Minggu, 11 September 2011

Tak Perlu ke Jakarta Untuk Sukses

  Kemacetan di Jakarta (Foto: Antara/Ujang Zaelani)





 

Mencari Pesaing Berarti buat Jakarta


Permasalahannya setiap tahun selalu sama. Habis Lebaran, siapa pun yang jadi Gubernur DKI Jakarta selalu mengimbau mereka yang mudik untuk tidak membawa teman atau saudara mereka ke Jakarta. Alasannya, "Jakarta sudah terlalu penuh. Orang baru hanya akan membawa masalah."

Dan untuk 'mengatasi' para pendatang baru tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian akan menggelar razia KTP untuk para pendatang baru. Menurut arsitek dan ahli perkotaan Marco Kusumawijaya, pendekatan razia KTP atau operasi yustisi tersebut sangat tidak adil dan diskriminatif. Alasannya, operasi tersebut hanya menyasar orang-orang dengan kemampuan ekonomi terbatas. Esensi dari operasi tersebut adalah bahwa Jakarta hanya milik mereka yang punya uang.

Tapi tentu kita semua tahu, sebagian besar orang Indonesia tidak terlahir kaya. Kesejahteraan ekonomi adalah jenjang yang harus mereka naiki satu demi satu. Ada titik terbawah, tempat kita semua memulai harapan akan kesejahteraan itu. Dan buat banyak orang Indonesia, titik membangun kesejahteraan itu, selama berpuluh-puluh tahun, adalah Jakarta.

Setelah 66 tahun merdeka, belum ada kota lain di Indonesia yang bisa menyaingi Jakarta dalam menawarkan kesempatan kerja buat sekian banyak orang. Maka, di tengah ketidaknyamanan kota yang luar biasa, para pengejar mimpi kesejahteraan itu tetap saja lagi-lagi datang ke Jakarta. Indonesia tak menawarkan pilihan lain selain Jakarta untuk tempat mencari uang. Jakarta adalah ketiadaan pilihan.

Tapi benarkah?

Bukankah desentralisasi seharusnya memunculkan pusat-pusat ekonomi baru? Kini para pelaku industri toh bisa langsung berhubungan dengan birokrasi di daerah. Berbagai inisiatif membangun kota juga tak harus selalu datang dari 'pusat' seperti di masa lalu. Dan kota-kota yang sedang tumbuh pesat itu menunjukkan mereka bisa lebih manusiawi dari Jakarta. Seperti di Surabaya misalnya.

Wali Kota Tri Rismaharini memenuhi setiap sudut kota dengan taman. Saking tegasnya ia mengatur reklame iklan, Risma sampai sempat menghadapi percobaan pemecatan dari anggota DPRD.

Tentu kita juga sudah sering mendengar berbagai contoh teladan dari Wali Kota Solo Joko Widodo atau Jokowi. Dari mulai mengakomodir suara para pedagang kaki lima, tak membekali para petugas keamanannya dengan pentungan, sampai menolak pembangunan mal dan supermarket raksasa dan memilih merenovasi pasar tradisional.

Kota seperti Yogyakarta, yang sebetulnya tidak memiliki masalah kemacetan, sudah mulai mengantisipasi bertambahnya kendaraan pribadi dengan menyediakan angkutan umum nyaman, Trans-Jogja.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa sebuah kota bisa memilih untuk tidak menjadi Jakarta berikutnya. Bahwa Jakarta, dengan segala keglamoran pusat perbelanjaan, deretan kendaraan mewahnya dan janji-janji kesejahteraan, adalah kota di ambang kegagalan.

Kami ingin mendengar cerita-cerita tentang Surabaya-Surabaya atau Solo-Solo lainnya. Apa yang membuat Anda bangga dengan kota Anda sehingga Anda tidak merasa perlu datang ke Jakarta untuk mencari kesuksesan ekonomi? Apa yang membuat Anda yakin, bahwa Anda tidak butuh datang ke Jakarta untuk menjadi sejahtera? Apa hal terbaik di kota Anda yang bisa dicontoh oleh Jakarta? Dan apa kira-kira keunggulan kota Anda yang membuat para pencari kerja akan lebih memilih ke sana daripada ke Jakarta?

Renungkan jawaban Anda, lalu berbagilah dengan kami. Kirimkan ke soalkota@yahoo-inc.com. Sampai Senin besok, kami tunggu pendapat Anda.



Sumber: http://id.berita.yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar