Rabu, 21 September 2011

Pindahnya Albertina, Busuknya MA

http://monitorindonesia.com/wp-content/uploads/2011/09/Hakim-Albertina-Ho.jpg
Hakim Albertina Ho


Mahkamah Agung memindahtugaskan Albertina Ho, hakim pemutus perkara Gayus Tambunan dan Cirus Sinaga dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Sungailiat, Bangka Belitung. (Kompas,21 September 2011, hlm 4)

Beberapa kali tayangan TV tentang sidang Gayus dan Cirus, serta hasil keputusannya, menunjukkan keprofesionalan Albertina sebagai hakim penegak hukum yang cukup ideal bagi kondisi kekinian penegakan hukum terutama di pusat kanker kekuasaan, di Jakarta.

Adalah para mafia hukum yang kegerahan dengan kiprah para penegak hukum yang relatif lurus dan bersih. Kejadian pemindahan Albertina ini lagi-lagi akan mendorong sinisme dan apatisme publik akan kebobrokan penegakan hukum di Jakarta.

Bahkan Lembaga Tinggi Negara seperti Mahkamah Agung seolah tidak mau ketinggalan kereta ikut berperan sebagai pelaku pembuat malu harga diri bangsa, bersama-sama dengan Presiden dan DPR, dalam hal prestasi untuk bekerja profesional demi kepentingan rakyat. Tabiat dan mental malas cenderung hanya memperkaya diri dan keluarga, prestasi rendah, makan gaji bermodus penggelembungan anggaran hasil pajak rakyat. Keserakahan yang semakin berlipat ketika gaji yang sebesar itu masih dirasa tidak cukup, maka bermain matalah mereka dengan para mafia.

99,9999 persen pastilah Mahkamah Agung sedang berbuat seperti yang baru disebutkan di atas.
Menteri Hukum dan HAM yang hanya cengengesan di sana-sini bagaikan figuran layak tendang dari panggung penyelenggaraan negara di bidang penegakan hukum. Sebagai ilustrasi, Direktorat Pemasyarakatan yang dibawahi Menkumham, pernah disebut Mahfud MD sebagai suatu hal yang sangat sulit diatasi. Sang menteri tidak berbuat apapun kecuali mencontoh bosnya, hanya jual tampang dan citra di TV-TV.

Seorang Kepala LP di Jakarta dan pusat traffic narkoba seperti Bali, hanya berdiam diri (karena ketika dia bekerja sudah menerima gaji PNS), bisa menerima uang bulanan minimal 500 juta sampai 10 milyar rupiah. Dari manakah uang itu berasal? Beribu-ribu sumber yang berasal dari penjara itu sendiri, mulai dari uang beras (karena jatah beras LP, bahkan kucing pun tidak mau memakannya) yang harus dibeli oleh para napi.

Uang kasur (karena napi yang tidak mau bayar akan dibiarkan meringkuk di lantai dingin hingga masuk angin punggung berat dan pendek umur) yang harus dibayar harian kalau mau sekedar alas busa tipis atau tebal tergantung harga. Uang setoran harian selalu ditarik. Terakhir yang paling mencengangkan adalah uang dari napi narkoba, yang pada puncaknya bahkan bersama-sama dengan oknum LP, malah secara berjamaah seluruh petugas LP pun mustahil tidak tahu dan ikut kecipratan rejeki haram, mereka bersama-sama mengendalikan perdagangan narkoba dari balik LP. LP menjadi lokasi kejahatan yang sempurna.

Adalah NKRI berlandaskan Pancasila, yang sebagian besar masyarakatnya masih bungkam atas keadaan hak asasi manusia yang terjadi di LP. LP dianggap sebagai neraka dunia yang selayaknya segala hal biarlah demikian, siapa suruh masuk ke sana?  Bagaimana bila yang terjadi adalah asal menjebloskan seorang warganegara yang dilakukan oleh sekian oknum polisi dan para penegak hukum busuk, yang sewaktu-waktu siap menerkam mereka-mereka yang rentan masalah, apalagi di Jakarta yang multi dimensi kehidupan. Siap menjadikan siapapun yang rentan masalah sebagai calon ATM (Anjungan Tunai Mandiri) hidup bagi para penegak hukum jahat dan busuk, yang apabila transaksi tidak tercapai atau gagal di tengah jalan, maka LP akan siap menampung mereka para korban. Polisi memeras dulu, kalau tidak mau diperas tangkap saja dulu, diperas belakangan, melalui tahap-tahap tahanan Polda, lalu terakhir ke LP.

Istilah Lembaga Pemasyarakatan adalah istilah dengan makna upaya memulihkan seseorang yang gagal bermasyarakat karena pelanggaran hukum, sehingga bisa dikembalikan lagi kepada masyarakat. Tetapi LP di Indonesia menjadi neraka dunia bagi yang tidak berduit keluarganya dan surga dunia bagi para pengelola LP, yang menjadi tempat dan sarang para penegak hukum di LP yang sakit psikologisnya karena gemar menyiksa dan sakit mental karena mendapat tambahan minyak keserakahan dari pemerasan pada para penghuni LP, bahkan lebih jauh lagi ikut berdagang barang haram narkoba.

Contoh-contoh kasus sudah terlalu banyak, di LP Kerobokan Bali, LP Salemba Jakarta, LP Medaeng Sidoarjo Surabaya, dan banyak lagi daerah basah di negeri ini. Wartawan pasti gampang menggali beritanya, wawancarai para keluarga napi, pasti beribu cerita nyata akan terungkap.

Menteri Kumham nan bodoh kita masih saja cengengesan, Presiden bo… nan cerdik (tanpa melupakan bahwa beliau adalah anugerah Tuhan bagi negeri ini) kita masih saja sibuk mempertahankan citra keluarganya. Prestasi beliau atas citra keluarga pernah berhasil dengan pembebasan sang besan yang berbuntut pemenjaraan seorang Antasari (nah, inilah kaitan antara Antasari - Cirus lalu pindahnya Albertina), serta berhasil ketika serta merta membantah tudingan miring atas keterlibatan anaknya atau partai binaannya. Padahal beribu-ribu kasus tidak kunjung selesai dengan alasan beliau tidak mau mencampuri urusan anakbuahnya, para menteri, kejaksaan agung, kepolisian yang tidak becus bekerja bahkan kriminal.

Penegakan hukum dan keadilan hak asasi di negeri ini sudah terbaca kondisinya dengan perbuatan MA memindah hakim tegas, adil,  jujur, dan anti suap Albertina Ho dari belantara hukum nan busuk di Jakarta. 

Albertina adalah wanita, keturunan Tionghoa, single (sehingga tidak ada keluarga yang perlu diancam atau diperkaya), sangat mudah diatasi, ketika masyarakat negeri ini cenderung bungkam dan selalu bersuara cenderung mayoritas, mudah terpana oleh citra tampang dan gemar tayangan sinetron pembodohan.

Pangat Muji
www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar