Rabu, 21 September 2011

Sang Koruptor itu Bebas! (?)

Pemberantasan korupsi di negeri ini masih menuai hasil buruk. Vonis oleh hakim terhadap koruptor masih minus ketegasan. Dunia (sistem) peradilan Indonesia harus segera berbenah. Komitmen hakim untuk memberantas korupsi pun masih harus kita pertanyakan lagi. 

Ahmad Ru’yat, terdakwa perkara korupsi APBD Kota Bogor divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Wakil Wali Kota Non-aktif Kota Bogor ini dituding menerima uang 122 juta saat masih menjabat sebagai anggota DPRD tahun 2002. 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini tidak sendirian, ada 32 mantan anggota DPRD lainnya. Ironisnya, 32 terdakwa lain sudah masuk bui, sedangkan Ru’yat malah dibebaskan. Ru’yat divonis bebas,  Kamis 8/9/2011. Yang juga disayangkan adalah, vonis bebas tersebut malah disambut, “pekik takbir”, demikian tulis Editorial Koran Tempo (19/09/2011).

Kasus ini menarik kita cermati, mengingat terdakwa lainnya pada kasus yang sama, yakni 32 anggota DPRD Kota Bogor periode 1999-2004, telah divonis empat tahun penjara, dan denda Rp 200 juta serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp 120 juta oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Bahkan, Ru’yat juga sudah mengembalikan duit korupsi yang sempat dipakainya itu, tanda dia juga koruptor! Tetapi mengapa vonis terhadap Ru’yat bisa sangat berbeda? Tanya kenapa! 

Soal vonis bebas, Ru’yat bukanlah satu-satunya. Sebelumnya, Bupati Kab. Subang Eep Hidayat dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung Priana Wirasaputra juga dibebaskan oleh hakim Pengadilan Tipikor Bandung. Eep dibebaskan dari tuduhan korupsi upah pajak bumi dan bangunan senilai Rp 14 miliar, sedangkan Priana bebas dari dakwaan korupsi dana stimulan APBD Rp 2,5 miliar. 


Satu sistem: satu rusak, semua rusak

Pengadilan adalah salah satu bagian (sub-sistem hukum) dari sistem pemberantasan korupsi di negeri. Pengadilan memiliki fungsi serta peran penting dalam memberikan efek jera, melalui vonis yang setimpal dengan perbuatan korupsi, terhadap para penjara uang rakyat. Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Kemasyarakatan, dan KPK adalah salah satu sub dari sistem itu. Semua sub-sistem ini perlu sinergis, baik dari semangat maupun kesinambungan kinerja pemberantasan korupsi. Maksimalnya kinerja sub-sub sistem ini adalah jaminan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi itu bisa berdampak luas: jera.

Andai ada salah satu sub-sistem penegak hukum kita yang rusak atau tidak bekerja dengan semangat yang sama, maka kinerja sub-sistem lainnya akan ikut terpengaruh. Kinerja lembaga penegak hukum lain, yang hendak memberantas korupsi akan nampak tak berdampak apa-apa dan sia-sia. Polisi, Kejaksaan atau KPK akan merasa tidak dihargai kinerjanya, kalau vonis yang dijatuhkan hakim malah membuat koruptor bersorak-ria. Vonis ringan bahkan bebas terhadap koruptor akan membuat lemah semangat pemberantasan korupsi berbagai institusi lain yang sudah bekerja secara maksimal. 

Bukan saja itu, vonis demikian juga pasti melecehkan logika hukum dan kinerja penegak hukum (Polisi, Kejaksaan, dan KPK), serta nurani keadilan publik. Padahal, sebagai bangsa kita sedang berkampanye untuk melawan korupsi. 


Benahi kinerja & tingkatkan komitmen hakim

Pengadilan Tipikor Bandung adalah salah satu sub-sistem dari lembaga peradilan di negeri ini. Baik-buruk kinerja pengadilan ini akan memberikan pengaruh terhadap kualitas kinerja peradilan negeri ini secara keseluruhan. Untuk itu, berbagai vonis bebas oleh hakim Pengadilan Tipikor Bandung ini mestinya dicermati secara seksama oleh berbagai pihak, utamanya oleh Mahkamah Agung (MA), sebab ada berbagai keganjilan di dalamnya. 

MA sebagai lembaga di atasnya harus berani menduga bahwa ada penyimpangan atau pelanggaran kode etik oleh hakim dalam pengambilan keputusan ini. Paling menyolok adalah uang korupsi dikembalikan dan kolega korupsi berjamaahnya sudah masuk bui, tetapi Ru’yat malah dibebaskan hakim. Ini tidak masuk akal! 

Lebih jauh, MA juga perlu mendorong pembenahan kinerja para hakim Pengadilan Tipikor di berbagai daerah, juga peningkatan komitmen mereka dalam soal pemberantasan korupsi. Ini mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga vonis terhadap pelakunya juga mestinya di luar kebiasaan. Vonis bebas mestinya adalah haram bagi koruptor! 

Kasus vonis bebas terhadap Ahmad Ra’yut oleh Pengadilan Tipikor Bandung adalah wujud dari buruknya komitmen pemberantasan tindak pidana korupsi oleh salah sub-sistem penegakan hukum di negeri ini: pengadilan. Semoga keputusan buruk itu tidak diikuti oleh peradilan Tipikor lainnya di berbagai daerah. Cukuplah potret buruk kinerja salah satu sub-sistem (yang diwakili oleh Pengadilan Tipikor Bandung), ini terjadi. Mari segera berbenah kinerja dan komitmen demi tatanan hukum dan hidup masyarakat Indonesia yang bebas dari korupsi.

R. Graal Taliawo

www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar