Minggu, 09 Oktober 2011

Hipokrasi Amerika Serikat


Oleh : Farid Wadjdi


Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) kembali meliris laporan tahunannya tentang kebebasan beragama di seluruh dunia pada Selasa (13/9 2011). Laporan tahunan diperlukan berdasarkan peraturan 1998 Kongres AS. Berdasarkan aturan ini, negara-negara yang melanggar kebebasan beragama dapat dikenai sanksi oleh AS.

Penganiayaan terkait agama di beberapa negara disebut memburuk. Berkaitan dengan Indonesia, dinyatakan selama 2010 terdapat 50 serangan terhadap Ahmadiyah dan 75 serangan terhadap umat Kristen.

Laporan tersebut juga mengecam Pakistan karena telah gagal mereformasi undang-undang tentang penghujatan yang digunakan untuk menganiaya umat dari agama minoritas dan dalam sejumlah kasus juga menyiksa kaum Muslim yang mempromosikan toleransi.

Catatan penting kita tentang laporan ini adalah, bahwa AS sesungguhnya telah kehilangan otoritas bahkan sekadar otoritas moral untuk menyoroti palaksanaan HAM di negara-negara lain. Di AS sendiri pelecehan berkaitan dengan agama meningkat, tetapi luput dibahas dalam laporan. Belum lagi meningkatnya gejala Islamophobia terutama pasca Serangan 911, yang tentu saja merupakan pelanggaran HAM. Jangan lupakan pula rencana pembangunan masjid yang ditolak karena diklaim masih berada di Ground Zero. Belum lagi provokasi murahan yang penuh kebencian terhadap al-Quran oleh pendeta Terry Jones hingga pembakaran al-Quran oleh pengikutnya. Tidak ada sanksi yang tegas dari pemerintah Amerika dengan alasan itu kebebasan berekspersi. Kita juga tentu mempertanyakan sikap diamnya AS terhadap larangan pemakaian pakaian Muslim di beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Belanda, larangan shalat berjamaah di tempat umum di Prancis, termasuk sikap anti Islam kelompok ultranasionalis Eropa yang terus meningkat.

AS tentu makin kehilangan muka bahkan tampak hipokrit dalam masalah penegakan HAM saat mereka membunuh lebih dari satu juta orang di Irak serta ribuan orang di Pakistan dan Afganistan atas nama perang melawan terorisme dan menegakkan negara demokrasi. Lebih buruk mana pelanggaran kemanusiaannya, pelarangan pendirikan rumah ibadah atau pembunuhan massal yang dilakukan negara-negara imperialis dunia?

Sikap AS dalam kaitannya dengan Zionis Yahudi juga patut digugat. Laporan itu mengkritik Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan tudingan terus mengkampanyekan anti-Semit yang mempertanyakan kebenaran pembantaian Nazi terhadap orang-orang Yahudi pada saat Perang Dunia II. AS juga mengkritik buka-buku teks dan referensi di Saudi disebut-sebut bersifat negatif dan stereotif terhadap Kristen dan Yahudi. Sebaliknya, pemerintah Paman Sam ini menutup mata terhadap sikap keji zionis Yahudi terhadap kaum Muslim di Palestina. Bahkan saat Gaza dibombardir oleh Zionis Yahudi yang hanya dalam beberapa hari telah membunuh lebih dari 1500 orang rakyat sipil Palestina, 400 di antaranya adalah anak-anak, negara imperialis ini diam seribu bahasa. Bahkan AS menganggap apa yang dilakukan zionis-yahudi ini adalah legal untuk mempertahankan diri. Dimana logikanya penjajah yang menduduki negara lain dikatakan melakukan serangan untuk membela diri?

Sikap hipokrit negara ini (juga negara-negara Barat lainnya) semakin tampak melihat dukungan mereka terhadap rezim-rezim brutal, diktator dan represif di Dunia Islam selama ini. Untuk kepentingan minyak, melindungi Israel dan memberangus gerakan Islam, rezim-rezim brutal seperti Husni Mubarak, Assad, raja-raja Arab, termasuk Moammar Gaddafi dipelihara oleh AS. Dalam kasus Libya, agen rahasia Badan Pusat Intelijen AS dan Barat, termasuk M16 Inggris, memiliki kedekatan emosional dan bersahabat karib dengan agen intelijen rezim Libya, Moammar Gaddafy. Mereka bekerjasama dalam banyak hal, termasuk penangkapan dan pengiriman pihak-pihak yang dituduh sebagai teroris. Ini tentu memalukan saat Barat sekarang berbalik arah seakan mendukung rakyat dan berbicara tentang HAM dan demokrasi di Libya yang baru. Padahal mereka justru selama ini telah berkerjasama dengan para rezim brutal itu yang bersikap keji terhadap rakyat mereka sendiri.

Laporan ini juga tampak bias, tidak utuh dan tidak komprehensif dengan menutupi banyak fakta-fakta penting lainnya. Dalam kasus Indonesia, misalnya, dilaporkan tentang serangan terhadap Ahmadiyah dan pihak Kristen tanpa dijelaskan latar belakang dan faktor-faktor lain yang menyebabkan penyerangan itu. Dalam banyak kasus serangan terjadi tidak bisa dilepaskan dari arogansi, provokasi dan tindakan melanggar hukum yang dilakukan pihak Ahmadiyah dan pihak Kristen. Sikap Pemerintah yang tidak tegas juga merupakan pemicu.

Adapun penolakan kaum Muslim terhadap pembangunan rumah ibadah agama lain bukan berarti menolak kebolehan beribadah bagi agama lain. Hal ini adalah dua hal yang berbeda. Buktinya di Indonesia berdiri banyak gereja; di kota-kota besar, di pinggir-pinggir jalan juga terdapat gereja-gereja megah yang sudah ada sejak zaman Belanda. Umat Islam tidak mempersoalkannya. Yang dipersoalkan umat Islam adalah pendirian bangunan gereja yang ilegal, tidak sesuai aturan, dan yang melakukan gerakan-gerakan misionaris atau pemurtadan.

Dalam kasus rencana pembangunan Gereja Yasmin di Bogor, misalkan, terbukti pihak gereja menghalalkan segala cara termasuk dengan cara-cara penipuan (pemalsuan tandatangan warga). Hal-hal seperti ini tidak diungkap.

Adanya aksi kristenisasi yang agresif di Indonesia yang berujung pada reaksi umat Islam juga tidak diungkap. Untuk kasus Bekasi, ICG Indonesia (13/01/2011) membeberkan fakta bahwa di pihak Kristen terdapat beberapa organisasi penginjil yang berkomitmen untuk mengkristenkan Muslim juga ada di Bekasi, beberapa didanai dari luar negeri, yang lain murni lokal.

Benarkah di Indonesia tidak ada kebebasan beragama? Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat? Menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar pertumbuhan tempat ibadah yang terjadi sejak 1977 hingga 2004 justru meningkat. Pertumbuhan rumah ibadah Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam, pada periode itu meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika, 18 Februari 2006).

Laporan Majalah Time juga berbicara lain. Dalam tulisan yang berjudul “Christianity’s Surge in Indonesia” (http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1982223,00.html) majalah itu menunjukkan gelora peribadahan pemeluk Kristen di Indonesia.

Walhasil, hasil laporan-laporan HAM seperti ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan penjajahan Amerika Serikat. 
 
Komunitas Rindu Syariah & Khilafah
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar