perbatasan masih sangat kuat, dan NKRI bagi mereka, masih sebuah harga mati. Yang mereka tuntut hanyalah “kemerdekaan mereka bertahun-tahun dari belenggu penjajah harus juga bisa dikecap melalui perhatian pemerintah pusat, propinsi, maupun daerah bagi wilayah mereka.

Fajar

Sumber: kompasiana.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar